NURUL ABROR

Rabu, 18 April 2012

مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّه وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ

1. Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَالَ فِي دُبُرِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ ثَانٍ رِجْلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ
“Barang siapa yang setelah shalat Subuh dengan menyilangkan kedua kakinya ia mengucapkan;
(dzikir diatas)
عَشْرَ مَرَّاتٍ
sepuluh kali,
كُتِبَتْ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ
maka tercatat baginya sepuluh kebaikan
وَمُحِيَتْ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ
dan terhapus darinya sepuluh kesalahan
وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ
serta diangkat baginya sepuluh derajat,
وَكَانَ يَوْمَهُ ذَلِكَ كُلَّهُ فِي حِرْزٍ مِنْ كُلِّ مَكْرُوهٍ
dan pada hari itu ia berada dalam perlindungan dari segala yang tidak disukai,
وَحُرِسَ مِنْ الشَّيْطَانِ
serta terjaga dari syetan,
وَلَمْ يَنْبَغِ لِذَنْبٍ أَنْ يُدْرِكَهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ إِلَّا الشِّرْكَ بِاللَّهِ
dan tidak layak ada dosa yang menjumpainya pada hari itu kecuali syirik kepada Allah.”
Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib shahih.
(HR. at Tirmidziy; dikatakan “hasan li ghairihi” oleh syaikh al-albaaniy dalam shahiih at-targhiib dan hadits ini juga terdapat di silsilah ash-shahiihah)
              

2.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَالَ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ وَيَثْنِيَ رِجْلَهُ مِنْ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ وَالصُّبْحِ
“Barangsiapa sebelum bergeser dan melangkahkan kakinya dari shalat Maghrib dan Shubuh mengucapkan:
(dzikir diatas)
شْرَ مَرَّاتٍ
Sebanyak sepuluh kali
كُتِبَ لَهُ بِكُلِّ وَاحِدَةٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ
Maka akan ditulis baginya pada setiap kata sepuluh kebaikkan
وَمُحِيَتْ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ
dan dihapuskan dari sepuluh kesalahan.
وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ
Akan diangkat sepuluh derajat
وَكَانَتْ حِرْزًا مِنْ كُلِّ مَكْرُوهٍ وَحِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
dan (dzikir ini) menjadi pelindung baginya dari kesulitan dan dari setan yang terkutuk.
وَلَمْ يَحِلَّ لِذَنْبٍ يُدْرِكُهُ إِلَّا الشِّرْكَ
Ia tidak akan ditimpa siksa dari dosanya kecuali dari perbuatan syirik.
فَكَانَ مِنْ أَفْضَلِ النَّاسِ عَمَلًا إِلَّا رَجُلًا يَفْضُلُهُ يَقُولُ أَفْضَلَ مِمَّا قَالَ
Dan ia termasuk manusia yang paling utama amalannya kecuali orang yang berkata dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang ia katakan.”

Senin, 09 April 2012

AQIQAH

AQIQAH Menurut Empat Madzhab
Senin, 09 April 2012
Definisi (تعريف) Aqiqah
Aqiqah (Arab: ‘aqiqah [akar kata ‘aqqa = عق] = membelah dan memotong). Menurut istilah syar’i (yang berdasarkan syara') adalah binatang yang disembelih sebagai qurban atas anak yang baru lahir.

Aqiqah dalam istilah agama adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allâh سبحانه و تعالى dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian ulama’ disebut dengan nasikah = نسك atau dzabîhah = ذبح (sembelihan).
 Hukum Aqiqah menurut 4 Madzhab
 
Hanafi
Mâliki
Syâfi’î
Hanbali
Mubah
Sunnah
Sunnah Muakkad

Imam Al Laits mengatakan: Wajib



Dasar yang dipakai oleh kalangan Syâfi’îyyah dan Hanbali bahwa Aqiqah adalah sunnah muakkadah adalah hadits Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُمَاطُ عَنْهُ الْأَذَى وَيُسَمَّى
Dari Qatadah, dari Hasan, dari Samurah berkata bahwa Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya. (Binatang) itu disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dan pada hari itu juga kotoran dibersihkan darinya” (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, hasan shahih).
 Adapun Dawud Adh Dhahiri dan mereka yang sependapat dengannya menyatakan bahwa aqiqah adalah wajib. (Al Muhalla: V/ 178). Dalil mereka adalah sabda Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ ، وَيُحْلَقُ ، وَيُسَمَّى
“Setiap anak itu digadaikan kepada aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur dan diberi nama.” (HR. Ahmad, V/807 no. 12,17,18, Ibnu Majah, no. 3165, At Tirmidzi IV/101, An Nasa’i, V/166, dan Abu Daud, III/106).
 
Hewan Aqiqah
Hewan yang disembelih untuk aqiqah, terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha’ sebagai berikut :
وَالْعَقِيقَةُ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَيُعَقُّ عَنْ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ بِشَاةٍ مِثْلَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ سَنِّ الْأُضْحِيَّةِ وَصِفَتِهَا وَلَا يُحْسَبُ فِي السَّبْعَةِ الْأَيَّامِ الْيَوْمُ الَّذِي وُلِدَ فِيهِ .
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa hewan yang boleh dipakai untuk aqiqah adalah  kambing (شاة)  sebagaimana sifat hewan yang bisa disembelih untuk qurban.
 *Imam Malik lebih suka memilih domba (da’n).

Jumlah hewan untuk Aqiqah
Yang lebih utama adalah menyembelih dua ekor kambing yang berdekatan umurnya bagi bayi laki-laki dan seekor kambing bagi bayi perempuan.
لِخَبَرِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا : { أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَعُقَّ عَنْ الْغُلَامِ بِشَاتَيْنِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ بِشَاةٍ } .
Dari Aisyah رضي الله عنها, Kami diperintahkan oleh Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk meng-aqiqah-i anak laki-laki dua ekor kambing yang berdekatan umurnya dan untuk anak perempuan satu ekor kambing”
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena adanya pertentangan antara hadits-hadits mengenai aqiqah dan kias sebagai berikut :
عن أنس بن مالك ، قال : « عق (1) ر رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ بِكَبْشٍ كَبْشٍ
__________
(1) العَقِيقة : الذبيحةُ التي تُذْبح عن الموْلود. وأصْل العَق : الشَّقُّ والقَطْع. وقيل للذبيحة عَقيقَة، لأنَّها يُشَق حَلْقُها.
 Dari Anas bin Malik رضي الله عنه:“Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyembelih (aqiqah) untuk Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, masing-masing satu kambing” (HR. Ibnu Abbas رضي الله عنهما).
Ini juga menurut Wahbah al Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.
 
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنِ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَيْنِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةً
Dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan bahwa aqiqah anak laki-laki adalah dua kambing dan anak perempuan adalah satu kambing.” (HR. Abu Dawud).

·       Imam Malik, berpendapat cukup satu ekor kambing, baik untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan.
·    Imam Syâfi’î, Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi, Abu Dawud, dan Ahmad, berpendapat untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing dan untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing.
Namun demikian, kalau orang tua memiliki harta yang cukup lebih baik menyembelihkan aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Sebagaimana hadits:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنِ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَيْنِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةً
Dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata : “Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan bahwa aqiqah anak laki-laki adalah dua kambing dan anak perempuan adalah satu kambing.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi ). Hadits hasan shahih.

Jadi, kalau tidak mampu tidak usah memaksakan diri dengan cara mencicil atau berhutang. Tapi, cukuplah dengan satu ekor kambing. Bahkan, kalaupun tidak bisa melakukan aqiqah juga tidak apa-apa; karena ia hukumnya sunnah atau sunnah muakkad.
Aqiqah anak kembar juga berlaku untuk masing-masing anak. Jika anak tersebut laki-laki-laki maka, aqiqahnya untuk masing-masing dua ekor. Adapun jika perempuan, maka untuk masing-masing satu ekor. Lalu, jika anak kembar tadi terdiri dari laki-laki dan wanita berarti untuk anak laki-laki dua ekor, sementara untuk anak perempuan satu ekor. Demikian pendapat jumhur ulama.
Orang yang sudah baligh belum diaqiqahi oleh orang tuanya menurut sejumlah ulama tidak perlu melakukan aqiqah, meskipun menurut kalangan Syâfi’î ia tetap bisa melakukan aqiqah dengan biaya yang berasal dari dirinya sendiri. Karena itu, bagi yang sudah baligh--apalagi muallaf--ibadah aqiqah bisa diganti dengan ibadah yang lain, seperti berqurban, memperbanyak sedekah, dan terutama melakukan sejumlah ajaran agama yang hukumnya wajib bagi seorang muslim. Allâh tidak membebani hamba di luar kemampuannya.

Hukum meng-aqiqah-i diri sendiri
Memang ada hadits yang menyatakan demikian :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ الْبَعْثَةِ
“Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meng-aqiqah-i dirinya sendiri setelah diutus”.
Tetapi Imam Baihaqi menyatakan bahwa hadits ini adalah munkar (riwayat orang yang dla’if yang bertentangan dengan orang yang dla’if pula). (Sunan Baihaqi : Ii/157, no. hadits : 19750). Bahkan Imam Nawawi menyatakan bahwa hadits ini adalah bathil (Subulus Salam, VI : 329)
Maka hukumnya sebagai berikut:
Pertama : bahwa Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengaqiqahi dirinya ketika beliau di angkat menjadi Nabi dan Rasul.
حدثنا عبد الله بن المثنى بن أنس ، عن ثمامة بن أنس ، عن أنس : « أن النبي صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةَ » وما حدثنا الحسين بن نصر ، قال : حدثنا الهيثم بن جميل ، قال : حدثنا عبد الله بن المثنى بن أنس بن مالك ، قال : حدثني رجل ، من آل أنس بن مالك عن أنس بن مالك ، ثم ذكر مثله . قال أبو جعفر فكان فيما روينا من هذا توكيد وجوبها ، ثم نظرنا هل روي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ما يخالف ذلك أم لا ؟ : مشكل الآثار للطحاوي
Dari Anas bahwa Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ men-aqiqah-i dirinya pada saat diangkat sebagai Nabi. Namun riwayat hadits tersebut sangat lemah, imam Nawawi mengomentari riwayat hadits itu sebagai hadits yang mardud/tertolak, artinya tidak bisa dijadikan sandaran atau sumber hukum. Sebagaimana dalam Kitab Musykil Al atsar –imam Thahawi 
Dengan demikian, jika seseorang belum di aqiqahi sampai ia dewasa, maka tidak perlu untuk mengaqiqahinya, karena memang dalam dhahir lafadz hadits di atas, adalah setiap anak berstatus tergadaikan sampai ia disembelihkan kambing pada hari ke tujuh.

Kedua : mengaqiqahi diri sendiri setelah seseorang dewasa tidak ada anjurannya, sedangkan qurban, merupakan sunnah yang ditekankan.
Dalam madzhab Hanbali dan Mâliki yang menjelaskan bahwa aqiqah itu tidak dibatasi dengan waktu. Tetapi mereka menjelaskan bahwa perintah aqiqah itu ditujukan kepada bapak, bukan kepada anak. Jadi anak tidak boleh melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri. (Al Fiqhul Islami wa adillatuhu, karya Syeikh Wahbah Az Zuhaili  IV/286)

Kualitas Hewan untuk Aqiqah
Hewan untuk Aqiqah di-qiyas-kan dengan penyembelihan hewan al-hadyu (qurban).  
Tentang umur dan sifat hewan aqiqah, para fuqaha sepakat, sama dengan umur dan kondisi hewan qurban, yakni harus bersih dari cacat:
·         Tidak boleh hewan yang matanya buta atau cacat
·         Tidak boleh hewan yang sakit
·         Tidak boleh hewan yang lidahnya terpotong seluruhnya
·         Tidak boleh hewan yang hidungnya terpotong
·         Tidak boleh hewan yang salah satu telinganya terpotong
·         Tidak boleh hewan yang pincang
·         Tidak boleh hewan yang terpotong puting susunya atau sudah kering
·         Tidak boleh hewan yang terpotong ekornya
·         Tidak boleh hewan yang memakan kotoran (al Jallalâh)

Menurut  Jumhur (mayoritas) Ulama’, bahwa hewan yang memenuhi syarat untuk disembelih untuk qurban adalah hewan yang sudah mengalami copot salah satu giginya (tsaniyyah). Yang dimaksud dengan gigi adalah salah satu gigi dari keempat gigi depannya, yaitu dua di bawah dan dua di atas. Boleh jantan atau betina meski diutamakan yang jantan karena bisa menjaga populasi.

Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaannya dilakukan pada hari ke tujuh (ini yang lebih utama menurut para ulama’), keempat belas, dua puluh satu atau pada hari-hari yang lainnya yang memungkinkan.
- Waktu yang paling utama: hari ketujuh kelahiran anak. Hal ini berdasarkan hadits Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بن أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"كُلُّ غُلامٍ رَهْنٌ بِعَقِيقَتِهِ، يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، ويُلَطَّخُ رَأْسُهُ , وَيُسَمَّى". المعجم الكبير- الطبراني
Dari Said bin Abi Arubah, dari Qatadah, dari Hasan, dari Samurah berkata bahwa Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: “Setiap yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan dicukur rambutnya serta diberi nama.” (Mu’jam Kabir at Thabrani juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan)

- Waktu yang dibolehkan: hari keempat belas dan kedua puluh satu. Hal ini berdasarkan riwayat Aisyah رضي الله عنها yang menjadi pegangan madzhab Hanbali dan sebagian Mâliki. Menurut madzhab Syâfi’î, ia bisa dilakukan sampai dewasa, meskipun dianjurkan untuk tidak sampai mencapai usia dewasa. Karena itu, pelaksanaan aqiqah serta pemberian nama anak hendaknya dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, dan seterusnya.
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ(الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ )حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُذْبَحَ عَنْ الْغُلَامِ الْعَقِيقَةُ يَوْمَ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ يَوْمَ السَّابِعِ فَيَوْمَ الرَّابِعَ عَشَرَ فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ عُقَّ عَنْهُ يَوْمَ حَادٍ وَعِشْرِينَ وَقَالُوا لَا يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ مِنْ الشَّاةِ إِلَّا مَا يُجْزِئُ فِي الْأُضْحِيَّةِ
 Abu Isa berakata mengenai hadits :
(الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُyang shahih yang baik untuk diamalkan di kalangan ahli ilmu : " jika seseorang pada hari ketujuh setelah kelahiran anaknya dia tidak ada biaya untuk membuat aqiqah, maka  ia bisa melakukannya pda hari ke empat belas, jika tidak bisa ia bisa melakukannya pada hari ke duapuluh satu. Dan kambing Aqiqah-nya adalah seperti untuk qurban."
 Sebagian fuqaha malah membolehkan penyembelihan dilaksanakan pada pekan kedua atau pekan ketiga dari kelahiran anak. Tetapi bagi fuqaha yang membolehkan aqiqah untuk orang dewasa, maka penyembelihan itu tentunya boleh dilakukan pada usia dewasa.

حَدِيثُ سَمُرَةَ ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ ، وَيُسَمَّى فِيهِ ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ } . وَأَمَّا كَوْنُهُ فِي أَرْبَعَ عَشْرَةَ ، ثُمَّ فِي أَحَدٍ وَعِشْرِينَ ، فَالْحُجَّةُ فِيهِ قَوْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَذَا تَقْدِيرٌ ، الظَّاهِرُ أَنَّهَا لَا تَقُولُهُ إلَّا تَوْقِيفًا . وَإِنْ ذَبَحَ قَبْلَ ذَلِكَ أَوْ بَعْدَهُ ، أَجْزَأَهُ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ يَحْصُلُ . المغني - قديم
 Dalam hal ini tentu saja kita harus lebih mendahulukan sunnah dan riwayat yang benar. Kalaupun waktu-waktu yang dianjurkan telah lewat, Anda bisa tetap melaksanakannya sebagaimana pandangan madzhab Syâfi’î. Namun, hal itu bukan berdasarkan kepercayaan yang menyimpang. Tetapi, dengan niat yang ikhlas dan tulus karena Allâh  taala dan mengikuti ajaran Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Cara menghitung ke 7
Kalau pelaksanaan aqiqah dilakukan pada hari ketujuh, bagaimana cara penghitungan harinya?

Jumhur berpendapat bahwa saat kelahiran dimulai dari pagi hari sehingga kalau anak lahir pada waktu malam, malam tersebut tidak dihitung dan baru dihitung dari pagi harinya.
Menurut Madzhab Mâliki bahwa: ”hari kelahiran bayi dihitung dari waktu fajar, kalau bayi lahir sebelum atau bersamaan dengan fajar, maka sudah dihitung sebagai hari pertama. Tetapi jika lahir sesudah fajar, maka dihitung mulai fajar berikutnya.

باب موته قبل سابعه ، ومتى يسمى ، وما يصنع به (1) 7978 - عبد الرزاق عن ابن جريج قال : بلغني عن الحسن أنه قال : إن مات قبل سابعه فلا عقيقة عليه. (مصنف عبد الرزاق)
Menurut madzhab Syâfi’î, kalau anak itu meninggal dunia sebelum hari ketujuh, dianjurkan untuk di-aqiqahi sama seperti aqiqah untuk yang hidup. Namun, menurut al-Hasan al-Bashri dan Malik tidak perlu diaqiqahi.
 Menurut sebagian ulama (terutama kalangan Syâfi’î) boleh saja mengaqiqahi anak yang sudah berusia 2 atau 4 tahun, bahkan meskipun sudah baligh. Menurut sebagian ulama lainnya tidak perlu.
 Hukum Daging Aqiqah
Hukum daging aqiqah serta bagian-bagian lainnya sama dengan hukum daging qurban dalam hal makan, sedekah, dan larangan menjualbelikannya.
Kata Imam Malik: وَلَا يُبَاعُ مِنْ لَحْمِهَا شَيْءٌ (tidak boleh dijual dagingnya…)
 Daging aqiqah juga bisa diberikan kepada orang non-muslim. Apalagi jika hal itu dimaksudkan untuk menarik simpatinya dan dalam rangka dakwah.

Dalilnya :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberi makan orang miskin, anak yatim, dan tawanan, dengan perasaan senang.” (Q.S. al-Insan (76):8). 

Menurut Ibn Qudâmah, tawanan pada saat itu adalah orang-orang kafir.
 قال أبو عمر على هذا جمهور الفقهاء أنه يجتنب في العقيقة من العيوب ما يجتنب في الأضحية ويؤكل منها ويتصدق ويهدى إلى الجيران
Dan juga keterangan dari Abu Umar:
Aqiqah dan qurban boleh di-shadaqahkan kepada tetangga dan boleh dimakan oleh keluarga yang aqiqah.
 Menurut: Imam Syâfi’î dan Mâliki. dan jangan sampai tersentuh darahnya (binatang aqiqahnya) kepada si bayi (وَلَا يُمَسُّ الصَّبِيُّ بِشَيْءٍ مِنْ دَمِهَا).
 Memberi Nama yang baik
أم كرز الكعبية قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول عن الغلام شاتان متكافئتان وعن الجارية شاة تذبح يوم سابعه أي سابع المولود ويحلق فيه رأس ذكر ويتصدق بوزنه ورقا ويسمى فيه ويسن تحسين الإسم ويحرم بنحو عبد الكعبة وعبد النبي وعبد المسيح ويكره بنحو حرب ويسار وأحب الأسماء عبد الله وعبد الرحمن فإن فات الذبح يوم السابع ففي أربعة عشر فإن فات ففي إحدى وعشرين من ولادته. الروض المربع على مختصر المقنع -المؤلف : منصور بن يونس بن صلاح البهوتي
Dari Ummi Kurz Al-Ka’biyyah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullâh saw bersabda: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang berdekatan umurnya dan untuk anak perempuan satu ekor kambing dan dipotong pada hari ketujuh, dipotong rambutnya kemudian ditimbang dengan perak dan dishadaqahkan dan sunnah diberi nama yang baik dan haram diberi nama seperti Abdul Ka'bah, Abdun Nabi, Abdul Masih. Sunnah diberi nama Abdullâh, Abdurrahman, dan dipotong binatang aqiqah-nya pada hari ke tujuh, bila tidak ya hari ke-empat belas bila tidak ya hari ke duapuluh satu dari hari kelahirannya” (Manshur al Buhty menjelaskan hadits dari Musnad  Ahmad 6/422 dan At-Tirmidzi 1516)

 Aqiqah itu menyembelih hewan dan membagikan sebagiannya kepada orang-orang dalam bentuk sudah matang.

Dalam pelaksanaan aqiqah sebaiknya dilakukan sendiri oleh orang tua bayi. Kalau ingin menitipkannya kepada orang lain, kita harus yakin bahwa hal tersebut dilakukan sesuai dengan tuntutan syari’ah. Jangan sampai kita menitipkan sejumlah uang kepada suatu lembaga atau perorangan, kemudian uang tersebut dibagikan langsung sebagai pengganti daging. Praktek yang demikian tentunya tidak sesuai dengan tuntunan sunnah yang mensyaratkan adanya penyembelihan hewan dalam pelaksanaan aqiqah.

 Aqiqah bersamaan dengan Qurban?
Menurut kalangan Hanbali, jika waktu penyembelihan aqiqah berbarengan dengan waktu penyembelihan qurban, maka satu sembelihan cukup untuk qurban dan aqiqah sekaligus. Sama halnya dengan jika ied bertepatan dengan hari jumat, maka mandi sunnah untuk shalât ied dan shalât jumat cukup satu kali.
Menurut kalangan Syâfi’î dan Mâliki, satu sembelihan tidak bisa untuk aqiqah dan qurban sekaligus. Sebab, masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Aqiqah disembelih untuk anaknya yang baru lahir, sementara qurban disembelih untuk dirinya sendiri.
 عَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى . رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ
Dari Samurah رضي الله عنه bahwa Rasululla صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ber-sabda: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama." Riwayat imam yang lima dan dishahihkan Tirmidzi.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ.  رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَه
Dari 'Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. Hadits shahih riwayat Tirmidzi.
(Dept Data&IT)