NURUL ABROR

Senin, 10 Desember 2018

Su’udzon, Berprangka Buruk Kepada Orang


Su’udzon, Berprangka Buruk Kepada Orang

Apakah semua suudzan dilarang? Termasuk kepada orang yang memiliki gelagat buruk.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Prasangka ada banyak macam, tidak semua tercela, sehingga tidak semuanya dilarang. Bahkan ada beberapa prasangka yang dipuji dalam syariat. Bahkan ada prasangka yang hukumnya wajib.

Mengenal Makna Dzan (Prasangka)

Prasangka [الظن] artinnya ragu namun cenderung kepada salah satu. Kata yang semisal adalah syak [الشك], yang artinya keraguan namun tidak bisa menentukan mana yang lebih kuat.

Kata dzan banyak digunakan dalam al-Quran. Ibnul Qayim menyebutkan, penggunaan kata dzan (praduga) dalam al-Quran memiliki 5 makna;

[1] Ragu-ragu [الشك], tidak bisa menentukan mana yang lebih utama, sama sekali.

Seperti firman Allah,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. al-Jatsiyah: 24)

Kata dzan dalam ayat di atas bermakna syak, yang artinya ragu tanpa bisa menentukan mana yang lebih kuat. Karena orang kafir bicara tanpa dasar.

[2] Yaqin [اليقين], kata dzan dalam hal ini disertai dugaan kuat hingga sampai tingkatan yakin

Seperti firman Allah,

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ

“Orang-orang yang yakin mereka akan bertemu Allah…” (QS. Al-Baqarah: 249)

[3] Menuduh [التهمة]

Seperti firman Allah,

(وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ)

“Dia (Muhammad) bukanlah termasuk orang yang tertuduh terhadap hal yang ghaib.” (QS. At-Takwir: 24)

Berita ghaib yang beliau sampaikan adalah berita yang murni benar, jujur, dan tidak hasil mengarang.

[4] Mengira [الحسبان]

Seperti firman Allah,

وَلَٰكِن ظَنَنتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِّمَّا تَعْمَلُونَ

Akan tetapi kalian mengira, Allah tidak mengetahui banyak hal yang telah kalian lakukan. (QS. Fushilat: 22)

[5] Kedustaan [الكذب]

Seperti firman Allah,

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

Mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.(QS. An-Najm: 28)

(Nuzhatul A’yun, hlm. 425).

Hukum Berprasangka

Selanjutnya, kita membahas rincian hukum berprasangka. Karena tidak semua prasangka mengandung makna negatif, tidak semua prasangka dilarang. Berikut rincian hukum prasangka,

[1] Wajib

Seperti berprasangka baik (husnudzan) kepada Allah. Karena kebalikan dari itu, Su’udzan hukumnya haram jika ditujukan kepada Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ

Jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan husnudzan kepada Allah. (HR. Muslim 7410)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى

Allah berfirman, ‘Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku.. dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku’ (HR. Bukhari 7405 & Muslim 6981)

Termasuk juga husnudzan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada mukmin yang sholeh, seperti para sahabat atau orang mukmin yang lahiriyahnya baik.

[2] Haram

Tingkatan haramnya suudzan berbeda-beda. Suudzan yang paling haram adalah suudzan kepada Allah.

Allah mengancam akan memberikan hukuman kepada orang munafiq dan orang musyrik karena mereka suudzan kepada Allah. Allah berfirman,

وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ

“Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (QS. Al-Fath: 6)

Kemudian suudzan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian suudzan kepada orang-orang soleh, seperti para sahabat.

Karena itu, Allah perintahkan agar semacam ini dijauhi. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Al-Qurthubi mengatakan,

إن الظن القبیح بمن ظاهره الخیر لا یجوز والاثم هو ما یستحقه الظان من العقوبة

Prasangka yang jelek kepada orang yang lahiriyahnya baik, tidak diperbolehkan. Dan dosanya adalah hukuman yang akan didapatkan dari orang yang memiliki prasangka. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332).

[3] Dibolehkan

Dzan (prasangka) yang dibolehkan, adalah prasangka yang tidak mengantarkan kepada dosa.

Allah berfirman,

إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Pemahaman kebalikannya, ada sebagian prasangka yang bukan dosa.

Al-Qurthubi mengatakan,

والظن في الشریعة قسمان محمود ومذموم ، فالمحمود منه : ما سلم معه دین الظان والمظنون به عند بلوغه . والمذموم : ضده

Dzan dalam syariat ada 2: terpuji dan tercela. Dzan yang terpuji adalah dzan yang tidak membahayakan agama orang yang berprasangka dan orang yang menjadi sasaran prasangka, ketika itu sampai kepadanya. Sementara dzan yang tercela adalah dzan kebalikannya. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332).

Kemudian al-Qurthubi menyebutkan firman Allah di surat al-Hujurat: 12.

Diantara dzan yang boleh adalah dzan kepada orang yang secara lahiriyah dia jahat, atau terbiasa melakukan maksiat secara terang-terangan.

As-Syaukani mengatakan,

فأما أهل السوء والفسوق ، فلنا أن نظن بهم مثل الذي ظهر منهم

Untuk orang jahat, berakhlak jelek, menurut kami, kita boleh memiliki suudzan sesuai yang mereka tampakkan. (Fathul Qadir, 7/16)

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah suudzan kepada orang munafik. Beliau mengatakan kepada Aisyah,

مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا

Saya menyangka fulan dan fulan sama sekali tidak mengerti agama kita. (HR. Bukhari 6067)

kata Laits bin Sa’d, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua orang dari kalangan munafiq.

Ini juga yang dilakukan para sahabat, ketika mereka melihat ada orang yang secara lahiriyah bermasalah.

Seperti, prasangka para sahabat untuk orang yang tidak hadir shalat jemaah.

Ibnu Umar mengatakan,

إنا كنا إذا فقدنا الرجل في عشاء الآخرة أسأنا به الظن

Dulu, ketika kami tidak menemukan seseorang ketika jamaah isya, maka kami memiliki suudzan kepadanya.

Karena itu, boleh saja orang suudzan kepada orang lain yang memiliki gelagat bermasalah.

Demikian, Allahu a’lam.


Read more https://konsultasisyariah.com/29825-tidak-semua-prasangka-itu-dilarang.html

Su’udzon, Berprangka Buruk Kepada Orang


Su’udzon, Berprangka Buruk Kepada Orang

Apakah semua suudzan dilarang? Termasuk kepada orang yang memiliki gelagat buruk.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Prasangka ada banyak macam, tidak semua tercela, sehingga tidak semuanya dilarang. Bahkan ada beberapa prasangka yang dipuji dalam syariat. Bahkan ada prasangka yang hukumnya wajib.

Mengenal Makna Dzan (Prasangka)

Prasangka [الظن] artinnya ragu namun cenderung kepada salah satu. Kata yang semisal adalah syak [الشك], yang artinya keraguan namun tidak bisa menentukan mana yang lebih kuat.

Kata dzan banyak digunakan dalam al-Quran. Ibnul Qayim menyebutkan, penggunaan kata dzan (praduga) dalam al-Quran memiliki 5 makna;

[1] Ragu-ragu [الشك], tidak bisa menentukan mana yang lebih utama, sama sekali.

Seperti firman Allah,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. al-Jatsiyah: 24)

Kata dzan dalam ayat di atas bermakna syak, yang artinya ragu tanpa bisa menentukan mana yang lebih kuat. Karena orang kafir bicara tanpa dasar.

[2] Yaqin [اليقين], kata dzan dalam hal ini disertai dugaan kuat hingga sampai tingkatan yakin

Seperti firman Allah,

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ

“Orang-orang yang yakin mereka akan bertemu Allah…” (QS. Al-Baqarah: 249)

[3] Menuduh [التهمة]

Seperti firman Allah,

(وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ)

“Dia (Muhammad) bukanlah termasuk orang yang tertuduh terhadap hal yang ghaib.” (QS. At-Takwir: 24)

Berita ghaib yang beliau sampaikan adalah berita yang murni benar, jujur, dan tidak hasil mengarang.

[4] Mengira [الحسبان]

Seperti firman Allah,

وَلَٰكِن ظَنَنتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِّمَّا تَعْمَلُونَ

Akan tetapi kalian mengira, Allah tidak mengetahui banyak hal yang telah kalian lakukan. (QS. Fushilat: 22)

[5] Kedustaan [الكذب]

Seperti firman Allah,

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

Mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.(QS. An-Najm: 28)

(Nuzhatul A’yun, hlm. 425).

Hukum Berprasangka

Selanjutnya, kita membahas rincian hukum berprasangka. Karena tidak semua prasangka mengandung makna negatif, tidak semua prasangka dilarang. Berikut rincian hukum prasangka,

[1] Wajib

Seperti berprasangka baik (husnudzan) kepada Allah. Karena kebalikan dari itu, Su’udzan hukumnya haram jika ditujukan kepada Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ

Jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan husnudzan kepada Allah. (HR. Muslim 7410)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى

Allah berfirman, ‘Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku.. dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku’ (HR. Bukhari 7405 & Muslim 6981)

Termasuk juga husnudzan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada mukmin yang sholeh, seperti para sahabat atau orang mukmin yang lahiriyahnya baik.

[2] Haram

Tingkatan haramnya suudzan berbeda-beda. Suudzan yang paling haram adalah suudzan kepada Allah.

Allah mengancam akan memberikan hukuman kepada orang munafiq dan orang musyrik karena mereka suudzan kepada Allah. Allah berfirman,

وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ

“Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (QS. Al-Fath: 6)

Kemudian suudzan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian suudzan kepada orang-orang soleh, seperti para sahabat.

Karena itu, Allah perintahkan agar semacam ini dijauhi. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Al-Qurthubi mengatakan,

إن الظن القبیح بمن ظاهره الخیر لا یجوز والاثم هو ما یستحقه الظان من العقوبة

Prasangka yang jelek kepada orang yang lahiriyahnya baik, tidak diperbolehkan. Dan dosanya adalah hukuman yang akan didapatkan dari orang yang memiliki prasangka. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332).

[3] Dibolehkan

Dzan (prasangka) yang dibolehkan, adalah prasangka yang tidak mengantarkan kepada dosa.

Allah berfirman,

إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Pemahaman kebalikannya, ada sebagian prasangka yang bukan dosa.

Al-Qurthubi mengatakan,

والظن في الشریعة قسمان محمود ومذموم ، فالمحمود منه : ما سلم معه دین الظان والمظنون به عند بلوغه . والمذموم : ضده

Dzan dalam syariat ada 2: terpuji dan tercela. Dzan yang terpuji adalah dzan yang tidak membahayakan agama orang yang berprasangka dan orang yang menjadi sasaran prasangka, ketika itu sampai kepadanya. Sementara dzan yang tercela adalah dzan kebalikannya. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332).

Kemudian al-Qurthubi menyebutkan firman Allah di surat al-Hujurat: 12.

Diantara dzan yang boleh adalah dzan kepada orang yang secara lahiriyah dia jahat, atau terbiasa melakukan maksiat secara terang-terangan.

As-Syaukani mengatakan,

فأما أهل السوء والفسوق ، فلنا أن نظن بهم مثل الذي ظهر منهم

Untuk orang jahat, berakhlak jelek, menurut kami, kita boleh memiliki suudzan sesuai yang mereka tampakkan. (Fathul Qadir, 7/16)

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah suudzan kepada orang munafik. Beliau mengatakan kepada Aisyah,

مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا

Saya menyangka fulan dan fulan sama sekali tidak mengerti agama kita. (HR. Bukhari 6067)

kata Laits bin Sa’d, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua orang dari kalangan munafiq.

Ini juga yang dilakukan para sahabat, ketika mereka melihat ada orang yang secara lahiriyah bermasalah.

Seperti, prasangka para sahabat untuk orang yang tidak hadir shalat jemaah.

Ibnu Umar mengatakan,

إنا كنا إذا فقدنا الرجل في عشاء الآخرة أسأنا به الظن

Dulu, ketika kami tidak menemukan seseorang ketika jamaah isya, maka kami memiliki suudzan kepadanya.

Karena itu, boleh saja orang suudzan kepada orang lain yang memiliki gelagat bermasalah.

Demikian, Allahu a’lam.


Read more https://konsultasisyariah.com/29825-tidak-semua-prasangka-itu-dilarang.html

Prasangka Buruk Yang Dibolehkan

AKHLAQ DAN NASEHAT

Prasangka Buruk Yang Dibolehkan

Sebagaimana kita ketahui, bahwa berburuk sangka kepada orang lain adalah akhlak yang tercela dan dilarang dalam agama. Allah berfirman:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa”  (QS. Al-Hujuraat: 12).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallamjuga bersabda:

إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث

jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari-Muslim).

Inilah hukum asal prasangka buruk terhadap sesama Muslim, yaitu terlarang. Karena kehormatan seorang Muslim pada asalnya terjaga dan mulia.

Prasangka buruk yang dibolehkan

Namun ketahuilah, ada prasangka buruk yang dibolehkan. Syaikh As Sa’di menjelaskan surat Al Hujurat ayat 12 di atas: “Allah Ta’alamelarang sebagian besar prasangka terhadap sesama Mukmin, karena ‘sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa’. Yaitu prasangka yang tidak sesuai dengan fakta dan bukti-bukti” (Taisir Karimirrahman). Maknanya, jika suatu prasangka didasari bukti atau fakta, maka tidak termasuk ‘sebagian prasangka‘ yang dilarang.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan:

فالواجب على المسلم أن لا يسيء الظن بأخيه المسلم إلا بدليل، فلا يجوز له أن يتشكك في أخيه و يسيء به الظن إلا إذا رأى على أمارات تدل على سوء الظن فلا حرج

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim adalah hendaknya tidak berprasangka buruk kepada saudaranya sesama Muslim kecuali dengan bukti. Tidak boleh meragukan kebaikan saudaranya atau berprasangka buruk kepada saudaranya kecuali jika ia melihat pertanda-pertanda yang menguatkan prasangka buruk tersebut, jika demikian maka tidak mengapa” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/9619).

Beliau juga mengatakan:

فالواجب على كل مسلم، رجل أو امرأة، الواجب الحذر من سوء الظن، إلا بأسباب واضحة، وإلا فالواجب ترك الظن السيئ، لا بالمرأة ولا بالزوج ولا بالأولاد، ولا بأخي الزوج ولا بأبيه، ولا بغير ذلك، الواجب حسن الظن بالله، وحسن الظن بأخيك المسلم، أو بأختك المسلمة، وألا تسيء الظن، إلا بأسباب واضحة توجب التهمة، وإلا فالأصل البراءة والسلامة

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim, baik lelaki atau perempuan, wajib untuk menjauhi prasangka buruk. Kecuali ada sebab-sebab yang jelas (yang menunjukkan keburukan tersebut). Jika tidak ada, maka wajib meninggalkan prasangka buruk. Tidak boleh berprasangka buruk kepada istri, kepada suami, kepada anak, kepada saudara suami, kepada ayahnya atau kepada saudara Muslim yang lain. Dan wajib berprasangka baik kepada Allah, serta kepada sesama saudara dan saudari semuslim. Kecuali jika ada sebab-sebab yang jelas yang membuktikan tuduhannya. Jika tidak ada, maka hukum asalanya adalah bara’ah (tidak ada tuntutan) dan salamah(tidak memiliki kesalahan)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 21/147-148, http://bit.ly/1K2eJBN).

Maka prasangka yang didasari oleh bukti-bukti, atau pertanda, atau sebab-sebab yang menguatkan tuduhan itu dibolehkan. Semisal jika kita melihat seorang yang datang ke parkiran motor lalu membuka paksa kunci salah satu motor dengan terburu-buru, kita boleh berprasangka bahwa ia ingin mencuri. Atau kita melihat orang-orang berkumpul di pinggir jalan disertai botol-botol khamr dengan wajah kuyu dan mata sayu, kita boleh berprasangka bahwa mereka sedang mabuk-mabukan. Dan contoh semisalnya.

Macam-macam prasangka buruk

Jika telah kita pahami penjelasan di atas, ketahuilah bahwa para ulama membagi prasangka buruk atau suuzhan menjadi 4 macam:

Suuzhan yang haram, yaitu suuzhan kepada Allah dan suuzhan kepada sesama Mukmin tanpa bukti atau pertanda yang nyata.

Suuzhan yang dibolehkan, yaitu suuzhan kepada sesama manusia yang memang dikenal penuh keraguan, sering melakukan maksiat. Juga termasuk suuzhan kepada orang kafir. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

يحرم سوء الظن بمسلم، أما الكافر فلا يحرم سوء الظن فيه؛ لأنه أهل لذلك، وأما من عرف بالفسوق والفجور، فلا حرج أن نسيء الظن به؛ لأنه أهل لذلك، ومع هذا لا ينبغي للإنسان أن يتتبع عورات الناس، ويبحث عنها؛ لأنَّه قد يكون متجسسًا بهذا العمل

“diharamkan suuzhan kepada sesama Muslim. Adapun kafir, maka tidak haram berprasangka buruk kepada mereka, karena mereka memang ahli keburukan. Adapun orang yang dikenal sering melakukan kefasikan dan maksiat, maka tidak mengapa kita berprasangka buruk kepadanya. Karena mereka memang gandrung dalam hal itu. Walaupun demikian, tidak selayaknya seorang Muslim itu mencari-cari dan menyelidiki keburukan orang lain. Karena sikap demikian kadang termasuk tajassus“.

Suuzhan yang dianjurkan, yaitu suuzhan kepada musuh dalam suatu pertarungan. Abu Hatim Al Busti menyatakan:

من بينه وبينه عداوة أو شحناء في دين أو دنيا، يخاف على نفسه، مكره، فحينئذ يلزمه سوء الظن بمكائده ومكره؛ لئلا يصادفه على غرة بمكره فيهلكه

“orang yang memiliki permusuhan dan pertarungan dengan seseorang dalam masalah agama atau masalah dunia, yang hal tersebut mengancam keselamatan jiwanya, karena makar dari musuhnya. Maka ketika itu dianjurkan berprasangka buruk terhadap tipu daya dan makar musuh. Karena jika tidak, ia akan dikejutkan dengan tipu daya musuhnya sehingga bisa binasa”

Suuzhan yang wajib, yaitu suuzhan yang dibutuhkan dalam rangka kemaslahatan syariat. Seperti suuzhan terhadap perawi hadits yang di-jarh. (diringkas dari Mausu’atul Akhlak Durar Saniyyahhttp://www.dorar.net/enc/akhlaq/2283)

Siapa yang diberi udzur?

Dari penjelasan di atas juga kita ketahui bahwa, perkataan salaf semisal:

الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ

Seorang mu’min itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya

Tidak berlaku bagi mu’min yang dikenal gemar dengan kemaksiatan atau kefasikan. Adapun Mu’min yang tidak dikenal dengan kemaksiatan dan kefasikan, maka haram dinodai kehormatannya dan haram bersuuzhan kepadanya. Dan inilah hukum asal seorang Mu’min.

Terutama orang-orang Mu’min yang dikenal dengan kebaikan, maka hendaknya mencari lebih banyak alasan untuk berprasangka baik kepadanya. Bahkan, jika ia salah, hendaknya kita maafkan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ

Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).

dalam riwayat lain:

أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود

Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah, 638).

Jauhkan diri dari tuduhan dan hal yang bisa menimbulkan prasangka

Jika telah dipahami penjelasan di atas, yaitu boleh berprasangka buruk kepada seseorang jika disertai bukti atau pertanda yang jelas. Maka, konsekuensinya seorang Mukmin hendaknya menjauhkan diri dari hal yang dapat menimbulkan tuduhan dan prasangka. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

وَإِيَّاكَ وَمَا يُعْتَذَرُ مِنْهُ

Tinggalkanlah hal-hal yang membuatmu perlu meminta udzur setelahnya” (HR. Dhiya Al Maqdisi dalam Ahadits Al Mukhtarah, 1/131; Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/504; Ad Dulabi dalam Al Kuna Wal Asma’; Dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 1/689).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

Siapa yang menjauhkan diri dari syubhat, sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam syubhat, ia akan terjerumus dalam keharaman. Sebagaimana pengembala yang mengembalakan hewannya di dekat perbatasan sampai ia hampir saja melewati batasnya. Ketahuilah batas-batas Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya” (Muttafaqun ‘alaih).

Misalnya, tidak layak seorang Mukmin berada di dekat-dekat tempat perzinaan (walaupun tidak berzina) tanpa ada hajat, tidak layak seorang Mukmin sengaja menenteng botol khamr (walaupun tidak diminum) untuk bercanda atau iseng saja, tidak layak seorang Mukmin berada di restoran makanan haram (walaupun tidak dimakan) tanpa hajat, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan tuduhan lainnya.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Copyright 2018 Muslim.Or.Id. All Rights Reserved.
https://muslim.or.id/25800-prasangka-buruk-yang-dibolehkan.html

Wanita Melahirkan Tuannya.

Berlomba-Lomba Meninggikan Bangunan. Budak Wanita Melahirkan Tuannya. Banyaknya Pembunuhan

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

20. BERLOMBA-LOMBA MENINGGIKAN BANGUNAN
Ini adalah salah satu tanda Kiamat yang muncul dekat dengan masa kenabian. Setelah itu menyebar sehingga manusia berbangga-bangga membuat bangunan tinggi dan menghiasi rumah. Hal itu disebabkan karena dunia dibentangkan kepada kaum muslimin dan melimpahnya harta digenggaman mereka setelah banyaknya penaklukan. Demikianlah keadaannya dalam waktu yang lama hingga banyak dari mereka yang tunduk pada dunia, dan penyakit umat sebelum mereka menjalari mereka, yaitu berlomba-lomba mengumpulkan harta dan menggunakannya pada tempat yang tidak layak menurut pandangan agama, hingga orang-orang badui dan yang semisalnya dari kalangan orang-orang fakir dilapangkan untuk memperoleh dunia seperti yang lainnya. Mereka mulai mendirikan bangunan bertingkat dan berlomba-lomba di dalamnya.

Semua hal ini telah terjadi, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril Alaihissallam ketika ia bertanya tentang waktu terjadinya Kiamat:

وَلَكِنْ سَأُحَدِّثُكَ عَنْ أَشْـرَاطِهَا… (فَذَكَرَ مِنْهَا:) وَإِذَا تَطَاوَلَ رِعَاءُ الْبَهْمِ فِي الْبُنْيَانِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا.

“Akan tetapi aku akan menyebutkan kepadamu tanda-tandanya… (lalu beliau menyebutkan, di antaranya:) jika para pengembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan, maka itulah di antara tanda-tandanya.” [1]

Sementara dalam riwayat Muslim diungkapkan:

وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ.

“Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang lagi miskin UI yang mengembala domba, berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” [2]

Dan dijelaskan dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

يَا رَسُـولَ اللهِ، وَمَنْ أَصْحَابُ الشَّاءِ وَالْحُفَاةُ الْجِيَـاعُ الْعَالَةُ قَالَ: اَلْعَرَبُ.

“Wahai Rasulullah, dan siapakah para pengembala, orang yang tidak memakai sandal, dalam keadaan lapar dan yang miskin itu?” Beliau menjawab, “Orang Arab.” [3]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ… حَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ.

“Tidak akan datang hari Kiamat… hingga manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan.” [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Makna berlomba-lomba meninggikan bangunan adalah setiap orang yang membangun rumah ingin jika rumahnya itu lebih tinggi daripada yang lainnya. Mungkin pula maknanya adalah berbangga-bangga dengan memperhias dan memperindahnya, atau makna yang lebih umum dari itu. Hal itu telah banyak ditemukan bahkan bertambah banyak.”[5]

Hal ini telah nampak dengan jelas di masa sekarang ini. Orang-orang banyak berlomba mendirikan bangunan, merasa bangga dengan ketinggian, luas, dan keindahannya, bahkan masalah ini sampai pada pembangunan gedung pencakar langit yang terkenal di Amerika dan negeri-negeri lainnya.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil an-Nabiyya J ‘anil Iimaan wal Islaam, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/161-164).
[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/158, Syarh an-Nawawi).
[3]. Musnad Ahmad (IV/332-334, no. 2926), Syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
Al-Haitsami berkata, “Ahmad dan al-Bazzar meriwayatkan dengan yang semisalnya… dan di dalam sanad Ahmad ada Syahr bin Hausyab.” (Majma’uz Zawaa-id I/38-39).
Al-Albani berkata, “Sanad ini tidak mengapa.” Lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah.” (III/ 332, no. 1345).
[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab (tanpa bab) (XIII/81-82, al-Fat-h).
[5]. Fat-hul Baari (XIII/88).

21. BUDAK WANITA MELAHIRKAN TUANNYA (RABBATAHA) [1]
Dijelaskan dalam hadits Jibril Alaihissallam yang panjang, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ رَبَّتَهَا.

“Aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya; jika seorang (sahaya) wanita melahirkan tuannya.” [2] [Muttafaq ‘alaih]

Sementara dalam riwayat Muslim:

إِذَا وَلَدَتِ اْلأَمَةُ رَبَّهَا.

“Jika seorang sahaya wanita melahirkan tuannya.”

Para ulama berbeda pendapat tentang makna tanda Kiamat ini dengan berbagai pendapat. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan empat pendapat di antaranya:

Pertama : Al-Khaththabi berkata, “Maknanya adalah meluasnya kekuasaan Islam dan para pemeluknya dapat menguasai negeri-negeri syirik, dan banyaknya tawanan. Jika seorang laki-laki telah memiliki seorang budak wanita dan mendapatkan seorang anak darinya, maka anak itu bagaikan tuan bagi ibunya sendiri, karena ia adalah anak tuannya.”[3]

An-Nawawi rahimahullah mengungkapkan bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. [4]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Akan tetapi jika dikatakan bahwa itulah maknanya, maka perlu dipertimbangkan kembali [5], karena pengambilan para budak wanita telah ada sejak hadits tersebut diungkapkan. Bahkan, penaklukan negeri-negeri syirik dan penawanan telah banyak terjadi di awal Islam. Redaksi hadits memberikan isyarat akan terjadinya sesuatu menjelang Kiamat yang sebelumnya belum pernah terjadi.” [6]

Kedua: Para tuan menjual ibu anak-anak mereka. Hal itu banyak terjadi, sehingga kepemilikan wanita tersebut berputar yang pada akhirnya dibeli oleh anak-anaknya sendiri, sementara dia tidak menyadarinya.

Ketiga: Seorang budak wanita melahirkan anak merdeka bukan dari tuannya dengan jima’ syubhat, atau melahirkan seorang budak belian dengan nikah, atau hasil zina. Kemudian budak belian dalam dua gambaran tersebut dijual dengan akad yang sah, ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya hingga dibeli oleh putera dan puterinya sendiri. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat sebelumnya.

Keempat: Banyaknya perbuatan durhaka dari anak-anak. Sehingga, seorang anak memperlakukan ibunya seperti seorang tuan memperlakukan budak beliannya, dengan mencela, memukul dan memperkerjakannya. Maka dia disebut sebagai tuannya dengan makna yang tidak sebenarnya, atau yang dimaksud dengan kata rabb di sini adalah orang yang mengatur secara hakiki.

Kemudian Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lebih kuat menurutku, karena maknanya yang umum dan karena keadaan menunjukkan sesuatu yang dianggap langka -di sisi lain menunjukkan rusaknya keadaan- dan mengandung isyarat sesungguhnya hari Kiamat sudah dekat ketika segala urusan terjadi dengan terbalik, di mana seorang pengatur menjadi yang diatur, orang yang di bawah menjadi di atas, dan hal ini sesuai dengan sabda beliau tentang tanda yang lainnya bahwa seseorang yang berjalan tanpa alas kaki menjadi raja-raja di bumi.” [7]

Kelima: Pendapat kelima ini adalah pendapat al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya budak-budak wanita akan didapatkan di akhir zaman. Merekalah yang diisyaratkan dengan ungkapan hisymah (kerabat), di mana saat itu, budak wanita lebih diminati oleh majikannya daripada isteri-isterinya yang bukan budak. Karena itulah ungkapan tersebut disertakan dengan ungkapan:

وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ.

“Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang, juga miskin berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” [8]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Di dalam satu riwayat (dengan kata) rabbuha. Ibnul Atsir berkata, “Ar-Rabb dalam bahasa Arab secara mutlak maknanya adalah raja, tuan, pengatur, pembimbing, penegak, dan pemberi nikmat, tidak diungkapkan secara mutlak kecuali untuk makna yang dihubungkan kepada Allah. Adapun jika dimaksudkan kepada selain Allah, maka harus dihubungkan (kepadanya), seperti رَبُّ كَذَا (pemilik ini), an-Nihaayah (II/179).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalu Jibriil (I/114, al-Fat-h), Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/158, Syarh an-Nawawi).
[3]. Ma’aalimus Sunan ‘ala Mukhtashar Sunan Abi Dawud (VII/67), nash ini terdapat dalam Fat-hul Baari (I/122).
[4]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (I/158).
[5]. Al-Hafizh Ibnu Katsir pun menganggap bahwa pendapat ini tidak tepat.
Lihat kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/177-178).
[6]. Fat-hul Baari (I/122).
[7]. Fat-hul Baari (I/122-123) dengan diringkas.
[8]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/177) tahqiq Dr. Thaha Zaini.

22. BANYAKNYA PEMBUNUHAN
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْهَرْجُ، قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْقَتْلُ، الْقَتْلُ.

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga banyak al-harj,” mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah al-harj itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan, pembunuhan.” [HR. Muslim][1]

Sementara dalam riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallah anhu:

بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ أَيَّامُ الْهَرْجِ، يَزُولُ فِيهَا الْعِلْمُ، وَيَظْهَرُ فِيهَا الْجَهْلُ، قَالَ أَبُو مُوسَى: وَالْهَرْجُ: الْقَتْلُ، بِلِسَانِ الْحَبَشَةِ.

“Menjelang datangnya hari Kiamat akan ada hari-hari al-harj, saat itu ilmu hilang dan muncul kebodohan.” Abu Musa berkata, “Al-harj adalah pembunuhan menurut bahasa Habasyah.” [2]

Diriwayatkan dari Abu Musa Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ الْهَرْجَ. قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ؟ قَالَ الْقَتْلُ. قَالُوا أَكْثَرُ مِمَّا نَقْتُلُ، إِنَّا لَنَقْتُلُ الْعَامِ الْوَاحِدِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ أَلْفًا. قَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِقَتْلِكُمُ الْمُشْـرِكِينَ، وَلَكِنْ قَتْلُ بَعْضِكُمْ بَعْضًا. قَالُوا: وَمَعَنَا عُقُولُنَا يَوْمَئِذٍ. قَالَ: إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ، وَيُخَلَّفُ لَهُ هَبَاءٌ مِنَ النَّاسِ، يَحْسِبُ أَكْثَرُهُمْ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ وَلَيْسُوا عَلَى شَيْءٍ.

“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat akan ada al-harj.” Para Sahabat bertanya, “Apakah al-harj itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan.” Mereka berkata, “Lebih banyak daripada pembunuhan yang kita lakukan, sesungguhnya kita membunuh lebih dari tujuh ribu dalam satu tahun.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah pembunuhan yang kalian lakukan terhadap kaum musyrikin, akan tetapi pembunuhan sebagian dari kalian dengan yang lainnya.” Mereka berkata, “Bukankah kami memiliki akal saat itu,” beliau menjawab, “Sesungguhnya akan dicabut akal-akal penduduk zaman itu dan digantikan dengan manusia-manusia yang tidak berarti. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa mereka berada di atas kebenaran, padahal mereka tidak berada di atas kebenaran.” [3]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّـى يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ يَوْمٌ لاَ يَدْرِي الْقَاتِلُ فِيمَ قَتَلَ؟ وَلاَ الْمَقْتُولُ فِيمَ قُتِلَ فَقِيلَ: كَيْفَ يَكُونُ ذَلِكَ؟ قَالَ: الْهَرْجُ، الْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ.

‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah dunia lenyap hingga datang kepada manusia suatu hari di mana seorang pembunuh tidak tahu kenapa dia membunuh, demikian pula orang yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh,’ beliau ditanya, ‘Bagaimana hal itu (bisa terjadi)?’ Beliau menjawab, ‘Banyaknya pembunuhan, orang yang membunuh dan terbunuh berada di dalam Neraka.’” [4]

Apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini sebagiannya telah terbukti. Telah terjadi peperangan antara kaum muslimin pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu. Kemudian peperangan menjadi sering terjadi di berbagai tempat sementara tidak terjadi di tempat lainnya, juga pada sebagian zaman sementara tidak terjadi pada yang lainnya, dan tanpa diketahui sebab-sebab terjadinya dari sebagian besar peperangan itu.

Bahkan apa yang terjadi pada kurun-kurun terakhir berupa peperangan yang sangat dahsyat di antara umat manusia, yang memakan korban ribuan jiwa, tersebarnya fitnah di tengah-tengah manusia dengan sebab banyaknya pembunuhan. Hingga seseorang membunuh yang lainnya sementara dia tidak tahu faktor apa yang mendorongnya untuk membunuh.

Demikian pula, tersebarnya senjata-senjata penghancur masal memiliki peran penting terjadinya banyak pembunuhan. Sehingga manusia menjadi barang yang tidak berharga, dia disembelih sebagaimana kambing disembelih. Semua itu disebabkan oleh kelemahan dan hilangnya akal. Maka ketika fitnah itu terjadi, seseorang membunuh sementara yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh dan atas dasar apa ia dibunuh? Bahkan kita menyaksikan sebagian manusia membunuh orang lain hanya karena sebab-sebab yang sepele. Hal itu terjadi ketika kegalauan menimpa manusia, demikianlah sesuai dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ.

“Sesungguhnya akan dicabut akal-akal penduduk zaman itu”.

Hanya kepada Allah kita memohon keselamatan dan berlindung kepada-Nya dari segala fitnah yang nampak dan tersembunyi.

Telah dijelaskan (dalam sebuah riwayat) bahwa umat ini adalah umat yang dirahmati, ia tidak akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan siksanya di dunia berupa fitnah-fitnah, gempa, dan pembunuhan. Dijelaskan dalam hadits, dari Shadaqah bin al-Mutsanna, Rabah bin al-Harits meriwayatkan kepada kami, dari Abu Burdah, beliau berkata:

بَيْنَا أَنَا وَاقِفٌ فِي السُّوْقِ فِي إِمَارَةِ زِيَادٍ إِذْ ضَرَبْتُ بِإِحْدَى يَدَيَّ عَلَى الأُخْرَى تَعَجُّبًا، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَدْ كَانَتْ لِوَالِدِهِ صُحْبَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِمَّا تَعْجَبُ يَا أَبَا بُرْدَةَ؟ قُلْتُ: أَعْجَبُ مِنْ قَوْمٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ، وَدَعْوَتُهُمْ وَاحِدَةٌ، وَحَجُّهُمْ وَاحِدٌ، وَغَزْوُهُمْ وَاحِدٌ، يَسْتَحِلُّ بَعْضُهُمْ قَتْلَ بَعْضٍ. قَالَ: فَلاَ تَعْجَبْ ! فَإِنِّي سَمِعْتُ وَالِدِيْ أَخْبَرَنِيْ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ مَرْحُوْمَةٌ، لَيْسَ عَلَيْهَا فيِ اْلآخِرَةِ حِسَابٌ وَلاَ عَذَابٌ، إِنَّمَا عَذَابُهَا فيِ الْقَتْلِ وَالزَّلاَزِلِ وَالْفِتَنِ.

“Ketika aku sedang berdiri di sebuah pasar pada masa pemerintahan Ziyad, tiba-tiba aku memukul salah satu tanganku ke tangan yang lainnya karena merasa aneh. Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar di mana bapaknya adalah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata, ‘Apakah yang menjadikanmu merasa aneh wahai Abu Burdah?’ ‘Aku merasa aneh terhadap satu kaum di mana agama mereka adalah satu, dakwah mereka satu, haji mereka satu, dan peperangan mereka satu, akan tetapi sebagian mereka menganggap halal pembunuhan sebagian lainnya,’ jawabku. Dia berkata, ‘Jangan kau merasa aneh! Karena sesungguhnya aku mendengar bapakku mengabarkan kepadaku bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya umatku adalah umat yang disayangi, tidak ada hisab juga siksa baginya di akhirat, siksa hanyalah berupa pembunuhan, gempa bumi dan berbagai macam fitnah.’” [5]

Sementara dalam riwayat dari Abu Musa Radhiyallahu anhu:

إِنَّ أُمَّتِي أُمَّةٌ مَرْحُومَةٌ، لَيْسَ عَلَيْهَا فِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ إِنَّمَا عَذَابُهُمْ فِي الدُّنْيَا: الْقَتْلُ وَالْبَلاَبِلُ وَالزَّلاَزِلُ.

“Sesungguhnya umatku adalah umat yang dirahmati, tidak ada siksa baginya di akhirat, siksa mereka hanya di dunia berupa pembunuhan, kegalauan dan gempa bumi.” [6]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/13, Syarh an-Nawawi).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Zhuhuurul Fitan (XIII/14, al-Fat-h).
[3]. Musnad Imam Ahmad (IV/414, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal), Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan, bab at-Tatsabbut fil Fitnah (II/1309, no. 3909), dan Syarhus Sunnah, bab Asyraatus Saa’ah (XV/28-29, no. 4234).
Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (II/193, no. 2043).
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/35, Syarh an-Nawawi).
[5]. Mustadrak al-Hakim (IV/253-254), beliau berkata, “Sanadnya shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Hadits ini shahih, lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (II/684-686).
[6]. Musnad Ahmad (IV/410, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’sh Shaghiir (II/104, no. 1734), dan Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (II/684, no. 959).

Read more https://almanhaj.or.id/3181-20-22-berlomba-lomba-meninggikan-bangunan-budak-wanita-melahirkan-tuannya-banyaknya-pembunuhan.html

Ketika Ibu Melahirkan Majikan


Ketika Ibu Melahirkan Majikan

Salah satu tanda kiamat sudah dekat adalah ketika hamba sahaya melahirkan majikannya. Maksudnya seorang ibu melahirkan anak yang seperti majikan baginya dan ibunya diperlakukan sebagai hamba sahaya. Apakah ibu-ibu hari ini sudah seperti itu?


Dalam sebuah dialog yang cukup panjang antara malaikat Jibril as dengan Nabi Muhammad saw, ada satu cuplikan dialog tentang kapan kiamat akan terjadi. Saat itu Jibril bertanya kepada Nabi saw:

قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ

Jibril bertanya: Beritahukan kepadaku tentang waktu kiamat?” Nabi menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” Jibril bertanya: “Lalu kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya?” Beliau menjawab: “Apabila seorang hamba sahaya melahirkan majikannya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing, saling meninggikanbangunan.” (Shahih Muslim kitab al-iman bab ma’rifah al-iman wal-islam wal-qadr wa ‘ilmis-sa’ah no. 102, bab al-iman ma huwa wa bayani khishalihi no. 106, bab al-islam ma huwa wa bayani khishalihi no. 108).

Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa ketika Nabi saw selesai menceritakan tanda-tanda kiamat, Nabi saw bersabda:

فِى خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللَّهُ. ثُمَّ تَلاَ النَّبِىُّ ﷺ (إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ) الآيَةَ.

Ada lima hal yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Kemudian Nabi saw membaca ‘Sesungguhnya Allah, di sisi-Nyalah pengetahuan kiamat…”

Ayat yang dimaksud Nabi saw adalah:

إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلۡغَيۡثَ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡأَرۡحَامِۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٞ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدٗاۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٖ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ ٣٤

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah (1) pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan (2) Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan (3) mengetahui apa yang ada dalam rahim. (4) Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. (5) Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Luqman [31] : 34).

Artinya, dalam hal kapan terjadinya kiamat, juga empat hal lainnya yang disebutkan dalam ayat di atas, tidak ada seorang pun yang akan tahu. Kalaupun ada yang tahu, itu bukan tahu, melainkan sok tahu. Kalau ternyata ada yang benar terjadi sesuai ‘kesok-tahuannnya’, itu bukan betul-betul benar, tetapi kebetulan benar.

Yang terpenting dari kiamat itu adalah meyakini akan terjadinya dan bersiap menghadapinya. Termasuk ketika tanda-tandanya sudah hadir sebagaimana disabdakan Nabi saw di atas.

Terkait ciri yang kedua, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa yang dimaksud, erat kaitannya dengan sabda Nabi saw di riwayat al-Bukhari: “Apabila orang-orang yang tidak beralas kaki dan tidak berpakaian menjadi pemimpin manusia.” (Shahih al-Bukhari kitab at-tafsir bab qaulihi innal-Laha ‘indahu ‘ilmus-sa’ah no. 4777 dan Shahih Muslim No. 106). Maksudnya, apabila orang-orang yang tidak layak menjadi pemimpin malah jadi pemimpin. Ciri-cirinya, mereka bernafsu sekali dalam memperbanyak harta dan rumah. Bukannya memajukan agama dan menyejahterakan rakyat (Fathul-Bari kitab al-iman bab su`al Jibril ‘anil- iman wal- islam wal-ihsan wa ‘ilmis-sa’ah).

Meski demikian, hemat penulis, tidak salah juga jika dipahami sebagaimana zhahirnya. Para penggembala dengan kriteria di atas itu maksudnya tentu orang-orang Arab badwi. Artinya, jika orang-orang Arab sudah saling meninggikan bangunan. Dan itu terbukti dengan gedung-gedung pencakar langit yang paling tinggi yang ada di jazirah Arab.

Adapun ciri yang pertama, yakni “hamba sahaya yang melahirkan majikannya”, menurut al-Hafizh, pengertiannya ada empat:

Pertama, hamba sahaya melahirkan anak dari majikannya. Yakni dia di-jima’ oleh majikannya, lalu melahirkan. Dalam Islam, maka anaknya itu bukan lagi berstatus hamba sahaya, melainkan merdeka seperti majikannya.

Kedua, hamba sahaya yang melahirkan anak dari majikannya (seperti yang pertama), lalu si hamba sahaya itu dijual. Tatkala si anak sudah besar, ia membeli hamba sahaya yang menjadi ibunya tersebut. Tapi perlu dicatat, menjual ibu dengan memisahkannya dari anak (bai’ ummahâtil-aulâd) hukumnya haram. Terjadinya hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran sudah dianggap tidak melanggar.

Ketiga, kasusnya sama dengan yang kedua, hanya si hamba sahaya itu melahirkan anak bukan dari majikannya, tapi karena zina, atau menikah dengan orang merdeka. Ia lalu dipisahkan dari anaknya; bisa karena diusir majikan, atau tetap ditinggal dan anaknya saja yang dibawa. Ketika besar, anaknya membeli ibunya; mungkin ia tahu ataupun tidak bahwa itu ibunya.

Keempat, ibu sudah dijadikan seperti hamba sahaya oleh anak-anaknya. Dan mereka, anak-anak, sudah berperilaku seperti majikan kepada ibu-ibunya.

Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani, pengertian keempat inilah yang paling tepat (Fathul-Bari 1 : 80, kitab al-iman bab su`al Jibril ‘anil- iman wal- islam wal-ihsan wa ‘ilmis-sa’ah).

Menyimak pengertian yang paling tepat sebagaimana dinyatakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, tinggal tugas kita umat Islam instrospeksi; apakah yang disabdakan Nabi saw di atas sudah terjadi? Sudah siapkah kita mengantisipasinya sehingga tidak ikut terbawa arus ketidakbenaran? Ataukah justru kita sendiri ada di arus ketidakbenaran tersebut?

Pihak yang salah tentunya adalah anak-anak itu sendiri. Mereka durhaka dan berbuat durjana kepada orangtua mereka, terlebih ibu kandungnya sendiri. Mereka memperlakukan ibu sebagaimana halnya hamba sahaya; membentak, menyuruh-nyuruh, dan menjadikannya sebagai pembantu.

Namun, anak tentu tidak salah sendirian. Faktor-faktor kesalahannya mayoritasnya tentu ada di orangtua. Sinyalemen Nabi saw bahwa kiamat sudah dekat jika ibu melahirkan majikannya, sebuah pertanda yang jelas juga bahwa itu disebabkan ibunya sendiri yang sudah memperlakukan anaknya seperti majikan. Ibu yang seharusnya tegas menyuruh anaknya shalat sejak usianya 7 tahun, malah sering terlambat shalat. Jangankan membangunkan anaknya shalat shubuh, ia sendirinya pun sering bangun kesiangan di waktu shubuh. Jangankan menyuruh anaknya shalat, ia sendiri pun masih harus disuruh-suruh.  Ibu yang seharusnya tegas menyuruh anaknya belajar Islam, ia senidirnya pun malas dari mempelajari Islam. Ibu yang seharusnya tegas menyuruh anak perempuannya berjilbab, malah ia sendirinya pun susah berjilbab. Kalaupun berjilbab, jauh dari kata syar’i.

Ibu yang seharusnya berwibawa di hadapan anaknya, justru kehilangan wibawanya disebabkan apa yang dikatakannya tidak ada yang baik; apa yang dilakukannya jauh dari kebenaran; sikapnya sering tidak sesuai dengan prinsip kebenaran yang dianutnya.

Akibatnya, ia akan memperlakukan anaknya seperti majikan. Tidak berani menyuruh, memerintah, dan melarang, karena segan. Atau ia sendirinya kalah wibawa di hadapan anak-anaknya, sehingga anak-anaknya menjadi tidak segan durhaka kepadanya.

Akan tetapi kunci semuanya tetap ada di ayah selaku kepala rumah tangga. Ia yang bertanggung jawab dengan semua kebobrokan yang terjadi di rumahnya. Sebab Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. at-Tahrim [66] : 6). Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya (QS. Thaha [20] : 132).

Gerakan Infaq 1Juta




Email : contact@attaubah-institute.com

© 2016 VMag | VMag by AccessPress Themes.