NURUL ABROR

Kamis, 28 Februari 2019

Tafsir Surat Al-Baqarah, ayat 155-157

Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir Surat Al-Baqarah, ayat 155-157

{وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157) }

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian. (Muhammad: 31)
Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan kesenangan dan adakalanya mengujinya dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

فَأَذاقَهَا اللَّهُ لِباسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ

Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan. (An-Nahl: 112)
Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman:

{بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ}

dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. (Al-Baqarah: 155)
Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit. 
Sedangkan firman-Nya:

{وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ}

dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155) 
Yakni lenyapnya sebagian harta.

{وَالأنْفُسِ}

dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155)
Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum kerabat, dan kekasih-kekasih.

{وَالثَّمَرَاتِ}

dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah: 155)
Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak menghasilkan buahnya sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini dan yang semisal dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala; dan barang siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di penghujung ayat ini disebutkan:

{وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ}

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)
Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna yarg dimaksud dengan al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u ialah puasa bulan Ramadan, naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus ialah berbagai macam sakit, dan samaratialah anak-anak. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar yang mendapat pahala dari Allah ialah mereka yang disebutkan di dalam firman berikut:

{الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (Al-Baqarah: 156)
Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat tersebut manakala mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat biji sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti. Karena itulah maka Allah Swt. memberita-hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya:

{أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ}

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157)
Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt. Sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah. 

*************

Firman Allah Swt.:

{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ}

Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157)
Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa sebaik-baik kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah dan rahmat yang sempurna. Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:  Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157) adalah pahala tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari kedua sisi timbangan hingga beratnya bertambah. Demikian pula keadaan mereka; mereka diberi pahala yang setimpal berikut tambahannya.
Sehubungan dengan pahala membaca istirja' di saat tertimpa musibah, banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud dengan istirja'ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua dikembalikan).
Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang mengatakan: 

حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ -يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ -عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ الْمُطَّلِبِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَتَانِي أَبُو سَلَمَةَ يَوْمًا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا سُررْتُ بِهِ. قَالَ: "لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ". قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَحَفِظْتُ ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ اسْتَرْجَعْتُ وَقُلْتُ: اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخَلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهُ، ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى نَفْسِي. فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ لِي خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا انْقَضَتْ عدَّتي اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَنَا أَدْبُغُ إِهَابًا لِي -فَغَسَلْتُ يَدِي مِنَ القَرَظ وَأَذِنْتُ لَهُ، فَوَضَعْتُ لَهُ وِسَادَةَ أَدَمٍ حَشْوُها لِيفٌ، فَقَعَدَ عَلَيْهَا، فَخَطَبَنِي إِلَى نَفْسِي، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ مَقَالَتِهِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بِي أَلَّا يَكُونَ بِكَ الرَّغْبَةُ، وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ، فِيَّ غَيْرة شَدِيدَةٌ، فَأَخَافَ أَنْ تَرَى مِنِّي شَيْئًا يُعَذِّبُنِي اللَّهُ بِهِ، وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دخلتُ فِي السِّنِّ، وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ، فَقَالَ: "أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي". قَالَتْ: فَقَدْ سلَّمْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَتَزَوَّجَهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت أُمُّ سَلَمَةَ بَعْدُ: أَبْدَلَنِي اللَّهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ، رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul Had, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Salamah datang kepadanya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Salamah berkata, "Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu ucapan yang membuat hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersabda:  Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, "Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya," melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut darinya. Ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku ber-istirja'' dan kuucapkan pula, 'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan berilah daku ganti yang lebih baik daripada dia.' Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari manakah aku mendapatkan suami yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala masa idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika itu aku sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci kedua tanganku dari cairan qaraz (bahan penyamak), dan aku izinkan beliau Saw. masuk, lalu aku letakkan sebuah bantal kulit yang berisikan sabut, kemudian Rasulullah Saw. duduk di atasnya dan mulailah beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw. selesai dari ucapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka kalau engkau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah seorang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bila kelak engkau akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebabkan Allah akan mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita yang sudah berumur serta mempunyai banyak tanggungan anak-anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda,'Adapun mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan, sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami (berusia lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula'." Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan diriku kepada Rasulullah Saw." Kemudian Rasulullah Saw. mengawininya. Sesudah itu Ummu Salamah mengatakan, "Allah Swt. telah menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik daripada dirinya, yaitu Rasulullah Saw." 
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu Salamah. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

"مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا" قَالَتْ: فَلَمَّا تُوُفي أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ: رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan memberinya pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan kepadanya apa yang lebih baik daripadanya.  Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya kepadaku dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah Saw. sendiri."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، وعَبَّاد بْنُ عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ ابْنَةِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مُسَلَمَةَ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ عَهْدُهَا -وَقَالَ عَبَّادٌ: قَدُمَ عَهْدُهَا -فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ اسْتِرْجَاعًا، إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ مِثْلَ أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah berlalu —Abbad mengatakan, "Sekalipun waktunya telah silam"—, kemudian ingatannya itu menggerakkannya untuk membaca istirja', melainkan Allah memperbarui untuknya saat itu dan memberikan kepadanya pahala yang semisal dengan pahala ketika di hari ia tertimpa musibah.
Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah di dalam kitab sunannya, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah-nya. Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan pula hadis yang sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah, dari ayahnya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ السَّالَحِينِيُّ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ قَالَ: دفنتُ ابْنًا لِي، فَإِنِّي لَفِي الْقَبْرِ إِذْ أَخَذَ بِيَدِي أَبُو طَلْحَةَ -يَعْنِي الْخَوْلَانِيُّ -فَأَخْرَجَنِي، وَقَالَ لِي: أَلَا أُبَشِّرُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عرْزَب، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ :يَا مَلَكَ الْمَوْتِ، قبضتَ وَلَدَ عَبْدِي؟ قَبَضْتَ قُرَّة عَيْنِهِ وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ: حَمِدَك وَاسْتَرْجَعَ، قَالَ: ابْنُو لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وسمُّوه بيتَ الْحَمْدِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru menguburkan salah seorang anakku yang meninggal dunia. Ketika aku masih berada di pekuburan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Talhah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku dari pekuburan itu dan berkata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita gembira kepadamu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau'." Abu Talhah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Auzab, dari Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut anak hamba-Ku, engkau telah mencabut nyawa penyejuk mata dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab, "Ya." Allah Swt. bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?" Malaikat maut menjawab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi(rumah pujian)."
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ali ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu Nasr, dari Ibnul Mubarrak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa ibnu Sinan.

Juz 2  Surat Al Baqarah 

http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-155-157.html?m=1

IMAM SHALAT WAJIB DIIKUTI!

IMAM SHALAT WAJIB DIIKUTI!

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

SIAPA YANG BERHAK BERADA DI BELAKANG IMAM?
Bila jumlah makmum banyak dan dapat membentuk satu atau lebih shaf (barisan), maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ahlul ahlam wan nuha (orang yang berakal baligh dan berilmu) untuk berada di belakang imam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا وَإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ

“Hendaknya (yang) berada di dekatku (di belakangku) dari kalian adalah orang yang berakal dan berilmu. Kemudian diikuti orang-orang berikutnya (tiga kali). Dan jauhilah (suara) keributan pasar-pasar”. [HR Muslim, no. 255].

Imam Nawawi menyatakan, dalam hadits ini terdapat perintah, yakni mendahulukan yang paling utama lalu di bawahnya, untuk yang berada di belakang imam, karena ia (ahlul ahlam wan nuha, Red) lebih pantas dimuliakan. Dan terkadang imam membutuhkan pengganti, sehingga ia lebih berhak. Juga karena ia akan dapat memperingatkan imam, kalau imam lupa ketika selainnya tidak mengetahuinya. Juga untuk menerapkan dengan baik tata cara shalat, menjaganya dan menukilkannya, serta mengajari tata cara tersebut sehingga orang yang berada di belakangnya mencontoh perbuatannya.[1]

Hal seperti ini, tampak dijelaskan oleh perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يَلِيَهُ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senang menjadikan orang-orang Muhajirin dan Anshar berada di belakangnya, agar mereka mencontoh dari beliau.” [Hadits shahih, riwayat Ibnu Majah, 977 dan Ahmad, 3/100, hadits shahih Lihat Shahih Fiqhus Sunnah, 1/534].

Oleh karena itu, saat melaksanakan shalat berjama’ah, semestinya memperhatikan hal ini. Yaitu memberi tempat kepada ahlul ahlam wan nuha, supaya berdiri di belakang imam. Sehingga shalat berjama’ah yang dilaksanakan tersebut bersesuaian dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hal ini, ahlul ahlam wan nuha lebih berhak menempati shaf awal. Bahkan diperbolehkan memotong shaf agar dapat berdiri di belakang imam, seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat yang mulia, yaitu Ubaiy bin Ka’ab, sebagaimana diceritakan Qais bin ‘Abad :

بَيْنَا أَنَا فِي الْمَسْجِدِ فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ فَجَبَذَنِي رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي جَبْذَةً فَنَحَّانِي وَقَامَ مَقَامِي فَوَاللَّهِ مَا عَقَلْتُ صَلَاتِي فَلَمَّا انْصَرَفَ فَإِذَا هُوَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ فَقَالَ يَا فَتَى لَا يَسُؤْكَ اللَّهُ إِنَّ هَذَا عَهْدٌ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا أَنْ نَلِيَهُ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَقَالَ هَلَكَ أَهْلُ الْعُقَدِ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ وَاللَّهِ مَا عَلَيْهِمْ آسَى وَلَكِنْ آسَى عَلَى مَنْ أَضَلُّوا قُلْتُ يَا أَبَا يَعْقُوبَ مَا يَعْنِي بِأَهْلِ الْعُقَدِ قَالَ الْأُمَرَاءُ

“Ketika aku berada di suatu masjid di barisan pertama, tiba-tiba ada seseorang di belakangku yang menarikku dengan kuat, lalu ia menggeserku dan menempati tempatku tersebut. Demi Allah, aku tidak dapat khusyu’ dalam shalat. Ketika selesai, ternyata ia adalah Ubaiy bin Ka’ab. Lalu beliau berkata: “Wahai anak muda, semoga Allah melindungimu dari kejelekan. Sesungguhnya ini adalah wasiat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami, untuk berada di belakang beliau,” kemudian Ubaiy bin Ka’ab pun menghadap kiblat dan berkata: “Demi Rabb Ka’bah, celakalah ahlul ‘uqdah,” tiga kali. Kemudian beliau berkata : “Demi Allah, aku tidak merasa sedih atas mereka, namun merasa sedih atas orang yang mereka sesatkan,” lalu aku bertanya: “Wahai Abu Ya’qub, siapa yang dimaksud ahlul ‘uqdah itu?” Beliau menjawab,”Penguasa.” [HR an Nasa-i, 2/69, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no.1573. Dikatakan oleh Masyhur Hasan dalam al Qaulul Mubin, halaman 220, bahwa sanadnya hasan].

KEWAJIBAN MENGIKUTI IMAM
Imam dijadikan sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Dengan diwajibkannya mengikuti imam ini, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tertinggal sebagian shalatnya (masbuq) untuk memulai dan mengikuti imam dalam semua keadaan. Sebagaimana disampaikan Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal :

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الصَّلَاةَ وَالْإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الْإِمَامُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan shalat dan imam sedang dalam suatu keadaan, maka hendaklah ia berbuat seperti imam berbuat.” [HR at Tirmidzi, dan dishahihkan al Albani dalam Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 484]

Abu Isa at Tirmidzi berkata,”Para ulama menyatakan, apabila seseorang datang dan imam dalam keadaan sujud, maka hendaknya ia sujud, dan tidak dianggap mendapat satu raka’at (bersama imam) apabila ia tidak mendapatkan ruku’ bersama imam.”

Dalam permasalahan mengikuti imam dalam shalat berjamaah ada empat keadaan para ma’mum :

Pertama : Mutaba’ah (Mengikuti Imam).
Pengertiannya, seseorang memulai melakukan perbuatan shalat, langsung, setelah imam memulainya, namun tidak bersamaan. Inilah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ

“Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan kalian jangan bertakbir sampai ia bertakbir. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah, dan kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’. Apabila ia mengatakan “sami’allahu liman hamidah”, maka katakanlah “Rabbana walakal hamdu”. Apabila ia sujud, maka sujudlah, dan kalian jangan sujud sampai ia sujud.” [HR Abu Dawud, no. 511]

Begitu pula dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disampaikan Bara` bin ‘Azib :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لَمْ يَحْنِ أَحَدٌ مِنَّا ظَهْرَهُ حَتَّى يَقَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدًا ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila mengucapkan “sami’allahu liman hamidah”, tidak ada seorangpun dari kami yang mengangkat punggungnya, sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, kemudian barulah kami sujud setelahnya.”[HR Bukhari, no. 649]

Kedua : Musabaqah (Mendahului Imam).
Pengertiannya, seseorang mendahului imam dalam perbuatan shalat, seperti bertakbir sebelum imam bertakbir, atau ruku’ sebelum imam ruku’. Mendahului imam, menurut kesepakatan para ulama nya, hukumnya haram. Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat adanya larangan mendahului imam, di antaranya:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي إِمَامُكُمْ فَلَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ وَلَا بِالْقِيَامِ وَلَا بِالِانْصِرَافِ

Dari Anas , ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat. Ketika telah selesai shalat, beliau menghadap kami dengan wajahnya, lalu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dengan ruku’, sujud, berdiri atau selesai”. [HR Muslim, no. 426].

Rasulullah memberikan ancaman keras bagi seseorang yang mendahului imam, seperti disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam akan Allah rubah kepalanya menjadi kepala himar (keledai)”. [Muttafaqun ‘alaihi]

Lebih jelasnya, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin berkata,”Yang benar adalah, ketika seseorang mendahului imam dalam keadaan mengetahui dan sadar, maka shalatnya batal. Apabila ia tidak mengetahui atau lupa, maka shalatnya sah. Kecuali udzurnya (lupa, atau tidak tahu) hilang sebelum imam menyusulnya, maka ia harus kembali melakukan amalan yang dilakukan sebelum (gerakan) imam, yang ia telah mendahuluinya setelah imam. Maka apabila tidak melakukan hal tersebut dalam keadaan mengetahui dan sadar, maka shalatnya batal. Jika tidak, maka tidak batal”. [2]

Ketiga : Muwafaqah (Menyamai Imam).
Pengertiannya, melakukan perbuatan dan perkataan bersamaan dengan gerakan dan ucapan imam .

Muwafaqah ini ada dua jenis.
1. Menyamai imam dalam perkataan, maka ini tidak mengapa, kecuali dalam takbiratul ihram dan salam. Adapun dalam takbiratul ihram, seperti bertakbir sebelum imam menyempurnakan takbiratul ihram, maka shalatnya belum dianggap sama sekali, karena harus melakukan takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram.

Sedangkan dalam salam, para ulama menyatakan, dimakruhkan salam bersama imam, baik salam pertama maupun yang kedua. Adapun bila salam pertama setelah imam selesai salam pertama, dan mengucapkan salam kedua setelah imam selesai salam kedua, maka ini tidak mengapa. Namun yang lebih utama, tidak mengucapkan salam kecuali setelah imam melakukan dua salam.

2. Menyamai imam dalam gerakan shalat, hukumnya makruh. Dan ada yang menyatakan menyelisihi sunnah, tetapi yang rajih adalah makruh.

Contoh muwafaqah ini seperti, ketika imam mengatakan “Allahu Akbar” untuk ruku’ dan mulai turun, lalu ma’mum juga turun menyamai imam tersebut, maka perbuatan seperti ini hukumnya makruh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ

Apabila ia ruku’, maka ruku’lah dan kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’. [3]

Keempat : At Takhalluf (Tertinggal Oleh Imam).
Pengertiannya adalah, terlambat dalam melakukan amalan shalat dengan imam, seperti imam telah sujud dan sang makmum baru ruku’.

At Takhalluf ini ada dua jenis.
1. Takhalluf dengan udzur.
Apabila karena udzur, maka seorang ma’mum melakukan amalan yang tertinggal tersebut dan mengikuti imam. Demikian ini tidak masalah, walaupun berupa satu rukun yang sempurna atau dua rukun. Seandainya seseorang lupa, atau lalai, atau tidak mendengar imamnya, hingga imam mendahuluinya satu rukun atau dua rukun, maka ia (ma’mum) melakukan gerakan yang tertinggal dan langsung mengikuti imamnya. Kecuali, jika imam sampai pada posisi yang sama dengannya, maka ia melakukan amalan dan tetap bersama imam. Ia mendapatkan satu raka’at yang tergabung dari dua raka’at imam, yaitu satu raka’at yang ia tertinggal dan raka’at yang imam sampai padanya, ketika ia dalam keadaan posisi tersebut.

Contohnya, seseorang shalat berjamaah bersama imam, lalu imam ruku’, berdiri, sujud, duduk antara dua sujud dan sujud kedua lalu bangkit sampai berdiri. Sementara orang ini (yaitu ma’mum) tidak mendengar suara takbir, kecuali pada raka’at kedua. Misalnya, dikarenakan suara imam sangat pelan.

Contoh lainnya, ketika dalam shalat Jum’at, ia (ma’mum) mendengar imam membaca surat al Fatihah kemudian listrik mati -yang menyebabkan pengeras suara ikut mati, sehingga suara imam tidak terdengar- lalu imam menyempurnakan raka’at pertama dan sudah berdiri. Sementara itu, karena suara imam tak terdengar, ada seorang ma’mum yang menyangka imam belum ruku’ di raka’at pertama. Tiba-tiba, ia mendengar imam membaca surat al Ghasyiyah, maka ia (ma’mum) tetap bersama imam, dan raka’at kedua imam menjadi raka’at pertamanya. Sehingga bila imam salam, maka ia (ma’mum) mengqadha raka’at kedua.

Apabila ma’mum mengetahui ketertinggalannya dari imam sebelum imam kembali ke posisinya, maka ia (ma’mum) mengqadha, lalu mengikuti imamnya.

Contohnya, ada seseorang mengerjakan shalat dengan imam. Lalu, imam ruku’, dan ia tidak mengetahui imamnya sedang ruku’. Ketika imam mengucapkan “sami’allahu liman hamidah”, ia mendengarnya. Bila seperti ini keadaannya, maka kepada ma’mum tersebut dikatakan : “Ruku’lah dan berdirilah; setelah itu ikuti imam”, sehingga ia mendapatkan raka’at, karena ketertinggalannya berasal dari udzur”. [4]

2. Takhalluf tanpa udzur, meliputi dua jenis.
– Takhalluf fi ar rukn (pada rukun ).
Pengertiannya, tertinggal dari mengikuti imam, namun masih mendapati imam pada rukun berikutnya.

Contohnya, imam ruku’ dan ma’mum masih menyisakan satu ayat atau dua ayat, lalu ma’mum tetap berdiri menyempurnakan kekurangan tersebut. Namun ma’mum itu pun ruku’ dan mendapatkan imam belum bangun dari ruku’nya, maka raka’at tersebut shahih, namun perbuatannya menyelisihi sunnah. Karena, yang disyariatkan adalah memulai ruku’ ketika imam sampai pada ruku’, dan tidak memperlambat yang menyebabkan ia tertinggal, dengan dasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا

Apabila ia ruku’, maka ruku’lah.

– Takhalluf bi ar rukn (dengan rukun).
Pengertiannya, seorang imam mendahului ma’mum satu rukun, yaitu imam ruku’ dan berdiri sebelum ma’mum ruku’. Para ahli fiqih menyatakan bahwa, hukum takhalluf sama dengan hukum mendahului imam. Apabila tertinggal satu ruku’, maka shalatnya batal, sebagaimana bila mendahului imam. [5]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Pendapat yang rajih, sesuai yang kita rajihkan dalam masalah mendahului imam adalah, bila tertinggal satu rukun tanpa udzur, maka shalatnya batal, baik yang tertinggal itu ruku’ atau selainnya”. [6]

MENYAMBUNG SUARA TAKBIR IMAM
Masalah ini bergantung kepada kebutuhannya. Yaitu, jika memang dibutuhkan, seperti di masjid yang besar dan suara tidak bisa terdengar sampai ke barisan belakang, maka dalam keadaan seperti ini, menyambung suara takbir imam disyariatkan. Dasarnya adalah hadits ‘Aisyah yang berbunyi:

فَتَأَخَّرَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَعَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جَنْبِهِ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ التَّكْبِيرَ

“Lalu Abu Bakar mundur dan Nabi duduk di sampingnya, sedangkan Abu Bakar memperdengarkan (kepada) orang-orang takbir (Nabi)”. [Muttafaqun ‘alaihi]

Oleh karena itu perlu diingat, jika tidak ada kebutuhan, maka hal ini tidak disyariatkan, sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Tidak ada perselisihan di antara para ulama, bahwa tabligh ini (yaitu, menyambung suara takbir imam dalam shalat, Red), jika tanpa hajat (kebutuhan), (maka) tidak dianggap baik; bahkan sebagian ulama memandangnya makruh”.[7]

Di bagian lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Tidak disyariatkan mengeraskan takbir di belakang imam yang menjadi penyambung (suara imam) tanpa hajat (kebutuhan); (demikian) menurut kesepakatan para imam. Karena Bilal dan selainnya, tidak pernah menyambung suara (tabligh) di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada juga yang menyambung suara takbir di belakang para khulafaur rasyidin. Namun ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau pernah mengimami shalat sekali dengan suara yang lemah. Dan Abu Bakar yang shalat di samping beliau n memperdengarkan takbir. Maka dari kisah ini, para ulama mengambil dalil tentang disyariatkannya menyambung takbir ketika ada hajat (kebutuhan), seperti lemahnya suara. Adapun selain itu, para ulama sepakat, perbuatan tersebut makruh dan tidak disyariatkan. [8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan : “Adapun at tabligh (yakni, menyambung suara takbir imam, Red), tanpa hajat (kebutuhan) adalah perbuatan bid’ah yang dibenci, berdasarkan kesepakatan para imam”.[9]

MENUNJUK PENGGANTI IMAM
Apabila imam shalat mendapatkan udzur ketika dalam shalat, seperti terkena pembatal-pembatal shalat, maka imam diperbolehkan menunjuk penggantinya dari antara para ma’mum untuk menyempurnakan shalatnya. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits, di antaranya hadits Sahl bin Sa’ad as Sa’idi yang panjang, tentang kepergian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Bani Amru bin Auf untuk mendamaikan perselisihan di antara mereka, lalu Abu Bakar mengimami shalat.

Di antara isi hadits tersebut:

فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي صَلَاتِهِ فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ امْكُثْ مَكَانَكَ فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَدَيْهِ … ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ وَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Lalu datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati orang-orang telah shalat, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerobos sampai berdiri di barisan shalat. Lalu orang-orang tepuk tangan. (Adapun) Abu Bakar, waktu itu tidak melirik dalam shalatnya. Tetapi ketika banyak yang bertepuk tangan, maka ia menengok ke samping dan melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat untuknya agar ia tetap pada posisinya. Kemudian Abu Bakar mengangkat kedua tangannya … Kemudian Abu Bakar mundur hingga sejajar dengan shaf (barisan) dan Rasulullah maju. Ketika selesai, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Abu Bakar, apa yang mencegahmu untuk tetap (jadi imam) ketika aku perintahkan?” Abu Bakar menjawab,”Tidaklah boleh Ibnu Abi Quhafah shalat di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [Muttafaqun ‘alaihi]

Juga terdapat riwayat Amru bin Maimun yang panjang, tentang kisah terbunuhnya Umar Ibnul Khaththab. Di antara isinya adalah:

فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ كَبَّرَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ قَتَلَنِي أَوْ أَكَلَنِي الْكَلْبُ حِينَ طَعَنَهُ فَطَارَ الْعِلْجُ بِسِكِّينٍ ذَاتِ طَرَفَيْنِ لَا يَمُرُّ عَلَى أَحَدٍ يَمِينًا وَلَا شِمَالًا إِلَّا طَعَنَهُ حَتَّى طَعَنَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا مَاتَ مِنْهُمْ سَبْعَةٌ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ طَرَحَ عَلَيْهِ بُرْنُسًا فَلَمَّا ظَنَّ الْعِلْجُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ نَحَرَ نَفْسَهُ وَتَنَاوَلَ عُمَرُ يَدَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدَّمَهُ فَمَنْ يَلِي عُمَرَ فَقَدْ رَأَى الَّذِي أَرَى وَأَمَّا نَوَاحِي الْمَسْجِدِ فَإِنَّهُمْ لَا يَدْرُونَ غَيْرَ أَنَّهُمْ قَدْ فَقَدُوا صَوْتَ عُمَرَ وَهُمْ يَقُولُونَ سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ فَصَلَّى بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ صَلَاةً خَفِيفَةً

Tidak berapa lama setelah bertakbir, aku mendengar beliau Radhiyallahu ‘anhu berkata “anjing telah membunuhku atau ‘memakanku’,” ketika ditikam. Lalu orang kafir itu menerjang dengan pisaunya yang memiliki dua ujung. Tidaklah orang itu menerjang ke kanan dan ke kiri, kecuali menusukkan pisaunya hingga melukai tiga belas orang. Tujuh dari mereka meninggal. Ketika salah seorang dari kaum Muslimin melihat hal tersebut, ia (sahabat, Pen.) melemparkan baju burnusnya ke orang kafir tersebut. Ketika orang itu yakin akan tertangkap, maka ia bunuh diri. Kemudian Umar menarik tangan Abdurrahman bin Auf dan menyuruhnya menuju ke depan (menjadi imam). Orang yang di dekat Umar melihat apa yang aku lihat. Sedangkan yang berada di bagian lain dari masjid tidak mengetahuinya, kecuali mereka (merasakan) kehilangan suara Umar, dan mereka menyatakan “Subhanallah, subhanallah,” kemudian Abdurrahman mengimami mereka dengan shalat yang ringan”. [HR al Bukhari, no. 3424].

Perbuatan Umar Ibnul Khaththab ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, bila seorang imam berhalangan menyelesaikan shalatnya, maka ia dapat menunjuk salah seorang dari ma’mum untuk menggantikan dalam menyempurnakan shalatnya.
Wallahu a’lam bish shawab.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Mabhats, Alamat Redaksi : Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183, Telp. 0271-5891016]
________
Footnote
[1]. Syarhu Shahih Muslim, 4/155. Lihat al Qulul Mubin fi Akhtha’ al Mushalin, Masyhur Hasan Alu Salman, hlm. 220.
[2]. Syarhul Mumti’, 4/263.
[3]. Diambil dari keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’, 4/267-268.
[4]. Syarhul Mumti’, 4/264-265.
[5]. Ibid, 4/265-266.
[6]. Ibid., 4/266.
[7]. Majmu’ Fatawa, 23/401.
[8]. Ibid., 23/402-403.
[9]. Ibid., 23/403.

Read more https://almanhaj.or.

Imam Syafi’i Berpendapat Bahwa Sunnah Memiliki Tiga Sisi




IMAM SYAFI’I BERPENDAPAT BAHWA SUNNAH MEMILIKI TIGA SISI

Oleh
Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi

Kemudian Al-Baihaqi berkata : “Berkata Imam Syafi’i Rahimahullah :’Bahwa Sunnah Rasulullah terdiri dari tiga sisi”.

1. Apa yang diturunkan Allah di dalam nash Al-Kitab maka Rasulullah menetapkan suatu Sunnah yang sama dengan nash yang ada dalam Kitabullah itu.

2. Apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Kitab berupa sesuatu yang bersifat umum, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan maksud yang diinginkan dari sesuatu yang bersifat umum dalam Kitabullah itu dan menjelaskan rinciannya serta menjelaskan bagaimana caranya hamba Allah melakukan yang dimaksud

3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan suatu hukum yang mana hukum yang ditetapkan beliau itu tidak ada nashnya dalam Kitabullah.

Ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin tentang sisi ketiga ini, di antara mereka ada yang berpendapat : Bahwa hal tersebut telah Allah tetapkan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagian dari apa yang wajib ditaati, yang mana hukum yang ditetapkan beliau itu adalah bagian dari ilmu Allah yang diberikan kepada utusan-Nya itu dari sisi Allah, karena Allah telah meridhainya untuk menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Kitab. Pendapat lain mengatakan bahwa beliau tidak menetapkan suatu Sunnah kecuali ketetapan sunnah itu memiliki dasar dalam Kitabullah sebagaimana beliau menetapkan Sunnah tentang bilangan dan cara shalat yang berdasarkan pada adanya kewajiban shalat dalam Al-Qur’an yang bersifat umum, begitu juga dengan apa yang beliau tetapkan dalam Sunnah tentang urusan jual beli serta ketetapan-ketetapan syari’at lainnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ 

“Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. [An-Nisa/4 : 29]

Dan Allah berfirman.

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. [Al-Baqarah/2 : 275]

Maka setiap sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan tak lain adalah dari Allah, yang diterangkan dalam Sunnah Rasul sebagaimana kewajiban shalat dari Allah yang diterangkan dalam sunnah Rasul. Dan juga ada yang berpendapat ; bahwa Sunnah yang ditetapkan Rasulullah itu adalah sesuatu yang telah Allah bisikkan di dalam jiwa utusan-Nya itu.

Sampai disinilah pembahasan Imam Syafi’i tentang sisi-sisi Sunnah.

[Disalin dari buku Miftahul Jannah fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah, edisi Indonesia KUNCI SURGA Menjadikan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sebagai Hujjah oleh Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi hal. 28-30, Penerjemah Amir Hamzah Fazhruddin]

Rabu, 27 Februari 2019

Contoh Doa untuk orang yg akan berangkat haji/umroh

(1) Selamat menunaikan ibadah umroh  buat *Bpk dan ibu Bambang Setiyawan* insya Allah berangkat malam ini Rabu 27 Februari 2019 jam 22.00 wib.  
semoga menjadi haji umroh yg mabrur, aamiin

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ  وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

“Zawwadakallahut taqwa wa ghofaro dzanbaka wa yassaro lakal khoiro haytsuma kunta (Semoga Allah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosa-dosamu, dan memudahkanmu di mana saja engkau berada)

an Bpk/ibu Bambang setiyawan juga mhn dimaafkan kesalahannya kepada seluruh jamaah masjid nurul abror, krn jadwal umroh dimajukan, shg tdk sempat berpamitan satu persatu . Al afwu minkum

(2) Selamat menunaikan ibadah umroh  buat Bpk  *Evan Himawan dan keluarga*  
semoga menjadi haji umroh yg mabrur, aamiin

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ  وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

*Semoga Allah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosa-dosamu, dan memudahkanmu di mana saja engkau berada*, aamiin 🙏🙏🙏

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 238-239

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 238-239

untungsugiyarto

4 tahun yang lalu

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (QS. Al-Baqarah: 238) Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 239)

Allah Ta’ala memerintahkan untuk memelihara semua shalat pada waktunya masing-masing, memelihara ketentuannya dan kamu mengerjakan-nya tepat pada waktunya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Ibnu Masud, ia menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Lalu kutanyakan lagi: ‘Kemudianapa lagi? Beliau menjawab: ‘Jihad di jalan Allah.’ ‘Kemudian apa lagi?’ tanyaku lebih lanjut. Beliau menjawab: ‘Berbuat baik kepada ibu bapak.’” Ibnu Masud mengatakan: “Semua itu disampaikan oleh Rasulullah saw. kepadaku. Dan seandainya aku menambahkan pertanyaan, niscaya beliau akan menambah pula jawabannya.”

Allah swt. memberi kekhususan dengan memberikan penekanan pada shalat wustha. Para ulama, baik Salaf maupun Khalaf berbeda pendapat, tentang apa yang dimaksud dengan shalat wustha di sini.

Ada yang mengatakan bahwa shalat wustha itu adalah shalat Shubuh. Pendapat ini disebut oleh Imam Malik dalam bukunya al-Muwattha’, dari Ali, dari Ibnu Abbas. Hasyim, Ibnu `Ullayah, Ghundar, Ibnu Abi Adi, AbdulWahab, Syarik, dan ulama lainnya, dari Auf al-A’rabi, dari Abu Raja’ al-Atharidi, ia berkata, aku pernah mengerjakan shalat shubuh di belakang Ibnu Abbas, di dalamnya ia membaca qunut dengan mengangkat kedua tangannya, kemudian mengucapkan: “Inilah shalat wustha yang kita diperintahkan untuk mengerjakannya dengan khusyu’ (qunut).” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jabir.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah shalat shubuh di masjid Bashrah, lalu ia membaca qunut sebelum ruku’. Dan ia mengatakan; “Inilah shalat wustha yang, disebutkan Allah dalam kitab-Nya: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha. berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”)

Masih menurut Ibnu Jarir, dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan, “Shalat wustha adalah shalat Shubuh.” Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abu Aliyah, Ubaid bin Umair, Atha’ al-Khurasani, Mujahid, Jabir bin Zaid, Ikrimah, dan Rabi’ bin Anas. Dan itu pula yang ditetapkan Imam Syafi’i rahimahullahu berdasarkan pada firman Allah Ta’ala: wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”) Menurutnya, qunut itu dibaca pada shalat Subuh.

Ada juga yang mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat Dhuhur. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Zaid bin Tsabit, ia menceritakan, Rasulullah saw. pernah mengerjakan shalat dhuhur pada tengah hari setelah matahari tergelincir. Beliau belum pernah mengerjakan suatu shalat yang lebih menekankan kepada para sahabatnya dari shalat tersebut, lalu turunlah ayat: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa quumuu lillaaHi qaanitiin.

Dan Zaid bin Tsabit ra. mengatakan: “(Karena) sesungguhnya sebelum shalat Zhuhur itu ada dua shalat (yaitu shalat isya dan shubuh) dan sesudahnya pun ada dua shalat (yaitu ashar dan maghrib).”

Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Dawud dalam bukunya Sunana Abi Dawud, dari Syu’bah. Yang demikian itu juga menjadi pendapat Urwah bin Zubair, Abdullah bin Syidad bin al-Haad, dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah rahimahullahu.

Menurut pendapat lain bahwa shalat wustha itu adalah shalat Ashar. At-Tirmidzi dan Baghawi rahimahullahu mengatakan, itu adalah pendapat terbanyak dari ulama kalangan sahabat. Al-Qadhi al-Mawardi mengatakan, hal tersebut merupakan pendapat mayoritas tabi’in, sedangkan al-Hafizh Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan: “Ini merupakan pendapat mayoritas ahlul atsar dan madzhab Ahmad bin Hanbal.” Lebih lanjut al-Qadhial-Mawardi dan asy-Syafi’i mengatakan, Ibnu Mundzir mengemukakan: “Dan itulah yang shahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dan menjadi pilihan Ibnu Habib al-Maliki rahimahullahu.”

Beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali, ia berkata, Rasulullah pernah bersabda pada peristiwa Ahzab: “Mereka (orang-orang kafir) telah menyibukkan kami dari shalat wustha, yaitu shalat Ashar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api.” Kemudian beliau mengerjakannya di antara Maghrib dan Isya’.

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan beberapa penulis kitab al-Musnad, as-Sunan dan ash-Shahih. Hal itu diperkuat dengan perintah untuk memelihara shalat tersebut.

Dan dalil lainnya ialah sabda Rasulullah dalam hadits shahih riwayat az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka seakan-akan ia telah dirampas keluarga dan hartanya.”

Masih dalam hadits shahih dari Buraidah bin al-Hashib, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Segerakanlah shalat Ashar pada hari yang penuh mendung, karena barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah semua amalnya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Nadrah al-Ghifari, ia menceritakan, Rasulullah pernah mengerjakan shalat Ashar bersama kami di salah satu lembah yang bernama al-Hamish, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya shalat ini pernah ditawarkan kepada orang-orang sebelum kalian, namun mereka menyia-nyiakannya. Ketahuilah, barangsiapa mengerjakannya, maka akan dilipatgandakan pahalanya dua kali lipat. Dan ketahuilah, tidak ada shalat setelahnya hingga kalian melihat saksi (Matahari tenggelam, alam mulai gelap.)”

Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan an-Nasa’i. Sedangkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Abu Yunus, seorang budak Aisyah, ia menceritakan, Aisyah pernah menyuruhku menulis sebuah mushaf, ia menuturkan: “Jika sudah sampai pada ayat: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha”) maka beritahu aku.” Ketika sampai pada ayat tersebut, aku pun memberitahunya, lalu beliau mendiktekan kepadaku: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa shalaatil ‘ashri wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha, yaitu shalat Ashar dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu’.”) Aisyah menuturkan, aku mendengarnya dari Rasulullah saw.

Hal senada juga diriwayatkan Imam Muslim, dari Yahya bin Yahya, dari Malik.

Diriwayatkan juga oleh Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Amr bin Rafi’, ia menceritakan: “Aku pernah menulis sebuah mushaf untuk Hafshah, isteri Nabi, lalu Hafshah berkata: ‘Jika sudah sampai pada ayat ini: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha”) maka beritahukanlah aku.” Ketika sampai ayat tersebut, aku pun memberitahukannya, lalu Hafshah mendiktekan kepadaku: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa shalaatil ‘ashri wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha, yaitu shalat Ashar dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu’.”)

Menurut orang yang menentang pendapat ini adalah bahwa beliau meng-athafkan (menghubungkan/menggabungkan) shalat Ashar pada shalat Wustha dengan “wawu ‘athaf” (huruf “wawu” yang berfungsi menggabungkan kata kalimat), yang menunjukan adanya perbedaan (antara ma’tuf dan ma’tuf ‘alaiHi) Hal ini menunjukan bahwa shalat Wustha bukanlah shalat Ashar. Sanggahan untuk pendapat mereka ini dapat dijawab melalui beberapa sisi.

Pertama, jika hal itu diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadits Ali berkedudukan lebih shahih dan lebih jelas darinya. Karena kemungkinan huruf “wawu” (dan) dalam ayat tersebut berkedudukan sebagaii “wawu zaidah” (wawu tambahan), seperti firman Allah yang artinya: “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-An’aam: 55). Dan juga firman-Nya yang artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan di bumi. Dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (QS. Al-An’ aam: 75).

Atau huruf “wawu” (dan) pada ayat itu berkedudukan untuk menghubungkan dan bukan dzat. Misalnya adalah finnan Allah swt. berikut ini: “Tetapi ia adalah Rasulullah saw. dan penutup para nabi.” (Al-Ahzaab: 40). Juga firman-Nya yang lain: “Sucikanlah nama Rabbmu yang Mahatinggi, yang menciptakan dan yang menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) serta memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan.” (QS. Al-A’la: 1-4).

Dan ayat-ayat yang serupa dan jumlahnya cukup banyak. Seorang penyair berujar:

Kepada raja yang agung, anak orang yang berkuasa.
Harimau dalam barisan perang, bila perang berkobar.

Sibawaih tokoh dalam Ilmu Nahwu, membolehkan ucapan seseorang: marartu bi akhiika wa maa hibika (“Aku berjumpa dengan saudaramu yang juga temanmu.”)
Dengan demikian, teman yang dimaksudkan di sini adalah saudara itu sendiri. Wallahu a’lam.

As-Sunnah telah menetapkan bahwa shalat wustha adalah shalat Ashar. Maka jelaslah pengertian itu kembali kepadanya.

Firman Allah swt. yang selanjutnya: wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”) Yakni dengan merendahkan diri dan tenang di hadapan-Nya. Yang demikian itu mengharuskan tidak berbicara dalam shalat, karena bertentangan dengan kekhusyu’an. Oleh karena itu’, tatkala tidak menjawab salam Ibnu Mas’ud, karena beliau sedang menjalankan shalat, beliau memberikan alasan dengan bersabda: “Sesungguhnya dalam shalat itu benar-benar terdapat kesibukan.” (Muttafaqun alaih).

Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Mu’awiyah bin Hakam al-Sulami ketika ia berbicara dalam shalat: “Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak diperbolehkan sedikit pun dari pembicaraan manusia. Shalat itu adalah tasbih, takbir, dan dzikir kepada Allah.”

Firman Allah Ta’ala selanjutnya: fa in khiftum fa rijaalan au rukbaanan fa idzaa amintum fadzkurullaaHa kamaa ‘allamakum maa lam takuunuu ta’lamuun (“Jika kamu dalam keadaan takut [bahaya], maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah [shalatlah] sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”)

Ketika Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa memelihara semua shalat dan menjalankan ketentuan-ketentuannya serta memberikan penekanan padanya, Dia menyebutkan keadaan di mana seseorang tidak dapat mengerjakan shalat secara benar dan sempurna, yaitu dalam keadaan perang dan pertempuran sengit. Dia berfirman: fa in khiftum fa rijaalan au rukbaanan (“Jika kalian dalam keadaan takut [bahaya], maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”) Artinya, kerjakan shalat dalam keadaan bagaimanapun juga, dalam keadaan berjalan maupun naik kendaraan, baik menghadap kiblat maupun membelakanginya. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai shalat khauf, maka ia menggambarkannya dan kemudian berkata: “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, mereka mengerjakan shalat sambil berjalan kaki atau menaiki kendaraan, dengan menghadap kiblat ataupun tidak.”

Nafi’ mengatakan, aku tidak mengetahui Ibnu Umar menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi saw. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Bukhari, dan lafadz di atas adalah dari Imam Muslim.

Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan hal yang sama atau yang mendekati hal itu, dari Ibnu Umar, dari Nabi saw.

Sedangkan menurut riwayat Imam Muslim, dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, maka shalatlah dalam keadaan menaiki kendaraan atau berdiri dengan menggunakan isyarat.”

Dan dalam hadits Abdullah bin Unais al Juhani, disebutkan, ketika ia diutus oleh Rasulullah untuk membunuh Khalid bin Sufyan, pada saat itu ia menghadap ke Arafah. Ketika ia sedang menghadap ke Arafah, datang waktu shalat Ashar. Ia mengatakan, “Aku khawatir kehabisan waktu Ashar, maka aku pun shalat dengan menggunakan isyarat.” Secara lengkap, hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan isnad jayyid.

Hal ini merupakan keringanan dari Allah, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya dan Dia lepaskan semua beban dan belenggu dari diri mereka.

Mengenai apa yang telah dinashkan, Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat khauf itu kadangkala dikerjakan dengan satu rakaat saja, jika antara dua pasukan sedang bertempur sengit. Dalam keadaan seperti itulah berlaku hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir, dari Abu Awanah al-Wadhah bin Abdullah al-Yasykuri. Imam Muslim, Nasa’i, dan Ayub bin A’idz menambahkan, keduanya dari Bakir bin al-Akhnas al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Allah Ta’ala mewajibkan shalat melalui ucapan Nabi kalian dalam keadaan normal empat raka’at, dalam perjalanan (musafir) dua rakaat, dan dalam keadaan takut (khauf) satu rakaat.”

Dalam bab “Ash-Shalatu ‘inda munahadhatil hushun wa liqa’il aduww. “(Shalat pada saat menyerbu benteng dan bertemu musuh) Imam al-Bukhari me-riwayatkan, al-Auza’i mengatakan, “Jika pertempuran sudah mulai dan mereka tidak sanggup mengerjakan shalat, maka mereka mengerjakannya dengan menggunakan isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-senditi. Dan jika mereka tidak mampu menggunakan isyarat, mereka mengakhirkan shala tsehingga pertempuran berakhir dan keadaan tenang. Setelah itu mereka baru mengerjakan shalat dua rakaat. Dan jika mereka tetap tidak mampu melakukan hal itu, maka mereka akan mengerjakan satu rakaat dan dua sujud. Dan jika tidak mampu juga, karena takbir saja tidak cukup bagi mereka, maka mereka mengakhirkannya, sampai keadaan aman.”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Makhul. Anas bin Malik mengatakan: “Aku pernah mengikuti penyerangan benteng Tustar pada saat sinar fajar muncul, dan api pertempuran semakin sengit, sedang mereka tidak dapat mengerjakan shalat, dan kami pun tidak mengerjakan shalat kecuali setelah siang hari. Kemudian kami segera mengerjakannya, saat itu kami bersama Abu Musa, lalu diberikan kemenangan kepada kami.” Lebih lanjut Anas bin Malik mengatakan: “Dunia dan isinya tidak menggembirakanku lebih dari shalat ketika itu.”

Demikian lafazh Imam al-Bukhari. Kemudian hal itu diperkuat dengan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. mengakhirkan shalat Ashar sampai matahari tenggelam pada peristiwa Khandaq karena alasan perang. Juga dengan sabda Rasulullah yang disampaikan setelah itu kepada para sahabatnya ketika mereka dipersiapkan untuk berangkat ke Bani Quraidzah: “Janganlah ada seorang pun dari kalian yang mengerjakan shalat Ashar, kecuali setelah sampai di Bani Quraidzah.” (Muttafaqun `alaih).

Di antara mereka ada yang mendapati waktu shalat Ashar di jalan, lalu mereka mengerjakan shalat dan berkata: “Rasulullah tidak menginginkan dari kita melainkan agar mempercepat perjalanan.” Dan di antara mereka ada juga yang mendapati waktu shalat itu di tengah jalan tetapi mereka tidak mengerjakan shalat Ashar sampai matahari terbenam di Bani Quraidzah. Namun demikian, Rasulullah tidak menyalahkan salah satu dari dua kelompok tersebut. Dan ini menunjukkan jatuhnya pilihan al-Bukhari pada pendapat ini.

Sedangkan jumhur ulama berbeda pendapat dengannya, dan mereka mengemukakan alasannya bahwa shalat khauf seperti yang disifatkan al-Qur’an dalam Surat an-Nisaa’ dan juga oleh beberapa hadits itu disyari’atkan setelah terjadinya perang Khandaq. Hal ini secara jelas telah disebutkan dalam hadits Abu Said dan lainnya. Sedangkan Makhul, al-Auza’i, dan al-Bukhari menjawab bahwa disyariatkannya shalat khauf tersebut setelah itu tidak menafikan bahwa cara seperti itu boleh. Karena hal itu merupakan keadaan khusus dan jarang terjadi, maka hal itu dibolehkan, seperti yang kami katakan. Berdasarkan apa yang dilakukan oleh para sahabat pada zaman Umar bin Khaththab ra. pada waktu pembebasan kota Tustar. Dan hal itu sangat terkenal dan tidak dipungkiri. Wallahu aalam.

Dan firman Allah: fa idzaa amintum fadzkurullaaHa (“Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah.”) Artinya kerjakanlah shalat kalian sebagaimana telah diperintahkan kepada kalian, sempurnakanlah ruku’, sujud, berdiri, duduk dan khusyu’nya. Kamaa ‘allamakum maa lam takuunuu ta’lamuun (“Sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”) Maksudnya, sebagaimana Dia telah menganugerahkan nikmat kepada kalian, menunjukkan kalian kepada keimanan dan mengajarkan kepada kalian hal-hal yang bermanfaat bagi kalian di dunia maupun di akhirat. Maka sambutlah dengan rasa syukur dan dzikir kepada-Nya. sebagaimana firman-Nya setelah penyebutan shalat khauf yang artinya:

“Kemudian jika kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. ” (QS. An-Nisaa’: 103).

Hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat khauf dan sifat-sifatnya akan dikemukakan selanjutnya dalam pembahasan Surat an-Nisaa’ pada penafsiran firman Allah “Dan jika kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabat kamu, lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (QS. An-Nisaa’ 102).

&

Kategori: Tafsir Al-Qur'an

Tag: 238239al-baqarahAl-qur'analbaqarahayatibnu katsirsurahsurattafsirtafsir alqurantafsir ibnu katsir

Tinggalkan sebuah Komentar

alqur'anmulia

Kembali ke atas