NURUL ABROR

Selasa, 08 Januari 2019

Hancurkan Batu Ginjal Hanya Dengan Air Kelapa

Hancurkan Batu Ginjal Hanya Dengan Air Kelapa


Bermula dari sebuah kisah, sungguh Alloh Maha Adil...

Disaat orang kaya mengatasi batu ginjal sampai harus ke Amerika, Jerman, Jepang, atau Samarinda. Ini pengalaman Pak Dahlan Iskan yang ditulis hari ini dalam Disway.id. Orang miskin, cukup dengan minum kelapa hijau. Tokcer. Segar, lezat, murah dan ampuh.

Batu ginjal luruh berkeping-keping seperti gamping disiram air. Lalu keluar deras bersama air kencing.

Ini pengalaman saya dan entah berapa banyak yang sudah membuktikan.

Sebetulnya sebagian tulisan ini adalah komentar saya atas tulisan Pak Dahlan yang dishare hari ini. Gara-gara ini ada beberapa teman yang inbox minta resepnya.

Baiklah. Sebelumnya ijinkan saya berkisah dulu.

Pada tahun 2001, sore maghrib itu, saya mengalami sakit yang luar biasa saat buang air kecil. Mampet. Panas dingin menahan sakitnya. Air kencing sampai berdarah.

Ternyata itu yang disebut batu ginjal.

Sebelumnya saya hanya melihat kakak saya sampai menangis menderita hal yang sama. Setelah mencoba berbagai obat dan tidak mempan, kakak saya itu akhirnya mendapat resep jitu. Resep para leluhur.

Dengan resep tersebut, saya sembuh. Tidak pakai lama. Minum abis maghrib, di pagi subuh saat buar air kecil mak byooor. Amazing tenan.

             

Beberapa tahun berikutnya, saat mudik lebaran, ada kerabat yang bercerita kalau mau operasi batu ginjal. Rasa sakit dia rasakan makin sakit saja. Itu karena ditambah dengan memikirkan biaya operasinya.

Saya katakan: "Tenang. Nggak usah cemas". Lalu saya berikan resep ampuh pemunah batu kristal itu.

Lebaran tahun berikutnya, ia bercerita dengan penuh suka cita. Resep yang saya berikan itu telah membebaskan dia dari meja operasi. Kisah itu pun viral di desa sana.

Begitulah. Setiap ada yang menderita batu ginjal, saya berikan resep ini. Entah sudah berapa banyak orang. Dan sejauh ini belum ada yang gagal.

Nah. Ini dia resep mujarab penghancur batu ginjal itu.


Silahkan petik, manjat pohonnya, atau beli kelapa hijau di pasar. Biar tidak repot mintalah penjual sekalian memangkas bagian atasnya agar nanti mudah membuat lubang.

Oh iya. Anda harus paham. Yang namanya kelapa hijau asli, sabutnya justru berwarna merah seperti di foto ini.

Caranya, masaklah air di panci hingga mendidih. Setelah mendidih matikan kompor. Kemudian masukkan kelapa hijau itu utuh ke dalam panci berisi air mendidih itu. Lalu tutup. Diamkan selama 10 menit.

Selama 10 menit itu, silahkan dibolak-balik posisinya agar merata. Setelah itu, angkat kelapa hijau dari panci. Segera lubangi ujung atas kelapa itu dan tuangkan airnya ke dalam gelas.

Sekarang minum airnya. Rasanya sungguh lezat dan segar. Setelah itu, silahkan tidur.


Saat terbangun di pagi subuh, Anda akan terasa ingin buang air. Kini warna air kencing itu bukan coklat atau kuning lagi.

Tetapi berwarna serperti air susu. Itu adalah batu ginjal yang sudah hancur.

Lakukan hal itu maksimal tiga kali saja. Pengalaman saya, dengan dua kali minum, -insyaa Alloh- batu itu sudah hilang.

Fb : Dahlan Iskan

https://www.zonamuslim.net/2018/07/hancurkan-batu-ginjal-hanya-dengan-air.html?m=1

HUKUM SHALAT JAMA’AH

HUKUM SHALAT JAMA’AH

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

Tidak disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran Islam. Syari’at sangat memperhatikan permasalahan ini, karena merupakan perwujudan aqidah seseorang. Dan Allah l menjadikannya sebagai tujuan penciptaan manusia dalam firmanNya,

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu. [Adz Dzariyat:56].

Diantara ibadah yang agung dan penting ialah shalat. Karena merupakan amalan terbaik seorang hamba. Rasulullah n bersabda,

اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Istiqamahlah, dan kalian tidak akan mampu ber-istiqamah dengan sempurna. Ketahuilah, sebaik-baik amalan kalian ialah shalat. Dan tidaklah menjaga wudhu, kecuali seorang mukmin.[1]

Terlebih lagi, shalat telah diwajibkan Allah terhadap kaum mukminin. Sehingga sudah selayaknya kita memperhatikan masalah ini. Dengan berharap dapat menunaikannya secara sempurna.

KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM
Shalat menempati kedudukan tinggi dalam Islam. Adalah rukun kedua dan berfungsi sebagai tiang agama. Rasulullah bersabda,

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ

Pemimpin segala perkara (agama) ialah Islam (syahadatain), dan tiangnya ialah shalat.[2]

Seluruh syariat para rasul menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk menunaikannya, sebagaimana Allah berfirman menjelaskan do’a Nabi Ibrohim Alaihissallam :

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ

Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak-cucuku, orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Rabb kami, perkenankan do’aku. [Ibrahim:40].

Dan mengisahkan Nabi Ismail Alaihissallam :

وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بَالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. [Maryam :55].

Demikian juga menyampaikan berita kepada Nabi Musa Alaihissallam :

إِنَّنِى أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thaha :14].

Nabi Isa Alaihissallam menceritakan nikmat yang diperolehnya dalam Al Qur’an:

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَاكُنتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ مَادُمْتُ حَيًّا

Dan Dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. [Maryam :31].

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambil perjanjian Bani Israil untuk menegakkan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُو الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. [Al Baqarah :83].

Demikian juga Allah memerintahkan hal itu kepada Nabi Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firmanNya:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَنَسْئَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa. [Thaha:132].

Demikian tinggi kedudukan shalat dalam Islam, sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai pembeda antara mukmin dan kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara aku dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka telah berbuat kekafiran.[3]

Memang, seseorang yang meninggalkan shalat, akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya. Kemudian terputuslah hubungannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Abu Bakar Ash Shidiq menyatakan dalam surat Beliau kepada Umar,“Ketahuilah, perkara yang paling penting padaku ialah shalat. Karena seseorang yang meninggalkannya, akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya. Dan ketahuilah, Alah Subhanahu wa Ta’ala memiliki satu hak pada malam hari yang tidak diterimaNya pada siang hari. Dan satu hak pada siang hari yang tidak diterimaNya pada malam hari. Allah tidak menerima amalan sunnah, sampai (seseorang) menunaikan kewajiban.” [4]

HUKUM SHOLAT BERJAMA’AH
Shalat jama’ah disyari’atkan dalam Islam. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Terpilah menjadi empat pendapat.

Pertama : Hukumnya Fardhu Kifayah.
Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimin (terdahulu, peny.), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,“Dzahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimin dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.” [5]

Dalil-Dalilnya.
Hadits Pertama.

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.[6]

As Saib berkata,”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.[7]

Hadits Kedua.

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam. [8]

Hadits Ketiga.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” [9]

Kedua. Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.

Demikian ini pendapat Dzahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.

Diantara Dalil-Dalinya, ialah:

Hadits Pertama.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur. [10]

Hadits Kedua.

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka. [11]

Hadits Ketiga.

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ

Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!” [12]

Ketiga : Hukumnya Sunnah Muakkad.
Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj.

Dalil-Dalilnya.

Hadits Pertama.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah n bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.”[13]

Hadits Kedua.

إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ فِي جَمَاعَةٍ

Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jama’ah. [14]

Imam Asy Syaukani menyatakan setelah membantah pendapat yang mewajibkannya,“Pendapat yang tepat dan mendekati kebenaran, (bahwa) shalat jama’ah termasuk sunah-sunah yang muakkad… Adapun hukum shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain atau kifayah atau syarat sah shalat maka tidak”.

Hal ini dikuatkan oleh Shidiq Hasan Khan dengan pernyataan Beliau, “Adapun hukumnya fardhu, maka dalil-dalilnya masih dipertentangkan. Akan tetapi terdapat cara ushul fiqh yang mengkompromikan dalil-dalil tersebut. Yaitu, hadits-hadits keutamaan shalat jama’ah menunjukkan keabsahan shalat secara sendirian. Hadits-hadits ini cukup banyak. Diantaranya :

وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّي وَحْدَهُ ثُمَّ يَنَامُ

Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. Hadits ini dalam kitab shahih. Juga, diantaranya hadits tentang seseorang yang shalatnya salah. Kemudian Rasulullah n memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya, sendirian. Kemudian hadits أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا (seandainya ada seorang yang bersedekah kepadanya) [15]. Ketika melihat seseorang shalat sendirian.

Diantara hadits-hadits yang menguatkannya ialah hadits yang mengajarkan rukun Islam. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang yang diajarinya untuk tidak shalat, kecuali berjama’ah. Padahal Beliau mengatakan kepada orang yang menyatakan saya tidak menambah dan menguranginya: أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ (telah beruntung jika benar) dan dalil-dalil lainnya. Semua ini dapat menjadi pemaling sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam فَلاَ صَلاَةَ لَهُ yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban berjama’ah kepada peniadaan kesempurnaan, bukan keabsahannya.” [16]

Pendapat ini dirajihkan oleh Asy Syaukani dan Shidiq Hasan Khan serta Sayyid Sabiq.[17]

Keempat : Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) Dan Bukan Syarat.
Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, Al Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali.

Dalilnya.
– Dalil-dalil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. [An Nisa’:102].

Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjama’ah. Yakni tidak boleh ditinggalkan, kecuali ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’. [Al Baqarah:43).

Ayat di atas merupakan perintah. Kata perintah menunjukkan maksud kewajiban shalat berjama’ah.

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَارُ

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. [An Nur:36-37].

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَابَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

Katakanlah,”Rabbku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan (katakanlah),”Luruskan muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya.” [Al A’raf:29].

Kedua ayat di atas, terdapat kata perintah yang menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah.

يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلاَيَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ

Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. [Al Qalam:42-43].

Ibnul Qayyim berkata,“Sisi pendalilannya, adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang antara mereka dengan sujud, ketika diperintahkan untuk sujud. Mereka diperintahkan sujud di dunia dan enggan menerimanya. Jika demikian, maka menjawab panggilan mendatangi masjid untuk menghadiri jama’ah shalat, bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya saja.”

– Dalil dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah). Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.[18]

Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan,“Adapun hadits bab (hadits di atas), maka dhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah fardhu ‘ain. Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti pensyari’atan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.”[19]

Demikian juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan,“Ulama yang berpendapat, bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain.” [20]

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ

Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!” [21]

Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata,“Jika orang buta yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka, (yang) selainnya lebih lagi.” [22]

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.[23]

Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia) [24] dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan dalam kitabnya Shalat Al Jama’ah [25]. Demikian juga sejumlah ulama lainnya. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, kitab Thoharoh Wa Sunanuha, bab Al Muhafadzoh Alal Wudhu No. 253, Ahmad dalam musnadnya No. 21400 dan 21344 dan Addarimiy dalam sunannya, kitab Thaharoh, bab Ma Ja’a fith Thuhur No.653.
[2]. Diriwayatkan oleh Attirmidziy dalam sunannya, kitab Al Iman bir Rasulillah n no. 3541 dan Ahmad dalam musnadnya no. 21054, Attirmidziy berkata: “Ini hadits hasan shohih”.

[3]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Jami’nya (Sunannya), kitab Iman bir Rasulillah n , Bab Ma Ja’a Fi Tarki Shalat, no. 2545 dan An Nasa’i dalam Sunannya kitab Shalat, Bab Al Hukmu Fi Tarikis Shalat, no. 459 dengan sanad yang shahih.
[4]. Dinukil oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, 22/40.
[5]. Fathul Bari, 2/26.
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, kitab Ash Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no. 460, An Nasa’i dalam Sunannya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.
[7]. Lihat penukilan Abu Dawud setelah menyampaikan hadits diatas.
[8]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Al Adzan Lil Musafir Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah Kadzalik, no. 595 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalat, Bab Man Ahaqu bil Imamah, no. 1080.
[9]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatul Jama’ah, no. 609.
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab Al Masajid wal Jama’ah, Bab At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[11]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[12]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.
[13]. Diriwayatkan oleh Bukhoriy dalam shohihnya kitab Al Adzaan, Bab Fadhlu sholatul jama’ah no. 609.
[14]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Sholat, bab Fadhlu Katsrotil Khutha Ilal Masaajid, no.1064. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 11380.
[15]. Raudhatun Nadiyah Syarah Durarul Bahiyah, 1/306.
[16]. Fiqih Sunnah, 1/248.
[18]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya kitab Al Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[19]. Fathul Bari, 2/125.
[20]. Ihkamul Ahkam, 1/124.
[21]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.
[22]. Al Mughni, 3/6.
[23]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, kitab Ash Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.460, An Nasa’i dalam Sunannya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.
[24]. Fatawa Lajnah Daimah, 7/283.
[25]. Ibid. hal. 72.

Read more https://almanhaj.or.id/3039-hukum-shalat-jamaah.html

SYARAT SAH SHALAT, KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII


SYARAT SAH SHALAT, KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII

KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII

FIKIH SHALAT

BAB SYARAT-SYARAT SHALAT

B. Syarat Sah Shalat

Syarat sah shalat adalah hal-hal yang harus dipenuhi agar shalat yang dilakukan menjadi sah. Syarat ini berkaitan dengan perbuatan shalat bukan pelakunya. Syarat sah shalat ada lima yaitu:

1. Suci dari hadas.

Baik hadas kecil maupun besar. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ … وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu, … dan jika kamu junub maka mandilah.” (Al-Mâidah: 6).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci.”(HR. Muslim).


Jika seorang terlupa tidak bersuci lalu melaksanakan shalat maka shalatnya tidak sah dan harus diulang. Jika ia shalat tanpa bersuci secara sengaja maka berdosa. Jika seorang imam terlupa tidak bersuci dan shalat telah selesai maka ia harus mengulangi shalatnya, sementara makmum tidak perlu mengulang.

Orang yang tidak mendapati air dan debu (fâqiduth thahûrain) sementara waktu shalat hampir selesai atau tidak ada harapan mendapatkan salah satunya sebelum selesai waktu shalat maka ia harus melaksanakan shalat dengan keadaannya itu tetapi wajib mengulangi lagi jika telah mendapatkan air atau debu.

2. Suci dari najis.

Seorang yang melaksanakan shalat harus suci dari najis pada tiga hal, yaitu badannya, pakaiannya dan tempat shalatnya, kecuali jika najis tersebut dimaafkan.

Yang dimaksud badan disini adalah semua permukaan tubuh seseorang, termasuk rongga mulut, hidung, mata, telinga, dan bawah kuku. Rasulullah SAW berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy RA:

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ فَاتْرُكِي الصَّلاَةَ، فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

“Jika datang haid maka tinggalkan shalat. Jika telah pergi kadarnya maka cucilah darah darimu dan laksanakanlah shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yang dimaksud pakaian disini adalah semua benda yang dipakai seseorang baik berupa pakaian, perhiasaan, tutup kepala, sandal, dan lain sebagainya yang menempel secara langsung pada tubuhnya atau tidak.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Khaulah binti Yasar RA datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, aku tidak memiliki kecuali satu pakaian sementara aku mendapati darah haid pada pakaian itu. Apa yang harus aku lakukan?” Beliau menjawab:

إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِيْ ثُمَّ صَلِّيْ عَلَيْهِ

“Jika engkau sudah suci maka bersihkanlah dan shalatlah dengannya.” Khaulah berkata: “Jika darahnya tidak hilang?” Beliau menjawab:

يَكْفِيْكِ غَسْلُ الدَّمِ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ

“Cukuplah bagimu pencucian darah itu sementara bekasnya tidak apa-apa.” (HR. Abu Daud).

Jika seorang menggendong anak kecil atau seekor hewan ketika shalat maka tidak batal shalatnya karena najis yang berada di dalam tubuh tidak diperhitungkan. Ini seperti najis yang ada dalam tubuh orang yang shalat itu sendiri. Tapi jika ia membawa sebuah botol yang berisi najis atau kain yang terkena najis maka batal shalatnya.

Tempat adalah semua ruang yang bersentuhan dengan badan dan pakaian seseorang yang melaksanakan shalat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA mengenai kisah seorang Arab badui yang buang air kecil di salah satu bagian masjid. Lalu Nabi SAW memerintahkan untuk menyiramnya dengan seember air.

Jika seorang shalat di atas sajadah yang pada salah satu bagiannya terkena najis maka shalatnya sah selama bagian yang terkena najis itu tidak bersentuhan dengan badan atau pakaiannya. Meskipun najis itu berada di bawah dadanya ketika ia sedang sujud tapi hukumnya adalah makruh.

Jika seorang mengetahui bahwa ada najis di tanah atau lantai tempat shalat lalu ia menutupnya dengan sesuatu dan shalat di atasnya maka shalatnya sah.

Jika seorang selesai melaksanakan shalat lalu melihat ada najis di pakaiannya maka tidak lepas dari tiga keadaan:

Jika ia yakin bahwa najis itu menempel sebelum shalat maka ia wajib mengulangi shalatnya baik waktu shalat masih ada atau tidak.Jika yakin bahwa najis itu menempel setelah shalat maka ia tidak perlu mengulang shalatnya.Jika ragu atau tidak yakin apakah najis itu menempel sebelum shalat atau sesudahnya maka tidak perlu mengulang shalat.

Jika seorang makmum mengetahui secara yakin bahwa imamnya membawa najis maka jika ia tidak bisa memperingatkannya maka ia harus memisahkan diri dari imamnya (mufâraqah). Jika tidak maka batal shalatnya. Adapun imam maka ia harus mengulangi shalatnya setelah mengetahui najis tersebut.

3. Mengetahui telah masuk waktu.

Tidak sah shalat seseorang kecuali ia mengetahui bahwa waktu shalat telah masuk baik secara yakin maupun kira-kira (dzan) yang berdasarkan ijtihad (usaha) dalam mencari tahu waktu.

Terdapat tiga tingkatan mengetahui waktu shalat, yaitu:

Pengetahuan yang meyakinkan (al-‘ilmul yaqîniy). Yaitu berdasarkan pengamatan inderawi, seperti melihat fajar, terbenam atau terbitnya matahari, dan lainnya. Termasuk di dalamnya adalah pemberitahuan dari orang yang terpercaya, muadzin terpercaya, dan jam yang akurat.Pengetahuan yang berdasarkan ijtihad (usaha mencari tahu waktu). Yaitu berdasarkan tanda-tanda yang bersifat tidak pasti seperti suara ayam jago jika terbiasa mengokok ketika fajar, bacaan zikir, pekerjaan, dan lainnya.Pengetahuan berdasarkan taklid (mengikuti) kepada orang yang mengamati melalui indera atau mengikui mujtahid.

Jika seorang shalat tanpa mengetahui waktu dan tidak berusaha mencari tahu (berijtihad) maka shalatnya tidak sah meskipun ternyata shalatnya itu bertepatan dengan waktunya. Jika seorang shalat berdasarkan ijtihad lalu ternyata shalat itu belum masuk waktunya maka shalatnya sah tetapi dihitung sebagai qadha jika ia memiliki hutang shalat semisal, atau dihitung sebagai shalat sunah mutlak jika tidak memiliki hutang shalat.

4. Menutup aurat.

Aurat berasal dari bahasa Arab: ‘aurahyang berarti kekurangan. Secara istilah fikih, aurat adalah sesuatu yang harus ditutupi dan dilarang untuk dilihat.

Menutup aurat dalam shalat adalah wajib jika mampu –meskipun seseorang shalat sendiri di tempat tertutup atau tempat yang gelap– dengan pakaian yang tidak tembus pandang dan dapat menutup bagian aurat jika dilihat dari arah atas atau samping, bukan dari arah bawah.

Masjid Imam Syafii, Kairo Mesir

Jika seorang shalat dengan pakaian sempit yang membentuk lekuk tubuhnya maka shalatnya sah selama warna kulitnya tidak tampak, tetapi makruh, terlebih jika yang melakukannya adalah perempuan.

Dasar kewajiban ini adalah firman Allah SWT:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوْا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.”(Al-A’râf: 31).

Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa yang dimaksud ayat diatas adalah memakai pakaian di dalam shalat.

Dan didasarkan juga pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ

“Allah tidak menerima shalat seorang perempuan (yang telah) haid kecuali dengan khimar (penutup badan).” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).

Jika seorang melaksanakan shalat lalu auratnya tersingkap maka ia harus segera menutupnya kembali. Jika tidak segera menutup –dan berlalu waktu yang diperlukan untuk menutup—maka shalatnya batal dan harus diulang.

Jika setelah shalat ia menyadari bahwa pakaiannya terdapat robekan atau lubang yang menampakkan aurat maka ia harus mengulangi shalatnya. Jika seorang tidak memiliki pakaian atau pakaian yang ada terkena najis maka ia harus melaksanakan shalat dengan telanjang dan tidak perlu mengulangi shalatnya. Tapi jika ada pakaian yang bisa dibeli atau disewa dengan harga umum dan ia memiliki uang untuk itu maka harus membeli atau menyewanya.

Batasan aurat

a. Aurat laki-laki. Terdapat empat keadaan aurat lelaki:

Ketika shalat, di hadapan perempuan mahram, atau lelaki lainnya, yaitu antara pusar dan lutut. Pusar dan lutut sendiri bukan bagian dari aurat tapi sebaiknya ditutup untuk menghindari terbukanya aurat.Ketika sendiri, yaitu kemaluan depan (qubul) dan belakang (dubur).Di hadapan perempuan asing, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.Di hadapan isteri dan budak perempuannya, yaitu tidak ada aurat.

b. Aurat perempuan. Lima keadaan aurat perempuan:

Aurat perempuan di dalam shalat, yaitu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Yang dimaksud telapak tangan disini adalah telapak dan punggung tangan sampai batas pergelangan.Ketika sendiri, di hadapan perempuan lain, atau di hadapan lelaki mahram, yaitu antara pusar dan lutut.Di hadapan perempuan muslimah yang fasik (pelaku dosa besar), dan perempuan kafir, yaitu yang umumnya tidak terbuka ketika bekerja, yaitu kepala, wajah, leher, kedua tangan hingga siku-siku, dan keuda kaki hingga lutut. Selain anggota badan tersebut maka dianggap aurat.Di hadapan lelaki asing, yaitu seluruh tubuhnya. Sebagian ulama menyatakan selain wajah dan telapak tangan kecuali jika khawatir fitnah (godaan).Di hadapan suaminya, yaitu tidak ada aurat.

5. Menghadap kiblat.

Secara bahasa kiblat (al-qiblah) berarti arah. Adapun yang dimaksud kiblat dalam shalat adalah Ka’bah. Dinamakan demikian karena Ka’bah berada di arah depan seorang yang melaksanakan shalat.

Seseorang wajib menghadap ke arab kiblat jika mampu. Jika tidak mampu, seperti seorang yang diikat di sebuah tiang, maka menghadap ke arah manapun yang ia mampu tetapi harus mengulang shalatnya jika telah mengetahui arah yang benar.

Keharusan menghadap kiblat ini berdasarkan dalil dari Alquran, hadits, dan ijmak para ulama. Allah SWT berfirman:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Al-Baqarah: 144).

Rasulullah SAW berkata kepada Khallad bin Rafi’ az-Zurqi RA:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَأَسْبِغِ اْلوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ، فَكَبِّرْ

“Jika engkau akan melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke arah kiblat dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang yang melaksanakan shalat dengan melihat langsung ke arah kiblat maka harus menghadap ke arahnya secara yakin. Dan jika tidak melihat langsung karena ada penghalang antara keduanya maka harus menghadap ke arahnya berdasarkan perkiraan (dzann).

Seorang yang melaksanakan shalat dengan berdiri dan duduk maka ia harus menghadap dengan dadanya. Menghadap dengan wajah adalah anjuran saja. Jika ia shalat sambil tidur dengan sisi badan maka harus menghadap dengan dada dan wajahnya sekaligus. Dan jika shalat dengan berbaring terlentang maka dengan dengan wajah dan telapak kakinya.

Terdapat dua keadaan seseorang dibolehkan untuk tidak menghadap kiblat, yaitu:

Dalam keadaan sangat takut dalam peperangan, menghadapi bahaya, dan lainnya.Melaksanakan shalat sunah dalam perjalanan, baik diatas kendaraan atau tidak. Diriwayatkan oleh Jabir RA: “Bahwa Rasulullah SAW shalat ke arah kendaraannya berjalan. Dan jika akan melaksanakan shalat wajib maka beliau akan turun dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari).

Demikianlah syarat-syarat sah shalat. Sebagian ulama menambahkan dua syarat lainnya, yaitu:

6. Mengetahui hukum kewajiban shalat.

Jika ragu mengenai wajib atau sunahnya shalat yang ia lakukan maka tidak sah shalatnya.

7. Tidak meyakini hal yang wajib sebagai sunah.

Jika meyakini bahwa rukun shalat sebagai sunah maka tidak sah shalatnya.

WALLAHU A’LAM

Sumber : http://ahmadghozali.com

Langkah Kaki Ke Masjid

Setiap Langkah Kaki Ke Masjid Akan Dihitung Sedekah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَكُلُّ خَطْوَةٍ تَمْشِيهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ

“Setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah.” (HR. Muslim, no. 1009)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah mengatakan, “Setiap langkah kaki menuju shalat adalah sedekah baik jarak yang jauh maupun dekat”.

Setiap Langkah Kaki Ke Tempat Shalat Dicatat Sebagai Kebaikan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلاَةِ يُكْتَبُ لَهُ بِهَا حَسَنَةٌ وَيُمْحَى عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةٌ

“Setiap langkah menuju tempat shalat akan dicatat sebagai kebaikan dan akan menghapus kejelekan.” (HR. Ahmad, 2:283. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

Berjalan ke Masjid akan Mendapat Dua Keutamaan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِىَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu dia berjalan menuju salah satu dari rumah Allah (yaitu masjid) untuk menunaikan kewajiban yang telah Allah wajibkan, maka salah satu langkah kakinya akan menghapuskan dosa dan langkah kaki lainnya akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim, no. 666)

Orang yang melakukan semacam ini akan mendapatkan dua kebaikan: (1) ditinggikan derajatnya, (2) akan dihapuskan dosa-dosa.

https://rumaysho.com/159-pergi-dan-pulang-dari-masjid-akan-mendapatkan-ganjaran-pahala.html