NURUL ABROR

Sabtu, 12 Januari 2019

TINGGALKAN PERKATA’AN SIAPAPUN YANG MENYELISIHI ALLAH DAN RASULULNYA

TINGGALKAN PERKATA’AN SIAPAPUN YANG MENYELISIHI ALLAH DAN RASULULNYA

Adanya perselisihan ditengah-tengah umat Islam yang seolah-olah tidak ada ujungnya, seakan umat Islam tidak punya pedoman untuk menyatukan mereka.

Diantara penyebab perselisihan tersebut adalah tidak dikembalikannya setiap perselisihan yang ada kepada Allah dan Rasulnya, sebagian dari umat Islam lebih suka mengembalikannya kepada tokoh-tokohnya, pendapat ustad atau habibnya, atau madzhabnya.

Shalafus Shalih adalah umat yang paling utama, paling selamat dan paling mengetahui dalam memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan yang tertinggi.

Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

خَيْرَ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku (para Sahabat). Kemudian orang-orang yang setelah mereka (tabi’in), lalu orang-orang yang setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650).

Karenanya, sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan pengamalan Islam yang benar merujuk kepada mereka (Shalafus shaalih).

Dalam hal ini para Shalafus Shaalih sudah memperingatkan umat supaya meninggalkan perkata’an siapapun manakala perkata’an atau pendapatnya itu bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Berikut ini perkata’an para Shalafus Shaalih:

– Abdullah ibnu Abbas berkata : “Tidak ada seorang pun boleh diambil perkata’an nya atau di tolak, kecuali perkata’an Rasulullah Sallallohu ‘alaihi wasallam (Rowahu Thobroni). Dan juga berkata : “Aku khawatir akan datang hujan batu dari langit , ketika aku mengatakan Rasulullah berkata . . , engkau mengatakan Abu Bakar berkata . . , atau Umar berkata . . .

– Imam Abu Hanifah berkata : “Apabila saya mengucapkan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah, maka tinggalkanlah perkata’anku .

– Imam Malik bin Annas berkata : “Saya ini hanya seorang manusia, bisa salah dan bisa benar, maka telitilah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, maka ambillah pendapatku tersebut, dan setiap pendapatku yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah, maka tinggalkanlah pendapatku tersebut”. Beliau juga berkata : “Tidak ada seorangpun sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali pendapatnya bisa diambil atau juga bisa ditolak.

– Imam Ahmad berkata ;

لَيْسَ أَحَدَ إِلَّا وَيُؤْخَذُ مِنْ رَايَةَ وَيُتْرَكُ ؛ مَا خَلَا النَّبِيَّ

“Pendapat seseorang bisa diambil atau ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Dan berikut ini beberapa perkata’an Imam As Syafi’i, yang melarang umat, mengikuti pendapat orang lain, padahal sudah jelas ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

– Imam As Syafi’i berkata ;

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ – وفي رواية – فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku. Dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang”. (Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).

– Imam As Syafi’i berkata ;

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku”. (Tarikh Dimasyq, 51: 389).

– Imam As Syafi’i berkata ;

كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي

“Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku”. (Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 2: 9: 15).

– Imam As Syafi’i berkata ;

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku”. (Hilyatul Auliya’, 9: 107).

– Imam As Syafi’i berkata ;

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok”. (Siyar A’laamin Nubala’, 3: 3284-3285).

– Imam As Syafi’i berkata ;

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun”. (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).

Juga ada riwayat tentang Imam Syafi’i yang sangat marah ketika ada seseorang yang mendapatkan hadits dari Rasulullah tapi masih mencari pendapat orang lain.

Berikut riwayatnya, Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu ?”, maka gemetar dan marahlah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”. (Hilyatul Auliya’, 9: 107).

Setelah kita mendapatkan keterangan dari para Shalafus Shaalih supaya mengembalikan kepada Rasulnya ketika ada perselisihan. Maka ketika ada pendapat atau perkata’an yang menyelisihi Rasulnya, SIAPA YANG MAU DI IKUTI ?

با رك الله فيكم

Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί

https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/

Silahkan bagi yang hendak membagikan semua tulisan yang ada di blog ini tanpa perlu izin, dengan syarat di sertakan linknya.

====================

SIKAP IMAM AL-SYAFI’I TERHADAP AHLI BID’AH


USTAZ IDRIS SULAIMAN

BERPEGANG DENGAN AL-QURAN DAN SUNNAH MENGIKUT PEMAHAMAN SALAF AL-SOLEH

SIKAP IMAM AL-SYAFI’I TERHADAP AHLI BID’AH


Oleh: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-‘Aqil, Pensyarah Jabatan Akidah, Uni. Islam Madinah, Arab Saudi

Susunan Teks: Ustaz Idris bin Sulaiman, Pegawai Penyelidik, Kedutaan Arab Saudi

Dari mukjizat Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, Baginda mengatakan bahawa umat Islam akan berpecah. Ini adalah realiti pada hari ini di mana Umat Islam berpecah seperti mana yang disebutkan dalam hadis perpecahan Umat, di mana Baginda mengatakan bahawa umat Islam akan berpecah kepada 73 kumpulan, kesemuanya di dalam api neraka kecuali satu sahaja.

Hal ini juga disebutkan di dalam hadis Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam daripada riwayat sahabat Irbadh bin Sariyah di mana Baginda mengatakan bahawa barangsiapa yang umurnya panjang dan hidup selepas kewafatan Baginda akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah dia berpegang dengan sunnah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khulafa’. Inilah jalan yang selamat, iaitu kembali kepada sunnah Nabi dan juga sunnah para sahabat.

SYIAH PADA ZAMAN IMAM AL-SYAFI’I

Perkembangan mazhab Syiah pada zaman Imam Al-Syafi’i sangat lemah. Walaubagaimanapun ia tidak menghalang Imam Al-Syafi’i daripada menyanggah pengikut-pengikut Syiah ini. Yunus bin ‘Abdul A’la berkata: “Aku mendengar Imam Al-Syafi’i apabila disebut nama (Syiah) Rafidhah, dia pun mencela mereka sekeras-kerasnya dan mengatakan bahawa mereka adalah seburuk-buruk golongan.” (Manaqib Al-Baihaqi)

Imam Al-Syafi’i juga berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang aku bersaksi akan kebohongannya selain dari golongan (Syiah) Rafidhah.’” (Ibid)

Imam Al-Syafi’i juga tidak membolehkan harta rampasan perang dibahagi sedikit pun kepada penganut Syiah Rafidhah yang ikut berperang. Beliau rh. berkata: “Tidak diberi bahagian dari harta rampasan sedikit pun kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika menyebut ayat tentang rampasan, maksudnya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: ‘Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.” (Al-Hasyr: 10), maka siapa yang tidak mengatakan ini tentu dia tidak berhak.” (Al-Thabaqat)

Ayat ini menunjukkan tentang wajibnya mencintai para sahabat Nabi kerana syarat untuk ditetapkan bahagian dari harta rampasan untuk orang-orang yang datang sesudah Sahabat Nabi adalah konsisten dalam cinta, kesetiaan, dan beristighfar untuk mereka (sahabat Nabi). Sebaliknya, orang yang mencela seorang sahaja dari mereka atau mempunyai keyakinan buruk terhadapnya, dia sama sekali tidak mempunyai hak di dalam harta rampasan.”

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik dan yang lain. Imam Malik berkata, “Siapa yang membenci salah seorang sahaja dari sahabat Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam atau di hatinya tersimpan dengki kepada mereka, maka tidak ada hak baginya dalam harta rampasan kaum Muslimin.” Kemudian dia membacakan firman Allah dalam Surah Al-Hasyr ayat 10. (Tafsir Al-Qurthubi)

Walaupun begitu jelas penolakan Imam Al-Syafi’i terhadap Syiah, serta penolakannya terhadap kesaksian Syiah, serta larangannya untuk solat di belakang Syiah, namun ada sahaja kelompok yang menuduh Imam kaum Muslimin ini sebagai Syiah. Tuduhan ini telah dibantah antaranya oleh muridnya sendiri iaitu Imam Ahmad rh.

Ibnu Katsir pula menegaskan: “Imam Al-Syafi’i terlalu mulia kedudukannya dan terlalu tinggi kehormatannya untuk sependapat dengan Syiah, suatu kelompok pinggiran, sebab beliau memiliki pemahaman yang sempurna, hafalan yang luar biasa, pemikiran yang cemerlang, dan daya logik yang cermat.” Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan bukti-bukti tentang sikap konsistennya Imam dalam mengikuti mazhab Salaf dalam menyikapi para Sahabat.

PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TERHADAP SUFI

Tasawuf adalah satu metod yang permulaannya adalah zuhud total dan kemudian berkembang dan setelah itu para penganutnya mula memperkenalkan nyanyian, muzik, dan tarian. Menurut mereka, tasawuf adalah pelatihan jiwa dan mujahadah ke arah akhlak yang baik seperti zuhud, sabar, ikhlas, jujur dan sifat terpuji yang lain. Akhirnya mereka dihalangi dari ilmu kerana mereka melihat bahawa yang menjadi tujuan adalah amal perbuatan. Apabila cahaya ilmu telah terpadam, akibatnya mereka teraba-raba dalam kegelapan.

Tidak dinafikan bahawa niat dan tujuan mereka baik, namun mereka tidak berada di atas kebenaran akibat tidak menitik beratkan ilmu sehingga ada di antara mereka yang mengamalkan hadis-hadis maudhu’ (palsu) sedangkan dia sendiri tidak menyedarinya. Tatacara ibadah beberapa kelompok di antara mereka menjadi bercabang-cabang kepada tarikat-tarikat sehingga akidah mereka pun menjadi rosak.

Pada zaman Imam Al-Syafi’i belum ada pendokong sufi kecuali sangat sedikit. Ungkapan sufi tidak popular pada tiga abad pertama, tetapi setelah kurun itu apabila ia mulai muncul, perbincangan tentang sufi banyak dibicarakan. Imam Syafi’i tidak ketinggalan menyanggah setiap bid’ah yang dilihat pada golongan ini. Telah masyhur perkataan Imam Al-Syafi’i tentang sufi, antaranya beliau berkata: “Pangkal tasawuf itu adalah kemalasan.” (Manaqib Al-Baihaqi)

Akibat jauhnya ahli sufi dari ilmu, Iblis sentiasa mengelabui mata mereka dengan pelbagai bentuk bid’ah hingga mereka mewujudkan untuk diri mereka sunnah-sunnah (tatacara ibadah) ciptaan mereka sendiri. Contohnya seperti bid’ah taghbir iaitu mereka menyebut “Allah, Allah” dengan menepuk-nepuk di atas tanah (untuk menghasilkan irama).

Berkenaan hal ini, Imam Al-Syafi’i berkata, “Aku tinggalkan di Iraq suatu yang diciptakan oleh kaum Zindiq, iaitu taghbir yang mereka sangka dapat melunakkan hati. Padahal ia menjauhkan manusia dari Al-Quran.” (Manaqib Al-Baihaqi)

Dari Ibnul Jauzi, Abu Mansur Al-Azhari menyebut bahawa mughabbirah adalah sekelompok orang yang bersungguh-sungguh di dalam zikir kepada Allah dengan doa dan merendah diri kepadaNya. Mereka menamakan apa yang mereka senangi dari syair taghbir. Apabila mereka melihat ia dilantunkan dengan suara yang merdu, mereka merasa senang dan menari-nari. Dari itu mereka dinamakan mughabbirah.

Imam Al-Syafi’i berkata: “Sama’ (mendengar nyanyian) adalah hiburan yang dibenci dan menyerupai kebatilan. Siapa yang banyak melantunkannya, dia termasuk orang yang dungu dan tidak diterima kesaksiannya.” Al-Zajjaj berkata: “Imam Al-Syafi’i membenci taghbir. Kalangan pemuka dari teman-teman Imam Al-Syafi’i  mengingkari sama’ sebagaimana tidak ada perbezaan di kalangan pengikut awalnya tentang hal itu. Di kalangan pengikutnya yang akhir yang turut mengingkari ialah Abu Al-Thayyib Al-Thabari, bahkan dia menulis kitab tentang larangan dan celaan terhadap nyanyian.

Selain Abu Al-Thayyib, juga Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Muzaffar Al-Syami. Dia berkata, “Tidak dibolehkan nyanyian, mendengarnya, dan memukul-mukul tongkat (untuk menghasilkan irama).  Barangsiapa menyandarkan hal itu kepada Imam Al-Syafi’i bererti dia telah berbuat dusta terhadapnya.” Bahkan Imam Al-Syafi’i menerangkan di dalam kitab Adab Al-Qadha’: “Apabila seseorang terus-menerus mendengar nyanyian, nescaya ditolak kesaksiannya dan batal kelurusan agamanya.”

Ibnul Jauzi berkata: “Ini adalah pendapat kalangan ulama Syafi’iyah dan para ahli agama di antara mereka. Hanya kalangan mutaakkhir (orang yang datang kemudian) yang memberi kemudahan tentang hal itu, yakni orang yang minima ilmu dan dikuasai hawa nafsu.” (Talbis Iblis)

Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahawa setiap jalan dan setiap syariat yang tidak menepati cara dan ajaran Rasulullah adalah sesat dan terpesong. Ini kerana ilmu itu adalah apa yang difirmankan oleh Allah dan apa yang disabdakan oleh Rasulullah dan apa yang disebut oleh para sahabat. Selain daripada itu bukanlah ilmu sebaliknya adalah bisikan daripada Syaitan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam melakukan setiap yang makruf dan melarang setiap yang munkar, menghalalkan setiap yang baik dan mengharamkan setiap yang buruk. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, kecuali sudah menjadi kewajipan baginya untuk mengarahkan umatnya kepada kebaikan sesuai apa yang diketahuinya untuk mereka, dan melarang dari keburukan apa yang diketahui untuk mereka.” (Riwayat Muslim)

CARA MENYIKAPI AHLI BID’AH PADA ZAMAN INI

Kita berdepan dengan ahli bid’ah pada zaman ini seperti mana ulama-ulama Islam telah berdepan dengan mereka pada zaman dahulu. Kita menasihati mereka serta memberi peringatan yang baik kepada mereka. Di samping itu kita juga memulau majlis-majlis mereka dan tidak menghadiri majlis-majlis mereka. Hal ini adalah kerana majlis bid’ah tidak diredai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengundang murka Allah.

Imam Ahmad ketika ditanya tentang taghbir, beliau menjawab: “Sesuatu yang bid’ah.” Beliau ditanya lagi: “Bolehkah kami duduk-duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh duduk bersama mereka.” (Majmu’ Al-Fatawa)

Sesungguhnya kebaikan itu semuanya terletak pada perbuatan mengikuti Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan keburukan semuanya terletak pada perbuatan yang menyalahinya iaitu bid’ah dalam masalah yang Allah tidak izinkan padanya (masalah agama). Wallahu a’lam.

Artikel ini disiarkan di akhbar pada Sabtu, 22 Jun 2013


https://ustazidrissulaiman.wordpress.com/2013/06/22/sikap-imam-al-syafii-terhadap-ahli-bidah/