Fiqih Shalat Gerhana
I. Muqadimah
Kusuful
Qamar (Gerhana Bulan) dan Khusufusy Syams (Gerhana Matahari) adalah dua
tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala yang dikehendakiNya terjadi dalam
kehidupan dunia. Keduanya tidak terkait dengan mitos dan khurafat
tertentu. Keduanya –dan hal apa pun yang terjadi pada benda-benda
langit- adalah terjadi sesuai dengan iradah dan qudrahNya atas mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
الشَّمْسُ
وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (5) وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ (6)
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا فِي
الْمِيزَانِ (8)
Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungan dan tumbuh-tumbuhan dan
pohon-pohonan Kedua-duanya tunduk kepada nya dan Allah telah meninggikan
langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan
melampaui batas tentang neraca itu. (QS. Ar Rahman: 5-8)
Islam
telah memberikan bimbingan bagi umatnya tentang apa yang mesti mereka
perbuat jika datang peristiwa gerhana. Peristiwa ini bukan sekedar
menjadi pengalaman alamiah semata, dan sekedar untuk bersenang-senang
melihat gerhana, tetapi dikembalikan kepada upaya dan sarana pengabdian
kepada yang menciptakan terjadinya gerhana.
II. Ta’rif (Definisi)
Apakah yang dimaksud dengan Kusuful Qamar dan Khusufusy Syams?
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وجمهور أهل اللغة وغيرهم على أن الخسوف والكسوف يكون لذهاب ضوئهما كله و يكون لذهاب بعضه
Menurut
mayoritas ahli bahasa dan selain mereka, bahwa khusuf dan kusuf itu
terjadi karena hilangnya cahaya keduanya (matahari dan bulan) secara
keseluruhan, dan karena juga hilangnya sebagiannya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
III. Masyru’nya Shalat Gerhana
Kesunahan
shalat gerhana telah menjadi kesepakatan dari masa ke masa, sebab
begitu banyak riwayat yang menyebutkannya, baik untuk dilakukan oleh
kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah.
Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
اتفق العلماء على أن صلاة الكسوف سنة مؤكدة في حق الرجال والنساء، وأن الافضل أن تصلى في جماعة وإن كانت الجماعة ليست شرطا فيها
Para
ulama telah sepakat, bahwasanya shalat gerhana adalah sunah muakadah
(sunah yang ditekankan) bagi kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya
dilakukan secara berjamaah, hanya saja berjamaah itu bukan syarat sahnya
shalat gerhana. (Fiqhus Sunnah, 1/213)
Imam An Nawawi Rahimahullah juga menjelaskan:
وأجمع العلماء على أنها سنة ومذهب مالك والشافعي وأحمد وجمهور العلماء أنه يسن فعلها جماعة وقال العراقيون فرادى
Ulama
telah ijma’ bahwa shalat gerhana adalah sunah, dan madzhab Malik,
Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama bahwa shalat tersebut disunahkan
dilakukan dengan cara berjamaah. Sedangkan ‘Iraqiyin (para ulama Iraq,
yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, pen) berpendapat dilakukan
sendiri saja. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Artinya,
tidak mengapa dilakukan sendiri, namun menghidupkan sunah –yakni
berjamaah- adalah lebih utama, sebab begitulah yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabatnya, dan ini menjadi
pegangan umumnya fuqaha.
IV. Dalil Pensyariatannya
Di
sini akan di sebutkan satu saja dari sekian banyak dan model
penceritaan shalat gerhana, yakni dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha
menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا
اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Sesungguhnya
(gerhana) matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda
kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang dan
bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka
berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044, 1046, Muslim No. 901)
Inilah
cara Islam, yakni berdoa, berdzikir (takbir), shalat, dan bersedekah,
bukan mengaitkannya dengan mitos, tahayul, dan khurafat tertentu. Sabda
nabi ini, sekaligus mengoreksi keyakinan sebagian manusia pada zaman itu
yang mengaitkan terjadinya gerhana dengan wafatnya anak Beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Ibrahim.
V. Waktu Pelaksanaannya
Waktunya adalah sejak awal gerhana sampai keadaan kembali seperti sedia kala.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ووقتها من حين الكسوف إلى التجلي
Waktunya adalah dari sejak gerhana sampai kembali tampak (sinarnya). (Fiqhus Sunnah, 1/215)
Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
تصلى هذه الصلاة وقت حدوث الكسوف والخسوف
Dilaksanakannya shalat ini adalah pada waktu terjadinya gerhana (Al Kusuf dan Al Khusuf). (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/552)
Sehingga,
shalat gerhana belum boleh dilaksanakan jika belum mulai gerhana, dan
sebaliknya jika sudah nampak terang atau sinar lagi secara sempurna,
selesailah waktu dibolehkannya pelaksanaan shalat gerhana.
Bolehkah
dilakukan pada waktu-waktu terlarang shalat? Yaitu setelah shalat subuh
sampai saat awal terbit matahari, ketika matahari tegak di atas sampai
tergelincirnya, lalu setelah shalat ashar sampai saat pas matahari
terbenam.
Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat, Jumhur (mayoritas) mengatakan
tidak boleh yakni makruh, inilah pandangan Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah, kalangan Hanabilah mengatakan berdoa dan berdzikir saja,
tanpa shalat, sebab larangan itu berlaku umum untuk jenis shalat sunah
apa pun. Ada pun kalangan syafi’iyah membolehkannya. (Ibid, 2/553-554)
Yang lebih kuat – Wallahu A’lam- adalah yang menyatakan boleh. Dalilnya adalah:
- Keumuman dalil:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044, Muslim No. 901)
Maka,
hadits ini berlaku secara mutlak (umum) bahwa shalat gerhana dilakukan
kapan saja, sebab itu adalah konsekuensi dari perkataan “Jika kalian
menyaksikannya.” Jadi, kapan saja menyaksikan gerhana, shalatlah . ...
-
Larangan shalat pada waktu-waktu terlarang itu hanya berlaku bagi
shalat-shalat yang dilakukan tanpa sebab (istilahnya shalat muthlaq).
Ada pun jika dilakukan karena adanya sebab khusus, maka dibolehkan. Hal
ini terlihat jelas ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkan
seorang sahabatnya yang mengqadha shalat sunah fajar dilakukan setelah
shalat subuh. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengqadha
shalat sunah ba’diyah zhuhur di waktu setelah ashar. Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan seseorang untuk melaksanakan
shalat tahiyatul masjid ketika beliau sedang khutbah, padahal itu
adalah waktu yang terlarang melakukan aktifitas apa pun kecuali
mendengarkan khutbah, ternyata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru
memerintahkan sahabat itu, dengan mengatakan qum farka’ rak’atain
(Bangunlah dan shalatlah dua rakaat). Para sahabat juga pernah shalat
jenazah pada waktu setelah ashar, sehingga menurut Imam An Nawawi dan
Imam Abul Hasan Al Mawardi kebolehan shalat jenazah pada waktu
terlarang adalah ijma’ , karena saat itu para sahabat tidak ada yang
mengingkarinya. Begitu pula shalat gerhana di waktu-waktu terlarang ini,
dia termasuk shalat yang memiliki sebab (yakni peristiwa gerhana),
bukan termasuk shalat muthlaq. Sehingga tetap dibolehkan walau dilakukan
saat waktu terlarang shalat.
VI. Tata Cara Pelaksanaannya
Tata
cara pelaksanaan shalat gerhana telah dijelaskan secara rinci dalam
kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
خَسَفَتْ
الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَكَبَّرَ
فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً
طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ سَمِعَ
اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقَامَ وَلَمْ يَسْجُدْ وَقَرَأَ قِرَاءَةً
طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ
وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ
ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِثْلَ ذَلِكَ
فَاسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ
الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ
Terjadi
gerhana matahari pada saat hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, Beliau keluar menuju masjid lalu dia berbaris bersama manusia di
belakangnya, lalu Beliau bertakbir, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam membaca surat dengan panjang (lama), lalu beliau bertakbir
dan ruku dengan ruku yang lama, lalu bangun dan berkata: sami’allahu
liman hamidah, lalu Beliau berdiri lagi tanpa sujud, lalu Beliau membaca
lagi dengan panjang yang hampir mendekati panjangnya bacaan yang
pertama, lalu Beliau takbir, lalu ruku dengan ruku yang lama yang hampir
mendekati lamanya ruku yang pertama, lalu mengucapkan: sami’allahu
liman hamidah rabbana wa lakal hamdu, kemudian Beliau sujud. Kemudian
dia berkata: pada rakaat terakhir dilakukan seperti itu juga maka
sempurnalah empat kali ruku pada empat kali sujud. Lalu, matahari terbit
sebelum Beliau pulang. (HR. Bukhari No. 1046, Muslim No. 901, 1, 3)
Dalam hadits ini bisa dipahami:
- Shalat gerhana dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam masjid
- Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah
- Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat
- Rakaat pertama dua kali ruku, Rakaat kedua juga dua kali ruku, total empat kali ruku
-
Tertibnya: takbiratul ihram, membaca Al Fatihah, membaca surat yang
panjang, lalu ruku yang lama, bangun lagi, membaca Al Fatihah, membaca
surat yang panjangnya hampir sama dengan yang pertama, lalu ruku’ yang
lamanya hampir sama dengan ruku sebelumnya, setelah itu sujud seperti
shalat biasa (lengkap dengan duduk di antara dua sujudnya), lalu bangun
lagi dan melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama, hingga salam.
Tambahan:
- Ada pun dalam riwayat lain, diceritakan bahwa sujudnya juga panjang. (HR. Bukhari No. 3203)
-
Dianjurkan imam mengucapkan Ash Shalatu Jami’ah, boleh juga orang lain,
untuk mengumpulkan manusia agar berkumpul di masjid, sebagaimana
riwayat berikut:
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
Ketika
terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam telah diserukan bahwa sesungguhnya shalat ini berjamaah (Ash
Shalatu Jaami’ah). (HR. Bukhari 1045, menurut lafaz Imam Muslim No.
910, 20: nudiya bish shalati jaami’ah – diserukan dengan kalimat: Ash
Shalatu Jaami’ah.)
Oleh karenanya, Syaikh Sayyid Sabiq berkata:
وينادى لها: (الصلاة جامعة)
Dan diserukan untuk shalat gerhana: Ash Shalatu Jaami’ah! (Fiqhus Sunnah, 1/213)
Demikian ini adalah tata cara shalat menurut jumhur ulama.
Apakah Ada Cara Lain?
Dalam
pandangan Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, tatacara shalat gerhana
adalah dua rakaat biasa dengan sekali ruku, sebagaimana shalat hari raya
atau shalat Jumat.
Imam An Nawawi menyebutkan:
وقال الكوفيون هما ركعتان كسائر النوافل عملا بظاهر حديث جابر بن سمرة وأبي بكرة أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى ركعتين
Berkata
Kufiyyin (Para ulama Kufah), shalat gerhana adalah dua rakaat
sebagaimana shalat nafilah lainnya, berdasarkan zahir hadits Jabir bin
Samurah dan Abu Bakrah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat
dua rakaat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Dalilnya adalah bahwa:
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فإذا رأيتم ذلك فصلوا كأحدث صلاة صليتموها من المكتوبة
Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan.
(HR. Ahmad No. 20607, dari Qabishah, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra
No. 1870, dari An Nu’man bin Basyir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra
No. 6128, Al Bazzar No. 1371, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 957,
dalam Al Awsath No. 2805)
2. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
الشمس انخسفت فصلى نبي الله صلى الله عليه وسلم ركعتين ركعتين
Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua rakaat. (HR. An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 1872, Al Bazzar No. 3294)
Namun dua hadits ini dipermasalahkan para ulama. Kita bahas satu persatu.
Hadits
pertama, yang berbunyi: “Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah
kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan.”
-
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 20607, dengan sanad:
Berkata kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, berkata kepada kami Ayyub,
dari Abu Qilabah, dari Qabishah, katanya: (lalu disebut hadits di
atas)
-
Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1870,
dengan sanad: Telah mengabarkan kami Muhammad bin Basyar, dia berkata:
telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahhab, dia berkata: Khalid dari Abu
Qilabah dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebutkan hadits
diatas)
-
Dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6128,
dengan sanad: Telah mengabarkan kami Abul Hasan Ali bin Muhammad Al
Muqri’ Al Mihrajani, dengannya dia mengabarkan kepada Al Hasan bin
Muhammad bin Ishaq, berkata kepada kami Yusuf bin Ya’qub Al Qadhi,
berkata kepada kami Muhammad bin Abi Bakr, berkata kepada kami Abdul
Wahhab Ats Tsaqafi, dari Khalid, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin
Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
-
Dikeluarkan oleh Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 1371, dengan sanad:
bercerita kepada kami Nashr bin Ali, bercerita kepada kami Ziyad bin
Abdullah, Yazid bin Abi Ziyad, Abdurrahman bin Abi Laila, dari Bilal,
katanya: (lalu disebut hadits di atas)
-
Imam Al Bazzar juga mengeluarkan pada No. 3294, dengan sanad: bercerita
kepada kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan kami Muadz bin Hisyam,
katanya: ayahku mengabarkan kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah,
dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
-
Imam Ath Thabarani mengelurkan dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 2805,
sanadnya: bercerita kepada kami Ibrahim, bercerita kepada kami Ruh bin
Abdul Mu’min Al Bashri, bercerita kepada kami Muadz bin Hisyam, katanya:
ayahku berkata kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man
bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
-
Imam Ath Thabarani juga mengelurkan dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 957,
sanadnya: bercerita kepada kami ’Abdan bin Ahmad, bercerita kapeada kami
Muawiyah bin ‘Imran Al Jarmi, bercerita kepada kami Anis bin Siwar Al
Jarmi, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Hilal bin Amru, bahwa Qabishah
Al Hilali berkata kepadanya: (disebutkan hadits di atas)
Validitas
hadits ini diperselisihkan para imam, sebab umumnya jalur hadits ini
melalui Abu Qilabah (nama aslinya adalah Abdullah bin Zaid Al Jarmi),
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
كان كثير الإرسال، ولم يصرِّح هنا بسماعه من قبيصة بن مخارق
Dia
banyak memursalkan hadits, dan pada hadits ini tidak ada kejelasan
bahwa dia mendengar hadits tersebut dari Qabishah bin Mukhaariq. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 20607. Beliau pun mengatakan: isnaduhu dhaif - isnadnya dhaif)
Imam Al Baihaqi juga mengisyaratkan kedhaifan riwayat ini, katanya:
هذا مرسل أبو قلابة لم يسمعه من النعمان بن بشير إنما رواه عن رجل عن النعمان
Hadits
ini mursal, Abu Qilabah belum pernah mendengarnya dari An Nu’man bin
Basyir, sesungguhnya dia cuma mendengar dari seorang laki-laki, dari An
Nu’man. (Lihat As Sunan Al Kubra No. 6128)
Imam Yahya bin Al Qaththan juga menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat, yakni inqitha’ (terputus sanadnya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/215)
Imam Al Haitsami mengomentari:
رواه البزار والطبراني في الأوسط والكبير وعبد الرحمن بن أبي ليلى لم يدرك بلالا وبقية رجاله ثقات
Diriwayatkan
oleh Al Bazzar, Ath Thabarani dalam Al Awsath, dan Al Kabir, dan
Abdurrahman bin Abi Laila belum pernah berjumpa dengan Bilal, namun para
perawi lainnya terpercaya. (Majma’ Az Zawaid, 2/446)
Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan:
قَالَ
أَبِي: قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: أَبُو قِلَابَةَ عَنْ النُّعْمَانِ
بْنِ بَشِيرٍ مُرْسَلٌ، قَالَ أبي: قد أدرك أبي قِلَابَةَ النُّعْمَانَ
بْنَ بَشِيرٍ، وَلَا أَعْلَمُ أَسَمِعَ مِنْهُ، أَوْ لَا
Berkata
Ayahku (Imam Abu Hatim): Berkata Yahya bin Ma’in: Abu Qilabah dari An
Nu’man adalah mursal. Berkata ayahku: Abu Qilabah telah berjumpa dengan
An Nu’man bin Basyir, tapi aku tidak tahu apakah dia mendengar darinya
atau tidak. (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 2/228)
Jadi,
permasalahan yang ada pada hadits ini adalah semua jalurnya terputus
sanadnya baik Abu Qilabah kepada An Nu’man bin Basyir, atau Abu
Qilabah kepada Qabishah, atau Abdurrahman bin Abi Laila kepada Bilal,
walau periwat lainnya adalah orang-orang terpercaya, sehingga
dilemahkan oleh sebagian imam ahli hadits seperti yang kami sebutkan di
atas.
Sedangkan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menilai bahwa hadits
ini mudhtharib (guncang), sehingga pendapat tentang tata cara shalat
gerhana seperti shalat biasa adalah keliru. Beliau mengatakan:
قلت : هذا المذهب غير صحيح لأن الحديث ليس بصحيح فإنه مضطرب كما يأتي ومخالف للأحاديث الصحيحة الواردة في الباب
Aku
berkata: madzhab ini tidak benar, karena hadits tersebut tidak shahih,
karena dia hadits mudhtharib sebagaimana penjelasan nanti, dan
bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih yang ada pada masalah ini.
(Tamamul Minnah, Hal. 262)
Namun,
sebagian imam menshahihkan hadits ini. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan
bahwa hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar. (At Talkhish Al Habir, 2/215)
Imam
An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih, walaupun Imam Al Baihaqi
mengatakan adanya rawi yang gugur (tidak disebut) antara Abu Qilabah dan
Qabishah, yaitu Hilal bin Amru, tidaklah menodai keshahihannya, sebab
Hilal bin Amru adalah tsiqah. Imam Al Hakim telah menshahihkannya. (Imam An Nawawi, Khulashah Al Ahkam, 2/863)
Demikian hadits pertama.
Hadits kedua, yang berbunyi: Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua rakaat.
-
Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487, dengan sanad:
mengabarkan kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan kami Muadz (dia
adalah Ibnu Hisyam), ayahku bercerita kepadaku, dari Qatadah, dari Abu
Qilabah, dari Qabishah Al Hilali, bahwasanya: (lalu disebutkan hadits di
atas)
Hadits
ini sama dengan sebelumnya yakni kemursalan Abu Qilabah terhadap
Qabishah Al Hilali. Sehingga Syaikh Al Albani mendhaifkannya. (Lihat Dhaif ul Jami’ No. 1474, Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1487)
Jadi,
setelah diketahui bahwa keshahihan hadits ini tidak pasti, bahkan
kecenderungan adalah dhaif, maka tata cara shalat gerhana yang shahih
adalah sebagaimana pendapat jumhur ulama, dengan masing-masing rakaat
dua kali ruku’, sebab hal itu diriwayatkan oleh hadits-hadits yang lebih
shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari para sahabat
nabi yang lebih banyak dan lebih utama.
Oleh karenanya, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وحجة
الجمهور حديث عائشة من رواية عروة وعمرة وحديث جابر وبن عباس وبن عمرو بن
العاص أنها ركعتان في كل ركعة ركوعان وسجدتان قال بن عبدالبر وهذا أصح ما
في هذا الباب
Alasan
jumhur adalah hadits ‘Aisyah dari riwayat, ‘Urwah, ‘Umrah, jabir, Ibnu
Abbas, Ibnu Amr bin Al ‘Ash, bahwa shalat tersebut adalah dua kali ruku
pada setiap rakaat, dan juga dua kali sujud. Ibnu Abdil Bar berkata: Ini
adalah yang paling shahih tentang masalah ini. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:
السنة
الصحيحة الصريحة المحكمة في صلاة الكسوف تكرار الركوع في كل ركعة، لحديث
عائشة وابن عباس وجابر وأبي بن كعب وعبد الله بن عمرو بن العاص وأبي موسى
الاشعري.
كلهم
روى عن النبي صلى الله عليه وسلم تكرار الركوع في الركعة الواحدة، والذين
رووا تكرار الركوع أكثر عددا وأجل وأخص برسول الله صلى الله عليه وسلم من
الذين لم يذكروه
Sunah
yang shahih dan jelas, yang bisa dijadikan hukum tentang shalat kusuf
adalah yang menunjukkan diulangnya ruku pada setiap rakaat, yang
ditunjukkan oleh hadits ‘Asiyah, Ibnu ‘Abbas, jabir, Ubai bin Ka’ab,
Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, dan Abu Musa Al Asy’ari.
Semuanya
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ruku diulang
dalam satu rakaat, orang-orang yang meriwayatkan berulangnya ruku lebih
banyak jumlahnya, lebih berwibawa, lebih istimewa hubungannya dengan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibanding orang-orang yang
tidak menyebutkan hal demikian. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/214. Lihat Raudhah An Nadiyah, 1/157)
Wallahu A’lam
VII. Khutbah
Imam
tiga madzhab mengatakan bahwa tidak ada khutbah dalam masalah gerhana
ini. Baik sebelum atau sesudah shalat. Apalagi bagi yang mengatakan
bahwa shalat gerhana itu dilakukan secara munfarid (sendiri). Hal itu
merupakan konsekuensi logis dari pendapat mereka bahwa shalat gerhana
dilakukan secara sendiri, sebab mana mungkin ada khutbah jika shalatnya
sendiri.
Tertulis dalam berbagai kitab para ulama:
قَال
أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ : لاَ خُطْبَةَ لِصَلاَةِ
الْكُسُوفِ ، وَذَلِكَ لِخَبَرِ : فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا
اللَّهَ ، وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا أَمَرَهُمْ - عَلَيْهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - بِالصَّلاَةِ ، وَالدُّعَاءِ ، وَالتَّكْبِيرِ ،
وَالصَّدَقَةِ ، وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِخُطْبَةٍ ، وَلَوْ كَانَتِ
الْخُطْبَةُ مَشْرُوعَةً فِيهَا لأَمَرَهُمْ بِهَا ؛ وَلأِ نَّهَا صَلاَةٌ
يَفْعَلُهَا الْمُنْفَرِدُ فِي بَيْتِهِ ؛ فَلَمْ يُشْرَعْ لَهَا خُطْبَةٌ
Berkata
Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad: tidak ada khutbah pada shalat gerhana,
alasannya adalah karena hadits: Jika kalian melihat hal itu (gerhana)
maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka dengan
shalat, doa, takbir, dan bersedekah, tidak memerintahkan mereka
berkhutbah. Seandainya khutbah itu disyariatkan, tentunya mereka akan
diperintahkan melakukannya, dan juga disebabkan bahwa shalatnya
dilakukan sendiri dirumah, maka khutbah tentunya tidak disyariatkan. (Bada’i Ash Shana’i, 1/282, Mawahib Al Jalil, 2/202, Hasyiah Ad Dasuqi, 1/302, Al Mughni, 2/425, Tabyinul Haqaiq, 1/229)
Sementara
Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya mengatakan bahwa khutbah pada shalat
gerhana itu disyariatkan. Dilakukan setelah shalat dengan dua kali
khutbah, diqiyaskan dengan shalat Id. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/52, Asnal Mathalib, 1/286)
Dalilnya
adalah hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang menceritakan tatacara
shalat gerhana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu
kata ‘Aisyah:
....ثُمَّ
انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا
وَتَصَدَّقُوا
“
... kemudian Beliau berbalik badan dan matahari mulai terang, lalu dia
berkhutbah di hadapan manusia, beliau memuji Allah dengan berbagai
pujian, kemudian bersabda: Sesungguhnya (gerhana) matahari dan bulan
adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi
bukan karena wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika
kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah,
shalat, dan bersedehkahlah.” (HR. Bukhari No. 1044)
Hadits
ini tegas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melakukan khutbah setelah shalat gerhana, dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melakukannya dimulai dengan puji-pujian.
Maka,
yang shahih adalah –wallahu a’lam- bahwa khutbah gerhana adalah sunah.
Seandai pun nabi hanya melakukan sekali dalam hidupnya, itu tidaklah
menghilangkan kesunahannya. Hanya saja tidak ada keterangan khutbah itu
adalah dua kali khutbah sebagaimana shalat Id. Tidak dalam hadits, dan
tidak pula dalam astar para salaf. Dengan kata lain, aturan dalam
khutbah setelah shalat gerhana tidak se-rigid (kaku) khutbah Jumat dan
Id (Hari Raya). Ada pun pendapat kalangan Syafi’iyah hanya berasal dari
qiyas saja.
Ada ulasan yang bagus dan patut dijadikan renungan dari Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah sebagai berikut:
ثم
اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم
من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما
اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه
خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة واتفاق مثل ذلك في خطبته صلى الله
تعالى عليه وآله وسلم لا يدل على أنه مقصود متحتم وشرط لازم ولا يشك منصف
أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة عليه صلى الله
تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد أن
يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا
وأولاه, ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده ولو قال قائل أن من قام في
محفل من المحافل خطيبا ليس له باعث على ذلك إلا أن يصدر منه الحمد والصلاة
لما كان هذا مقبولا بل كل طبع سليم يمجه ويرده, إذا تقرر هذا عرفت أن
الوعظ في خطبة الجمعة هو الذي يساق إليه الحديث فإذا فعله الخطيب فقد فعل
الأمر المشروع إلا أنه إذا قدم الثناء على الله وعلى رسوله أو استطرد في
وعظه القوارع القرآنية كان أتم وأحسن.
Kemudian
ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah yang biasa dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yaitu memberikan kabar
gembira dan menakut-nakuti manusia. Inilah hakikat yang menjadi jiwa
sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi disyariatkan. Adapun yang
disyaratkan berupa membaca Alhamdulillah, shalawat kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, membaca ayat Al Quran, maka semuanya itu
adalah perkara di luar tujuan umum disyariatkannya khutbah. Telah
disepakati bahwa hal-hal seperti ini (membaca hamdalah, shalawat, dan
membaca ayat, pen) dalam khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidaklah menunjukkan bahwa hal itu menjadi syarat yang wajib
dilakukan. Tidak ragu lagi bagi orang yang objektif (munshif), bahwa
tujuan utama dari khutbah adalah nasihatnya, bukan apa yang dibaca
sebelumnya baik itu Alhamdulillah dan shalawat kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Telah
menjadi tradisi orang Arab yang terus menerus, bahwa jika salah seorang
di antara mereka berdiri untuk pidato mereka akan memuji Allah Ta’ala
dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan memang betapa baik dan
utama hal itu. Tetapi itu bukanlah tujuannya, tujuannya adalah apa yang
diuraikan setelahnya. Jika ada yang mengatakan bahwa tujuan orang
berpidato dalam sebuah acara adalah hanya mengutarakan Alhamdulillah dan
Shalawat, maka hal ini tidak bisa diterima, dan setiap yang berpikiran
sehat akan menolaknya.
Jadi,
jika telah dipahami bahwa jika orang sudah menyampaikan nasihat dalam
khutbah Jumat, dan itu sudah dilakukan oleh khatib, maka dia telah cukup
disebut telah menjalankan perintah. Hanya saja jika dia mendahuluinya
dengan membaca puji-pujian kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta mengaitkan pembahasannya dengan
membaca ayat-ayat Al Quran, maka itu lebih sempurna dan lebih baik. (Imam Shiddiq Hasan Khan, Ar Raudhah An Nadiyah, 1/137)
Demikian
menurut Imam Shiddiq Hasan Khan. Sebenarnya di dalam sunah, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka khutbah dengan bacaan berikut:
أَنْ
الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ
شُرُورِ أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا
{ اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا }
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ }
{
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا }
(Bacaan
pembuka khutbah ini, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi No. 1105, Imam
Abu Daud No. 2118, Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1360,
Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5528, Imam Ath Thabarani Al
Mu’jam Al Kabir No. 10079, Ahmad No. 4115)
Hadits ini dikatakan hasan oleh Imam At Tirmidzi. (Sunan At Tirmidzi No. 1105), dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 4115), Syaikh Al Albani juga menshahihkan hadits ini. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2118)
Kalimat
pembuka ini dipakai ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam khutbah
haji wada’, oleh karenanya dikenal dengan Khutbatul Hajjah. Tetapi,
pembukaan seperti ini juga dianjurkan pada khutbah-khutbah lainnya,
termasuk khutbah gerhana.
Imam Al Baihaqi menceritakan sebagai berikut:
قال شعبة قلت لأبي إسحاق هذه في خطبة النكاح أو في غيرها قال في كل حاجة
Berkata
Syu’bah: Aku bertanya kepada Abu Ishaq, apakah bacaan ini pada khutbah
nikah atau selainnya? Beliau menjawab: “Pada setiap hajat (kebutuhan).” (Lihat As Sunan Al Kubra No. 13604)
Ada
pun tentang penutup khutbah, di dalam sunah pun ada petunjuknya, yaitu
sebuah doa ampunan yang singkat untuk khathib dan pendengarnya.
عن
ابن عمر ، رضي الله عنهما قال : إن النبي صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة
قام على رجليه قائما ، وخطب فحمد الله تعالى وأثنى عليه وخطب خطبة ، ذكرها
ثم قال : « أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم »
Dari
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Fathul Makkah berdiri di atas
kedua kakinya, dan dia berkhutbah, lalu memuji Allah Ta’ala, dan
menyampaikan khutbahnya, kemudian berkata: Aquulu qauliy hadza wa
astaghfirullahu liy wa lakum – aku ucapkan perkataanku ini dan aku
memohonkan ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian. (HR. Al Fakihani dalam Al Akhbar Al Makkah No. 1731)
Ucapan
ini juga diriwayatkan banyak imam dengan kisah yang berbeda-beda,
seperti oleh Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah, Imam Al Baghawi
dalam Syarhus Sunnah, Imam Ad Darimi dalam Sunannya, Imam Ath Thabarani
dalam Al Mu’jam Al Kabir, dan lainnya.
VIII. Adakah amalan khusus selain shalat?
Seperti
yang telah diketahui, kita diperintahkan untuk berdoa, shalat,
bertakbir dan bersedekah. Dari empat amalan ini hanya shalat yang
memiliki keterangan khusus dan mendetail.
Ada
pun doa, tidak ada keterangan doa khusus gerhana; baik sebelum,
ketika, dan sesudahnya; baik diawal khutbah, ketika, dan di akhirnya,
dan sesudah gerhananya. Maka, kapan saja berdoa selama masih keadaan
gerhana, dengan doa apa pun untuk kebaikan dunia, akhirat, pribadi, dan
umat, adalah boleh, karena termasuk keumuman perintah untuk berdoa.
Begitu
pula bertakbir, tidak ada keterangan khusus bentuk takbir apa yang
diucapkan. Oleh karenanya, takbir apa pun secara umum yang bermakna
membesarkan dan mengagungkan nama Allah Ta’ala tidaklah mengapa.
Tidak
ada pula keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah tentang kadar dan
jenis sedekah yang mesti dikeluarkan ketika gerhana. Maka, ini
diserahkan atas kerelaan masing-masing.
Wallahu A’lam