Memahami Posisi Imam dan Ma’mum Dalam Shalat Berjamaah
OlehUstadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam. Ia dapat menjadi media pemersatu hati kaum Muslimin. Berkumpulnya kaum Muslimin di rumah Allah untuk menunaikan ibadah dipimpin oleh seorang imam, yang tentunya membutuhkan aturan secara lengkap dan jelas. Semua itu diperlukan, karena sebagai kebutuhan, sehingga kaum Muslimin mengetahui aturan yang jelas saat berinteraksi dalam beribadah di tempat yang satu. Begitu juga saat melakukan shalat berjamaah, hendaklah setiap kaum Muslimin mengetahui tentang hal itu, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap syariat.
SIAPA YANG LEBIH BERHAK MENJADI IMAM?
Jika di suatu masjid terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid. Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki hafalan al Qur’an dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila juga setara, maka didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.[1]
Ini semua berdasarkan pada beberapa hadits di bawah ini:
1). Hadits Abu Sa’id al Khudri :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Apabila mereka tiga orang, maka hendaklah seorang dari
mereka menjadi imam shalat mereka, dan yang paling berhak menjadi imam
adalah yang paling baik bacaan al Qur`annya” [HR Muslim 672]
2). Hadits Abu Mas’ud al Anshari, ia menyatakan :قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada kami: “Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum
adalah yang paling hafal al Qur`an dan paling baik bacaannya. Apabila
dalam bacaan mereka sama, maka yang berhak menjadi imam adalah yang
paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama dalam hijrah, maka yang
berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah kalian menjadi
imam atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga
menduduki permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan
izinnya” [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’
Shalat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no. 1709]
Namun demikian, hal ini tidak termasuk syarat sahnya shalat
berjamaah, karena seseorang diperbolehkan menjadi imam bagi orang yang
lebih berhak menjadi imam darinya, sebagaimana kisah Nabi. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di belakang Abu Bakar
sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata :لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنْ الْوَجَعِ فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sakit di akhir hayatnya, lalu datanglah waktu shalat dan Bilal
telah beradzan, maka beliau berkata: “Perintahkan Abu Bakar agar
mengimami shalat,” lalu ada yang berkata kepada beliau : “Sungguh Abu
Bakr seorang yang lembut hati. Apabila menggantikan kedudukanmu, ia
tidak dapat mengimami orang banyak”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengulangi lagi (perintahnya) dan merekapun mengulangi
(pernyataan tersebut), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengulanginya yang ketiga dan berkata: “Kalian ini seperti wanita-wanita
dalam kisah Yusuf[2]. Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang
shalat,” lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami shalat. Kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada dua
orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam
melangkah) karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau
memberikan isyarat untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan
duduk di sebelah Abu Bakar” [HR al Bukhari, kitab al Adzan, hadits 2641]
Hadits ini, secara jelas menunjukkan bolehnya seseorang mengimami orang yang lebih berhak menjadi imam darinya. Wallahu a’lam.SIAPAKAH YANG SAH MENJADI IMAM
Semua orang yang sah shalatnya, ia dapat menjadi imam atau sah menjadi imam dalam shalat. Namun ada orang-orang yang dianggap oleh sebagian orang tidak pantas menjadi imam, padahal mereka sah menjadi imam, di antaranya:
1). Orang buta.
Orang buta memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang melihat. Dia dapat dijadikan imam dalam shalat. Hal ini didasarkan pada hadits Mahmud bin ar Rabi’ :
أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى
“Sesungguhnya ‘Itbaan bin Malik, dahulu mengimami shalat kaumnya” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dan pernyataan Aisyah :اسْتُخْلِفَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ
“Ibnu Umi Maktum dijadikan pengganti
(Rasulullah) di Madinah mengimami shalat penduduknya” [HR Ibnu Hibban
dan Abu Ya’la. Dikatakan penulis kitab Shahih Fiqhus Sunnah, bahwa
hadits ini shahih li ghairihi]
2). Hamba sahaya atau yang telah dimerdekakan.Keabsahannya didasarkan kepada pernyataan Ibnu Umar yang berbunyi:
لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا
“Ketika kaum Muhajirun yang awal-awal datang
ke al ‘Ushbah, suatu tempat di Quba’; sebelum kedatangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi imam shalat mereka adalah
Saalim maula Abu Hudzaifah, dan dialah yang terbanyak hafalan al
Qur`annya” [HR al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Imamatul
al ‘Abdi wal Maula, no. 651]
3). Anak kecil yang mumayyiz.Hal ini didasarkan pada pernyataan Amru bin Salamah yang berbunyi:
فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي وَ قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ أَتَلَقَّى مِنْ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
“Ketika terjadi penaklukan penduduk kota
Makkah, maka setiap kaum bersegera masuk Islam dan bapak dan kaumku
segera masuk Islam. Ketika dating, ia berkata: “Demi Allah, aku membawa
kepada kalian dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah
kebenaran,” lalu ia berkata,”Lakukanlah shalat ini, pada waktu ini, dan
shalat itu pada waktu itu. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah
seorang kalian beradzan, dan yang mengimami shalat kalian adalah yang
paling banyak hafalan al Qur’annya.” Lalu mereka melihat, dan tidak
mendapati seorangpun yang lebih banyak hafalannya dariku, karena aku
sering menemui orang yang datang. Maka mereka menunjukku sebagai imam
shalat, padahal usiaku baru enam atau tujuh tahun” [HR al Bukhari]
4). Orang fasiq yang tidak keluar dari Islam.Hal ini didasarkan pada dalil naqli dan aqli. Diantaranya:
a. Keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
“Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu
kaum adalah yang paling hafal al Qur`an” [HR Muslim dalam Shahih-nya,
kitab al Masaajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no.
1709].
Hal ini mencakup fasiq, dan yang lainnya.b. Kekhususan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pemimpin zhalim, yang shalat diluar waktunya:
صَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ نَافِلَةً
“Shalatlah kalian pada waktunya, dan
jadikanlah shalat kalian bersama mereka sebagai nafilah (sunnah)”. [HR
Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid, Bab Karahiyat Ta’khir ash
Shalat, no. 1033]
c. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka mengimami kalian shalat; apabila
mereka benar, maka kalian mendapatkan pahalanya; dan apabila mereka
salah, kalian tetap mendapatkan pahalanya, dan dosanya ditanggung oleh
mereka”. [HR al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Idza lam
Yutim al Imam wa Atamma Man Khalfaha, no. 653]
d. Amalan para sahabat pada zaman al Hajaj bin Yusuf ats Tsaqafi, di
antaranya Ibnu ‘Umar yang shalat di belakang al Hajjaj, sedangkan al
Hajjaj adalah seorang fasiq.e. Sedangkan dalil aqli, dikatakan, semua yang shalatnya sah, maka sah juga menjadi imam. Tidak ada dalil yang membedakan antara keabsahan shalat dengan keabsahan imam. Selama ia masih shalat bagaimana kita tidak shalat dibelakangnya, karena apabila ia bermaksiat, maka maksiatnya kembali kepadanya sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Orang fasiq dan mubtadi’, shalatnya sah. Apabila ma’mum shalat di belakangnya, maka shalatnya tidak batal. Namun dimakruhkan oleh orang yang memakruhkan shalat di belakangnya, karena amar makruf nahi mungkar wajib. Oleh karena itu, orang yang menampakkan bid’ah atau kefajiran, ia tidak boleh menjadi imam rawatib bagi kaum Muslimin, karena ia pantas diberi pelajaran hingga bertaubat. Apabila memungkinkan, (boleh) memboikotnya hingga ia bertaubat, maka hal itu baik. Apabila sebagian orang tertentu tidak shalat di belakangnya dan shalat di belakang orang lain memiliki pengaruh hingga ia bertaubat, atau dipecat, atau orang-orang berhenti melakukan dosa sepertinya, maka yang seperti ini baik, apabila meninggalkan shalat di belakangnya memiliki maslahat dan tidak kehilangan jamaah dan Jum’at. Adapun bila tidak shalat di belakangnya menyebabkan ma’mum kehilangan Jum’at dan jamaah, maka disini tidak meninggalkan shalat di belakang mereka, kecuali mubtadi’ yang menyelisihi para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[3]. Demikianlah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika menyatakan, bahwa pendapat yang rajih adalah sah shalat di belakang orang fasiq. Sehingga, apabila seorang shalat di belakang imam yang mencukur jenggot atau merokok atau memakan riba atau pezina atau pencuri, maka shalatnya tetap sah.[4]
5). Orang yang belum diketahui apakah fasiq ataukah tidak.
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Seseorang diperbolehkan melakukan shalat lima waktu dan Jum’at serta yang lainnya, di belakang orang yang belum diketahui kebid’ahan dan kefasikannya, menurut kesepakatan imam fiqih yang empat dan selain mereka dari imam-imam kaum Muslimin. Bukan menjadi syarat bagi seorang ma’mum harus mengetahui i’tikad (keyakinan) imamnya, dan tidak pula mengujian, hingga menanyakan ‘apa yang engkau yakini?’.”[5]
Dengan demikian, apabila sah shalat di belakang orang fasiq, maka shalat di belakang orang yang belum jelas kefasikannya lebih pantas untuk disahkan.
6). Wanita menjadi imam untuk kaum wanita.
Hal ini dilakukan sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ‘Aisyah dan Ummu Salamah, dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya.
BAGAIMANA POSISI IMAM DAN MA’MUM?
Agar dapat melaksanakan shalat berjamaah sesuai dengan syariat Islam, seorang imam maupun ma’mum, tidak lepas dari keadaan berikut ini :
1). Ma’mum sendirian bersama imam (dalam hal ini, imam dengan satu orang ma’mum).
Bila seseorang berma’mum sendirian, maka posisinya berdiri di samping kanan sejajar dengan imam. Dasarnya adalah, kisah Ibnu Abbas dalam shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi :
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقُمْتُ فَصَنَعْتُ مِثْلَ مَا صَنَعَ ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رَأْسِي وَأَخَذَ بِأُذُنِي الْيُمْنَى يَفْتِلُهَا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ
“Ibnu ‘Abbas berkata: “Lalu aku bangun dan
berbuat seperti yang beliau perbuat. Kemudian aku pergi dan tegak di
sampingnya, lalu beliau menempatkan tangan kanannya di kepalaku dan
mengambilnya, dan menarik telinga kananku, lalu shalat dua rakaat,
kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian
dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian witir”. [Muttafaqun 'alaihi]
2). Imam bersama dua orang ma’mum.Apabila imam mendapatkan ma’mum hanya dua orang, maka hendaklah kedua ma’mum tersebut berdiri di belakang imam membentuk satu barisan. Hal ini didasarkan pada hadits Jabir yang panjang, yang sebagiannya berbunyi:
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
“Kemudian aku datang sampai berdiri di
sebelah kiri Rasulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku
hingga membuatku berdiri di sebalah kanannya. Kemudian datang Jabbaar
bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga
membuat kami berdiri di belakang beliau” [HR Muslim dalam Shahih-nya,
kitab az Zuhud wal Raqaiq Wa …, no. 5328].
3). Imam bersama lebih dari dua orang ma’mum.Apabila terdapat lebih dari dua orang ma’mum bersama imam, maka ma’mum berdiri di belakang imam dalam satu barisan, demikian menurut kesepakatan ulama.[6]
4). Ma’mum mendapatkan shaf (barisan) shalat sudah penuh, sehingga ia tidak dapat masuk ke shaf.
Dalam keadaan demikian, maka ma’mum jangan shalat sendirian di belakang shaf (barisan), akan tetapi berusaha maju ke depan hingga berdiri di samping imam, sebagaimana dilakukan Rasulullah -ketika beliau sakit- bersama Abu Bakar yang ditunjuk menggantikan mengimami shalat. Disebutkan dalam sebuah riwayat yang berbunyi:
فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِذَاءَ أَبِي بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam duduk sejajar Abu Bakar di sampingnya. Waktu itu, Abu Bakar
shalat ikut shalat Rasulullah, dan orang-orang shalat mengikuti shalat
Abu Bakar” [Muttafaqun ‘alaihi]
Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al Ifta’ (Komite tetap untuk
penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia), ketika menjawab pertanyaan
seputar masalah ini menyatakan, apabila seseorang masuk masjid dan
mendapatkan shalat telah ditegakkan, dan shaf telah penuh, maka
hendaklah ia berusaha masuk dalam barisan. Apabila tidak bisa, maka ia
masuk berdiri bersama imam dan berada di sebelah kanannya. Apabila ini
juga tidak bisa, maka hendaknya menunggu sampai datang orang yang
menemaninya di shaf (baru). Jika tidak ada seorang yang menemaninya,
maka ia shalat sendirian setelah selesai shalat berjamaah.[7]Penjelasan ini menunjukkan, ma’mum yang dalam keadaan demikian, ia tidak menarik salah seorang ma’mum lainnyanya sebagaimana banyak terjadi di kalangan kaum Muslimin dewasa ini.
Untuk itu Komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia berfatwa tentang hal ini: Seorang yang masuk masjid tidak mendapatkan celah dalam barisan (shof) dan tidak bisa baris disebelah kanan imam dan shalat hampir selesai, maka menunggu orang lain yang masuk untuk membuat shof (barisan) dengannya. Apabila tidak mendapatkannya maka hendaknya shalat dengan jamaah lain. Jika juga tidak ada, maka shalat sendirian setelah imam salam, dan ia tidak berdosa, dengan dalil firman Allah :
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [at Taghabun/64:16]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku perintahkan kalian berbuat sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian”.
Hal ini karena shalat adalah ibadah, dan ibadah itu harus tauqifiyah.
Padahal hadits larangan shalat sendirian di belakang shaf (barisan)
shahih dan bersifat umum.Hadits yang berbunyi:
أَلاَ دَخَلْتَ مَعَهُمْ أَوْ ادْتَرَرْتَ رَجُلاً
(Kenapa kamu tidak masuk berbaris dengan
mereka atau menarik seorang?) ini adalah hadits dhaif (lemah). Demikian
juga, apabila orang itu menerima ajakan orang yang manariknya, maka shaf
menjadi tidak penuh (ada celahnya), padahal kita diperintahkan untuk
menyempurnakan dan menutup celah shaf dalam shalat.[8]
5). Wanita berma’mum dengan seorang imam laki-laki.Seorang wanita bila berma’mum kepada seorang laki-laki, maka ia berdiri di belakang shaf laki-laki, walaupun ia sendirian. Demikian juga bila shalat sendirian bersama imam laki-laki, maka ia berdiri di belakangnya, dan tidak di sebelah kanannya. Semua ini berdasarkan hadits-hadits di bawah ini:
a. Hadits Anas yang berbunyi:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Aku shalat bersama seorang anak yatim di
rumah kami di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku
Ummu Sulaim di belakang kami” [Muttafaqub ‘alaihi]
b. Hadits Anas yang berbunyi:أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengimami Anas bin Malik dan ibunya atau bibinya, Anas
berkata,”Lalu Rasulullah menjadikan aku berdiri di sebelah kanannya dan
wanita di belakang kami.” [HR Muslim]
6). Wanita shalat dengan imam wanita.Apabila seorang wanita shalat berjamaah mengimami sesamanya, maka ia berdiri di tengahnya dan tidak maju ke depan. Dicontohkan ‘Aisyah dan Ummu Salamah, dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ
“Sesungguhnya ‘Aisyah mengimami mereka dan
berdiri diantara mereka dalam satu shalat wajib” [HR Abdurrazaq, Al
daraquthni dan Al Baihaqi dan dihukumi penulis Shohih Fiqih Sunnah
hadits shohih Lighoriihi]
Juga Abu Hurairah mengatakan bahwa :أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا
“Sungguh Ummu Salamah mengimami mereka
shalat dan berada di tengah-tengah”. [HR Abdurrazaq, ad Daraquthni dan
al Baihaqi, dan hadits ini dihukumi oleh penulis Shahih Fiqih Sunnah
sebagai hadits shahih lighairiihi]
7). Shaf (barisan) anak kecil.Anak kecil yang telah mumayyiz, ia tidak berbeda dengan orang yang sudah baligh, yaitu berdiri di belakang imam. Dengan dalil hadits Anas yang berbunyi:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Aku shalat bersama seorang anak yatim
dirumah kami dibelakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ibuku
Ummu Sulain dibelakang kami”. [Muttafaqub ‘alaihi].
Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al Ifta’, Saudi Arabia
mengatakan: “Yang sesuai Sunnah untuk anak-anak, apabila ia telah
mencapai usia tujuh tahun dan lebih, untuk berdiri di belakang imam
sebagaimana orang-orang yang telah baligh. Apabila yang ada hanya satu,
maka ia berdiri di samping kanan imam, karena sudah jelas dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shalat di rumah Abu Thalhah,
dan menjadikan Anas dan seorang anak yatim di belakangnya, sedangkan
Ummu Sulaim di belakang keduanya. Juga telah ada dalam riwayat lainnya,
bahwa beliau mengimami shalat Anas, dan menjadikannya di sebelah
kanannya”.[9]Sedangkan Syaikh al Albani mengatakan: “Adapun menjadikan anak-anak di belakang mereka (barisan dewasa), maka dalam permasalahan ini, aku belum mendapatkan kecuali hadits ini[10], dan hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Sehingga aku memandang bolehnya anak-anak berdiri bersama orang dewasa, apabila barisannya belum penuh; dan shalatnya anak yatim bersama Anas di belakang Rasulullah menjadi hujjah dalam permasalahan ini”.
Dengan demikian menjadi jelas kesamaan posisi anak-anak dan orang dewasa dalam shalat berjamaah bersama imam.
Demikianlah beberapa permasalahan seputar imam dan posisi imam dan ma’mum, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi kita.
Billahit taufiq
Sumber :
– Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016
– www.almanhaj.or.id
Footnote
[1]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/523. .
[2]. Maksudnya diserupakan dengan para wanita dalam kisah Nabi Yusuf, yaitu mereka menyembunyikan hakekat yang ada di hatinnya, dan menampakkan sesuatu yang lain dari kenyataan yang sesungguhnya.
[3]. Majmu’ Fatawa, 23/354.
[4]. Syarhul Mumti’, 4/308.
[5]. Majmu’ Fatawa, 23/351.
[6]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/529.
[7]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 2601, Jilid 8/6, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[8]. Fatawa lajnah Daimah, no. 8498, Jilid 8/9-10, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Qu’ud.
[9]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 1954, Jilid 8/20, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[10]. Hadits ini berbunyi (artinya): Rasulullah menjadikan orang dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka, serta wanita di belakang anak-anak.