Hukum Walimah untuk Pernikahan dan Selainnya
Hukum menghadiri acara walimah atau jamuan pernikahan adalah wajib atau fardlu ain.
Dalil pertama: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَجِيبُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ إِذَا دُعِيتُمْ لَهَا
“Hadirilah undangan ini jika kalian diundang untuk menghadirinya!” (HR. Al-Bukhari: 4781, Muslim: 2581 dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat tahun 852 H) rahimahullah berkata:
(أجيبوا هذه الدعوة) وهذه اللام يحتمل أن تكون للعهد والمراد وليمة العرس
“Huruf “Al” dalam sabda beliau (di atas, pen) adalah untuk “al-Ahdu” (mengulang penyebutan, pen). Sehingga yang dimaksud adalah walimah untuk pernikahan.” (Fathul Bari: 2/246).
Al-Imam Abul Hasan Ibnu Baththal al-Maliki (wafat tahun 449 H) rahimahullah menyatakan:
هذا الحديث حجة لمن أوجب إجابة الوليمة وغيرها فرضًا، وقد تقدم أن إجابة الدعوة فى غير العرس عند مالك والكوفيين مندوب إليها
“Hadits ini menjadi hujjah bagi orang-orang yang mewajibkan menghadiri undangan walimah (pesta pernikahan, pen) dan lainnya secara fardlu. Dan telah terdahulu keterangan bahwa menghadiri undangan selain pernikahan menurut Imam Malik dan ulama Kufah hanyalah anjuran saja (tidak sampai wajib, pen).” (Syarh Shahihil Bukhari li Ibni Bathal: 7/290).
Al-Allamah Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1031 H) rahimahullah juga menyatakan:
فالوليمة له سنة والإجابة إليها عند توفر الشروط واجبة أمّا غير العرس من الولائم العشرة المشهورة فإتيانها مندوب
“Mengadakah acara walimah untuk pernikahan adalah sunnah, sedangkan mendatanginya jika -persyaratan untuk mendatanginya terpenuhi- adalah wajib. Adapun jamuan makan selain pernikahan dari sepuluh macam acara jamuan makan yang terkenal, maka mendatanginya hanya dianjurkan (tidak diwajibkan, pen).” (At-Taisir Syarh al-Jami’ish Shaghir: 1/25).
Dalil kedua: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبْ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Sejelek-jelek acara jamuan makan adalah jamuan walimah (pernikahan, pen). Orang yang ingin menghadirinya (seperti fakir miskin, pen) dihalangi untuk hadir. Sedangkan orang yang tidak ingin menghadirinya (seperti orang kaya, pen) diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan ini, maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan rasul-Nya.” (HR. Muslim: 2586, Ibnu Majah: 1903, Ahmad: 7305 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).
Al-Allamah Abul Hasan as-Sindi al-Hanafi (wafat tahun 1138 H) rahimahullah berkata:
وَفِي قَوْله )وَمَنْ لَمْ يُجِبْ ( إِشَارَة إِلَى أَنَّ إِجَابَة الدَّعْوَة لِلْوَلِيمَةِ وَاجِبَة وَإِنْ كَانَتْ هِيَ شَرّ الطَّعَام مِنْ تَلِك الْجِهَة
“Di dalam sabda beliau “Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan ini”terdapat isyarat bahwa menghadiri undangan walimah pernikahan hukumnya wajib, walaupun acara walimah sendiri termasuk sejelek-jelek jamuan makan dari sisi itu.” (Hasyiyah as-Sindi ala Ibni Majah: 4/166).
Pertanyaan: Jika kaum muslimin diwajibkan menghadiri undangan walimah, maka apakah mempelai pengantin juga diwajibkan mengadakan walimah?
Jawaban: Secara zhahir dari teks hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam menunjukkan wajibnya mengadakan walimah. Beliau bersabda kepada Abdurrahman bin Auf radliyallahu anhu:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing!” (HR. Al-Bukhari: 1907, Muslim: 2556, at-Tirmidzi: 1014, Abu Dawud: 1804, an-Nasai: 3299 dan Ibnu Majah: 1897 dari Anas bin Malik radliyallahu anhu).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda pada pernikahan Ali dan Fathimah radliyallahu anhuma:
إِنَّهُ لَا بُدَّ لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيمَةٍ
“Sesungguhnya pada acara pernikahan ini harus ada walimahnya.” (HR. Ahmad: 21957 dari Buraidah radliyallahu anhu. Al-Hafizh menyatakan: “Sanadnya laa ba’sa bih.” Lihat Fathul Bari: 9/230. Al-Albani juga men-shahih-kannya dalam Shahihul Jami’: 2419).
Meskipun ada 2 hadits di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mengadakan acara walimah hanyalah sunnah muakkad saja, tidak sampai wajib.
Al-Imam al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:
وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ . وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : هِيَ وَاجِبَةٌ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ ، وَلِأَنَّ الْإِجَابَةَ إلَيْهَا وَاجِبَةٌ ؛ فَكَانَتْ وَاجِبَةً . وَلَنَا ، أَنَّهَا طَعَامٌ لَسُرُورٍ حَادِثٍ ؛ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْأَطْعِمَةِ ، وَالْخَبَرُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ ؛ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَاهُ ، وَكَوْنِهِ أَمَرَ بِشَاةِ وَلَا خِلَافَ فِي أَنَّهَا لَا تَجِبُ ، وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْمَعْنَى لَا أَصْلَ لَهُ ، ثُمَّ هُوَ بَاطِلٌ بِالسَّلَامِ ، لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَإِجَابَةُ الْمُسَلِّمِ وَاجِبَةٌ
“Dan mengadakan acara walimah itu tidaklah wajib menurut kebanyakan ulama’. Sebagian ulama madzhab Syafi’i menyatakan wajib, karena Nabi shallallahu alahi wasallam memerintahkan Abdurrahman bin Auf mengadakan walimah. Dan juga karena mendatangi undangan walimah itu hukumnya wajib, maka mengadakan acara walimah menjadi wajib. Sedangkan menurut kami, walimah merupakan jamuan makan karena rasa gembira, sehingga menyerupai acara jamuan lainnya (seperti naqi’ah, wakirah, dst, pen). Dan hadits di atas dipahami sunnah dengan dalil yang saya terangkan tadi, dan juga karena beliau memerintahkannya berwalimah dengan seekor kambing. Dan tidak diperselisihkan lagi bahwa acara ini tidak wajib. Dan apa yang mereka sebutkan dari makna hadits ini adalah tidak ada asalnya. Kemudian alasan ini juga batal dengan alasan salam. Menyebarkan salam tidaklah wajib sedangkan menjawab salam hukumnya wajib.” (Al-Mughni: 15/487).
Di antara perkara yang memalingkan hadits di atas dari wajib menjadi sekedar sunnah saja adalah:
Perkara pertama: hadits seseorang dari Nejd yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Islam. Thalhah bin Ubaidillah radliyallahu anhu berkata:
وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ
“Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan kepada lelaki itu tentang kewajiban zakat.” Lelaki tersebut bertanya: “Apa ada lagi kewajiban atasku untuk mengeluarkan harta selain zakat?” Beliau menjawab: “Tidak ada, kecuali kamu bersuka rela mengeluarkannya.” (HR. Al-Bukhari: 44, Muslim: 12, at-Tirmidzi: 561, an-Nasai: 454).
Dan kita tahu bahwa mengeluarkan harta untuk mengadakan walimah, menyembelih qurban adalah di luar harta zakat.
Perkara kedua: pendalilan atas tidak wajibnya mengadakan walimah dari ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata:
وأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر عبد الرحمن بن عوف أن يولم ولو بشاة ، ولم أعلمه أمر بذلك – أظنه قال – : أحدا غيره
“Dan sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abdurrahman bin Auf untuk mengadakan walimah meskipun dengan seekor kambing. Dan aku belum mengetahui beliau memerintahkan selain Abdurrahman bin Auf untuk mengadakan walimah.” (Atsar riwayat al-Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar: 4574 (12/57)).
Dan ini berbeda dengan mahar atau maskawin yang hukumnya wajib. Dalam banyak kejadian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para sahabat beliau untuk membayar mahar pernikahan mereka meskipun berupa cincin besi dan bahkan berupa hafalan al-Quran, tetapi hanya Abdurrahman bin Auf yang diperintahkan untuk mengadakan walimah.
Beliau bertanya kepada Abdurrahman:
مَا أَصْدَقْتَهَا قَالَ وَزْنَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Mahar apa yang kamu berikan kepadanya?” Ia menjawab: “Emas seberat biji manik-manik.” Beliau bersabda: “Adakan walimah meskipun dengan seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari: 1908, Muslim: 2556, an-Nasai: 3299, at-Tirmidzi: 1014, Abu Dawud: 1804, Ibnu Majah: 1897 dari Anas radliyallahu anhu).
Mahar yang dibayarkan oleh Abdurrahman bin Auf adalah emas sebesar biji manik-manik seberat 5 Dirham (5×3 gram= 15 gram emas, pen). Maka pantaslah ia diperintahkan untuk mengadakan walimah karena harga kambing adalah sekitar 4 gram emas.
Perkara ketiga: Lafazh ‘al-urs’ dalam hadits Buraidah menggunakan ‘Al Ta’rif’. Ini menunjukkan ‘al-Ahdu’. Sehingga yang dimaksud dengan hadits Buraidah adalah “Sesungguhnya pada acara pernikahan Ali dan Fathimah radliyallahu anhuma ini haruslah ada walimahnya”. Ini berbeda maksudnya jika lafazh ‘urs’ berbentuk nakirah sehingga lafazh hadits menjadi:
إِنَّهُ لَا بُدَّ لِعُرْس مِنْ وَلِيمَةٍ
Maka makna hadits akan menjadi ““Sesungguhnya pada suatu acara pernikahan haruslah ada walimahnya”. Sehingga pendapat jumhurlah yang lebih kuat. Wallahu a’lam.