NURUL ABROR

Selasa, 02 April 2019

 من رأى منكم منكرا

 من رأى منكم منكرا

Misteri Makna “man ro-a minkum munkaron”

 من رأى منكم منكرا، فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Abu Said Alkhudry ra. Biasanya diterjemahkan dengan “barangsiapa diantara kalian melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tangannya, lalu jika tidak bisa maka dengan lidahnya, lalu jika tidak bisa maka dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman”

Dari terjemahan ini pembaca bisa mencatat bahwa penerjemahnya memaknakan bahwa kata fa dalam fa-in-lam (maka) bermaksud berurutan bergantian dan dzalika kembali kepada hati. Dan lagi, kata-kata tangan, lidah dan hati dimaksud sebagai anggota badan. Pencermatan yang lebih lanjutnya hanya sekitar tingkat kehati-hatian yang dimiliki orang yang memahami teks kepada konteks sebagaimana dibahas berikut ini.
Dari terjemahan dan pemaknaan seperti tertulis di atas, hadits ini dipahami sebagai suruhan kepada orang jika melihat kemungkaran dengan mata kepala sendiri untuk melakukan reaksi terhadapnya. Berbagai pemahaman telah terjadi dari yang ekstrim sampai yang hati-hati. Yang ekstrim memahami “merubah dengan tangan” seperti dengan memecahkan barang yang munkar. Termasuk ada riwayat bahwa sahabat periwayat ini menarik jubah Marwan ketika mau berkhutbah Ied sebelum solat, yang semestinya solat Ied dulu baru khutbah*). Marwan ketika itu adalah seorang raja dari Kerajaan Dinasti Umayah.
Ada juga pemahaman yang hati-hati. Paham ini menekankan syarat harus melihat dengan mata sendiri atau mendengar dengan telinga sendiri. Bukan “katanya“. Perbuatannya dalam beritndak harus oleh diri sendiri. Bukan interuksi atau menyuruh orang untuk bertindak. Kategori munkar harus yang disepakati keharamannya. Bukan pendapat golongan tertentu saja. Tindakan mengingkari kemunkaran bukanlah tindakan atas pelakunya seperti dengan menyiksanya atau menghukumnya. Begitu yang dikehendaki hadits. Orang yang boleh melakukan tindakan menghukum pelaku kemunkaran hanyalah petugas yang ditentukan negara. Bukan sembarang individu. Sebab “aamatil muslimin” (orang muslim pada umumnya) hanya memiliki kewajiban memberi nasehat, begitu sebagaimana dalam hadits “Agama itu nasehat”. Bukan bertindak.
Tindakan kepada kemunkaran juga perlu ditimbang-timbang sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (Lihat Ibnul Qoyyim: I’lamul muwaqqi’in). Apa itu? Periksa dulu: 1) Apakah tindakan dapat menjerumuskan si pelaku dari kemunkaran satu kepada kemunkaran yang lebih parah lagi? Kalau begitu, jangan bertindak. 2) Apakah membuat pelaku berpindah dari kemunkaran yang satu kepada kemunkaran yang lain? 3) Apakah membuat pelaku berpindah dari kemungkaran dan berhenti atau kepada kebaikan?
Begitulah kelompok yang mengambil pemahaman dari makna lahiriah hadits. Meskipun bersandar kepada teks, tetap saja tidak menghasilkan pendapat yang sama. Ada yang keras, ada juga yang hati-hati. Manusia memang begitu.
Nah, bagaimana kalau memahami hadits ini dengan sedikit lebih cermat dalam berbahasa dan melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh pemahaman kelompok diatas tadi?
Dengan memaknakan kata tangan, lidah dan hati kepada perbuatan anggota-anggota tersebut akan membawa kita kepada makna yang lebih kaya. Seperti perbuatan tangan dimaknakan sebagai kekuasaan. Dalam sistem lembaga dan negara, kekuasaan ini biasanya dihubungkan dengan wewenang manajemen atau pemerintah. Yakni pihak eksekutif. Sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran bahwa memang pemerintahlah sebagai pihak yang punya tangan, yakni yang tidak terhalang untuk melakukan tindakan. “Wa fii amwaalihim haqqun lis-Saa-ili wal-Mahruum” (dan dalam harta-harta mereka ada hak bagi peminta dan terhalang). Bahasa kuno Alquran yang luar biasa canggih ini sudah mengisyaratkan bahwa dalam tatanan masyarakat pasti ada dua pihak. Pihak pertama: elemen penuntut dan terhalang. Pihak kedua: yang dituntut dan tidak terhalang. Tidak terhalang maknanya memiliki otoritas dan legalitas untuk melakukan. Sedangkan pihak yang terhalang maknanya tidak memiliki otoritas. Pembagian ini dalam negara disebut sebagai pemerintah yang punya otoritas, warga umum yang tidak punya otoritas dan rakyat yang punya hak menuntut, serta pemerintah yang menjadi arahan tuntutan rakyat atas sebuah tugas yang diberikan.
Perbuatan lidah ini tidak hanya berbicara. Apalagi lidah sering dimaknakan sebagai bahasa. Kerja-kerja keilmuan merupakan kerja lidah, kebahasaan dan pembahasaan. Dalam sistem masyarakat dan negara, ada banyak lembaga yang membidangi kerja-kerja keilmuan, seperti organisasi agama, asosiasi profesi, majlis ulama, universitas, lembaga penelitian; di tingkat pemerintah seperti pengadilan dan kejaksaan; di tingkat negara seperti parlemen dan mahkamah. Mudahnya pemilik kerja-kerja ini disebut saja sebagai level kerja ilmu, legislatif dan yudikatif.
Apakah perbuatan hati? Mengingat, sependapat-tidak sependapat. mendukung dan legitimasi. Legitimasi rakyat atau kedaulatan rakyat adalah posisi tertinggi dalam negara. Posisinya sebagai muasal amanah kenegaraan. Kalau mencermati makna ini, tentulah kita bertanya-tanya, mengapa kedaulatan rakyat kokdisebut pada posisi selemah-lemah setelah eksekutif, legislatif, yudikatif dan kerja ilmu? Lemah ini pada sisi pembagian wewenang mekanisme-aksi. Kalau pada kedaulatan, tentu saja yang tertinggi. Tetapi dalam mekanisme-aksi, warga perlu berhenti untuk tidak mengambil apa yang sudah diberikan kepada lembaga-lembaga yang telah disepakati menjadi bagian sistem para pemilik otoritas-aksi.
Dalam kontek kenegaraan, NU memiliki pemahaman diatas. Begitulah yang pernah disampaikan dalam banyak ceramah Almaghfur-lah KH Fuad Hasyim.
Pemaknaan tadi muncul dari pemaknaan tangan, lidah dan hati bukan kepada sebagai anggota tubuh, melainkan kepada perbuatan-perbuatan yang muncul dari ketiganya. Pemaknaan ini menggambarkan betapa kebenaran yang terkandung dari sabda Nabi saww melintas ruh zaman. Masyarakat yang hidup pada zaman Nabi diperkirakan belum menangkap makna sebagaimana yang dihasilkan oleh ulama generasi penerusnya yang hidup di abad jelang kiamat ini (baca: mutaakhir).
Sekarang mari kita mengembangkan kecermatan sedikit lagi agar bisa menangkap misteri makna yang lain yang mungkin dicerminkan dari makna hadits tersebut. Untuk memandunya disini penandaan diberikan: munkaron (a), yughoyyir (b), “fa“-in-lam (c), dzalika (d). Ditambah tangan-lidah-kalbu dikembangkan maknanya sebagaimana di atas. Disini kita dituntut untuk menggunakan keterampilan nahwubalaghoh dan fiqhul-lughoh.
Munkaron disebut tanpa al (the). Padahal di ayat-ayat Alquran manakala menyebut apa yang dilarang pasti mengungkapkannya dengan al-munkar bersama al-ma’ruf. Amar ma’ruf nahi munkar dalam bahasa Alquran pasti ada al(the), baik pada ma’ruf maupun munkar. Hebatnya lagi, Alquran mencermati al-munkar sebagai yang kedua setelah al-ma’ruf. Tidak sendirian. Bukan pekerjaan sendiri-sendiri. Sepertinya Alquran ingin berkata: “lakukan, perbanyak dan sibukkan dengan yang ma’ruf, maka pastilah yang munkar berhenti“. Memang, perbuatan yang munkar terjadi sebab pelakunya tidak punya “kerjaan“. Kejahatan itu merajalela sumbernya dari kekosongan kegiatan. Karena itu Alquran menjadikan keduanya sebagai dwitunggal dengan menonjolkan yang ma’ruf untuk didahulukan sebagai fokus kegiatan. Maknanya, yang diajarkan Alquran adalah perbanyak kesibukan-kesibukan dengan aktifitas yang manfaat biar tak terfikir untuk melakukan yang munkar. Begitu penekanan yang bisa diambil hikmahnya dari ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar. Kalau kaum mukmin mengamalkan ayat ini seperti dalam hikmah ini pasti tidak ada pengangguran dan sedikit kemunkaran.
Kembali kepada munkaron yang tanpa al (the). Karena itu, munkaron ini mungkin atau bahkan pasti bukan al-munkar pada amar ma’rfu nahi munkar. Jadi kembalikan saja ke makna bahasa. Secara bahasa, munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal, asing, tak pasti. Tidak terbatas pada makna sebagai sesuatu yang dilarang agama. Pada maksud ini, pemahaman NU terhadap hadits ini dalam kontek vis a vis Negara sangat tepat.
Yughoyyir (mengubah). Bukan yuzil(menghilangkan). Bukan yanha ’an (mencegah). Bukan yubaddil (menggantikan). Yubaddil itu seperti mencabut pohon yang lama lalu menempatkan pohon baru pada tempat pohon lama. Yughoyyir bisa berbentuk merapihkan daun dan ranting, mungkin juga membersihkan dari hama, mempercantik lingkungannya. Jadi tahan dulu dari berfikir ekstrim seperti mencabut. Atau boleh jadi keadaan munkaronini menuntut makna proaktif, seperti memperkaya diri dengan pengetahuan perihalnya. Seperti dengan melakukan penelitian, memeriksa, menyusun pengetahuan mengenainya, baru kemudian membuat keputusan. Jadi merubah keadaan diri dari keadaan yang jahil mengenainya kepada keadaan alim, ini juga bermakna yughoyyir.
Fa-in-lam pada terjemahan di atas dimaknakan sebagai urutan yang menggantikan. Padahal mungkin juga keadaannya sebagai urutan yang ditambahkan, memperkuat.
Dzalika menunjuk kata yang jauh. Kata “hati“ atau perbuatan dengan hati adalah yang terdekat dengan kata dzalika. Yang jauh itu mestinya kata “tangan“ atau perbuatan dengan tangan. Jadi yang selemah-lemah iman itu mestinya perbuatan tangan. Apalagi disebutkan bahwa doa adalah senjata kaum mukmin. Jelas berdoa itu perbuatan hati, bukan perbuatan tangan. Apalagi disebutkan sehabis Perang Badar bahwa peperangan dengan tangan di Badar itu sebagai jihad kecil, sementara peperangan selanjutnya dengan hati melawan nafsu sebagai jihad besar. Apalagi dikatakan bahwa iman atau ilmu itu lemah bila tidak meresap kedalam kalbu. Jangankan yang baru di tangan, yang sudah di lidah saja dan sebatas tenggorokan, dia akan mudah pupus seperti panah yang lepas dari busur.
Dengan pencermatan seperti ini, seseorang mungkin akan mendapat ide dari hadits ini sebagai juklak bagi operasional ayat “Allah tidak merubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka merubah apa pada diri mereka sendiri“ dan dikembangkan kedalam banyak aspek, misalnya pendidikan dan manajemen.
Dalam pendidikan: “bila ada kesangsian dengan mutu pendidikan anak, maka giringlah dia untuk mengikuti kelas-kelas pengajaran dan praktek-praktek; tidak cukup ini, tambahi dengan pengayaan konsep melalui pengidean, imajinasi dan pembahasaan oleh dirinya sendiri tentang apa yang sedang dihadapi; tentu saja dia pun harus menghadapinya dengan sepenuh jiwa dan ditangani oleh guru dengan segenap kasih sayang sepenuh jiwa juga. Karena dengan hanya cara konvensional (kelas dan praktek), ia adalah selemah-lemah model pendidikan“.
Dalam nasehat: “keasingan akan sirna bila kita mau menyentuhnya. Lalu menambahnya dengan pengenalan yang utuh. Apalagi bila dihadapi dengan sepenuh hati. Karena dengan menyentuh saja adalah selemah-lemah motifasi“.
Dalam manjemen: “sistem organisasi harus memadukan tiga elemen. Elemen eksekutif, elemen legislatif dan ilmu, serta elemen legitimasi dan dukungan anggota. Berpangku pada elemen eksekutif saja adalah selemah-lemah organisasi“.
Dari sini dapat terlihat betapa sabda Nabi pemaknaannya dapat menembus ruh zaman. Makna-makna dan hikmah-hikmahnya bisa berkembang melintas pengalaman zaman. Inilah gunanya menuntut ilmu, agar dengannya dapat memperoleh hikmah-hikmah baru bagi penemuan ide-ide pengamalan yang baik yang baru, untuk membangun kemajuan dan peradaban yang baru, sembari memegang teguh yang sudah baku [al-muhafadhoh alal qodiim as-solih wal akhdzu bil jadiid al-aslah]. Demi hal inilah diantaranya kita hajat dengan ilmu, selain demi mempercantik akhlak dan memperindah makna perbuatan.
Wallaahu a’lam.
*) Riwayat ini tidak bisa disebut sababul-wurudhadits, melainkan pemahaman sahabat kepada hadits. Yang disebut sababul-wurud semestinya peristiwa dahulu baru datang sabda. Bukan sabda dulu baru peristiwa. Sedangkan pemahaman itu bergantung kepada tingkat kecermatan pemiliknya. Di kalangan para sahabat sendiri tidak sama dalam hal ini.

http://noerdin-nu.blogspot.com/2011/09/misteri-makna-man-ro-minkum-munkaron.html?m=1