Dalam kitab-kitab ilmu bahasa Arab, mulai dari kemunculannya hingga awal abad kelima, pengertian takwil hanya berkisar pada dua pengertian. Pertama, takwil bermakna, al-‘Aqibah wa al-Marja’ wa al-Mashir (akibat, tempat rujukan dan tempat kembali) lihat (QS. An-Nisaa [4]: 59), (QS. Al-‘A’raf [7]:53). Dan, kedua, takwil bermakna al-Tafsir wa al-Bayan (tafsir dan penjelasan) lihat (QS. Yusuf [12]: 36) dan (QS. Ali-Imran [3]: 7).
Syaikh Ibn Taimiyah (w. 728 H) menjelaskan pengertian takwil. Beliau mengutip pendapat ulama-ulama belakangan dari kalangan ahli fikih, ahli kalam, ahli hadis, dan tasawuf serta ulama-ulama yang sepakat dengan mereka. Mereka menyimpulkan, takwil adalah mengalihkan suatu lafaz dari makna yang rajih (kuat) kepada makna yang marjuh (lemah) karena ada alasan tertentu yang menyertainya.
Di dalam kitab al-Nihayah karya Ibn al-Atsir (w. 606 H), takwil adalah megalihkan teks lafaz dari makna asalnya (secara eksplisit) kepada makba yang memerlukan suatu indikasi. Jika indikasi itu tidak ada, maka makna eksplisit tidak boleh diabaikan. Oleh karenanya, hadis yang ditakwil adalah hadis yang tidak dapat dipahami secara tekstual akan tetapi harus dengan makna yang lain.
Selain ayat al-Quran, di dalam hadis pun kita sering sekali menemukan lafaz yang sukar untuk dipahami atau lafaz hadis yang mutasyabih (penjelasannya tidak konkrit). Hal ini mendorong para ulama untuk melakukan takwil dalam pemaknaannya. Tujuannya supaya terhindar dari makna yang bertentangan dengan makna ayat al-Quran atau hadis yang lain. Contohnya seperti hadis yang menjelaskan Allah Swt sakit.
عَنْ ابِى هُريْرَةَ ، قَألَ : قَالَ رَسُولُ الله ( صلى الله عليه وسلم ) : ” إِن الله – عَزَّ وَجَلَّ – يَقُولُ يَوْمَ القِيَامَة : يَا بْنَ ادمَ ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَألَ : يَارَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَب العالَمِينَ ؟ قَالَ : َ امَا عَلمْتَ أَنَّ عَبْدى فُلألا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ ، امَا عَلمْتَ انَكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عنْدَهُ ؟ يَا بْنَ آَدَمَ ، اسْتَطَعًمْتُكَ فَلَمْ تُطعمْنِى. قَألَ : يَارَب ، وَكَيْفَ أُطعمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَالمنَ ؟ قَألَ : أمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطعَمَكً عَبْدى فُلاَنو فَلَمْ تُطعِمْهُ ، أَمَاَ عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطعَمتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلكَ عنْدى ؟ يَا بْنَ اَدمَ ، اسْتًسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى .
قَالَ : يَارَبِّ ، كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ العالَمَيَنَ ؟ قَالَ :اسْتَسْقَاكَ عبْدِى فُلاَنو فَلَمْ تَسْقِ! أَمَاْ إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى لما.
Dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah Saw Bersabda dalam hadis qudsi, “Sesungguhnya Allah (dalam hadits Qudsi) berfirman: “Hai Anak Cucu Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku”. Lalu berkata (Anak Cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku menjenguk Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?”
“hai anak cucu Adam, Aku kelaparan tetapi engkau tidak memberi-Ku makan”. Menjawab (Anak cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?”
Allah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui sesungguhnya kelaparan hamba-Ku si Fulan tetapi engkau tidak memberinya makan, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau memberinya makan di sana juga aka Aku”. (lalu Allah berfirman) Hai anak cucu Adam, Aku haus tetapi engkau tidak memberi-Ku minum”.
Menjawab (Anak Cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Engkau (tahu) hamba-Ku meminta minum kepadamu tetapi tidak engkau berikan kepadanya, tidakkah engkau tahu ketika engkau memberinya minum di sana pun ada Aku”. (hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Penyakit hanya terdapat pada makhluk yang lemah seperti manusia dan binatang. Sedangkan Allah Swt adalah Mahaperkasa, Mahakuat, dan suci dari sifat kekurangan.
Oleh karena itu hadis tersebut harus ditakwil karena Allah tidak pernah menyerupai makhluk yang memiliki sifat rendah dan lemah. Maka maksud dalam hadis ini adalah “Hamba Allah yang sedang sakit” bukan Allah itu sendiri. Alasan penisbatan pada Diri-Nya dalam perkataan ini merupakan bentuk penghormatan-Nya terhadap hamba-Nya, yaitu dengan cara menempatkan hamba itu dalam kedudukan Dzat-Nya.
Secara umum makna hadis qudsi ini adalah anjuran kepada siapa saja untuk senantiasa menjeguk saudara, kerabat dan siapapun yang sedang sakit. Apalagi orang yang memiliki kewajiban untuk merawat orang sakit seperti anak yang merawat orang tuanya ataupun sebaliknya. Maka rawatlah mereka dengan tulus dan penuh kasih sayang. Karena sungguh pahala dan rahmat Allah Swt yang luas akan menyertai mereka semua. Semoga kita termasuk orang-orang yang dapat melakukan perkara mulia ini. Masih banyak lagi hadis lainnya yang butuh pada takwil. Seperti, hadis Allah Swt turun ke langit dunia, hadis Allah Swt tertawa dan lain-lain. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
[Tulisan ini adalah serial kajian metologi memahami hadis dalam Grup Kajian Hadis]