NURUL ABROR

Selasa, 26 November 2019

setelah terbunuhnya ustman bin affan oleh khawarij


(tirto.id - ivn/zen) - Setelah Khalifah Usman terbunuh oleh golongan Khawarij. Kaum Muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Sejak itu Ali dianggap sebagai al-khulafâ’ ar-râsyidîn terakhir yang secara de jure merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi seluruh umat Islam.

Namun demikian, secara de facto, kekuasaan Ali tak pernah mencakup wilayah Syam, daerah yang sudah lama dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ini disebabkan tindakan Muawiyah yang menuntut Khalifah Ali agar menghukum para Khawarij yang terlibat dalam pembunuhan Usman.

Kegagalan kubu Ali dan Muawiyah mencapai kesepakatan akhirnya menimbulkan perang saudara yang dikenal sebagai perang Shiffin. Perang besar antar-sesama kaum Muslimin ini bisa dibilang imbang, sehingga menyebabkan korban besar-besaran di kedua kubu.

Kemudian diadakanlah arbitrase (tahkim) lewat proses yang rumit. Arbitrase terakhir menghasilkan keputusan untuk mengangkat Muawiyah sebagai khalifah.

Kaum khawarij lalu menolak hasil arbitrase dan memerangi semua pihak yang menerimanya.

Puncak aksi kaum Khawarij adalah majunya seseorang bernama Abdullah bin Muljam untuk membunuh Khalifah Ali. Ia menyerang Ali yang hendak salat subuh dan berhasil melukai dahinya hingga parah. Tak berapa lama kemudian, Ali meninggal.

Ketika dieksekusi akibat perbuatannya, Ibnu Muljam, yang dahinya terlihat hitam sebab banyak sujud, sama sekali tak mengeluh sakit kala kedua tangan dan kakinya dimutilasi dan matanya ditusuk. Menurut Ibnul Jauzi dalam kitab Talbîs Iblîs, ia malah membaca Surat al-‘Alaq hingga khatam. Kemudian tatkala lidahnya hendak dipotong, barulah ia mengeluh lantaran merasa sedih tak bisa mati dalam keadaan berzikir pada Allah.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang kisah kaum Khawarij di era kekhalifahan Ali, silakan simak artikel di bawah ini.


Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS