NURUL ABROR

Selasa, 23 Juni 2020

“Berbaktilah kalian kepada bapak-bapak kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.” (H.R. Thabrani dan Hakim)


Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
Oleh Redaksi - 



 
Oleh : KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, MA *)

Firman Allah :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا. رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِنْ تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا. (الإسراء [١٧]: ٢٣-٢٥)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 23-25)

Pada rangkaian ayat ini, setelah Allah  memerintah manusia agar jangan menyembah selain Allah  kemudian Dia memerintahkan agar manusia berbakti kepada kedua ibu bapaknya, seperti yang disebutkan pada ayat yang lain.

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku kembalimu.” (Q.S. Luqman, 31: 14)

Berbakti kepada ibu bapak adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan anak di dunia dan di akhirat.

Disebutkan dalam sebuah hadits:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ لَمَّا صَعِدَ الْمِنْبَرَ قَالَ أَمِيْنُ, أَمِيْنُ, أَمِيْنُ. فَقَالُوا يَا رَسُوْلُ اللهِ عَلىَ مَ أَمِنْتَ قَالَ أَتاَنِي جِبْرِيْلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ ذُكِرَتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْ أَمِيْنُ. فَقُلْتُ أَمِيْنُ ثُمَّ قَالَ رَغِمَ اَنْفُ امْرِئٍ دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ ثُمَّ خَرَجَ وَلمَ ْيُغْفَرْلَهُ قُلْ أَمِيْنُ فَقُلْتُ أَمِيْنُ. ثُمَّ قاَلَ رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدَ هُمَا فَلَمْ يَدْخُلاَهُ الْجَنَّةَ قُلْ أَمِيْنُ فَقُلْتُ أَمِيْنَ (رواه احمد)

“Bahwa Rasulullah  ketika naik mimbar mengucapkan, “Aamiin, aamiin, aamiin.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, untuk apa engkau mengucapkan aamiin?” Beliau menjawab, “Jibril datang kepadaku lalu berkata, “Hai Muhammad, sungguh sengsara hidup seseorang, engkau disebut didekatnya namun dia tidak mengucapkan shalawat kepada engkau. ”Kemudian Jibril berkata, “Sungguh sengsara seseorang jika datang bulan Ramadhan lalu ia berlalu sedangkan dosanya tidak diampuni.” Lalu Jibril berkata, “Ucapkan aamiin.” Maka saya mengucapkan aamiin. Kemudian Jibril berkata, “Akan sengsara hidup seseorang yang menjumpai dua ibu bapaknya atau salah satu dari keduanya, namun keduanya tidak menyebabkan dia masuk surga.” Lalu Jibril berkata, “Ucapkan aamiin.” Lalu saya mengucapkan aamiin.” (H.R. Ahmad)

Ibnu Abbas berkata: “Tidaklah seorang muslim mempunyai dua orang tua muslim, kemudian dia berbakti kepada keduanya, karena mengharapkan ridla Allah, kecuali Allah akan membukakan dua pintu untuknya. Maksudnya pintu surga. Jika dia hanya berbakti kepada salah satu orang tuanya maka hanya satu pintu yang dibukakan untuknya. Jika salah satu dari keduanya marah maka Allah tidak akan meridlainya.” Ditanyakan kepada Ibnu Abbas, “Sekalipun keduanya menzhaliminya?” Ibnu Abbas menjawab, “Sekalipun keduanya menzhaliminya.”

Kewajiban berbakti kepada ibu bapak menduduki tempat kedua setelah kewajiban beribadah kepada Allah  karena kehidupan manusia tidak mungkin ada tanpa pengorbanan dan kerja keras ibu bapaknya yang mengasihi mereka dan memenuhi semua keperluan mereka di saat anak masih lemah.

Untuk menggambarkan kasih sayang orang tua terhadap anaknya, Syaikh Fathi Muhammad Ath-Thahir menukilkan suatu peristiwa tentang perselisihan antara seorang anak dan ayahnya yang pernah terjadi di masa Rasulullah . Dari Jabir bin Abdullah  berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi , lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah , sesungguhnya ayahku telah mengambil hartaku. Nabi  bersabda kepada laki-laki itu, “Datangkanlah ayahmu itu kepadaku!” Malaikat Jibril  kemudian menemui Nabi  dan berkata, “Sesungguhnya Allah menyampaikan salam untukmu dan berkata kepadamu, “Jika datang orang tua itu kepadamu maka tanyakanlah kepadanya tentang apa yang dia ucapkan dalam hatinya dan yang tidak didengar oleh kedua  telinganya.” Ketika orang tua itu datang maka Nabi  bertanya kepadanya, “Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah kamu ingin mengambil hartanya?” Orang tua itu menjawab, “Tanyakan kepadanya wahai Rasulullah , saya tidak menggunakannya kecuali untuk salah seorang bibi dari pihak ibunya atau bibi dari pihak bapaknya atau untuk diriku.” Rasulullah bersabda, “Kita tinggalkan persoalan ini. Beritahukan kepadaku tantang sesuatu yang kamu katakan dalam dirimu, yang tidak didengar oleh kedua telingamu!” Orang tua itu menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah , Allah  senantiasa menambah keyakinanku kepadamu. Sesungguhnya aku telah mengucapkan dalam diriku, sesuatu yang tidak didengar oleh kedua telingaku. Rasulullah bersabda, “Katakanlah, aku akan mendengarkannya.” Orang itu berkata,
“Aku telah mengurusmu di waktu kecil dan aku telah membimbingmu di masa muda.
Saat itu kamu merasa payah dan dahaga oleh sesuatu yang menyerangmu. Jika malam menimpakan penyakit kepadamu. Karena kamu sakit aku tidak tidur dan terus berkomat kamit. Seolah aku yang tertunduk oleh perintah yang memerintahkan aku untuk tunduk kepadamu. Maka kedua mataku tidak dapat terpejamJiwaku selalu mengkhawatirkanmu akan meninggal. Padahal dia tahu bahwa kematian telah ditentukan waktunya.

BACA  Terpojok 99 Tahun
Ketika kamu menginjak dewasa, aku tidak lagi mengharapkanmu. Kamu menjadikan kekerasan dan kekasaran sebagai balasan untukku. Seolah kamu pemberi jasa yang besar. Ketika kamu tidak memelihara hakku sebagai ayah. Maka aku berharap kamu melakukan sesuatu yang dilakukan oleh tetangga yang dekat terhadapku. Lalu engkau akan memberikan hakku seperti tetangga. dan engkau tidak kikir dalam memberikan hartaku, bukan hartamu kepadaku.”

Ketika itu Nabi  memegang leher baju anak orang tua itu, lalu bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu.” (H.R. Thabrani, dengan sanad dhaif)

Menurut riwayat lain dinyatakan, “Ketika orang tua itu menyatakan bait-bait puisi tersebut, Rasulullah  pun menangis, kemudian beliau bersabda, “Tidak ada satu batu atau penduduk kota yang mendengar bait-bait puisi ini kecuali mereka akan menangis.”

Selanjutnya pada ayat tadi, Allah  memberi tuntunan kepada anak, bagaimana berkhidmat kepada orang tua jika keduanya atau salah satu diantara keduanya telah berusia lanjut sehingga tidak mampu lagi hidup sendiri dan sudah sangat bergantung kepada anaknya. Terhadap orang yang sudah dalam kondisi semacam ini, anak tidak boleh mengucapkan uffin (hus/ah).
Kata uffin asal artinya adalah daki hitam dalam kuku. Menurut Ibn Katsir, uffin adalah kata-kata buruk pada tingkatan yang paling rendah. Sedang Abu Raja’ al-Atharidy mengatakan bahwa uffin adalah kata-kata yang mengandung kejengkelan dan kebosanan, meskipun tidak diucapkan.
Mujahid ketika menjelaskan ayat ini mengatakan: “Maksudnya adalah jika engkau lihat salah seorang atau kedua orang tua telah berak atau kencing dimana maunya saja, sebagaimana yang engkau lakukan di waktu engkau kecil, janganlah engkau mengeluarkan kata yang mengandung keluhan sedikitpun.”

Sesudah dilarang mengucapkan kata-kata yang mengandung keluhan bahkan walaupun tidak kedengaran, seorang anak dilarang membentak, menghardik, atau membelalakkkan mata kepada orang tua. Maksudnya mengeluh saja tidak boleh apalagi membentak dan menghardik atau menggunakan kata-kata kasar. Dalam tafsir Al-Lusi dijelaskan, yang dimaksud “Janganlah kamu membentak mereka” adalah larangan untuk memperlihatkan ketidaksetujuan terhadap pendapat kedua orang tua dengan cara membantah atau menyangkal kebenaran perkataan mereka berdua.

Pada ujung ayat ini, Allah  memerintahkan agar anak mengucapkan perkataan yang mulia terhadap kedua orang tua, maksudnya sebagai ganti dari ucapan ah atau bentakan. Katakanlah kepada mereka berdua dengan perkataan yang indah, lembut, dan tidak mengandung unsur kekerasan sedikitpun. Umar bin Khaththab pernah berkata: “Maksudnya, seorang anak harus mengatakan, Wahai Bapakku atau Wahai Ibuku. Dia tidak boleh memanggil kedua orang tuanya dengan menyebut nama mereka, tidak boleh mengeraskan suara di hadapan mereka dan tidak pula memandang mereka dengan membelalakkan matanya.”

BACA  TMMD 108 Kodim 0424/Tgm Mempersingkat Jarak Tempuh Siswa ke Sekolah
Pada ayat selanjutnya, Allah  memerintahkan agar anak merendahkan dirinya terhadap ibu dan bapak dengan penuh kasih sayang. Menurut Al-Qurthubi, ungkapan ini merupakan isti’arah (metafora/kiasan) dari sikap lembut dan sayang kepada kedua orangtua serta sikap tunduk kepada mereka berdua seperti tunduknya rakyat kepada pemimpinnya dan seorang budak kepada tuannya.

Pada ayat ini, Allah  menggunakan kata janh (sayap) untuk menggambarkan ketundukan anak kepada orang tua. Dengan demikian, seolah-olah Allah  berfirman: “Perhatikan keadaan kedua orang tuamu dan ajaklah mereka tinggal bersamamu seperti yang telah dilakukan oleh seekor burung yang merendahkan sayapnya untuk memeluk anak-anaknya dan mendidiknya.”

Adapun kata “dengan kasih sayang” adalah mengandung arti ta’lil (alasan), maksudnya rendahkanlah dirimu kepada orang tua karena besarnya kasih sayang dan cintamu kepada mereka. Hal ini karena mereka berdua sudah tua dan sekarang mereka sangat memerlukan seseorang yang dulunya merupakan makhluk yang paling memerlukan mereka berdua.

Ayat ini ditutup dengan perintah Allah  agar anak mengucapkan doa untuk orang tuanya, “Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua merawatku pada waktu kecil.”  Disini tampak bagaimana susah payah ibu-bapak mengasuh dan mendidik anak di waktu anak itu masih kecil. Mereka merawat anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharap balas jasa.

Di dalam surat Luqman (31) ayat 14, Allah  menggambarkan betapa susah ibu mengandung dan menyusui anaknya:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.“

Pada surat al-Ahqaf (46) ayat 15, Allah menggambarkan kesusahan seorang ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, “

Pada kedua ayat di atas, Allah  menyamakan antara ayah dan ibu dalam hal mendapatkan bakti dari anaknya kemudian menyebut secara khusus tentang beratnya ibu dalam mengandung, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu disebutkan dalam sebuah hadits:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُوْلُ الله ﷺمَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحْبَتِى؟ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أَبُوْكَ (متفق عليه)

“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah  menanyakan, “Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih berhak mendapat baktiku? Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Sesudah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Sesudah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Sesudah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (Mutafaq ‘Alaih)

Di sini jelas bahwa ibu dan ayah harus dihormati, namun kepada ibu berlipat ganda tiga kali. Hal ini dikarenakan ibu mengalami tiga kepayahan saat mengandung, melahirkan dan menyusui. Sedangkan ayah hanya merasakan kepayahan dalam mendidik dan membesarkan anak.

Doa yang diajarkan oleh Allah  pada ayat ini hendaknya selalu dibaca tatkala ibu dan ayah masih hidup, dan setelah mereka meninggal dunia karena kewajiban berbakti kepada ibu-bapak tetap berlanjut walaupun mereka telah meninggal dunia.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah  dan bertanya, “Masih adakah kewajiban yang wajib aku lakukan kepada kedua orang tuaku yang telah meninggal dunia? Beliau bersabda:

BACA  Hidupmu Tanggung Jawabmu (FauziPedia)
نَعَمْ، خِصَالٌ أَرْبَعَةٌ: الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا، وَاْلإِسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا رَحِمَ لَكَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا، فَهُوَ الَّذِي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ مَوْتِهِمَا

“Benar, masih ada empat macam kewajiban: Mendoakan keduanya, memohonkan ampun kepada Allah untuk keduanya, melaksanakan janjinya, dan,memuliakan teman keduanya dengan menyambung tali persaudaraan yang tidak terhubung kepada engkau melainkan dari keduanya. Itulah yang tinggal untuk engkau sebagai bakti kepada keduanya setelah mereka meninggal.”

Rangkaian ayat tentang kewajiban berbakti kepada ibu dan bapak ini ditutup dengan menggambarkan kondisi psikologis sebagian anak dalam berbakti kepada kedua orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam kalimat: Tuhanmu lebih tahu apa yang dalam dirimu maksudnya Allah  tahu, tidak sedikit anak yang menekankan perasaan karena orangtua meskipun sudah dihormati sedemikian rupa masih saja bersikap keras atau ada sikapnya yang tidak disenangi oleh anaknya sehingga anaknya harus menahan perasaan bahkan terkadang dongkol dan jengkel kepada mereka. Perasaan yang demikian ini diketahui oleh Allah namun perasaan ini dimaafkan oleh Allah , asal anak tetap berbuat baik kepada kedua orang tua, tetap beribadah kepada Allah  dan banyak bertaubat karena Allah memberi ampun kepada orang-orang yang banyak bertaubat.
Tuntunan Allah  dalam rangkaian ayat ini telah menjadi pedoman umat Islam di masa keemasan mereka. Rumah perawatan orang dan panti jompo tidak dikenal dalam masyarakat Islam saat itu. Anggota keluarga yang lanjut usia dan sakit hampir selalu berada di rumah anak-anaknya dirawat dan dihormati sampai meninggalnya. Mereka sangat menghormati ibu dan ayah mereka, sehingga anak mereka menghormati mereka, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

بِرُّوا أَبَاءَكُمْ  يَبِرُّكُمْ اَبْنَاءُكُمْ (روا الطبراني والحاكم)

“Berbaktilah kalian kepada bapak-bapak kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.” (H.R. Thabrani dan Hakim)

Namun demikian, kewajiban anak berbakti kepada orang tuanya bukanlah kewajiban buta. Seorang anak tidak menaati orang tuanya jika mereka memerintahkan sesuatu yang dilarang oleh Allah . Firman-Nya:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا (لقمان [٣١]: ١٥)

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,” (Q.S. Luqman, 31: 15)

Jadi, tidak ada kewajiban untuk taat kepada orang tua dalam masalah ini bukan berarti seorang anak boleh menyakiti hati mereka dalam urusan dunia seperti mengeraskan suara, memaki, membiarkan kelaparan dan sebagainya.

Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, Sunnah dan riwayat salafush-shalih, Syekh Abdullah Naseh Ulwan memaparkan adab terhadap orangtua, antara lain:

– Berbicara kepada keduanya dengan lembut dan santun.
– Mencium tangan keduanya pada momen-momen tertentu.
– Memuliakan keduanya dan memberikan apa yang diminta.
– Berdiri menghormati keduanya saat keduanya menemui sang anak.
– Bermusyawarah dengan mereka dalam pekerjaan dan permasalahan penting.
– Melakukan hal-hal yang dapat membahagiakan mereka tanpa diperintah terlebih dahulu.
– Tidak mementingkan istri dan anak daripada keduanya.
– Tidak mencela keduanya ketika keduanya melakukan hal-hal yang menyenangkan.
– Tidak mendahului mereka makan makanan yang tersedia.
– Tidak mengganggu mereka jika mereka sedang tidur.
– Tidak menjulurkan kaki di hadapan mereka.
– Memenuhi panggilan mereka dengan segera.
– Menghormati teman-teman keduanya baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia.
– Tidak merasa jemu dengan nasihat mereka.
– Tidak masuk menduhului mereka atau berjalan di depan keduanya. (rci)

Disarikan dari Buku ‘Nasihatul Mukminin’ karya KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, MA.

*) – KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, MA. adalah Dosen Ulumul Quran Sekolah Tinggi Shuffah Al Quran Abdullah bin Masud Lampung. Aktif narasumber Kajian Al-quran berbagai media.


© 2019. Radarcom.id. All Right Reserved.