NURUL ABROR

Kamis, 04 Juni 2020

Agama adalah otoritas Allah


Wahsyi orang yang telah membunuh paman Nabi yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Suatu ketika ia hendak masuk islam, namun ia ragu taubatnya nanti diterima atau tidak karena dirinya telah melakukan banyak hal yang terlarang seperti menyembah selain Allah, membunuh orang.

Lantas turun ayat yang berbunyi:

إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا  

Artinya“Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Furqan: 70).

Mendengar ayat ini, Wahsyi mengetahui bahwa syarat diterima taubatnya adalah dengan menyatakan keimanan serta beramal kebaikan.

Dari kisah ini dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran Islam mudah diterima oleh semua kalangan terutama bagi orang yang ingin merubah diri dari prilaku buruknya. Catatannya adalah sebanyak apapun dosa yang telah dilakukan akan diampuni oleh Allah asalkan tak menyekutukan-Nya dengan apapun.

"Sunnah yang sahih yang telah terbukti bersumber dari Rasulullah Saw. telah menyebutkan bahwa tobat seorang pembunuh dapat diterima. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kisah seseorang yang pernah membunuh seratus orang lelaki, lalu ia bertobat dan Allah menerima tobatnya. Hadis-hadis lain yang senada cukup banyak." tafsir ibnu katsir

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْاَ مْرِ شَيْءٌ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ اَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَاِ نَّهُمْ ظٰلِمُوْنَ

"Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 128)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَ رْضِ ۗ يَغْفِرُ لِمَنْ يَّشَآءُ وَ يُعَذِّبُ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَا للّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

"Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 129)

* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com

Wahai Muhammad, Jika Kau Sujud di Depan Ka’bah Ini akan Ku Injak Kepalamu!


Wahai Muhammad, Jika Kau Sujud di Depan Ka’bah Ini akan Ku Injak Kepalamu!

Oleh: Dedih Mulyadi Lc
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

SUATU ketika Rasulullah SAW hendak melaksanakan shalat di depan ka’bah. Kemudian Abu Jahal berkata kepada beliau.

“Muhammad! Jika kau sujud di depan ka’bah ini, maka aku akan menginjak kepalamu!”

Rasulullah tak menghiraukan apa yg dikatakan oleh Abu Jahal. Beliau tetap fokus melaksanakan shalat di depan ka’bah.

Lalu Abu Jahal berkata lagi, “Jika engkau tetap melanjutkan shalatmu, niscaya aku akan memanggil seluruh bangsa Qurays dan aku injak kepalamu saat sujud di hadapan mereka.”

Tetapi Rasulullah tetap tak bergeming, dan Rasulullah memulai shalatnya.

Maka dipanggillah seluruh bangsa Qurays, dan ketika Rasulullah bersujud Abu Jahal langsung mendekatinya. Akan tetapi ketika mendekat justru abu Jahal malah berhenti diam tak bergerak. Lalu kembali dan membatalkan niatnya.

Kaum Qurays berkata, “Abu Jahal, itu Muhammad… Katanya kau hendak menginjak kepalanya, kenapa kau malah kembali?”

“Jika kalian tau apa yang aku lihat, niscaya kalian akan menangis darah,” jawabnya.

“Maka apa yang kau lihat?”

Abu Jahal menjawab, “Aku melihat antara aku dan Muhammad di pisah oleh parit yang di dalamnya ada api yang berkobar-kobar, hantu dan sayap-sayap.”

Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya ia mendekatiku (untuk menginjak-injak leherku), sungguh para malaikat akan mencabik-cabik anggota tubuhnya sepotong demi sepotong.”

Atas kejadian itu, Allah menurunkan ayat 6 -19 surat Al-Alaq. (HR. Muslim)

Inilah tafsir dari surah Al ‘Alaq

فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ # سَنَدْعُ الزَّبَانِيَة

“Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah.”

Tetapi Rasulullah tetap melaksanakan shalat ya karena perintah Allah di ayat terakhir

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ۩

“Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).”

*Judul dengan penyesuaian


https://www.islampos.com/wahai-muhammad-jika-kau-sujud-di-depan-kabah-ini-akan-ku-injak-kepalamu-128382/

kepala diinjek ketika sujud


Kepala Diinjak Ketika Sujud dan Pencatutan Nama Allah

 Ketika sujud kepala saya malah sampai keinjak. Ini bahaya banget lho. Benar-benar melecehkan Allah ini. Bikin Allah marah saja,” katanya sambil membentak.

Situasi di masjid ricuh. Usai salat asar berjamaah seorang jamaah masbuk yang melanjutkan rakaat salat, tidak terima ketika sujud kepalanya terinjak seorang anak kecil yang lari-larian di dalam masjid.

“Anda itu punya anak dijaga. Kepala orang lagi sujud itu nggak boleh diganggu. Bisa ngajarin anak nggak sih?” kata orang ini marah-marah usai salat.

Bapak si anak sebenarnya juga ingin ikut emosi, tapi ia tahu posisinya salah.

“Maaf, maaf. Namanya juga anak-anak, Pak,” kata si Bapak. Sambil memeluk anaknya yang takut.

Bukannya reda emosinya, orang ini malah melanjutkan amarahnya.

“Sujud itu sebaik-baiknya ibadah kepada Allah. Anda itu sudah bikin Allah marah. Fawallahi. Laa yagfirullahu laka. Kamu tidak akan diampuni Allah sebagai orang tua yang nggak becus jagain anaknya di baitullah,” kata orang ini.

Gus Mut yang berada di saf imam agak terkejut. Dengan tenang mendatangi orang yang sedang marah-marah ini.

“Ada apa ini, Pak? Habis salat begitu kok marah-marah?” tanya Gus Mut.

“Ini lho, Bapak ini nggak bisa jagain anaknya di dalam masjid. Anda tahu nggak kalau kepala saya ketika sujud malah sampai keinjak. Benar-benar melecehkan Allah ini. Bikin Allah marah saja,” kata orang ini.

Gus Mut cuma mengelus dada ketika mendengar kemarahan orang ini.

“Sabar, Pak, sabar. Jangan marah. Ini masih di masjid,” kata Gus Mut mencoba bikin situasi jadi agak tenang.

“Saya sih masih bisa sabar, tapi ini persoalannya ibadah ke Allah. Kalau saya sendiri yang dilecehkan ya saya nggak marah, tapi kalau sampai agama Allah dilecehkan begini ya saya wajib marah,” kata orang ini—masih marah-marah.

“Pak, sabar. Istigfar, Pak. Innalahama’ashobiriin. Allah bersama orang-orang yang sabar. Kalau bener di hati Bapak ada Allah, tentu Bapak nggak sampai marah-marah begini,” kata Gus Mut.

“Anda ini aneh, kenapa malah nggak tersinggung ketika sesama muslim keinjak kakinya ketika sujud begini,” kata orang ini.

“Pak, namanya anak kecil ya nggak apa-apa. Orang nggak tahu juga,” kata Gus Mut.

“Ya saya ini nggak marah sama anak kecilnya, tapi sama Bapaknya ini. Kenapa dia nggak bisa jagain kalau punya anak. Bukannya ngajarin salat malah biarin anaknya lari-larian di dalam masjid,” kata orang ini.

“Namanya dunia anak itu kan dunia main, Pak. Kalau si anak nggak dibiarin main di dalam masjid, bagaimana si anak bisa betah di masjid? Nabi aja biarin cucunya menunggangi punggung Nabi ketika sujud, beliau juga nggak marah kok. Malah dibikin lama sujudnya, karena ingin cucunya menyelesaikan main-mainnya dulu,” kata Gus Mut.

“Ya karena itu kan cucu Nabi sendiri,” kata orang ini.

“Nabi juga pernah mempercepat bacaan salatnya lho, Pak. Waktu itu ada suara tangis anak kecil, lalu Nabi khawatir kalau ibu si anak jadi tidak enak hati salatnya. Akhirnya salat Nabi dipercepat. Artinya, jangan berlebihan sama anak kecil. Bikin masjid ini jadi dunia bermain untuk mereka, biar mereka betah. Awalnya memang main-main, tapi habis itu mereka juga tumbuh, balig, berakal. Lalu jadi mudah ngajari mereka ibadah. Lha kalau dari kecil aja lihat ada Bapak marah-marah begitu, lalu dia trauma nggak mau ke masjid lagi sampai dewasa nanti. Apa Bapak mau tanggung jawab di akhirat nanti?” tanya Gus Mut.


Orang ini terdiam sejenak. Kemarahan sedikit sudah menurun tensinya.

“Tapi kan ini beda kasus. Kepala orang lagi sujud kok diinjak. Itu penghinaan ke Allah namanya,” kata orang ini.

“Penghinaan ke Bapak atau penghinaan ke Allah?” tanya Gus Mut.

“Ya ke Allah,” kata orang ini.

“Dari mana Bapak tahu kalau Allah merasa terhina gara-gara itu?” tanya Gus Mut lagi.

“Maaf, ya, Anda jangan main-main sama agama Allah ya,” kata orang ini.

Gus Mut cuma tersenyum.

“Saya tidak pernah main-main dengan agama Allah, makanya saya datang ke sini buat menenangkan Bapak. Gini lho, Pak. Ibarat ada orang lagi bertamu ke rumah Bapak. Lalu orang itu punya masalah pribadi dengan orang lain, kemudian marah-marah mengatasnamakan Bapak—seolah-olah tuan rumah. Padahal mereka sama-sama tamu. Kira-kira kalau Bapak jadi tuan rumah gitu, tersinggung nggak salah satu tamu Bapak diusir mengatasnamakan Bapak?” kata Gus Mut.

“Ya tersinggung lah. Apa urusannya marah-marah pakai nama saya?” kata orang ini.

“Lha itu lah masalahnya,” kata Gus Mut.

“Masalah apa? Memang ada orang yang kayak begitu? Goblok banget kalau sampai ada,” kata orang ini.

“Ada kok,” kata Gus Mut.

“Siapa?”

“Ya itu, barusan tanya orangnya.”

*) Diolah dari ceramah Gus Baha’

REDAKTUR

Redaktur Mojok. Santri dan penulis buku 'Dari Bilik Pesantren' dan 'Islam Kita Ngga ke Mana-mana Kok Disuruh Kembali'.

  

6 SEPTEMBER 2019 © 2020 MOJOK.CO - ALL RIGHTS RESERVED.

Kisah Abid yang beribadah 500 tahun

Kisah Abid yang beribadah 500 tahun

حكاية عابد عبد الله خمسمائة سنة فتوفي ساجدا 
7712 – أخبرني أحمد بن محمد بن سلمة العنزي ، ثنا عثمان بن سعيد الدارمي ، ثنا عبد الله بن صالح المقري ، ثنا سليمان بن هرم القرشي ، وحدثناعلي بن حمشاذ العدل ، ثنا عبيد بن شريك ، ثنا يحيى بن بكير ، ثنا الليث بن سعد ، عن سليمان بن هرم ، عن محمد بن المنكدر ، عن جابر بن عبد الله- رضي الله عنهما – قال : خرج علينا النبي – صلى الله عليه وآله وسلم – ، فقال : ” خرج من عندي خليلي جبريل آنفا فقال : يا محمد ، والذي بعثك بالحق إن لله عبدا من عبيده ، عبد الله – تعالى – خمسمائة سنة على رأس جبل في البحر عرضه وطوله ثلاثون ذراعا في ثلاثين ذراعا ، والبحر محيط به أربعة آلاف فرسخ من كل ناحية ، وأخرج الله – تعالى – له عينا عذبة بعرض الأصبع تبض بماء عذب فتستنقع في أسفل الجبل ، وشجرة رمان تخرج له كل ليلة رمانة فتغذيه يومه ، فإذا أمسى نزل فأصاب من الوضوء وأخذ تلك الرمانة فأكلها ثم قام لصلاته ، فسأل ربه – عز وجل – عند وقت الأجل أن يقبضه ساجدا ، وأن لا يجعل للأرض ولا لشيء يفسده عليه سبيلا حتى بعثه وهو ساجد قال : ففعل فنحن نمر عليه إذا هبطنا وإذا عرجنا ، فنجد له في العلم أنه يبعث يوم القيامة فيوقف بين يدي الله – عز وجل – فيقول له الرب : أدخلوا عبدي الجنة برحمتي ، فيقول : رب بل بعملي ، فيقول الرب : أدخلوا عبدي الجنة برحمتي ، فيقول : يا رب ، بل بعملي ، فيقول الرب : أدخلوا عبدي الجنة برحمتي ، فيقول : رب بل بعملي ، فيقول الله – عز وجل – للملائكة : قايسوا عبدي بنعمتي عليه وبعمله فتوجد نعمة البصر قد أحاطت بعبادة خمس مائة سنة وبقيت نعمة الجسد فضلا عليه فيقول : أدخلوا عبدي النار قال : فيجر إلى النار فينادي : رب برحمتك أدخلني الجنة ، فيقول : ردوه فيوقف بين يديه فيقول : يا عبدي ، من خلقك ولم تك شيئا ؟ فيقول : أنت يا رب ، فيقول : كان ذلك من قبلك أو برحمتي ؟ فيقول : بل برحمتك . فيقول : من قواك لعبادة خمس مائة عام ؟ فيقول : أنت يا رب ، فيقول : من أنزلك في جبل وسط اللجة وأخرج لك الماء العذب من الماء المالح وأخرج لك كل ليلة رمانة وإنما تخرج مرة في السنة ، وسألتني أن أقبضك ساجدا ففعلت ذلك بك ؟ فيقول : أنت يا رب ، فقال الله – عز وجل – : فذلك برحمتي وبرحمتي أدخلك الجنة ، أدخلوا عبدي الجنة فنعم العبد كنت يا عبدي ، فيدخله الله الجنة ، قال جبريل – عليه السلام – : إنما الأشياء برحمة الله – تعالى – يا محمد ” . 

هذا حديث صحيح الإسناد ، فإن سليمان بن هرم العابد من زهاد أهل الشام ، والليث بن سعد لا يروي عن المجهولين . 

Kisah Abid beribadah kepada Allah 500 tahun kemudian meninggal dalam keadaan sujud.

Dari Jabir ra mengisahkan, Rosulullah shollallohu alaihi wasallam keluar menemui kami dan bercerita,”Tadi Jibril baru saja keluar dari tempatku. Ia berkata,”Wahai Muhammad, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran. Sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba yang telah menyembah kepada Allah selama 500 tahun. Ia tinggal di atas sebuah bukit yang panjang dan lebarnya 30 x 30 hasta. Bukit itu dikelilingi lautan seluas 4.000 farsakh (±32.000 km ) dari segala penjuru (1 farsakh = 8 km atau 3¼ mil).Bukit itu memiliki satu mata air sebesar ibu jari yang memancarkan air bening untuknya.Si abid menetap di bawah bukit itu. Untuk keperluan makan, sebatang pohon delima setiap malam memberinya satu buah yang matang. Hari-harinya ia habiskan untuk beribadah. Bila sore menjelang, ia turun dari atas bukit dan melakukan wudhu. Kemudian ia mengambil buah delima itu dan memakannya, lalu ia melaksankan shalat.

Sebelum meninggal, ia memohon kepada Allah swt agar mencabut nyawanya saat sedang bersujud dan agar jangan memberi kesempatan kepada bumi atau benda-benda lainnya merusak jasadnya, sampai ia dibangkitkan kembali pada hari kiamat nanti dan tetap dalam keadaan bersujud. Jibril berkata,”Maka Allah mengabulkan permintaannya”.Kami selalu melewatinya bila kami turun ke bumi dan bila kami naik kembali ke langit. Kami mendapatkan kabar dalam ilmu (Tuhan) bahwa ia akan dibangkitkan pada hari kiamat, kemudian didudukkan dihadapan Allah swt, dan Allah swt berfirman,”Masukkanlah hamba-Ku ini ke surga atas berkat rahmat-Ku.” Si Abid berkata,”Tapi ya Rabbi, masukkanlah hamba ke surga atas berkat amal perbuatanku.” Allah berfirman,”masukkanlah hamba-Ku ke surga atas berkat rahmat-Ku.”si Abid berkeras,“ya Rabbi, masukkanlah hamba ke surga atas berkat amal perbuatanku.” Allah berfirman,”masukkanlah hamba-Ku ke surga atas berkat rahmat-Ku.”si Abid berkeras,“ya Rabbi, masukkanlah hamba ke surga atas berkat amal perbuatanku.Allah swt lalu menjelaskan,”Timbanglah pada hamba-Ku ini antara nikmat yang telah Ku berikan dengan amal perbuatannya.” Maka didapati bahwa nikmat penglihatan telah meliputi ibadah selama 500 tahun itu, belum lagi nikmat-nikmat badan yang lainnya. 

Allah berfirman,”Kembalikan dia kepada-Ku!”. Maka ia dudukkan kembali dihadapan Allah. Allah menanyainya,”Wahai hamba-Ku, siapakah yang telah menciptakan kamu dari tidak ada?”si Abid menjawab, “Engkau wahai tuanku”.”Siapa yang telah memberikan kekuatan untuk melaksanakan ibadah selama 500 tahun?”si Abid menjawab,”Engkau wahai tuhanku”.”Siapa Dzat yang telah menempatkanmu di sebuah bukit yang terletak di tengah-tengah deburan ombak samudra, mengeluarkan mata air tawar dari air yang asin, mengeluarkan buah delima setiap malamnya padahal delima hanya berbuah sekali dalam setahun, dan engkau telah meminta-Nya agar mecabut nyawamu saat engkau sedang bersujud dan Dia mengabulkan permintaan mu?” si Abid menjawab,”Engkau wahai Rabbi.” Allah ta’ala berfirman,”Semua itu atas berkat rahmat-Ku dan dengan rahmat-Ku pula engkau masuk surga. Masukkanlah hamba-Ku ini ke surga! Sebaik-baik hamba adalah engkau wahai hamba-Ku.”Maka Allah memasukkannya ke surga. 

Malaikat Jibrail alaihis salaam berkata:”Segala sesuatu itu terjadi hanya dengan rahmat Allah, wahai Muhammad. ” (HR. al-Hakim dan ia berkata hadis ini sahih sanadnya).

Awal niat yang suu’ (rusak)


Janganlah Menjadi Penuntut Ilmu Seperti Abu Syibrin

Berapa banyak para penuntut ilmu yang gagal dalam meraih ilmu yang nafi’ (bermanfaat) akibat rusaknya niat. Awal niat yang suu’ (rusak) berakibat fatal pada kesudahannya, berakibat buruk bagi akhlaknya, berujung pula pada adzab.

Berapa banyak para penuntut ilmu yang gagal meraih predikat thalabul ‘ilmi akibat niat yang rusak, sudah lama sakit, pahit getir memuntut ilmu dirasakan, letihnya, kerja kerasnya, tenaga, pikiran, biaya, namun ilmu hanya isapan jempol. Semua itu hanya omong kosong belaka, letih yang dirasa dan seluruhnya tak membekas dalam jiwa juga dalam ilmu yang dicapai.

Alangkah indah bila ilmu itu sesegar hujan yang turun dari langit, membasahi bumi. Tanah yang tandus, gersang terselimuti oleh kesegaran. Begitu juga tatkala letih, lapar dan dahaga yang dirasakan hilang sejenak, akibat manfaat ilmu yang nafi’.

Alangkah tercelanya ilmu yang dibangga-banggakan, alangkah tercelanya ilmu itu tuk mencari keridhaan manusia, apalagi untuk mencela para ulama. Ada penuntut ilmu yang bangga apabila berhasil menelanjangi ulama, adapula yang bangga bila saudaranya teraniaya akibat lisannya. Na’udzu billahi min dzalik. Dari Kaab bin Malik radhiallāhu ‘anhu, Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

منِ ابتغى العلمَ لِيُباهِيَ به العلماءَ ، أو يُمارِيَ به السُّفهاءَ ، أو تُقبِلَ أفئدةُ الناسِ إليه فإلى النَّارِ.

“Siapa yang mendalami ilmu untuk [1] berbangga di depan ulama, atau [2] mendebat orang-orang bodoh, atau untuk [3] mengambil hati manusia; maka ke neraka dia.” -HASAN- (Shahih Al Jami’, 5930) HR. Al Hakim (I/86) dan Al Baihaqi (Asy-Syu’ab, 1772)

Al Allamah Al Munawi menjelaskan bahwa bahwa hadits di atas adalah peringatan bagi siapa saja yang mencari ilmu dalam rangka mencari dunia. Imam Adz Dzahabi sendiri menggolongkan berbuatan ini sebagai dosa besar, sebagaimana dijelaskan dalam karya beliau Al Kabair. (Faidh Al Qadir, 6/20)

Imam Ash-Shan’ani rahimahullah lebih lanjut mengatakan:

فالمبتغي لذلك إلى النار سواء أدرك ما ابتغاه أم لا. وفيه أنه لا يطلب العلم إلا لله و إلا كان عذابا للطالب

“Orang yang belajar dengan tujuan-tujuan ini; akan masuk neraka! Baik dia berhasil meraih tujuannya ataupun gagal. Dari hadits ini diambil keharusan menuntut ilmu hanya karena Allāh ; bila tidak maka akan menjadi adzab bagi si thalib (pelajar).” (At-Tanwir, X/14)

Seharusnya dengan ilmu itu seseorang mengharapkan keridhaan Allāh Ta’ala. Berkata Abu Yusuf Al-Qadhi rahimahullaah: “Wahai kaumku, harapkanlah dengan ilmu kalian keridhaan Allāh Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh tidaklah aku duduk di suatu majelis ilmu yang aku niatkan padanya tawadhu’, kecuali aku bangun dalam keadaan telah mendapat kemuliaan. Sebaliknya tidaklah aku duduk di satu majelis ilmu yang aku niatkan untuk mengalahkan mereka kecuali aku bangun dalam keadaan Allāh bukakan aibku. Ilmu adalah salah satu ibadah dan taqarrub.” (Tadzkiratu As-Sami’ wal Mutakallim, Ibnu Jama’ah, melalui Min Hadyi Salaf, hal. 47)

Ilmu pun akan pergi bila tak disambut dengan baik, bahkan tanpa bekas, bagai onta yang lepas dari tali kekangnya. Khatib Al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiallāhu ‘anhu, berkata: “Ilmu menuntut amalan. Kalau ia disambut (diamalkan) ia akan menetap, namun kalau tidak dia akan pergi.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, melalui Hilya Thalabil ‘Ilmi, hal. 13-14)

Betapa cepat hilangnya ilmu, apabila ilmu tersebut masuk ke dalam hati orang yang sombong. Dikatakan pula dalam sebuah syair: “Ilmu akan menjauh dari seorang yang sombong, seperti air bah menjauh dari tempat yang tinggi.”

Seringkali pula seorang yang baru mendapatkan sedikit ilmu terkena penyakit sombong, merasa dirinya sebagai ulama dan melihat orang lain sebagai orang-orang yang bodoh bahkah rendahan, ia bangga dengan sedikitnya ilmu, bak seorang ulama yang faqih. Para ulama pun menjulukinya dengan Abu Syibrin.

Lalu siapakah Abu Syibrin?

Para ulama menjulukinya dengan Abu Syibrin, ia adalah orang yang baru mendapatkan ilmu pada jengkal pertama. Sedangkan para ulama menyatakan bahwa ilmu mempunyai 3 jengkal. Orang yang mencapai jengkal pertama menjadi sombong, pada jengkal kedua ia menjadi tawadhu’ (rendah hati), sedangkan pada jengkal ketiga ia akan merasa kalau dirinya belum tahu apa-apa. (Hilya Thalabil ‘Ilmi, hal. 13-14)

Virus ala Abu Syibrin ini sering terjadi pada sebagian pencari ilmu yang terdapat kesombongan dalam dirinya, merasa dirinya paling shalih dan menganggap orang lain semuanya di bawahnya. Kemudian merasa diri paling dekat dengan Allāh dan dicintai-Nya, sedangkan yang lain dianggap orang-orang yang jauh dan tidak dicintai oleh Allāh Subhanahu wa Ta’ala. Dan biasanya, pada puncaknya dia merasa dosa-dosanya diampuni, sedangkan dosa orang lain tidak akan diampuni. Sungguh memang penyakit kronis dan sangat berbahaya.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits qudsi dari Jundub Al-Bajaly radhiallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ رَجُلاً قَالَ: وَاللهِ لاَ يَغْفِرُ اللهَ لِفُلاَنٍ. قَالَ اللهُ: مَنْ ذَا الَّذِيْ يَتَأَلَى عَلَيَّ أَنْ لاَ أَغْفِرَ لِفُلاَنٍ؟ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلاَنٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ. رواه مسلم

Sesungguhnya ada seseorang berkata: “Demi Allāh , Allāh tidak akan mengampuni fulan.” Maka Allāh berfirman: “Siapa yang lancang mengatakan atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni fulaan?! Sungguh Aku telah mengampuni fulan dan menggugurkan amal-amalmu.” (HR. Muslim)

Deskripsi dari kisah secara rinci diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ رَجُلاَنِ فِي بَنِي إِسْرَائِيْلَ مُتَوَاخِيَانِ وَكَانَ أَحَدُهُمَا مُذْنِبًا وَالآخَرُ مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ وَكَانَ لاَ يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُوْلُ: أَقْصِرْ! فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ. فَقَالَ: خَلَّنِي وَرَبَّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيْبًا؟! فَقَالَ: وَاللهِ لاَ يَغْفِرُ اللهَ لَكَ أَوْ لاَ يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ رُوْحُهُمَا فَاجْتُمِعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟! فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلآخَرِ: اذْهَبُوْا بِهِ إِلَى النَّارِ.  رواه أحمد وأبو داود، وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير

Sesungguhnya dahulu di kalangan Bani Israil ada dua orang yang bersaudara. Salah satunya seorang pendosa, sedangkan yang lainnya seorang yang rajin beribadah. Dan bahwasanya sang ahli ibadah selalu melihat saudaranya bergelimang dosa, maka ia berkata: “Kurangilah!” Pada suatu hari ia mendapatinya dalam keadaan berdosa, maka ia berkata: “Kurangilah!” Berkata si pendosa: “Biarkanlah antara aku dan Rabb-ku! Apakah engkau diutus untuk menjadi penjagaku?” Sang ahli ibadah berkata: “Demi Allāh, Allāh tidak akan mengampunimu!” Atau: “Demi Allāh , Allāh tidak akan memasukkanmu ke dalam surga!” Dicabutlah ruh kedua orang tersebut dan dikumpulkan di sisi Allāh. Maka Allāh berfirman kepada ahli ibadah: “Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Ataukah engkau merasa memiliki apa yang ada di tangan-Ku?” Dan Allāh berkata kepada si pendosa: “Pergilah engkau dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku!” Dan berkata kepada ahli ibadah: “Bawalah ia ke dalam neraka!” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir)

Begitu berbahayanya penyakit dari Abu Syibrin bila ada salah satu dari kita yang terjangkiti virusnya. Begitu juga ikhwan dan akhwat jaman sekarang bila mereka sudah kena dan kelasnya kronis stadium akut, maka penyakit ini akan cepat menular seperti endemik penyakit lainnya. Mungkin salah satu diantara anda atau saya ada yang sudah terjangkiti. Maka banyaklah berlindung kepada Allāh Ta’ala.

Lihatlah, tidaklah kaum khawarij mengkafirkan kaum muslimin, kecuali karena kesombongan. Mereka merasa tidak pernah berdosa, sehingga menganggap orang yang berdosa sebagai kafir. Tidaklah mereka menghalalkan darah kaum muslimin kecuali karena kesombongan. Dan tidaklah kaum mu’tazilah dan rasionalis (JIL) meremehkan ilmu fiqh dan hadits, kecuali karena kesombongan pula. Lalu masihkah antum dalam bingkai kesombongan?!, Sungguh amat hinanya diri kita ini, yang hanya diciptakan dari sebuah air yang hina.

Al-Anasi rahimahullaah berkata: “Hati-hatilah dari penyakit para pembesar yaitu kesombongan. Sesungguhnya kesombongan, bangga diri dan kedengkian adalah awal dari kemaksiatan yang Allāh dimaksiati dengannya. Maka ketahuilah bahwa merasa tinggi di hadapan gurumu, itu adalah kesombongan, menolak faedah ilmu dari orang-orang yang di bawahmu adalah kesombongan dan tidak beramal dengan apa yang diketahui juga merupakan belumbang kesombongan dan tanda kalau dia akan terhalangi dari ilmu.” (Siyar, juz IV, hal. 80)

Marilah kita memohon kepada Allāh ilmu yang nafi’ dan berlindung dari ilmu yang suu’ (rusak) juga kita berdo’a kepada Allāh agar kita selalu memperbaiki niat-niat kita dalam menuntut ilmu. Allāhua’lam.

Ditulis oleh:

Ustadz Saryanto Abu Ruwaifi’

(Alumni STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya, Mahasiswa S2 Magister Hukum Islam – Kelas Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta, Da’i Mukim Yayasan Tebar Da’i Mukim di Bandungan, Kab. Semarang, Jawa Tengah)

Untuk melihat artikel lengkap 
https://umma.id/article/share/id/1002/359946