Janganlah Menjadi Penuntut Ilmu Seperti Abu Syibrin
Berapa banyak para penuntut ilmu yang gagal dalam meraih ilmu yang nafi’ (bermanfaat) akibat rusaknya niat. Awal niat yang suu’ (rusak) berakibat fatal pada kesudahannya, berakibat buruk bagi akhlaknya, berujung pula pada adzab.
Berapa banyak para penuntut ilmu yang gagal meraih predikat thalabul ‘ilmi akibat niat yang rusak, sudah lama sakit, pahit getir memuntut ilmu dirasakan, letihnya, kerja kerasnya, tenaga, pikiran, biaya, namun ilmu hanya isapan jempol. Semua itu hanya omong kosong belaka, letih yang dirasa dan seluruhnya tak membekas dalam jiwa juga dalam ilmu yang dicapai.
Alangkah indah bila ilmu itu sesegar hujan yang turun dari langit, membasahi bumi. Tanah yang tandus, gersang terselimuti oleh kesegaran. Begitu juga tatkala letih, lapar dan dahaga yang dirasakan hilang sejenak, akibat manfaat ilmu yang nafi’.
Alangkah tercelanya ilmu yang dibangga-banggakan, alangkah tercelanya ilmu itu tuk mencari keridhaan manusia, apalagi untuk mencela para ulama. Ada penuntut ilmu yang bangga apabila berhasil menelanjangi ulama, adapula yang bangga bila saudaranya teraniaya akibat lisannya. Na’udzu billahi min dzalik. Dari Kaab bin Malik radhiallāhu ‘anhu, Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
منِ ابتغى العلمَ لِيُباهِيَ به العلماءَ ، أو يُمارِيَ به السُّفهاءَ ، أو تُقبِلَ أفئدةُ الناسِ إليه فإلى النَّارِ.
“Siapa yang mendalami ilmu untuk [1] berbangga di depan ulama, atau [2] mendebat orang-orang bodoh, atau untuk [3] mengambil hati manusia; maka ke neraka dia.” -HASAN- (Shahih Al Jami’, 5930) HR. Al Hakim (I/86) dan Al Baihaqi (Asy-Syu’ab, 1772)
Al Allamah Al Munawi menjelaskan bahwa bahwa hadits di atas adalah peringatan bagi siapa saja yang mencari ilmu dalam rangka mencari dunia. Imam Adz Dzahabi sendiri menggolongkan berbuatan ini sebagai dosa besar, sebagaimana dijelaskan dalam karya beliau Al Kabair. (Faidh Al Qadir, 6/20)
Imam Ash-Shan’ani rahimahullah lebih lanjut mengatakan:
فالمبتغي لذلك إلى النار سواء أدرك ما ابتغاه أم لا. وفيه أنه لا يطلب العلم إلا لله و إلا كان عذابا للطالب
“Orang yang belajar dengan tujuan-tujuan ini; akan masuk neraka! Baik dia berhasil meraih tujuannya ataupun gagal. Dari hadits ini diambil keharusan menuntut ilmu hanya karena Allāh ; bila tidak maka akan menjadi adzab bagi si thalib (pelajar).” (At-Tanwir, X/14)
Seharusnya dengan ilmu itu seseorang mengharapkan keridhaan Allāh Ta’ala. Berkata Abu Yusuf Al-Qadhi rahimahullaah: “Wahai kaumku, harapkanlah dengan ilmu kalian keridhaan Allāh Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh tidaklah aku duduk di suatu majelis ilmu yang aku niatkan padanya tawadhu’, kecuali aku bangun dalam keadaan telah mendapat kemuliaan. Sebaliknya tidaklah aku duduk di satu majelis ilmu yang aku niatkan untuk mengalahkan mereka kecuali aku bangun dalam keadaan Allāh bukakan aibku. Ilmu adalah salah satu ibadah dan taqarrub.” (Tadzkiratu As-Sami’ wal Mutakallim, Ibnu Jama’ah, melalui Min Hadyi Salaf, hal. 47)
Ilmu pun akan pergi bila tak disambut dengan baik, bahkan tanpa bekas, bagai onta yang lepas dari tali kekangnya. Khatib Al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiallāhu ‘anhu, berkata: “Ilmu menuntut amalan. Kalau ia disambut (diamalkan) ia akan menetap, namun kalau tidak dia akan pergi.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, melalui Hilya Thalabil ‘Ilmi, hal. 13-14)
Betapa cepat hilangnya ilmu, apabila ilmu tersebut masuk ke dalam hati orang yang sombong. Dikatakan pula dalam sebuah syair: “Ilmu akan menjauh dari seorang yang sombong, seperti air bah menjauh dari tempat yang tinggi.”
Seringkali pula seorang yang baru mendapatkan sedikit ilmu terkena penyakit sombong, merasa dirinya sebagai ulama dan melihat orang lain sebagai orang-orang yang bodoh bahkah rendahan, ia bangga dengan sedikitnya ilmu, bak seorang ulama yang faqih. Para ulama pun menjulukinya dengan Abu Syibrin.
Lalu siapakah Abu Syibrin?
Para ulama menjulukinya dengan Abu Syibrin, ia adalah orang yang baru mendapatkan ilmu pada jengkal pertama. Sedangkan para ulama menyatakan bahwa ilmu mempunyai 3 jengkal. Orang yang mencapai jengkal pertama menjadi sombong, pada jengkal kedua ia menjadi tawadhu’ (rendah hati), sedangkan pada jengkal ketiga ia akan merasa kalau dirinya belum tahu apa-apa. (Hilya Thalabil ‘Ilmi, hal. 13-14)
Virus ala Abu Syibrin ini sering terjadi pada sebagian pencari ilmu yang terdapat kesombongan dalam dirinya, merasa dirinya paling shalih dan menganggap orang lain semuanya di bawahnya. Kemudian merasa diri paling dekat dengan Allāh dan dicintai-Nya, sedangkan yang lain dianggap orang-orang yang jauh dan tidak dicintai oleh Allāh Subhanahu wa Ta’ala. Dan biasanya, pada puncaknya dia merasa dosa-dosanya diampuni, sedangkan dosa orang lain tidak akan diampuni. Sungguh memang penyakit kronis dan sangat berbahaya.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits qudsi dari Jundub Al-Bajaly radhiallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ رَجُلاً قَالَ: وَاللهِ لاَ يَغْفِرُ اللهَ لِفُلاَنٍ. قَالَ اللهُ: مَنْ ذَا الَّذِيْ يَتَأَلَى عَلَيَّ أَنْ لاَ أَغْفِرَ لِفُلاَنٍ؟ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلاَنٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ. رواه مسلم
Sesungguhnya ada seseorang berkata: “Demi Allāh , Allāh tidak akan mengampuni fulan.” Maka Allāh berfirman: “Siapa yang lancang mengatakan atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni fulaan?! Sungguh Aku telah mengampuni fulan dan menggugurkan amal-amalmu.” (HR. Muslim)
Deskripsi dari kisah secara rinci diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ رَجُلاَنِ فِي بَنِي إِسْرَائِيْلَ مُتَوَاخِيَانِ وَكَانَ أَحَدُهُمَا مُذْنِبًا وَالآخَرُ مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ وَكَانَ لاَ يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُوْلُ: أَقْصِرْ! فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ. فَقَالَ: خَلَّنِي وَرَبَّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيْبًا؟! فَقَالَ: وَاللهِ لاَ يَغْفِرُ اللهَ لَكَ أَوْ لاَ يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ رُوْحُهُمَا فَاجْتُمِعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟! فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلآخَرِ: اذْهَبُوْا بِهِ إِلَى النَّارِ. رواه أحمد وأبو داود، وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير
Sesungguhnya dahulu di kalangan Bani Israil ada dua orang yang bersaudara. Salah satunya seorang pendosa, sedangkan yang lainnya seorang yang rajin beribadah. Dan bahwasanya sang ahli ibadah selalu melihat saudaranya bergelimang dosa, maka ia berkata: “Kurangilah!” Pada suatu hari ia mendapatinya dalam keadaan berdosa, maka ia berkata: “Kurangilah!” Berkata si pendosa: “Biarkanlah antara aku dan Rabb-ku! Apakah engkau diutus untuk menjadi penjagaku?” Sang ahli ibadah berkata: “Demi Allāh, Allāh tidak akan mengampunimu!” Atau: “Demi Allāh , Allāh tidak akan memasukkanmu ke dalam surga!” Dicabutlah ruh kedua orang tersebut dan dikumpulkan di sisi Allāh. Maka Allāh berfirman kepada ahli ibadah: “Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Ataukah engkau merasa memiliki apa yang ada di tangan-Ku?” Dan Allāh berkata kepada si pendosa: “Pergilah engkau dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku!” Dan berkata kepada ahli ibadah: “Bawalah ia ke dalam neraka!” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir)
Begitu berbahayanya penyakit dari Abu Syibrin bila ada salah satu dari kita yang terjangkiti virusnya. Begitu juga ikhwan dan akhwat jaman sekarang bila mereka sudah kena dan kelasnya kronis stadium akut, maka penyakit ini akan cepat menular seperti endemik penyakit lainnya. Mungkin salah satu diantara anda atau saya ada yang sudah terjangkiti. Maka banyaklah berlindung kepada Allāh Ta’ala.
Lihatlah, tidaklah kaum khawarij mengkafirkan kaum muslimin, kecuali karena kesombongan. Mereka merasa tidak pernah berdosa, sehingga menganggap orang yang berdosa sebagai kafir. Tidaklah mereka menghalalkan darah kaum muslimin kecuali karena kesombongan. Dan tidaklah kaum mu’tazilah dan rasionalis (JIL) meremehkan ilmu fiqh dan hadits, kecuali karena kesombongan pula. Lalu masihkah antum dalam bingkai kesombongan?!, Sungguh amat hinanya diri kita ini, yang hanya diciptakan dari sebuah air yang hina.
Al-Anasi rahimahullaah berkata: “Hati-hatilah dari penyakit para pembesar yaitu kesombongan. Sesungguhnya kesombongan, bangga diri dan kedengkian adalah awal dari kemaksiatan yang Allāh dimaksiati dengannya. Maka ketahuilah bahwa merasa tinggi di hadapan gurumu, itu adalah kesombongan, menolak faedah ilmu dari orang-orang yang di bawahmu adalah kesombongan dan tidak beramal dengan apa yang diketahui juga merupakan belumbang kesombongan dan tanda kalau dia akan terhalangi dari ilmu.” (Siyar, juz IV, hal. 80)
Marilah kita memohon kepada Allāh ilmu yang nafi’ dan berlindung dari ilmu yang suu’ (rusak) juga kita berdo’a kepada Allāh agar kita selalu memperbaiki niat-niat kita dalam menuntut ilmu. Allāhua’lam.
Ditulis oleh:
Ustadz Saryanto Abu Ruwaifi’
(Alumni STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya, Mahasiswa S2 Magister Hukum Islam – Kelas Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta, Da’i Mukim Yayasan Tebar Da’i Mukim di Bandungan, Kab. Semarang, Jawa Tengah)
Untuk melihat artikel lengkap
https://umma.id/article/share/id/1002/359946