NURUL ABROR

Senin, 24 Juni 2019

Soal Kesunahan Membunuh Cicak

Kajian Hadits Soal Kesunahan Membunuh Cicak

Hafiz, NU Online | Selasa, 13 Februari 2018 19:45

Saat masih kecil, kita beserta teman-teman di desa sering memburu cicak. Salah satu motivasi kita saat itu adalah kesunahan yang “katanya” didasarkan pada sebuah riwayat hadits.

Saat itu, kita sama sekali tidak mengerti bagaimana bunyi haditsnya. Namun saya saat itu sempat ditegur dan dimarahi orang tua. Kata orang tua, “Cicak juga ingin hidup nyaman seperti kita. Mereka punya keluarga. Kalau ia mati, siapa yang akan memberi makan anak-anaknya.”

Begitulah kiranya kata-kata orang tua saya sembari mencontohkan kalau cicak itu adalah orang tua saya sendiri. Tentu saya, bahkan kita semua tak akan mau jika orang tua kita meninggal karena dibunuh orang lain.

Dan ternyata memang benar, dalam hadits riwayat Muslim terdapat sebuah hadits yang menjelaskan beberapa keutamaan membunuh cicak.

مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ

Artinya, “Barang siapa yang membunuh cicak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan. Barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua,” (HR Muslim).

Hal ini tentu menjadikan kita bertanya-tanya, benarkah Rasulullah sejahat itu? Padahal dalam riwayat hadits yang lain, tergambar jelas bahwa Rasulullah sangat menyayangi binatang. Tapi mengapa kepada hewan kecil sejenis cicak Rasulullah begitu kejam?

Hal ini tentu paradoks bagi kita. Oleh karena itu, marilah kita pahami hadits anjuran membunuh cicak tersebut dengan seksama, tentunya dengan ilmu pemahaman hadits (fiqhul matan hadits) sesuai yang diajarkan oleh para ulama kita.

Pertama, mengenai redaksi hadits yang digunakan. Dalam memahami hadits, kita harus memastikan redaksi kata yang dipakai dalam hadits tersebut digunakan untuk menyebutkan hal apa pada waktu dahulu. Bukan malah mengartikannya dengan arti yang digunakan manusia zaman sekarang.

Hal ini disebut oleh Al-Qaradhawi dalam Kaifa Nata‘amal ma'a Sunnah-nya sebagai "At-ta'kid min madlulati alfazhil hadits".

Maka kata harus memastikan, kata 'al-auzagh' dalam hadits tersebut apakah untuk menunjukkan kata cicak seperti cicak-cicak di rumah kita atau tidak.

Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim-nya menjelaskan bahwa auzagh yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah yang sejenis saamul abrash, yakni cicak yang dapat mendatangkan penyakit. Atau ditegaskan lagi oleh An-Nawawi sebagai al-hasyaratul mu'dzi (hewan yang dapat menyakiti).

قال أهل اللغة الوزغ وسام أبرص جنس فسام أبرص هو كباره واتفقوا على أن الوزغ من الحشرات المؤذيات وجمعه أوزاغ ووزغان وأمر النبى صلى الله عليه و سلم بقتله وحث عليه ورغب فيه لكونه من المؤذيات

Artinya, “Para ahli bahasa mengatakan bahwa cicak dan tokek belang adalah satu jenis, sedangkan tokek belang merupakan jenis cicak yang besar. Para ahli bahasa sepakat bahwa cicak merupakan binatang yang menyakiti. Bentuk jamaknya adalah auzag dan wazghan. Nabi SAW memerintahkan dan menganjurkan untuk membunuhnya karena ia merupakan salah satu hewan yang bisa membuat sakit,” (Lihat Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Sahihi Muslim, Beirut, Dar Ihya’it Turats, 1392 H, juz 14, halaman 236).

Dari penjelasan An-Nawawi ini, tergambar jelas bahwa kata auzagh dalam hadits tersebut sama sekali tidak untuk cicak-cicak yang hidup damai di rumah-rumah kita.

Kedua, mengapa diberikan kebaikan (hasanat) bagi membunuhnya dengan pukulan-pukulan tertentu?
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa anjuran membunuh jenis cicak dalam hadits itu karena ia dapat menularkan penyakit.
Menurut An-Nawawi, anjuran untuk membunuh hewan ini dengan pukulan tertentu karena semakin cepat dibunuh, maka akan semakin membuat diri kita aman dari penyakit.

وأما سبب تكثير الثواب فى قتله بأول ضربة ثم ما يليها فالمقصود به الحث على المبادرة بقتله والاعتناء به وتحريس قاتله على أن يقتله بأول ضربة فانه اذا أراد أن يضربه ضربات ربما انفلت وفات قتله

Artinya, “Adapun sebab banyaknya pahala yang akan didapatkan saat membunuh dengan sekali pukulan dan seterusnya adalah anjuran untuk membunuh secepatnya dan memusatkan perhatian serta menjaga pembunuhnya. Karena jika membunuhnya dengan beberapa kali pukulan ditakutkan lolos,” (Lihat Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Sahihi Muslim, Beirut, Dar Ihya’ Turats, 1392 H, juz 14, halaman 236).

Tentunya jika cicak itu lolos, bisa menyakiti orang yang akan membunuhnya. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa cicak dibunuh karena meniupi api agar membakar Ibrahim AS, berdasarkan hadits riwayat Bukhari.

عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَم

Artinya, “Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau bersabda, ‘Dahulu cicak ikut membantu meniup api Ibrahim AS,’” (HR Bukhari).

Namun hadits ini juga tidak bisa dijadikan alasan untuk membunuh cicak karena illat sebenarnya dari hadits tersebut adalah membahayakan Ibrahim, sama seperti cicak pada masa Rasul saat itu yang dianggap menimbulkan penyakit kusta sebagaimana disebutkan Badruddin Al-Aini dalam Umdatul Qari:

ويصير ذلك مادة لتولد البرص

Artinya, “Cicak tersebut terdapat zat yang dapat menimbulkan penyakit kusta,” (Lihat Badruddin Al-Aini, Umdatul Qari Syarah Sahih Bukhari, Beirut, Dar Ihya Turats, tanpa tahun, juz XV, halaman 250).

Dengan demikian argumen yang seharusnya dibangun adalah karena hewan itu membahayakan kita, bukan karena yang lain, apalagi karena dendam atas Nabi Ibrahim AS.

Oleh karena itu hadits ini tidak boleh dipahami dengan bahasa yang digunakan sekarang yakni kata auzagh dalam hadits tersebut disamakan dan diartikan dengan cicak di rumah-rumah kita. Apakah cicak di rumah kita bisa menimbulkan penyakit?

Tentu akan sangat kasihan sekali jika cicaknya diburu oleh anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa hanya karena iming-iming pahala mengerjakan sunah. Wallahu a'lam. (Muhammad Alvin Nur Choironi)

© 2016 NU Online. All rights reserved.