NURUL ABROR

Kamis, 15 April 2021

madzhab nabi isa dan yahya, jika kamu tdk berdosa..

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ قَالَ: كَانَ يَحْيَى وَعِيسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ يَأْتِيَانِ الْقَرْيَةَ، فَيَسَأَلَ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْ شِرَارِ أَهْلِهَا، وَيَسْأَلُ يَحْيَى عَنْ خِيَارِ أَهْلِهَا، فَيُقَالُ لَهُ: لِمَ تَنْزِلُ عَلَى شِرَارِ النَّاسِ؟ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا طَبِيبٌ أُدَاوِي الْمَرْضَى      

Abdullah bercerita, ayahku bercerita kepadaku, Sufyan bin ‘Uyainah bercerita, ia berkata: (Suatu saat) Yahya dan Isa ‘alaihimassalam mendatangi sebuah desa.

 Abdullah bercerita, ayahku
 bercerita kepadaku, Sufyan bin ‘Uyainah bercerita, ia berkata: (Suatu saat) Yahya dan Isa ‘alaihimassalam mendatangi sebuah desa. Isa ‘alaihissalam menanyakan tentang penduduk desa yang jahat-jahat, sedangkan Yahya menanyakan penduduk desa yang baik-baik. Kemudian Isa ditanya:
“Kenapa kau pergi (mencari) orang-orang jahat?”
Nabi Isa menjawab: “Sesungguhnya aku tabib (dokter) yang (ditugaskan untuk) menyembuhkan orang-orang yang sakit.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 86)

Kita perlu renungi, kenapa para nabi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada yang menonjol kesabarannya; ada yang menonjol kepemimpinannya; ada pula yang menonjol kecerdasannya, dan seterusnya. Termasuk Nabi Isa dan Nabi Yahya. Namun, kita tidak akan membincangkan perbedaan karakteristik ini terlalu jauh. Kita cukup memahami salah satu hikmahnya, yaitu semua orang, dengan beragam bawaan orok, memiliki peluang yang sama menjadi bertakwa, shalih dan dirahmati. Karena kadar watak manusia berbeda-beda, ada yang pemberani; ada yang penakut; ada yang pemalu; ada yang mudah marah; ada yang susah marah, dan lain sebagainya. Dalam kisah di atas, Nabi Yahya menanyakan atau mencari orang-orang terbaik di desa tersebut, sementara Nabi Isa malah menanyakan orang-orang yang buruk perangainya. Sehingga orang-orang heran, kenapa Nabi Isa menanyakan mereka. Tapi mereka tidak terlalu heran dengan pertanyaan Nabi Yahya. Mari kita ikuti ulasan singkatnya. Mereka bertanya kepada Nabi Isa ‘alaihissalam: “Kenapa kau pergi (mencari) orang-orang jahat?” Nabi Isa menjawab: “Sesungguhnya aku tabib (dokter) yang (ditugaskan untuk) menyembuhkan orang-orang yang sakit.” Jika orang-orang sakit, dalam hal ini orang yang belum baik, dijauhi dan ditinggalkan, mereka tidak akan menjumpai obatnya. Seringkali orang-orang yang masih sakit, tidak terlintas sedikit pun di pikiran mereka bahwa mereka sedang sakit, bahwa mereka membutuhkan seorang penyembuh. Mereka hidup sebagaimana mestinya dari hari ke hari tanpa berusaha menjadi baik. Karena mereka memang tidak merasa sedang sakit. Belum lagi jika “sakit” itu dikaburkan oleh hardikan dan cacian orang-orang di sekitarnya. Jangan dianggap hardikan itu memperjelas “sakit” yang mereka derita, tidak. Hardikan, semakin sering mereka terima, semakin menyamarkan “sakit” mereka, hingga mereka tidak merasa diri mereka sedang sakit. Karena kemarahan yang mereka rasakan menutupi penyakit yang mereka derita. Yang dilakukan Nabi Isa adalah upaya menyembuhkan “sakit” merekla. Ia diutus untuk menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, salah satunya dengan cara mengentaskan mereka dari belenggu penyakit moral yang mereka derita, apalagi menurut Nabi Isa pengamalan ihsan yang baik bukan sebatas berbuat baik kepada orang yang baik, tapi lebih jauh dari itu, berbuat baik kepada orang yang jahat. Ia mengatakan:

إِنَّ الْإِحْسَانَ لَيْسَ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ إِنَّمَا تِلْكَ مُكَافَأَةٌ بِالْمَعْرُوفِ وَلَكِنَّ الْإِحْسَانَ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ

“Sesungguhnya ihsan itu bukan (ketika) kau berbuat baik kepada orang yang membaikimu, karena itu adalah balasan (kebaikan) dengan kebaikan, tetapi ihsan adalah (ketika) kau berbuat baik kepada orang yang menjahatimu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 74) Pertanyaan Nabi Yahya ‘alaihissalam dalam kisah di atas tidak kalah menariknya. Karena menghampiri para pengamal kebaikan tidak kalah pentingnya. Paling tidak ada beberapa kemungkinan yang bisa kita ambil. Pertama, untuk menjaga mereka agar tidak terpelosok kepada keburukan. Sebab, selama manusia hidup, tidak ada yang menjamin ia akan memiliki akhir yang baik (husnul khatimah), sehingga harus terus dibimbing. Kedua, agar orang-orang yang sudah benar itu tidak terjerembap dalam keadaan ujub. Karena amal tanpa hati yang terjaga akan membawa pada kesombongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR. Imam al-Baihaqi):

لَوْ لَمْ تَكُونُوا تُذْنِبُونَ، خَشِيتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ، الْعُجْبَ الْعُجْبَ “

Jika kalian tidak berdosa, aku takut kalian tertimpa (masalah) yang lebih besar dari dosa, yaitu ujub, ujub!” (Imam Abu Bakr Ahmad al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017, juz 5, h. 453) Ketiga, agar mereka tidak menghardik orang-orang yang masih “sakit”, sehingga orang-orang tersebut bisa mengenali kebaikan yang disampaikan Nabi Isa tanpa gangguan dan kemarahan. Tiga kemungkinan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Isa dan Nabi Yahya sepertinya sedang berbagi tugas. Nabi Isa mengakrabi para pendosa, dan Nabi Yahya menghampiri para pengamal kebaikan, demi terciptanya lingkungan dakwah yang sehat.  Semoga memberi manfaat. Wallahu a’lam bish shawwab.. Muhammad Afiq Zahara, alumnus PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.