Rasulullah saw bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ
سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasululloh
bersabda: Barangsiapa yang mendapati kelapangan (rizki), lalu ia tidak
berqurban maka janganlah ia datang ketempat shalat kami. (HR.
Ibnu Majah dan Ahmad)
Dan Allah berfirman dalam Kitab suci Al Quran
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا
وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا
اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging
qurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj
[22] : 37)
Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).
Kisah Kesabaran Nabi Ismail
(Sejarah Hari Idul Adha)
Kamis, 19 September 2014
Pada
suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000
ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang
mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas
kurbannya.
“Kurban
sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak
lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,”
kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.
Kemudian
Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir.
Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar
dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang
mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya
maka anak itu diberi nama Isma'il, artinya "Allah telah mendengar".
Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim
berseru: "Allah mendengar doaku".
Ketika
usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun),
pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi
ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”
Pagi
harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah
mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8
Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya,
berpikir/merenung).
Pada
malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi
harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari
sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya
mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah
Arafah.
Malam
berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan
harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena
itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr).
Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang
pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk
disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira
bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya,
beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai
kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam
mimpinya itu telah terpenuhi.
Pada
mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah
SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun
seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk
melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih
dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian
yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun
segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan
menyisir rambutnya.
Kemudian
beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan
membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar
biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari.
Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.
“Hai
Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.
“Benar,
namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.
Setelah
gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau
hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk
disembelih?” goda Iblis.
“Kau
jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab
Hajar.
“Mengapa
ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?”
rayu Iblis lagi.
“Untuk
apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.
“Ia
menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.
“Seorang
Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku
sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan
mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan
mantap.
Iblis
gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya
penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya,
“Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal
ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali
dan sebilah pedang,”
“Kau
dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan
heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis
meyakinkannya.
“Demi
perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa
ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.
Ketika
Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail
memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis
hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa.
Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah)
dalam ritual ibadah haji.
Sesampainya
di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku!
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
“Ia
(Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS.
Ash-Shâffât, [37]: 102).
Mendengar
jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan
Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.
Untuk
melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda!
Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan.
Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul
rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah
sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu
akan turut berduka.”
“Tajamkanlah
pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses
mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi
kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai
ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah
mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah
belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku,
janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,”
sambung Isma'il.
Setelah
mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik
kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku
tercinta!”
Kemudian
Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya
yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail
berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku
tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku
agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan
perintah semata-mata karena-Nya.”
Nabi
Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan
wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya
dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena
pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan
pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian.
“Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus
daging?” gerutu beliau.
Atas
izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk
menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan
disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”
Allah
SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu).
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât,
[37]: 106)
Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).