Pernyataan Para Imam (Syafi’i) Untuk Mengikuti Sunnah Dan Meninggalkan Yang Menyalahi Sunnah
PERNYATAAN PARA IMAM UNTUK MENGIKUTI SUNNAH DAN MENINGGALKAN YANG MENYALAHI SUNNAH
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
3. SYAFI’I
Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [1] dan pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung.
Beliau berpesan antara lain.
[a] “Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku” [2]
[b] “Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang” [3]
[c] “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu” [4]
[d] “Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku” [5]
[e] “Kalian [6] lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya”
[f] “Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati” [7]
[g] “Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna” [8]
[h] “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku” [9]
[i] “Setiap Hadits yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku” [10]
[Dinukil dari muqaddimah kitab Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallama min At-Takbiri ilaa At-Taslimi Ka-annaka Taraahaa, edisi Indonesia Sifat Shalat Nabi oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albni, terbitan Media Hidayah hal. 57-60 penerjemah Muhammad Thalib]
_______
Footnote
[1] Ibnu Hazm berkata dalam kita VI/118
“Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi’i. Beliau dengan keras menegaskan agar mengikuti Hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatlan kebaikan yang banyak”.
[2] Hadits Riwayat Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi’i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu ‘Asakir XV/1/3, I’lam Al-Muwaqqi’in (II/363-364), Al-Iqazh hal.100
[3] Ibnul Qayyim (II/361), dan Al-Filani hal. 68
[4] Harawi dalam kitab Dzamm Al-Kalam (III/47/1), Al-Khathib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi’i (VIII/2), Ibnu Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam Al-Majmu’ (I/63), Ibnul Qayyim (II/361), Al-Filani hal. 100 dan riwayat lain oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/107) dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (III/284, Al-Ihsan) dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat semakna.
[5] Nawawi, dalam Al-Majmu’, Sya’rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hal. 107. Sya’rani berkata : ” Ibnu Hazm menyatakan Hadist ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam yang lain”.
Komentar saya : Pernyataan beliau yang akan diuraikan setelah komentar dibawah ini menunjukkan pengertian yang dimaksud secara jelas. Nawawi berkata ringkasnya :
“Para sahabat kami mengamalkan Hadits ini dalam masalah tatswib (mengulang kalimat adzan), syarat orang ihram melakukan tahallul karena sakit, dan lain-lain hal yang sudah populer dalam kitab-kitab madzhab kami. Ada di antara sahabat-sahabat kami yang memberikan fatwa berdasarkan Hadits antara lain : “Abu Ya’qub Buwaiti, Abu Al-Qasim Ad-Dariqi, dan sahabat-sahabat kami dari kalangan ahli Hadits yang juga berbuat demikian, yaitu Imam Abu bakar, Baihaqi, dan lain-lain. Mereka adalah sejumlah sahabat kami dari kalangan terdahulu. Bila mereka melihat pada suatu masalah ada Haditsnya, sedangkan Hadits tersebut berlainan dengan madzhab Syafi’i, mereka mengamalkan Hadits tersebut dan berfatwa : “Madzhab Syafi’i sejalan dengan Hadits ini”.
Syaikh Abu Amer berkata : “Bila seorang dari golongan Syafi’i menemukan Hadits bertentangan dengan madzhabnya, hendaklah ia mempertimbangkan Hadits tersebut. Jika memenuhi syarat untuk berijtihad, secara umum atau hanya mengenai hal tersebut, dia mempunyai kebebasan untuk berijtihad, secara umum atau hanya mengenai hal tersebut, dia mempunyai kebebasan untuk berijtihad, Akan tetapi, jika tidak memenuhi syarat, tetap berat untuk menyalahi Hadits sesudah melakukan kajian dan tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas perbedaan tersebut, hendaklah ia mengamalkan Hadits jika ada Imam selain Syafi’i yang mengamalkan Hadits tersebut. Hal ini menjadi hal yang dimaafkan bagi yang bersangkutan untuk meninggalkan imam madzhabnya dalam masalah tersebut dan apa yang menjadi pendapatnya adalah pilihan yang baik. wallahu A’lam.
Komentar Saya : Ada suatu keadaan lain yang tidak dikemukakan oleh Ibnu Shalah, yaitu bagaimana kalau ternyata orang itu tidak mendapatkan imam lain sebelumnya yang mengamalkan Hadits tersebut ? Apa yang harus ia lakukan ? Hal ini dijawab oleh Taqiyuddin Subuki dalam Risalah-nya tentang maksud ucapan Imam Syafi’i “Apabila ada Hadits yang shahih …” Juz 3 hal, 102 :
“Menurut pendapatku, yang lebih utama adalah mengikuti Hadits. Hendaklah yang bersangkutan menganggap seolah-olah dia berada di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mendengar beliau bersabda seperti itu. Apakah ia layak untuk mengesampingkan pengamalan Hadits semacam itu ? Demi Allah, tidak. Setiap orang mukallaf bertanggung jawab sesuai dengan tingkat pemahamannya (dalam mengamalkan Hadits)”.
Pembahasan tentang hal ini dapat Anda baca pada kitab I’lam Al-Muwaqqi’in (II/302 dan 370), Al-Filani dalam kitab Iqazhu Humami Ulil Abrar…, sebuah kitab yang tidak ada duanya dalam masalah ini. Para pencari kebenaran wajib mempelajarinya dengan serius dan penuh perhatian terhadap kitab ini.
[6] Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi’i hal. 94-95, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/106), Al-Kahtib dalam Al-Ihtijaj (VIII/1), diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir dari beliau (XV/9/1), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Intiqa hal. 75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal. 499, Al-Harawi (II/47/2) dengan tiga sanad, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi’i pernah berkata kepadanya : “….. Hal ini shahih dari beliau. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menegaskan penisbatannya kepada Imam Ahmad dalam Al-I’lam (II/325) dan Filani dalam Al-Iqazh hal. 152”. Selanjutnya, beliau berkata : “Baihaqi berkata : ‘Oleh karena itu, Imam Syafi’i banyak mengikuti Hadits. Beliau mengambil ilmu dari ulama Hizaz, Syam, Yaman, dan Iraq’. Beliau mengambil semua Hadits kepada madzhab yang tengah digandrungi oleh penduduk negerinya, sekalipun kebenaran yang dipegangnya menyalahi orang lain. Padahal ada ulama-ulama sebelumnya yang hanya membatasi diri pada madzhab yang dikenal di negerinya tanpa mau berijtihad untuk mengetahui kebenaran pendapat yang bertentangan dengan dirinya”. Semoga Allah mengampuni kami dan mereka”.
[7] Au Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/107), Al-Harawi (47/1), Ibnu Qayyim dalam Al-I’lam (II/363) dan Al-Filani hal. 104
[8] Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi’i hal. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al-Amali seperti pada Al-Muntaqa, karya Abu Hafs Al-Muaddib (I/234), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/106), dan Ibnu Asakir (15/101) dengan sanad shahih.
[9] Ibnu Abi Hatim hal 93, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih.
[10] Ibnu Abi Hatim, hal. 93-94
nnah