Pengertian Tafsir dan Metode Penafsiran Al-Qur’an
Secara harfiah (etimologis), tafsir berarti الإيضاح (menjelaskan) dan التبيين (menerangkan)[1] seperti dalam firman Allah SWT:
ولايأتونك بمثل إلا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا /الفرقان : 58
Dalam ayat tersebut “tafsîr” bermakna ”tabyîn” dan “tafshîl”, terambil dari kata “al- fasr” yang berarti “al-ibânah” dan “al-kasyf”. Dengan demikian “al-fusr” dapat dimaknai sebagai “الإبانة و كشف المغطى” (menerangkan dan menyibak sesuatu yang tertutup.[2]
Menukil penjelasan sebagian ulama, Amin Suma menjelaskan bahwa, “tafsir” diambil dari kata “التفسرة” dan bukan الفسر“”, yang berarti sebutan bagi sedikit air yang digunakan oleh para dokter untuk mendiagnosa penyakit pasien. Akan halnya seorang dokter –yang dengan sedikit air- mendiagnosa penyakit pasien, maka dengan “tafsir” seorang mufassir mampu menyibak isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Adapun dari sisi gramatika bahasa Arab, maka asal kata “tafsîr” dari “tafsirah” tampak tidak menyalahai aturan mengingat mashdar dari فَعَّلَadalah تفعيل dan تفعـلة seperti yang tampak pada kata تجربة – تجريب – جَرَّبَ- يجرب atau pada kata كَرَّمَ- يكرم- تكريم – تكرمة [3]Ibnu Mandzhur dalam karyanya Lisân al-‘Arab, menjelaskan arti kata “tafsîr” sebagai berikut :
الفسر : البيان, فسر الشيئ يفسره-بالكسر و يفسره بالضم فسرا.
وفسره أبانه. والتفسير مثله. . .الفسر : كشف المغطى و التفسير كشف المراد
عن اللفظ المشكل[4]
Dari penjelasan Ibnu Mandzûr tersebut dapat disimpulkan bahwa kata “tafsîr” secara harfiah dapat digunakan baik untuk menjelaskan benda-benda fisik-material (الكشف الحسي) ataupun menjelaskan lafadz dan makna yang memerlukan penalaran (كشف المراد عن اللفظ المشكل). Namun menurut Husein al-Dzahabî, kata “tafsîr” lebih lazim digunakan untuk makna yang kedua.[5]Selain kata-kata tersebut diatas, terdapat kata lain yang searti dengan kata “التفسير” yaitu kata ”الشرح” (penjelasan/komentar). Sebagian ulama, diantaranya Shubhî al-Shâlih, menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai ”شارح الكتاب” (penyarah al-Qur’an), ketika menyatakan bahwa tafsir al-Qur’an telah tumbuh sejak masa awal kenabian, dan Beliau adalah orang yang pertama yang memberikan syarah untuk kitab Allah SWT.[6]
Adapun secara terminologis terdapat berbagai rumusan ‘ulama yang otoritatif dalam bidang ini, di antaranya adalah :
- Muhammad ibn ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî :
علم يبحث فيه عن القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية[7]
- Muhammad Badr al-Dîn al-Zarkasyî (745-794 H/1344-1391M) :
علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه[8]
Dari beberapa makna harfiah kata “tafsîr” dan rumusan makna
terminologis yang dipaparkan diatas, pengertian tafsir menurut penulis
adalah sebuah kerja intelektual sebagai penjelasan lebih lanjut dan
terperinci tentang nash-nash (teks) al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW baik yang menyangkut dilâlah (pesan, makna ataupun petunjuk), hukum maupun hikmah yang terkandung didalamnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT, sebatas kemampuan manusia.Sebagian ulama membedakan pengertian antara tafsir dan ilmu tafsir. Dalam pandangan mereka tafsir adalah penjelasan terperinci tentang ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri, sedangkan ilmu tafsir adalah pembahasan tentang cara menafsirkan al-Qur’an agar tidak melenceng dari koridar penafsiran yang benar Jika diteliti lebih lanjut, didapatkan bahwa batasan antara tafsir dan ilmu tafsir menjadi sangat tipis. Para ulama umumnya tidak menghiraukan tentang perbedaan diantara keduanya oleh karena hubungan yang sangat erat atau bahkan menyatu antara tafsir dan ilmu tafsir itu sendiri.[9]
Dari aspek historis, maka sesungguhnya tafsir telah bersemai seiring dengan perjalanan risalah dan kenabian Nabi Muhammad SAW, dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Memang pada masa kehidupan Nabi, kebutuhan masyarakat muslim akan tafsir secara spesifik belum terasa. Hal yang sedemikan karena keberadaan Nabi dengan sendirinya menjadi referensi sentral dalam berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat zaman tersebut.[10] Oleh karena itu pula ada yang menyebut diri Rasulullah SAW sebagai al Mufassir al-Awwal/The First Interpreter .[11] Hal demikian ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya berikut;
وما أنزلنا عليك الكتاب إلا لتبين لهم الذي اختلفوا فيه و هدى و رحمة لقوم يؤمنون (سورة النحل :64)
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat yang
melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an tidaklah seragam baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Hal sedemikian sangat tergantung dari
kadar intelektualitas serta pengetahuan mereka masing-masing tentang
latar belakang dan konteks ayat-ayat tersebut diturunkan.[12]
Dari kalangan sahabat tercatat sepuluh orang mufassir terkenal yaitu;
(1)Abu Bakr al-Shiddîq [w.13 /634M], (2)’Umar ibn Khaththâb [w.23 H/644
M], (3) ‘Utsmân ibn ‘Affân [w.35 H/656 m], (4) ‘Alî ibn Abî Thâlib [w.40
H/661 M], (5)Ibn Mas’ûd [w.32 H/652 M], (6) Zaid ibn Tsâbit [w.45 H/665
M], (7) Ubay ibn Ka’ab [w.20 H/640 M], (8) Abû Musâ al-Asy’arî [w.44
H/664 M], (9) Abdullâh ibn Zubair [w.73 H/692 M] dan (10) ‘Abdullâh ibn
Abbâs [w. 68 H/687 M].Di antara Al-Khulafâ’ al-Râsyidûn yang tercatat pada empat urutan pertama di atas, Khalifah Alî ibn Abî Thâlib terkenal sebagai yang orang yang paling banyak menafsirkan al-Qur’an. Hal ini disebabkan antara lain oleh karena Alî ibn Abî Thâlib hidup pada masa dimana Islam telah meluaskan sayapnya ke berbagai negeri sehingga masyarakat dari kalangan sahabat yunior termasuk dari kelompok non Arab (‘ajam) sangat membutuhkan keterangan dan penjelasan lebih lanjut tentang al-Qur’an. Berbeda dengan tiga khalifah lainnya; Abu Bakar, ‘Umar ibn Khaththâb dan Utsmân ibn ‘Affân. Mereka bertiga hidup pada masa sebagian besar ulama dikalangan sahabat belum wafat, sehingga penafsiran terhadap al-Qur’an berjalan hampir merata diantara mereka.
Selain itu, ketiga khalifah tersebut disibukkan oleh urusan politik untuk memimpin negara, di samping masa hidup mereka – terutama Abu Bakar – sangat pendek sepeninggal Rasulullah SAW. Hal yang patut untuk diingat juga bahwa Khalifah Ali ibn Abî Thâlib telah memeluk Islam sejak masa kecilnya, berbeda dengan tiga khalifah lainnya.[13]
Di antara para sahabat selain khulafa al-rasyidun maka Ibnu ‘Abbas-lah yang sangat populer dengan kedalaman ilmunya tentang tafsir al-Qur’an, bahkan Beliau mendapat julukan sebagai ”ترجمان القرآن” (penterjemah al-Qur’an), “حبر الأمة” (sumber ilmu umat) dan “شيخ المفسرين” (gurunya para mufassir). Hal yang sedemikian tampaknya tidak asing bagi para sahabat karena memang Nabi SAW pernah berdo’a secara khusus untuk Ibnu ‘Abbas;
اللهم فقهه فى الدين و علمه التأويل [14]
Adapun aspek metodologis yang ditempuh oleh para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah sebagai berikut;Pertama, Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri mengingat adanya berbagai variasi dan bentuk ayat. Ayat-ayat al-Qur’an ada yang berbentuk ringkas (الإيجاز) dan ada pula yang panjang (الإطناب), ada yang global (الإجمال) ada pula yang terperinci (التبيين ), ada yang mutlak (الإطلاق) ada pula yang dikaitkan dengan sifat tertentu (التقييد), ada yang umum (عام) dan ada yang khusus (خاص) demikian seterusnya. Sebagian contohnya dapat diperhatikan pada dua ayat:أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم سورة المائدة : 1) ditafsirkan oleh ayat; حرمت عليكم الميتة والدم ولـحم الخنزير وما أهـل لغير الله به والمنخنقـة والموقـوذة والمترديـة والنطيحـة وما أكل السبـع (سورة المائدة : 3 ) [15]
Kedua, para Sahabat merujuk kepada penafsiran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW karena beliaulah yang menjadi syarih al-Kitab/mubayyin atas apa-apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Contohnya dapat diperhatikan pada hadis berikut ini;
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ
حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِاللهِ
رَضِي الله عَنْهم قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ ( الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ
فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله أَيُّنَا لا يَظْلِمُ نَفْسَهُ قَالَ لَيْسَ
ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ
لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ ( يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلـْمٌ عَظِيمٌ ) [16]
Ketiga, jika sahabat tidak mendapatkan tafsir sebuah ayat tertentu
didalam al-Qur’an, dan tidak pula berkesampatan mendapatkan keterangan
langsung dari Rasulullah SAW (setelah wafatnya), mereka menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad dan kekuatan ra’yu (penalaran)
sesuai dengan penguasaan mereka terhadap bahasa Arab, pengetahuan
tentang tradisi bangsa Arab termasuk juga keadaan orang-orang Yahudi dan
Nashrany di jazirah Arabia pada masa itu (kontek asbab al-nuzul)[17]. Salahsatu contohnya pada penafsiran surah al-Baqarah ayat 189; “وليس البر بأن تأتواالبيوت من ظهورها”,
Ibnu Katsir menukil penjelasan beberapa sahabat tentang ayat ini yang
menerangkan kebiasaan orang-orang yang berihram di waktu haji pada masa
Arab jahiliah memasuki rumah mereka dari arah belakang.[18]Muhammad Husein al-Dzahabî mencatat beberapa ciri tafsir al-Qur’an pada masa sahabat sebagai berikut; (1) Al-Qur’an belum ditafsirkan secara menyeluruh dan terbatas pada makna-makna yang rumit dan samar, (2) tidak terjadi banyak perselisihan dan silang pendapat didalam penafsiran, (3) penafsiran al-Qur’an bersifat global, (4) cenderung menafsirkan al-Qur’an hanya dari aspek bahasa المعنى اللغوي)), (5) jarang melakukan kesimpulan hukum fiqih secara ilmiah, juga tidak terdapat semangat untuk membela madzhab tertentu (sektarian), dan (6) pada masa ini tafsir belum terkodifikasi secara utuh.[19] Menurut Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, tafsir pada masa ini selain belum terkodifikasi, juga masih merupakan bagian dari hadis yang belum tersusun secara sistematis.[20]
Perkembangan tafsir berikutnya memasuki masa tâbi’în yang bermula sejak berakhirnya masa sahabat. Pada masa ini para mufassir melakukan penafsiran dengan bersandar pada tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran Rasulullah SAW sesuai dengan periwayatan sahabat, termasuk juga penafsiran para sahabat dan kutipan dari Ahlu al-Kitâb disamping dengan pertimbangan nalar (ijtihad) mereka sendiri.[21] Bahkan tidak sedikit kitab-kitab tafsir yang menginformasikan penafsiran tabiin yang murni berlandaskan pada ra’yu[22] dan ijtihad mereka dan tidak berasal dari Rasulullah SAW maupun sahabat.[23]
Model penafsiran dan para tokoh mufassir pada masa tâbi’în memiliki spesifikasi tersendiri, dimana para pembesar sahabat tidak lagi terpusat di Madinah. Perluasan teritorial Islam di masa Nabi, Sahabat dan juga pada masa ini membuat mereka menyebar dengan berbagai keahliannya masing-asing. Tidak sedikit di antara mereka yang tekun menyebarkan ilmu yang telah didapatkan dari Rasulullah SAW, disamping sebagian mereka aktif menjalankan roda pemerintahan sebagai pemimpin, menteri maupun qâdli.
Berpindahnya sebagian tokoh-tokoh sahabat ke luar Madinah, telah menjadi faktor yang sangat signifikan bagi generasi tâbi’în untuk dapat mengekses ilmu dari mereka. Dari sinilah kemudian tercatat dalam sejarah munculnya tiga perguruan utama (Madrasah) yang menjadi sentra pendidikan tafsir pada fase ini. Kota Makkah terkenal dengan Madrasah Tafsir Ibnu ‘Abbâs. Di antara murid-muridnya yang tersohor adalah; Sa’îd ibn Jubair, Mujâhid, ‘Ikrimah Mawlâ ibn ‘Abbâs, Thâwus ibn Kaysân al-Yamany, dan ‘Athâ’ ibn Abi Rabâh. Madinah popular dengan Madrasah Tafsîr Ubay ibn Ka’ab, dengan murid-muridnya dari kalangan tâbi’în ; Zayd ibn Aslam, Abu al-‘Alyah dan Muhammad ibn Ka’ab al-Qurthûby.
Sementara Iraq terkenal dengan Madrasah Tafsîr ‘Abdullâh ibn Mas’ûd. Madrasah ini terkenal dengan ciri rasionalitasnya yang menonjol. Ibn Mas’ud juga dikenal sebagai peletak dasar aliran ra’yu dalam penafsiran al-Qur’an yang kelak dikenal sebagai tafsir bi al-ra’yi.[24] Al-Dzahaby mencatat, sesungguhnya terdapat pula sahabat-sahabat yang lain yang mengajarkan tafsir namun ‘Abdullâh ibn Mas’ûd-lah yang terkenal karena dikenal sebagai al-Ustâdz al-Awwal di perguruan ini dan juga popularitas Beliau sebagai orang yang paling banyak periwayatannya tentang tafsir, disamping bahwa pada masa pemerintahan ‘Ammâr ibn Yâsir di negeri ini (Kufah), ‘Umar ibn Khaththab menunjuk Beliau sebagai menteri dan guru bagi kaum muslim Kufah. Di antara murid-muridnya yang masyhur adalah; ’Alqamah ibn Qays, Masrûq, al-Aswad ibn Yazîd, Murrah al Hamdanî, ‘Amir al-Sya’bî dan Qatadah ibn Di’amah al-Saudusy, al Hasan al Bashary. [25]
Beberapa ciri tafsir al-Qur’an pada masa tâbi’în adalah; (1) masuknya riwayat-riwayat irâiliyât dan nasrâniyat, disebabkan oleh banyaknya Ahlu Kitab yang memeluk Islam yang tentunya mereka sangat terpengaruh dengan doktrin-doktrin agama masa lalu. Disamping itu sebagian tâbi’în sangat cenderung untuk mengetahui secara terperinci peristiwa-peristiwa yang menyangkut umat Yahudi dan Nashrani yang diisyaratkan oleh al-Qur’an, yang kemudian membuat mereka tidak ketat (tasâhul) di dalam menukil riwayat, (2) tradisi tafsir masih bersifat talaqqî (penuturan secara langsung) dan system periwayatan. Namun pada masa ini masing-masing perguruan (madrasah) sangat khas atau menonjol dengan periwayatannnya masing-masing, (3) mulai muncul benih-benih perbedaan pendapat madzhab baik dalam bidang teologi maupun fikih, dan (4) produk tafsir tidak lagi utuh seperti yang dilakukan oleh para sahabat dalam meriwayatkan informasi-informasi yang mereka peroleh dari Rasulullah SAW.[26]
Selanjutnya bermula sejak akhir masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah hingga masa awal pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyah tafsir memasuki fase ketiga dari tahap perkembangannya. Fase ini dikenal sebagai periode kodifikasi. Pada masa ini terjadi perkembangan yang pesat dalam bidang hadis, bahkan tafsir menjadi bagian dari hadis itu sendiri. Tafsir belum ditulis secara sistematis seperti urutan surat-surat dalam al-Qur’an. Pada perkembangan berikutnya tafsir mengalami pemisahan dari hadis dan menjadi satu cabang ilmu tersendiri. Penulisannya mengikuti sistematika al-Qur’an (tartîb al Mushhaf). Beberapa tokoh ulama yang berjasa dalam bidang ini adalah; Ibnu Mâjah (w.273 H), Ibn Jarîr al Thabarî (w.310 H), Abû Bakr ibn al-Mundzir al-Naysâbûrî (w. 318 H), Ibn Abî Hâtim (w. 327 H), Abû al -Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hâkim (w. 405 H ) dan Abû Bakr ibn Murdawayh (w. 410 H ) dan lain-lain. Seluruh karya ulama ini menggunakan standar periwayatan hadis yang mereka sandarkan kepada Rasulullah SAW, para sahabat, tâbi’în dan tâbi’ al tâbi’în.[27]
Berikutnya dapat dikatakan bahwa produktifitas dalam bidang tafsir mengalami stagnasi dimana para ulama tidak lagi menulis karya original yang utuh. Karya mereka hanyalah pengulangan tafsir-tafsir ma’tsûr sebelumnya. Dikalangan para mufasssir tersebut ada yang menukil hasil tafsir ulama’ sebelumnya tanpa menisbatkannya kepada mereka. Ada yang hanya meringkas transmisi periwayatan (sanad). Dengan demikian sulit untuk menghindari karya tafsir yang bias dan kehilangan orisinalitasnya serta sulit memisahkan antara riwayat yang valid dengan yang invalid.[28]
Menurut Amin Suma, sampai disini perkembangan tafsir al-Qur’an telah mengakhiri periode Mutaqaddimin (abad I – IV H).Selanjutnya tafsir al-Qur’an memasuki periode Muta’akhirin (Abad IV-XII H).[29] Periode ini ditandai dengan munculnya karya-karya tafsir yang sedemikian pesat dengan ragam dan corak yang variatif. Hal yang sedemikian menjadi konsekwensi logis dari ekspansi Islam ke berbagai daerah di Jazirah Arabia maupun luar Arab yang telah terjadi sejak masa Sahabat, tâbi’în dan pengikut tâbi’în . Interaksi antar umat Islam dan non muslim menjadi semakin kompleks. Pada masa ini Isla telah berhasil menguasai daerah-daerah yang menjadi sentra kebudayaan kuno seperti Persia, Asia Tengah, India, Syria, Turki, Mesir, Etiopia dan Afrika Selatan bahkan Islam telah berkembang pula di kawasan Asia Tenggara.[30]
Interaksi umat Islam dengan aneka ragam peradaban dan budaya tersebut berakibat pula pada karya-karya tafsir. Pada masa ini para ahli tafsir tidak lagi “merasa” terikat dengan sistem periwayatan (sanad) didalam menafsirkan al-Qur’an kepada generasai shabat, tâbi’în dan pemgikut tâbi’în , seperti yang telah diwarisinya selama ini. Penekatan dengan ilmu-ilmu bahasa secara khusus dan penalaran-penalaran ilmiah yang berkembang menjadi orientasi baru dalam penafsiran al-Qur’an.Dengan demikian tradisi tafsîr bi al ma’tsûr telah bergeser ke arah tafsîr bi al-ra’yi/bi al- dirâyah dengan berbagai implikasinya.[31]
Beberapa model pendekatan dalam karya tafsir yang telah berkembang pada periode ini adalah; (1) Penekanan pada gaya bahasa dan keindahannya (Balaghah). Contohnya; Al-Kasysyâf, karya al-Zamaksyarî, dan Anwâr al -Tanzîl wa Asrâr al-Takwîl karya al-Baidlâwî, (2) Penekanan pada gramatika bahasa Arab, kadang-kadang menggunakan syair-syair jahili sebagai legitimasi karya mereka, dapat dicata diantaranya; Ma’âny al-Qur’ân karya al-Zajjâj, al-Basîth karya al-Wâhidy dan al-Bahru al-Muhîth karya Abû Hayyân Muhammad ibn Yûsuf al-Andalûsy, (3) Penekanan pada kisah-kisah terdahulu yang berasal dari orang-orang Yahudi dan nashrani, bahkan dari orang-orang zindiq yang ingin merusak agama Islam. Yang terkenal menggunakan system ini adalah al-Tsa’laby, dan kemudian jejaknya diikuti oleh Álâuddin ibn Muhammad al Baghdâdy [w.741 H], masuk pula dalam kategori ini Tafsîr al -Khâzin, (4) Penekanan pada hukum-hukum fiqih; al Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an karya al-Qurthûby [671 H/1271 M], Ahkâm al-Qur’ân karya Ibn al-‘Araby [561-638 H], Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jahshâsh, dan Hasan Shiddîq Khân [1248-1307] dengan karyanya Nail al-Marâm, (5) Karya tafsir yang kental dengan nuansa filsafat seperti Mafâtîh al-Ghaib karangan al Imam al-Râzy [w. 610 H /1213 m], (6) Penekanan pada dimensi suluk dan tashwuf seperti al- Tastury yang disusun oleh Abû Muhammad Sahl ibn Abd Allâh al-Tastury.[32]
Selain dari model penulisan tafsir diatas, pada masa ini berkembang pula model tafsir aliran yang menyokong aliran teologis tertentu. Contohnya dapat diperhatikan pada karya-karya tafsir yang sarat dengan penekanan pada doktrin-doktrin Mu’tazilah dan aliran Syi’ah yang cenderung bersikap tidak adil kepada sebagian besar sahabat Nabi SAW, terutama terhadap ketiga khalifah selain Alî ibn Abi Thâlib.[33]
Bermula pada akhir abad XIX sampai saat ini, tafsir memasuki periode kontemporer. Periode ini erat kaitannya dengan semarak modernisasi yang terjadi di dunia Islam/bangsa-bangsa muslim. Diantara tokoh-tokoh pergerakan Islam yang melahirkan karya monumental pada masa ini adalah Syaikh Muhammad ‘Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M) dan Muhammad Rasyîd Ridlâ (1282-1354 H/1865-1935 M) dengan tafsir al-Manâr. Kesungguhan tafsir ini diakui oleh banyak ahli telah memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan tafsir pada masanya atupun karya-karya tafsir yang terbit setelahnya. Cikal bakal tafsir yang muncul pada abad XX dan abad XXI banyak terinspirasi dengan karya kedua ulama tersebut diatas.[34] Mannâ’ Khalîl al Qaththân mencatat bahwa pada masa ini para mufassir menempuh langkah dan pola baru di dalam menafsirkan al-Qur’an serta dengan menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern. Dengan demikian lahirlah karya tafsir yang bercorak “sastra-sosial”.[35] Diantaranya adalah; Tafsîr al-Marâgi karya Syaikh Musthafâ al-Marâghî (1881-1945 M), Tafsîr al-Qâsimî, Dzilâl al-Qur’an karya Sayyid Qutb (1906-1966 M) dan Tafsîr al- Jawâhir karya Thanthâwî Jauharî.
Seiring dengan menggemanya gaung modernisasi dan penafsiran al-Qur’an khususnya di Mesir, para ilmuan muslim di Indonesia juga tidak tertinggal di dalam menterjemahkan dan menafsirkan al-Qur’an. Di antaranya; al-Qur’an terjemahnya diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia dan tafsir Al-azhar karya Prof. Dr. Buya HAMKA (1908-1981), Prof. Dr. TM Hasbi Ash-Shiddiqi (1322-1395 H/1904-1975) dengan karyanya Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan, Prof. Dr. Mahmud Yunus (1317-1403 H/1899-1982 M), A. Hasan (1301-1378 H/1883-1958 M) dan yang terkini Prof. Dr. Quraish Shihab dengan karyanya Tafsir al-Misbah.[36]
[1] Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘ulûm al-Qur’ân (Beirut :tt,tp), jilid II, hlm. 4 [2] Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (al-Qâhirah: Maktabat al-Wahbah, 1416), Cet. III, Jilid I, hlm. 15
[3] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. I, hlm. 15-16
[4] Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, II/110
[5] Husein al-Dzahabi, Tafsir…..Jilid 1, hlm. 15
[6] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu… hlm. 16-17
[7] Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqâny, Manâhil al-‘Irfân…Jilid 2, hlm. 4
[8] Muhammad Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 147-149
[9] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu … hlm. 17-19
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madînah al-Munawwarah: Mujamma’ al Malik Fahd li Thibâti al Mushhaf al Syarîf, 1418 H), hlm. 24
[11] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu … hlm. 32
[12] Husein al-Dzahabî, Tafsir…..Jilid 1, hlm. 38-41
[13] Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqâny, Manâhil al-‘Irfân…Jilid 2 hlm. 17-18. Lihat juga, Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu… hlm. 34-36
[14] HR Bukhârî, Kitâb al-Wudlû’, Imam Muslim, Fadlâil Shahâbah
[15] Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-‘Adzîm (al-Madînah al-Munawwarah: Maktabat al-‘Ulum wa al-Hikam, 1413), Jilid 2, hlm. 4-5
[16] CD Al-Kutub al-Tis’ah, Kitâb Ahâdîts al-Anbyâ’, hadis no. 3175, Shahîh al-Muslim, Kitâb al-Îmân, no hadis 178,
[17] Husein al-Dzahabî, Tafsîr…..Jilid 1, hlm. 62-63
[18] Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, Jilid 1, hlm. 214-215
[19] Husein al-Dzahabi, Tafsir…..Jilid 1, hlm. 104-105
[20] Manna Khalîl al-Qaththân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Terj. Drs. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2003), Cet. 8, hlm. 473
[21] Husein al-Dzahabî, Tafsir…..Jilid 1, hlm. 109
[22] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Studi Ilmu-ilmu. . . hlm. 474
[23] Husein al-Dzahabî, Tafsir…..Jilid 1, hlm. 110
[24] Ibid., hlm. 128
[25] Ibid., hlm. 111- 137
26 Ibid., hlm. 140-141
[27]Ibid., hlm. 151-152
[28] Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Studi Ilmu-ilmu. . .hlm. 477, Husein al-Dzahabî, ibid. . .. hlm. 155-156
[29] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu … hlm. 41, Periodesasi yang dikemukakan oleh Amin Suma mengikuti periodesasi yang telah ditulis oleh tim pada Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI.
[30] Ibid., hlm. 41
[31] Ibid., hlm. 42
[32] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya… hlm. 28, lihat pula Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Studi Ilmu-ilmu… hlm. 479-482
[33] Ibid., hlm. 29, lihat pula Husein al-Dzahabî, Tafsîr…Jilid 1, hlm. 156-157
[34] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu … hlm. 44-45
[35] Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Studi Ilmu-ilmu… hlm. 482
[36] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu … hlm. 45-46