Dasar-dasar (Ushul) Methologi Umum Mazhab
Diriwayatkan oleh Shaimari dan Al-Khatib Al-Baghdadi dari Yahya bin Dzurais ia mengatakan, “Saya menyaksikan Sufyan dan didatangi seorang laki-laki dan berkata kepadanya; saya mendengar Abu Hanifah berkata, “Saya mengambil hukum berdasarkan kitab Allah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah, jika tidak ada dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah maka saya mengambil perkataan sahabat, saya pilih-pilih perkataan mereka dan meninggalkan yang lain, saya keluar dari perkataan mereka pasti mengambil perkataan lainnya. Jika tidak ucapan mereka, yang ada hanya ucapan Ibrahim, Sya’bi, Ibnu Sirin, Hasan Bashri, Atha, Said bin Musayyib, dan yang lain (tabiin) maka mereka itu kaum yang berijtihad, maka saya berijtihad sebagaimana mereka.
Ibnul Makki meriwayatkan dari Sahal bin Muzahim, “Prinsip Abu Hanifah adalah mengambil dari yang dipercaya periwayatannya, menghindari keburukan, memperhatikan tradisi manusia yang baik, perdamaian dan kebaikan di atas mereka, mengambil qiyas, jika qiyas tidak tepat maka menggunakan istihsan yang sudah diterapkan, jika tidak maka apa yang dipraktikkan oleh umat Islam. Beliau menggunakan hadits yang disepakati keshahihannya.”
Bagi Abu Hanifah, Al-Quran adalah asal segala asal, prinsipnya prinsip, kaidahnya kaidah, sumber segala sumber, semua sumber dikembalikan kepadanya. Dia adalah cahaya syariat yang terang benderang. Sunnah adalah sumber kedua syariat, yang menjelaskan Al-Quran, menafsirkan.
Abu Hanifah mengambil yang shahih dari Nabi. Jika yang shahih dari beliau ada yang kata-kata yang bertentangan, maka diambil paling akhir dari keduanya. Ini berlaku hadits itu mutawatir dan ahad, kecuali jika bertentangan dengan qiyas yang rajih (kuat) yang dianggap sebagai asal yang pasti kebenarannya. Qiyas bukan berasal dari hawa nafsu atau berpaling dari hadits shahih, namun untuk meningkatkan kehati-hatian. Abu Hanifah sangat teliti dan berhati-hati dalam menerima riwayat terutam dalam hadits ahad yang bertentangan dengan kaidah dan asal umum dalam syariat.
Abu Hanifah mengatakan, “Jika hadits shahih, maka itu madzhabku.” “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami jika tidak mengetahui darimana kami mengambil.” “Haram seseorang yang tidak mengetahui dalilku berfatwah dengan perkataanku.” “Kami manusia, mengatakan sesuatu hari ini dan mengoreksi besok.” “Jika aku mengatakan perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan hadits Rasulullah maka tinggalkan perkataanku.”
Demikian pula, jika dalam Al-Quran atau sunnah tidak ditemukan nash, dan ada ijma, maka dia didahulukan. Perkataan sahabat jika beragam, maka dipilih maka yang paling dekat dengan nafas dan ruh syariat, tidak perlu memilih perkataan yang lain. Jika tidak ditemukan dalam Al-Quran, hadits, ijma, dan perkataan sahabat, maka berijtihad dengan qiyas yang benar. Qiyas tidak boleh didahulukan dari sumber-sumber yang disebutkan sebelumnya.