Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, apakah Islam menganjurkan kita untuk menghabiskan semua harta milik kita untuk di jalan Allah? Apakah cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya harus dibuktikan dengan menyedekahkan semua harta kita? Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Aisyah/Magelang)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah selalu menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Allah mencintai hamba mencintai-Nya dan mencintai rasul-Nya.
Allah juga menganjurkan hamba-Nya untuk menafkahkan harta mereka di jalan-Nya dan membantu orang lain yang membutuhkan bantuan melalui sedekah sunah. Tetapi agama membatasi jumlah infak yang kita keluarkan untuk kepentingan orang lain. Hadits riwayat Imam Bukhari ini menjelaskan kepada kita batas maksimal sedekah yang tertuang dalam dialog antara Rasulullah SAW dan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash:
ويحدثنا البخاري عن سعد بن أبي وقاص قال: جاءَنِي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ الوَداعِ مِنْ وَجعٍ اشْتَدَّ بِي، فقلتُ: يَا رَسولَ اللهِ قد بَلَغَ بِي مِنَ الوَجَعِ مَا تَرَى، وأَنا ذُو مَالٍ، ولا يَرِثُنِي إلا ابْنَةٌ لِي، أَفَأَتَصَدَّقُ بثُلُثَيْ مَالِي؟ قال: لا، قلتُ: الشَطْر؟ قال: لا، قلتُ: الثُلُث، قال: الثُلُث، و الثُلُثُ كَثِيرٌ. إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَن تَذَرَهُمْ عالَةً يَتَكَفَّفُون الناسَ. وإِنَّكَ لن تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِها وَجْهَ اللهَ إلا أُجِرْتَ عَلَيْها حتى ما تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
Artinya, “Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia bercerita, ‘Pada tahun haji wada’ Rasulullah SAW mendatangiku untuk menjenguk ketika aku sakit keras. Aku berkata, ‘Ya Rasul, aku kini sakit keras sebagaimana kaulihat. Sedangkan aku orang berharta. Tidak ada yang menerima warisanku kelak kecuali seorang putriku. Bolehkah aku menyedekahkannya sebesar 2/3 dari hartaku?’ Rasul menjawab, ‘Tidak (boleh).’ Aku bilang, ‘Setengahnya?’ ia menjawab, ‘Tidak (boleh).’ Aku bilang, ‘Sepertiga?’ Ia menjawab, ‘Sepertiga. Sepertiga itu banyak. Sungguh, kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, kelak mereka mengemis kepada orang lain. Sungguh, tiada nafkah yang kauberikan karena mengharap ridha Allah melainkan kau diberi pahala atasnya, termasuk nafkahmu yang masuk ke mulut istrimu,’’” (HR Bukhari).
Dari hadits ini, ulama memahami bahwa batas maksimal sedekah–dalam konteks hadits ini adalah wasiat–yang diperkenankan agama adalah sepertiga dari keseluruhan harta seseorang yang berniat untuk sedekah. Kenapa demikian? Pasalnya, agama Islam mempertimbangkan distribusi harta untuk internal ahli waris. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Syarah Shahih Bukhari berikut ini:
وقال لسعد بن أبي وقاص الثلث كثير وفيه تقديم الأقرب من الأقارب على غيرهم
Artinya, “Perkataan Rasulullah SAW kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, ‘Sepertiga itu banyak,’ menunjukkan bahwa agama menganjurkan untuk memprioritaskan nafkah untuk kerabat paling dekat ketimbang orang yang lain,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma‘rifah, 1379 H], juz V, halaman 398).
Sementara ulama lain memahami hadits ini sebagai dalil atas pentingnya seseorang untuk menafkahi keluarga dan memerhatikan harta waris untuk keluarganya kelak. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Baththal:
فدل هذا أن ترك المال للورثة خير من الصدقة به وأن النفقة على الأهل من الأعمال الصالحة
Artinya, “Hadits ini menunjukkan bawah menyisakan harta untuk ahli waris lebih baik daripada menyedekahkannya kepada orang lain. Hadits ini juga menunjukkan bahwa menafkahi keluarga juga bagian dari amal saleh,” (Lihat Ibnu Baththal, Syarah Shahihil Bukhari, [Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 2003 M/1423 H], cetakan kedua, juz 8, halaman 144).
Apakah derajat keimanan seseorang menjadi berkurang dengan menahan harta agar tidak dihabiskan seluruhnya dalam sedekah? Tentu itu bukan ukuran. Ukuran keimanan seseorang bukan ditunjukkan dengan menghabiskan seluruh hartanya, tetapi pada sejauh mana seseorang mengikuti batasan yang disyariatkan. Oleh karena itu, tidak heran kalau riwayat hadits menyebutkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash adalah salah seorang dari sepuluh sahabat Rasulullah yang diberi kabar gembira masuk surga.
Selain riwayat Buhkari, ada riwayat lain terkait masalah ini. Dalam riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah SAW pernah memarahi salah seorang sahabat yang dengan bangga menyerahkan seluruh hartanya untuk digunakan di jalan Allah. Berikut ini kami kutip hadits tersebut:
ورى البيهقي عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ الْبَيْضَةِ مِنَ الذَّهَبِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَذِهِ صَدَقَةٌ وَمَا تَرَكْتُ لِي مَالاً غَيْرَهَا، قَالَ: فَحَذَفَه بِهَا النَّبِيُّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَوْ أَصَابَهُ لَأَوْجَعَهُ، ثُمَّ قَالَ: "يَنْطَلِقُ أَحَدُكُمْ فَيَنْخَلِعُ مِنْ مَالِهِ ثُمَّ يَصِيرُ عِيَالًا عَلَى النَّاسِ"
Artinya, “Dari Jabir bin Abdillah bahwa seseorang menemui Nabi Muhammad SAW dengan membawa emas sebesar telur. Ia berkata, ‘Wahai utusan Allah, ini adalah sedekah-(ku). Aku tidak memiliki harta peninggalan apapun selain ini.’ Jabir bercerita bahwa Rasulullah SAW membanting bongkahan emas itu. Kalau lemparan itu mengenai seseorang, niscaya itu akan menyakitkan sekali. Rasulullah SAW lalu berkata dengan gemas, ‘Salah seorang kamu pergi, lalu melepaskan diri dari hartanya, kemudian menjadi miskin lagi meratap kepada orang lain,’” (HR Baihaqi).
Dari pelbagai keterangan dapat dipahami bahwa agama mengatur batasan sedekah. Agama Islam melarang keras seseorang untuk menghabiskan hartanya meskipun untuk di jalan Allah karena tindakan tersebut dapat mendatangkan mafsadat luar biasa. Sedekah ini terlarang karena dapat membawa mafsadat besar. Mafsadat ini yang diantisipasi oleh agama. Hal Syekh M Musthafa Syalabi dalam karyanya Ta’lilul Ahkam yang kami kutip berikut ini:
فصاحب المال ظن أن التصدق بكل ماله في سبيل الله خير له، صارفا النظر عما يلحقه بعد ذلك من فقر وفاقة، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يعنفه على هذا العمل، ويبين له ما يترتب عليه من مفسدة كبرى ويرد عليه ماله
Artinya, “Pemilik harta mengira bahwa menyedekahkan semua hartanya di jalan Allah itu lebih baik baginya sambil memalingkan pandangan dari kemiskinan dan kepapaan sebagai konsekuensi atas tindakan nekatnya itu. Sementara Rasulullah SAW mencela keras perbuatan tersebut. Rasulullah SAW juga menerangkan mafsadat besar akibat perilaku tersebut dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya,” (Lihat Syekh M Musthafa Syalabi, Ta’lilul Ahkam, [Kairo: Darus Salam, 2017 M/1438 H], cetakan pertama, halaman 41).
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Kami tidak memberikan simpulan karena keterangan di atas kami anggap cukup. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.