Galak atau tegas adalah kata yang mungkin terbersit ketika mendengar nama Umar bin Khattab. Faktanya, sahabat pemilik gelar al-Faruq (pembeda) ini tetap selaras dengan agama Islam dalam menonjolkan sikapnya. Sahabat Rasulullah yang satu ini memang punya ciri sendiri dalam mewujudkan kecintaan pada kehidupan dunia.
Merujuk pada Syarh Nashaihil Ibad halaman 17, ada tiga hal yang dicintai Umar bin Khattb dalam kepentingan hidup di dunia ini:
فقال عمر رضي الله عنه وحبب الي من الدنيا ثلاث الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر والثوب الخلق
Maka Umar berkata, “Tiga hal yang aku cinta dari dunia yakni, menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran, dan pakai yang lusuh.”
Pertama, menyeru pada kebaikan. Artinya, menyeru disini bukan hanya sebatas retorika belaka melainkan ditopang dengan contoh nyata. Umar bin Khattab adalah pelaku utama dari amar ma’ruf. Sayyidina Umar bin Khattab konsiten dalam berlaku amar ma’ruf tanpa pandang bulu pada kaum yang mayoritas maupun kaum minoritas. Kecintaan Umar pada amar ma’ruf teruji ketika memutuskan suatu hukum, dia tidak pernah main mata dengan koleganya.
Diantara ketegasan Umar bin Khattb pada koleganya dibuktikan dengan peristiwa saat dia masih menjadi khalifah. Dikisahkan suatu ketika, ada seseorang yang setiap menyembelih kambing tak lupa untuk membagikan dua kaki kambingnya pada Umar bin Khattab. Kemudian orang tersebut mengadu untuk diputuskan suatu perkara, sambil berkata, “Putuskan perkaraku ini sebagaimana aku sering memutuskan dua kaki kambing untukmu.”
Kalimat tersebut hanya dimengerti oleh sayyidina Umar. Kecerdasan Umar bin Khattab paham betul bahwa kalimat itu merupakan kalimat sogokan agar putusan memihak pada orang itu. Ternyata Umar tidak mengindahkan kalimat itu. Umar bin Khattab tetap berpegang teguh yang salah harus dinyatakan salah dan sebaliknya.
Baca Juga : Hukum Mengimami Salat Id Dua Kali
Kedua, mencegah kemungkaran. Meskipun dijuluki singa padang pasir karena keangkuhan dan ketegasan, akan tetapi Umar bin Khattab seringkali tampil ramah dalam mencegah kemungkaran. Seperti dalam berbuat amar ma’ruf , Umar juga tidak pernah lirik kanan kiri. Siapa saja yang hendak berbuat kemungkaran mereka harus berhadapan dengan singa padang pasir. Tanpa peduli kawan atau lawan. Begitulah Umar mewujudkan kecintaan pada mencegah kemungkaran.
Suatu ketika, Amru bin Ash hendak membangun masjid di Fustath yang kini menjadi bagian dari Kairo Mesir. Tapi karena satu gubuk reot membuat pembangunan masjid terganggu. Pemilik gubuk itu orang yahudi tua. Bermacam negosiasi dilakukan Amru bin Ash dengan pemilik gubuk reot itu dan bahkan kalau bekenan akan dibangunkan tempat tinggal yang lebih bagus di lahan yang lain. Namun pemilik gubuk itu tetap bersikeras menolak. Terpaksa, Amru bin Ash selaku gubernur, melalui pesuruhnya, menggusur gubuk reot guna pembangunan masjid.
Merasa diperakukan tidak adil, pemilik gubuk reot itu menghadap Umar bin Khattab untuk bertindak tegas. Umar segera mengambil tulang lalu digoreskan pedangnya dan diberikan kepada orang yahudi itu agar diserahkan pada Amru bin Ash. Setelah tulang itu sampi ditangan Amru bin Ash dengan bekas goresan pedang, sontak Amru bin Ash menghetikan pembangunan masjid. Sebab jika diteruskan, tidak segan-segan Umar bin Khatab menghunuskan pedangnya.
Amru bin Ash pun merasa bahwa dirinya sebagi gubernur telah berbuat salah, tidak adil, serta mempraktikkan kemungkaran. Karena jika yang dilakukan tersebut tidak mengarah pada kemungkaran dan ketidak-adilan mana mungkin Umar bin Khattab memberi kode untuk menindaknya dengan padang.
Ketiga, pakaian lusuh. Agak tidak masuk akal ketika kita mendengar ada seorang pemimpin besar, gagah, dan berani sedang pakiannya lusuh penuh dengan tambalan. Iya, untuk hari ini kita sulit bahkan tidak akan menemukan pemimpin yang bersedia mengenakan baju lusuh. Apalagi, penuh dengan tambalan.
Baca Juga : Adab-adab Mengkhatamkan Al-Quran
Sepertinya, hanya Umar bin Khattab sebagai satu-satunya pemimpin yang mencintai dunia dengan cara memakai pakaian lusuh, sobek-sobek, dan penuh dengan timbalan. Pemimpin besar sekelas Umar bin Khattab bukan tidak bisa membeli barang-barang mewah. Apalagi jika Umar bin Khattab mau berkompromi dengan nafsunya sendiri, ia bisa menggunakan fasilitas kekhalifahannya. Seperti yang dilakukan oleh petinggi-petinggi negeri kita hari ini.
Tapi, bagi Umar bin Khattab, apalah arti kemewahan? Itu semua hanya kepentingan sesaat. Dia sudah sangat percaya dan tertanam dalam sanubarinya bahwa Allah tidak melihat rupa, pakaian, jabatan, dan seterusnya melainkan menilai manusia dengan kadar ketakwaan yang bermura dalam sanubari masing-masing manusia.
Andai saja, nilai-nilai moral kecintaan Umar bin Khattab ini juga dipegang teguh oleh semua lapisan masyarkat utamanya para pejabat, betapa sejuknya beragama, berbangsa, dan bernegara.
BincangSyariah.Com –