Adab Terhadap Para Ulama
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada.Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin .
بسم الله الرحمن الرحيم
➡ Adab Terhadap Para Ulama
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang adab terhadap para ulama, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
➡ Pengantar
Para ulama dan para mujahid memiliki jasa yang besar terhadap agama ini. Para ulama menjaga agama ini dengan ilmu; belajar dan mengajarkannya sebagaimana para mujahid menjaga agama ini dengan jihad mereka agar dakwah tidak dihalangi dan tidak ada seorang pun yang dizalimi dalam menjalankan agama ini.
Para ulama itu terdiri dari para qari (penghapal Al Qur’an), para fuqaha (Ahli Fiqih), para muhaddits (Ahli Hadits), dan para mufassir (Ahli Tafsir) baik dari kalangan tabi’in maupun generasi setelah mereka yang mengikutinya dengan baik semoga Allah merahmati mereka semua. Oleh karena jasa mereka dalam menegakkan agama ini, maka sudah sepatutnya kita memuliakan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang berilmu di antara kami.” (Hr. Ahmad dan Hakim, dinyatakan hasan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 5443)
Adab terhadap para ulama
Berikut adab yang perlu kita lakukan terhadap mereka:
➡ 1. Mencintai mereka, memintakan ampunan dan rahmat untuk mereka, dan mengetahui keutamaan mereka, karena mereka termasuk orang-orang yang disebutkan dalam Al Qur’an,
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Dan orang-orang yang mengikuti mereka (kaum Muhajirin dan Anshar) dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (Qs. At Taubah: 100)
✅ Dan termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian setelah mereka, dan setelah mereka.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Para qari, para muhaddits, para fuqaha, dan para mufassir termasuk ke dalam tiga generasi utama yang dinyatakan memiliki kebaikan dan keutamaan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memuji mereka yang memohonkan ampunan kepada orang-orang terdahulu yang lebih dulu beriman sebagaimana firman-Nya,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (kaum Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Hasyr: 10)
➡ 2. Tidak menyebut mereka kecuali yang baik, tidak mencela pernyataan dan pendapat mereka, dan mengetahui bahwa mereka adalah mujtahid yang ikhlas, sehingga ia memiliki adab terhadap mereka. Ia juga mengutamakan pendapat mereka di atas pendapat yang datang setelah mereka, dan ia tidak meninggalkan pendapat mereka kecuali karena ada firman Allah Ta’ala, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau perkataan sahabat radhiyallahu anhum. Ia juga mengetahui bahwa Al Ijtihad laa yunqadhu bil ijtihad (artinya: ijtihad (pendapat) tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad), bahkan hanya dibatalkan oleh dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
➡ 3. Menganggap bahwa kitab-kitab fiqih seperti yang disusun oleh imam madzhab yang empat; yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah serta pandangan mereka dalam masalah agama, fiqih, dan syariat merupakan hasil pemahaman mereka terhadap kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau hasil istinbath (penggalian hukum) dari keduanya, atau merupakan qiyas dengan keduanya ketika mereka tidak menemukan nashnya, atau merupakan isyarat dari keduanya.
➡ 4. Menganggap bahwa berpegang dengan salah satu kitab fiqih yang mereka susun tentang masalah fiqih dan agama adalah boleh, dan bahwa mengamalkannya merupakan bentuk pengamalan terhadap syariat Allah Azza wa Jalla selama tidak bertentang dengan nash yang tegas dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Oleh karena itu, ia tidak meninggalkan firman Allah atau sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena pendapat seseorang; siapa pun dia.
✅ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (Qs. Al Hujurat: 1)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. “ (Qs. Al Hasyr: 7)
✅ Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak didasari perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (Hr. Muslim)
✅ Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ. أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
“Hampir saja hujan batu dari langit menimpa kalian. Aku mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” tetapi kalian mengatakan, “Abu Bakar dan Umar berkata.”
➡ 5. Menganggap bahwa mereka (para ulama) adalah manusia yang bisa benar dan bisa salah. Mungkin dalam suatu masalah di antara mereka ada yang keliru, namun tanpa kesengajaan, akan tetapi karena kelalaian atau lupa, atau karena pengetahuannya yang terbatas. Oleh karena itu, seorang muslim tidak ta’ashshub (fanatik) kepada pendapat salah seorang di antara mereka dan meninggalkan pendapat yang lain, bahkan ia mengambil pendapat siapa saja di antara mereka –apalagi yang lebih kuat alasannya-. Ia juga tidak menolak pendapat mereka kecuali karena ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
✅ Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata,
إِذَا قُلْتُ قَوْلاً يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ تَعَالَى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتْرُكُوْا قَوْلِيْ
“Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang menyelisihi kitab Allah Ta’ala dan berita dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.“
✅ Imam malik rahimahullah pernah berkata,
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
✅ Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena pendapat seseorang.”
✅ Imam Ahmad rahimahullah berkata,
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
“Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.”
➡ 6. Memaafkan mereka dalam hal yang mereka perselisihkan dalam masalah furu’ (karena dalam masalah akidah, mereka sama), dan memandang bahwa perbedaan di antara mereka bukanlah karena kejahilan mereka dan bukan pula karena sikap ta’ashshub dengan pendapat mereka, bahkan perbedaan itu bisa disebabkan karena belum sampai hadits kepadanya, memandang bahwa hadits tersebut telah dimansukh, atau karena ada hadits lain yang sampai kepadanya yang ia rajihkan, atau ia memahami berbeda dengan yang dipahami ulama lain, karena termasuk hal yang bisa diterima adalah terjadinya perbedaan dalam memahami kandungan lafaz.
Contoh dalam hal ini adalah apa yang dipahami Imam Syafi’i tentang batalnya wudhu karena menyentuh wanita secara mutlak, ia memahami demikian dari firman Allah Ta’ala,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Atau kalian menyentuh wanita.” (Qs. An Nisaa’: 43)
Beliau memahami kata menyentuh pada ayat tersebut adalah betul-betul menyentuh, sedangkan yang lain tidak berpandangan demikian, sehingga ia berpendapat wajibnya berwudhu karena menyentuh wanita, sedangkan ulama yang lain berpendapat, bahwa maksud mulamasah dalam ayat tersebut adalah jima, sehingga mereka tidak mewajibkan wudhu jika sekedar menyentuh, bahkan ada hal lain yang terjadi yaitu kesengajaan dan merasakan kenikmatan.
Mungkin seorang bertanya, “Mengapa Imam Syafi’i tidak menarik pemahaman itu dan mengikuti ulama yang lain, dengan begitu tidak terjadi ikhtilaf (perbedaan)?”
Jawab, “Sesungguhnya tidak boleh selamanya bagi seseorang ketika telah memahami sesuatu yang berasal dari Rabbnya tanpa diselingi rasa ragu, kemudian ditinggalkannya hanya karena mengikuti sebuah pendapat atau pemahaman ulama yang lain, sehingga ia menjadi seorang yang (lebih) mengikuti ucapan manusia; meninggalkan firman Alllah, padahal yang demikian termasuk dosa besar di sisi Allah Azza wa Jalla.
Ya, kalau seandainya pemahamannya bertentangan dengan nash yang sharih (tegas) dari Al Qur’an atau Sunnah, ia wajib berpegang dengan dilalah (kandungan) yang tampak jelas dari dalil itu dan wajib meninggalkan pendapatnya terhadap lafaz yang memang bukan merupakan nash yang sharih (tegas) maupun zhahir (jelas). Karena kalau seandainya dilalahnya qath’i (jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain), niscaya tidak ada dua orang pun dari umat ini yang berselisih, terlebih di kalangan para ulama.” (Minhajul Muslim, hal. 57).
➡ Tingkatan manusia
Tidak semua orang mampu menggali hukum sehingga berijtihad sendiri, karena yang demikian dapat membuat rusaknya syari’at dan rusaknya masyarakat. Bahkan untuk ijtihad dibutuhkan ilmu, dan dalam hal ini yang memilikinya adalah ulama. Dengan demikian ada tiga keadaan manusia dalam masalah ini, yaitu:
1. Ulama sebagai orang yang diberi ilmu dan pemahaman oleh Allah Ta’ala.
2. Penuntut ilmu, di mana ia memiliki ilmu namun belum begitu dalam sebagaimana ulama.
3. Orang awam.
Ulama berhak ijtihad, ia berhak menggali hukum dari dalil itu meskipun hasil istinbatnya menyelisihi yang lain. Jika ijtihadnya betul, maka ia akan memperoleh dua pahala dan jika salah maka ia memperoleh satu pahala karena niatnya mencari yang hak setelah melalui jalur-jalurnya (seperti melalui Ushul Fiqh yang dimiliknya, pengetahuannya yang luas terhadap dalil, Qawaa’idul fiqhiyyah, dsb). Mereka tidak bisa disalahkan jika ijtihadnya keliru, karena “Maa ‘alal muhsiniin min sabiil”, yakni orang yang telah bersusah payah dengan niat yang baik untuk memperoleh yang hak tidaklah bisa disalahkan.
Penuntut ilmu, ia hendaknya ittiba’ (tidak asal mengikuti tanpa mengetahui dalilnya), ia bisa berpegang dengan keumuman dalil dan kemutlakannya serta berdasarkan dalil yang sampai, akan tetapi ia tetap harus berhati-hati, jangan lupa bertanya kepada orang yang lebih alim agar tidak tergelincir. Dan jika dihadapkan perbedaan para ulama, hendaknya dipilih pendapat yang yang lebih rajih atau lebih dekat kepada kebenaran. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya…dst.” (Terj. Qs. Az Zumar: 18)
Orang awam, kewajibannya adalah bertanya kepada ulama yang dipandangnya berilmu, itulah tugasnya, Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Terj. Qs. An Nahl: 43)
(lanjut Ke Halaman 2)
➡ Pembagian ikhtilaf
Ikhtilaf terbagi dua:
➡ Pertama, Ikhltilaf Tanawwu’, yaitu ketika prakteknya berbeda-beda tetapi ada sumbernya dari syariat, seperti perbedaan dalam qiraat, lafaz azan, doa istiftah, maka dalam hal ini masing-masingnya adalah benar.
➡ Kedua, Ikhtilaf Tadhaad, yaitu perbedaan yang saling menafikan (meniadakan) pendapat yang lain, maka dalam hal ini yang benar hanya satu saja. Oleh karena itu, dicari pendapat yang lebih kuat, namun dengan tetap menghormati pendapat yang lain.
Perbedaan jangan membuat berpecah belah
Perbedaan dalam masalah furu’ jangan sampai membuat kita berpecah belah, karena kaum salaf terdahulu pun berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak membuat mereka berpecah belah.
Contohnya adalah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan menaruh perlengkapan perang, Jibril datang dan memberitahukan untuk tidak menaruh perlengkapan perang, bahkan tetap dibawa untuk mendatangi Bani Quraizhah yang berkhianat. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk pergi ke Bani Quraizhah, Beliau bersabda,
«لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ»
“Jangan ada salah seorang di antara kamu yang shalat ‘Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.”
Dalam memahami sabda Beliau tersebut, para sahabat berbeda pendapat. Sebagian sahabat berpendapat bahwa maksud Beliau adalah agar mereka segera menuju Bani Quraizhah, sehingga shalat ‘Asharnya di Bani Quraizhah, sedangkan sahabat yang lain berpendapat bahwa mereka tidak boleh shalat ‘Ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraizhah.
Akhirnya sahabat yang berpegang dengan pendapat pertama melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya, sedangkan sahabat yang berpegang dengan pendapat kedua, melakukannya setelah tiba di Bani Quraizhah padahal ketika itu waktu ‘Ashar sudah lewat. Ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari salah seorang pun di antara mereka.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Al Khilaf bainal Ulama (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin), dll.
==
➡ Mereka mengira PASAR FATWA itu seperti pasar barang dagangan…
✅ Syeikh Utsaimin -rohimahulloh- mengatakan:
“Menjadi syarat bagi seorang mufti: dia harus mujtahid.
Dan betapa banyak mufti-mufti yang tidak mujtahid! Ada yang hanya bertaklid, dan ada yang masih kerdil (ilmunya) hanya tahu satu dua hadits, lalu memberanikan diri untuk berfatwa.
Mereka mengira PASAR FATWA itu seperti pasar barang dagangan, sehingga setiap orang bisa masuk di dalamnya dan bisa untung!
Mereka tidak tahu bahwa ‘pasar fatwa’ itu termasuk pasar yang paling membahayakan… Dahulu para ulama salaf -rohimahulloh- saling menolak untuk berfatwa, setiap dari mereka mengatakan (saat ditanya): ‘pergilah kepada si fulan’ dan yang lain mengatakan: ‘pergilah kepada si fulan’.”
[Syarah Nazhom Waroqot, hal: 219].
———
Sungguh fatwa itu punya konsekuensi yang sangat berat, karena saat berfatwa sebenarnya seseorang sedang berkata atas nama Allah sebagai pembuat syariat… Jika berkata atas nama RAJA saja seseorang harus extra hati-hati, bagaimana bila dia berkata atas nama RAJANYA PARA RAJA?!
✅ Syeikh Sholeh Fauzan -hafizhohulloh- mengatakan:
“Seorang mufti haruslah takut kepada Allah, jangan sampai dia berkata tanpa ilmu, dan jangan sampai dia berfatwa dg kejahilan atau hawa nafsu. Harusnya dia takut kepada Allah, karena dia akan menanggung dosa orang yang dia beri fatwa.
Adapun orang yang meminta fatwa: Jika dia tidak tahu bahwa si mufti itu telah berfatwa tanpa ilmu atau tanpa kebenaran, maka si peminta fatwa itu diberi uzur, dan dosanya ditanggung si mufti.
Tapi bila si peminta fatwa itu tahu bahwa si mufti itu berfatwa tanpa ilmu dan tanpa kebenaran, maka dia tidak boleh (mengamalkan fatwanya) lalu mengatakan bahwa ini dalam tanggungan si mufti.
Jika memang si peminta fatwa tahu hal itu, maka (dosanya) itu ditanggung si peminta fatwa juga, dua-duanya menanggung dosa, baik si mufti maupun si peminta fatwa”.
Ad Dariny
==
➡ TEGAR DENGAN JILBAB
Abu Ubaidah As Sidawi
Di tengah-tengah asyiknya para wanita dengan mode busana ala barat, di saat para wanita lelap dimanjakan oleh kemajuan zaman, di sana ada sekelompok wanita shalihah dengan anggun dan sopan mengenakan mahkota mereka, yaitu jilbab muslimah, tanpa peduli cemooh, ejekan, dan hinaan masyarakat kampungnya. Karena mereka mengetahui betul hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat populer dan akrab di telinga:
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاء
ِ
Islam ini pada awalnya datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing lagi. Maka sungguh berbahagia orang-orang yang asing. (HR. Muslim)
Dalam satu sisi, kita patut bersyukur, karena di zaman kita sekarang dan di negeri kita yang mayoritas Islam ini, kesadaran mengenakan busana muslimah cukup lumayan. Bahkan kian hari bertambah meningkat. Namun dalam sisi lain, ternyata masih banyak saudari kita yang salah paham dengan hakikat jilbab muslimah, mereka menyangka jilbab hanya sekedar kerudung saja. Akhirnya, seperti kita lihat sekarang ini; banyak wanita berkerudung tapi bercelana jeans, berkaos ketat, berpakaian tembus pandang, memakai pakaian di atas lutut, dan sebagainya. Seakan-akan, kerudung tak ubahnya hanya sebagai aksesori belaka.
Ketahuilah, Alloh Ta’ala telah mewajibkan kepada segenap wanita muslimah yang telah mencapai usia baligh untuk memakai jilbab. Hal ini termaktub dalam al-Qur’an:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-orang mukmin, hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. al-Ahzab: 59)
Ayat yang mulia ini secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa jilbab merupakan perintah dan syari’at Alloh Ta’ala kepada segenap wanita muslimah, bukan seperti yang didengungkan sebagian kalangan. Kata mereka, jilbab muslimah hanyalah tradisi wanita Arab karena mereka tinggal di daerah panas. Sungguh amat besar kedustaan yang keluar dari mulut mereka!!.
Apabila setiap wanita menyadari bahwa jilbab merupakan perintah agama, bukan hanya sekedar mode semata –Insya Alloh– kami yakin dia akan tegar menjalankan kewajiban ini, apa pun risikonya.
Tegarlah wahai saudariku muslimah dengan mahkota jilbabmu. Selamat berjuang. Allahu Akbar!
•••••••••••••••••••••••
_*Ya Allah, saksikanlah bahwa kami telah menjelaskan dalil kepada umat manusia, mengharapkan manusia mendapatkan hidayah,melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah Ta’ala, menyampaikan dan menunaikan kewajiban kami. Selanjutnya, kepadaMu kami berdoa agar menampakkan kebenaran kepada kami dan memudahkan kami untuk mengikutinya*_
_*Itu saja yang dapat Ana sampaikan. Jika benar itu datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Kalau ada yang salah itu dari Ana pribadi, Allah dan RasulNya terbebaskan dari kesalahan itu.*_
Hanya kepada Allah saya memohon agar Dia menjadikan tulisan ini murni mengharap Wajah-Nya Yang Mulia, dan agar ia bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi tabungan bagi hari akhir.
_*Sebarkan,Sampaikan,Bagikan artikel ini jika dirasa bermanfaat kepada orang-orang terdekat Anda/Grup Sosmed,dll, Semoga Menjadi Pemberat Timbangan Amal Kebaikan Di Akhirat Kelak.*_
https://assunahsalafushshalih.wordpress.com/2018/11/17/18-adab-kepada-para-ulama/