Ada seorang Badui yang melakukan tawwaf mengelilingi ka’bah. Karena keterbatasan ilmu agamanya, maka sepanjang tawwafnya si Badui hanya bisa melafalkan dzikir “Ya….kariim…Ya….Kariim…..Ya….Karim”. Melihat keseungguhan dan kekhusukan si Badui berdzikir, Rasulullah mengikuti di belakangnya dan melafalkan kata yang sama. Merasa diikuti seseorang, si Badui justru merasa ada orang ngece dzikirnya.
Akhirnya si Badui berhenti tawwaf, dan membalikkan tubuhnya seraya berkata penuh amarah kepada orang yang mengikutinya, “Wahai kamu orang Arab, kalau tidak karena aku memegang kepatuhanku kepada Rasulullah Muhammad, sebenarnya aku benar-benar marah kamu menirukan aku dan akan aku laporkan perbuatanmu kepada Muhammad!”
Rasulullah bertanya, “Kamu mengenal Muhammad?”
“Aku turun dari gunung, berkeliling seantero kota Mekkah hanya untuk mencari junjunganku Muhammad. Akan tetapi hingga kini aku belum dapat bertemu dengannya,”jawab si Badui.
“Ya Badawi, aku Muhammad nabimu,” Kanjeng Rasul menyahut.
Seketika itu pula si Badui berlulut dan memeluk Muhammad, seraya mencium hikmat tangan Rasul. Pada saat itu juga datanglah Jibril menyampaikan salam dan pertanyaan dari Allah untuk si Badui, “Apakah engkau mengira Allah tidak akan menghisab dosa-dosamu dengan wirid Ya….kariim….Ya….kariim yang engkau lantunkan?”
Si Badui menyahut, “Apa? Allah akan menghisabku? Sebelum Allah menghisabku, terlebih dahulu aku akan menghisab-Nya!”
Jibril kembali berkata, “Ya Muhammad, Allah menitipkan pertanyaan kepada si Badui. Bagaimana kamu akan menghisab Allah padahal Allahlah yang berposisi mengisab amal perbuatanmu?”
“Kalau Allah menghisab dosaku, maka aku akan menghisab segala kemurahan ampunan-Nya kepadaku. Jikalau Allah menghisab kelalailan hidupku, kesalahan sikapku, maka aku akan mengisab kedermawanan-Nya kepadaku”, sahut si Badui.
Allah kemudian menitipkan Jibril berkata kepada Muhammad untuk disampaikan kepada si Badui, “Tidak usah kamu menghisab-hisab Aku, karena Aku tidak akan menghisab kamu!”
Dari kisah si Badui tadi, kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah yang sangat penting bahwa manusia dapat memposisikan diri menghisab kenikmatan, kemurahan, kedermawanan, dan lain-lain pemberian Tuhan kepada manusia. Meskipun limpahan kenikmatan, kemurahan, dan kedermawanan Tuhan sejatinya tidak bisa dihitung oleh akal dan pikiran manusia karena memang Tuhan Maha Segalanya, tetapi justru penghisaban manusia atas Tuhan adalah bukti kerendahan sifat manusia bahwa segala yang dimilikinya semata-mata milik-Nya jua. Jika kesadaran manusia telah mengakui bahwa segalanya milik Yang Maha Segala, maka manusia akan terdorong untuk selalu bersyukur dan berterima kasih terhadap segala pemberian-Nya.
Dalam konteks manusia modern saat ini, kita memiliki kecenderungan untuk menghitung segala kesuksesan yang kita raih sebagai buah kerja keras kita sendiri dengan melupakan peran campur tangan kemurahan Tuhan. Sebaliknya jikalau kita mengalami kerugian atau kegagalan, dalam perhitungan kita cenderung menyalahkan Tuhan. “Tuhan tidak adil! Mengapa harus saya yang mengalami hal ini?”
Manusia memandang Tuhan sebatas modal dan kapital untuk menggapai kesuksesan. Tuhan harus berposisi mengabulkan segala keinginan dan rencana-rencana manusia. Tuhan adalah aset. Jika demikian yang terjadi maka Tuhan kemudian hanya sebatas menjadi tuhan (dengan “t” kecil). Manusia terjerumus menuhankan tuhan. Uang, harta, tahta, wanita adalah tuhan!
https://www.kompasiana.com/sangnanang/5510909da33311c339ba8724/keberanian-menghisab-tuhan