Biaya Murah, Panen Melimpah
Siapa bilang bertani harus mahal? Sekarang ini, sudah ditemukan teknologi yang bisa memperbaiki kerusakan lahan pertanian akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebih dalam rentang puluhan tahun. Dialah Among Setiowibowo, sang penemu cairan penyubur tanah dengan harga murah.
Ihwal Ditemukannya Cairan Penyubur Tanah
Bermula dari keprihatinan atas nasib para petani yang tak kunjung sejahtera akibat tanah mereka yang kian hari kian rusak. Saat musim panen tiba, hasilnya tak sebanding dengan biaya perawatan yang mereka keluarkan selama berbulan-bulan. Bahkan, tak jarang pula yang harus menuai kegagalan total, tak sedikitpun hasil panen yang bisa dibawa pulang.
Menyedihkan memang. Padahal, seperti yang disebut Kanjeng Sunan Kali Jaga dalam tembangnya “ilir-ilir bowo dandang gulo” yang kemudian dinyanyikan Waljinah, tani yekti soko guru negeri ugo bentenge bongso (petani adalah guru negara dan benteng pertahanan bangsa), namun nasibnya kini kian terpuruk. “Kalau mereka keropos, maka cepat atau lambat bangsa ini hancur, cepat atau lambat bangsa ini tidak dihargai bangsa lain,” ujar pria kelahiran 28 Mei 1956 ini.
Kegelisahan atas kenyataan hidup para petani yang tak henti-hentinya didera masalah itu terus berkecamuk dalam diri Bowo, begitu ia biasa disapa. Dalam kegalutannya itu, Bowo bermunajat, memohon pada Sang Penguasa Alam agar diberi petunjuk dan jalan keluarnya. Lembar demi lembar kitab suci Al-Qur’an pun ia buka dan baca. Hingga akhirnya, pencariannya itu berhenti di surat Al-Anbiya’, tepatnya ayat 30. Bunyinya, “…dan Aku jadikan segala sesuatu yang hidup dari air.”
“Jadi teknologi itu dasarnya adalah surat Al-Anbiya’ ayat 30, banyu panguripan (air kehidupan-red). Begitu kena tanah, terjadi kehidupan,” ungkapnya.
Dalam surat yang sama, tambah Bowo, juga dikatakan “Aku ciptakan alam semesta dahulunya adalah sesuatu yang padu, kemudian Aku pisahkan keduanya menjadi langit dan bumi.” Barat mengatakan Big Bang, teori ledakan yang maha dahsyat, proses penciptaan alam semesta.
Lalu ledakannya apa dalam teknologi cairan penyubur tanah ini? “Kalau kita ledakannya bukan ledakan kayak Big Bang, tapi ledakannya Ki Ageng Selo: petir. Masak sih petir kok mampu menyuburkan tanah? Berarti saya main dengan gelombang, berarti saya main dengan listrik. Sehingga teknologi ini tidak cukup hanya insinyur pertanian, harus ada orang ekonominya, orang listriknya, orang mesinnya,” terang paman aktris dan presenter cantik Cut Tari ini. Karenanya, teknologi ini dikerjakan oleh tim yang berjumlah 5 orang dari latar disiplin keilmuan yang berbeda-beda.
Ditelusuri lebih lanjut mengenai apa saja bahan dan bagaimana cara pembuatan teknologi cairan penyubur tanah ini, Bowo agaknya enggan membeberkannya secara rinci, hanya gambaran umumnya saja. “Nah, ini yang sebetulnya enggak boleh dibuka secara gamblang. Saya jelaskan secara umum saja. Tadi kita kan bicara petir. Petir kalau menyambar pohon, pohonnya mati. Tapi radius di sekitar pohonnya subur. Ternyata Indonesia adalah negara nomor 4 penghasil petir di dunia. Subur tanahnya. Ternyata petir menyumbang unsur N (nitrogen) jutaan matrik ton terhadap tanah,” terangnya.
“Kita lihat alam semesta jagat raya ini. Ada air kena matahari, nguap. Ada H2A. Ada nabati, sampah-sampah perkotaan, humus di hutan-hutan kita, ada nabati kompos, kena matahari dia nguap. Ada air laut. Di atas itu kan tidak ada bensin, tapi kok ada ledakan? Karena H2 ketemu O2. Simulasi itu yang kami buat teknologinya. Berarti saya menggunakan saripati nabati hayati kompos. Jadi saya pakai kompos tapi intisarinya. Enggak perlu 20 ton per hektar,” jelasnya diikuti tawa.
Dari proses demikian, lahirlah kemudian teknologi cairan penyubur tanah dan tanaman di tahun 1997 lalu.
Cairan penyubur tanah ini ada 3 jenis (botol), namun satu talian, atau istilahnya 3 in 1. Pertama, Decomposer, bungkus botolnya berwarna coklat tua, berfungsi untuk merecovery tanah di awal, sebelum tanam, sebagai pupuk dasar. Selain itu juga berfungsi melakukan jerami, mengurai unsur hara. Ibarat mobil, Decomposer ini sebagai starter. Setelah itu baru digunakan botol yang kedua, Cairan Penyubur Tanah & Tanaman, berwarna hijau. Digunakan 1 minggu 3 hari sebelum tanam dengan cara disemprotkan. Setelah masuk ke lahan, supaya tidak disemprot racun, berikan botol yang ketiga, Pengendali Hama, berwarna merah. Caranya, dicampur di dalam tangki semprot 14 liter.
Berarti untuk satu kali musim tanam disemprot sebanyak 3 kali. Jika ada hama, dosisnya ditingkatkan dua kali lipat.
Lebih lanjut, Bowo memberitahukan bagaimana cara membedakan antara yang organik dan yang bukan. Salah satunya, jika organik tidak ada keterangan expired, alias kadaluwarsa. Artinya, ia bisa digunakan kapan saja, tak terbatasi waktu.
Bukan hanya itu, diminum seklipun tak akan jadi masalah. “Diminum saja tidak apa-apa. Pinggang yang sakit-sakit, pegel, hilang. Ini kita panaskan suhu di atas 200 derajad selsius,” ungkapnya. Untuk membuktikannya, Bowo pun menyampurkan cairan tersebut ke dalam gelas minumannya lalu menenggaknya. Bergidik aku melihatnya, bagaimana mungkin cairan untuk tanah dan tumbuhan diminum, batinku.
Namun cairan ini ada pantangannya, jangan sampai terkena langsung sinar matahari. Kenapa? Kata Bowo, akan melemah. Karenanya, ia tak boleh digunakan (disemprotkan) pada siang hari. “Makanya yang protein di pagi hari sampai maksimal jam 9 pagi. Kalau sore di atas jam 4 sore,” terangnya.
Perjalanan Cairan Penyubur Tanah
Setelah teknologi ini ditemukan pada tahun 1997, berikutnya Bowo dan timnya melakukan riset aplikasi dari tahun 2008 hingga 2000. Riset ini untuk menguji apakah teknologi yang ditemukannya itu benar-benar berfungsi sebagaimana yang diinginkan.
“Petani itu kan butuh bukti, setelah dipakai, apa sih bedanya? Gimana hasilnya? Jadi konsep kita ketika bicara teknologi, mampu menjawab penurunan biaya produksi,” ungkapnya.
Riset aplikasi ini dilakukan di beberapa wilayah, seperti Indramayu-Jawa Barat, Jawa Tenggah, dan terus menggelinding ke daerah-daerah lain.
Lalu bagaimana dengan respon petaninya? “Baik. Tapi yang namanaya petani itu sudah mendarah daging di hatinya itu pupuk kimia. Oh, biasanya mung awur-awur Urea kok nyemprot; biasaya setelah dikasih Urea diwenehi banyu, terus ditinggal, sudah. Kalau perlakuan budi daya organik ini kan tidak gitu, airnya secukupnya, air sawahnya tidak perlu digenangi,” paparnya.
Teknologi ini oleh Bowo dan timnya disepakati menjadi miliknnya petani, ada di tangan petani, bukan di tangan konglomerat. Kenapa harus di tangan petani? Sebab petani selama ini sebagai pelaksana produksi, mesin produksi, tapi sarana produksi tidak di tangan mereka, melainkan ada di tangan sekelompok orang.
“Bagaimana caranya dia ada di tangan petani? Ya di rumah-rumah petani. Apa sih rumah petani yang paling cocok? UMKM, Koperasi. Loh, kok koperasi? Salah satu proklamator kita Bung Hatta mengatakan bahwa menolong diri sendiri secara bersama-sama itulah corporate,” jelasnya.
Setelah sosialisasi, tahapan berikutnya adalah eksplor melalui Kordes-kordes, dengan cara membentuk koperasi-koperasi bagi petani. Namun cara ini tidaklah gampang. “Katanya gini, kalau saya pakai CPT ISO-nya Pak Bowo, wong yang beli gabah saya besok tengkulak kok. Apa bedanya saya pakai pupuk kimia?” katanya menceritakan protes petani.
Sadar cara eksplor kurang efektif, Bowo pun segera menambah strateginya dalam upaya mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dan pestisida. Caranya, dengan membangun kemitraan.
Model kemitraannya menggunakan pola seperti intiplasma. Caranya gimana? “Petani selama ini kan budayanya ngutang ke tengkulak. Ngutang pestisida, pupuk kimia. Belum panen dijon. Lah, itu kan nggak tahu panennya naik atau turun. Rusaklah. Maka kita harus seakan-akan menjadi tengkulak, dengan pola kemitraan,” paparnya.
Dalam konsep kemitraan itu ada perjanjian yang diketahui oleh aparat setempat, mulai dari kepala desa, kepala pertanian, hingga kelompok taninya dengan pihak ISO. “Begitu panen, kita beli gabahnya, jadi beras. Itu salah satu konsep yang kita lakukan disamping eksplor. Eksplor itu petani beli, melalui rumah-rumah petani. Mereka kita beri hak sesuai dengan volumenitas yang mereka jual,” terangnya.
Cara kemitraan itulah yang saat ini dia lakukan di dua tempat, Subang dan Cianjur. Dalam melakukan kemitraan dengan petani, Bowo sesuaikan dengan market berasnya yang sekarang ini baru berkisar antara 25 sampai 50 hektar. “Misalnya 25 hektar saja, dalam perjanjian kemitraan itu kita sebutkan kita membeli separuh dari hasilnya petani, minimal. Kalau dia panen 8 ton, maka kita beli minimal 4 ton,” tukasnya.
Dan, pada waktu kemitraan itu, dibuat supporting technology dalam rangka agar petani paham dan benar dalam menggunakan teknologi tersebut. Untuk itu, dirinya punya tim di bawah (Kordes-kordes) yang bertugas untuk melakukan pendampingan.
Lebih Irit
Bukan rahasia lagi di kalangan petani, mengadu untung di lahan sawah ternyata tak sedikit biayanya. Setiap tahapan, mulai penggemburan tanah, pembibitan hingga panen selalu ada saja kocek yang dikeluarkan. Tak pelak, hutang sana-sini pun terpaksa dilakukan. Tapi dengan hadirnya teknologi cairan penyubur tanah dan tanaman ini, petani jauh bisa menekan biaya pertanian, alias ngirit.
“Sementara cairan ini sendiri kita jual untuk petani sangat murah, sehingga panennya meningkat akibat perbaikan tanah, biayanya murah. Satu hektar itu penggunaan cairan ini hanya cukup Rp 600 hingga Rp 900 ribu per hektar lahan sawah. Sementara untuk pupuk kimia petani di Kerawang minimal membutuhkan dua juta rupiah,” kata Amung Setiowibowo. Harga sekian masih bertahan hingga akhir tahun 2009 ini.
Sudah murah, hasil panen pun bisa melimpah. “Track record yang pernah kita capai di Cianjur itu satu hektar 13,9 ton,” tuturnya. Badingkan saja dengan panen nasional yang hanya mencanangkan 3,7 ton atau maksimal 4 ton.
Muski murah, namun bukan berarti petani lekas percaya. “Mereka bilang, yang mahal saja enggak mampu, lah milih yang murah masak bisa. Enggak percaya,” tutur Bowo menceritakan penyangsian petani.
Menghadapi demikian, dia tak patah arang. Dirubahlah strateginya dengan cara menyewa lahan sawah 1-2 hektar untuk dia tanami sendiri. Tujuannya, memberikan contoh ke para petani, dari mulai perendaman benih sampai penyemprotan. “Karena para petani perlu bukti. Petani tidak bisa cuma dijanjikan,” tegasnya.
Dengan cara itu pula, Bowo bisa lebih akrab dan dekat dengan petani setempat, sering kumpul dan ngobrol dengan mereka.
Petani yang tertarik pun mau membeli. Tapi kamudian lahirlah persoalan kedua: di mana belinya? Sebab cairan penyubur tanah itu tak ada di toko-toko. Dari situlah Bowo kemudian mengajak mereka bermitra. Dan, jika terjadi kemitraan, cairan tersebut nantinya ada di tangan coordinator-koordinator kelompok tani.
Memperbaiki Kerusakan Tanah
Cairan penyubur tanah dan tanaman yang berada di bawah merek ISO (Inti Sari Organik) ini bukanlah pupuk, tapi Bowo menyebutnya teknologi alternatif. Tugasnya adalah memperbaiki tanah-tanah pertanian yang rusak akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida (pembunuh hama) yang sudah berlangsung sejak lama. “Jadi kita sebenarnya lawannya pupuk,” tegasnya.
“Kalau terjadi recovery tanah, maka akan terjadi peningkatan hasil panen. Kalau terjadi peningkatan hasil panen, maka otomatis berakibat terhadap pendapatan petani,” tambahnya.
Namun tentu tak mudah bagi petani untuk mengubah pola bertaninya dan beralih selera dari anorganik ke organik. Sebab, pupuk kimia dan pestisida sudah mendarahdaging di hati para petani. Wajar saja, sebab selama 29 tahun mereka dibiasakan untuk menggunakan itu, dari tahun 1970 sampai 2009 ini. Dengan begitu, pupuk kimia dan pestisida mungkin sudah jadi semacam “candu” bagi petani di nusantara ini.
“Di bawah tahun 1970, petani kita tidak mengenal yang namanya pupuk kimia, tidak mengenal pestisida untuk membunuh hama. Artinya, perlakuan terhadap tanah-tanah kita di bawah tahun 1970 masih alami,” ujar ayah Anissa, Dwimas R. Putra, dan Chairul N. Asmara ini.
Penggunaan pupuk kimia dan pestisida memang baru dikenal tahun 1970-an melalui program Bimas/Inmas, era Soeharto. “Itu yang namanya pupuk kimia, Pak Harto dengan kekuatan birokrasinya berupaya bagaimana petani menggunakan pupuk ini,” tandasnya.
Tujuannya waktu itu, tambahnya, memang bagus, bagaimana terjadi peningkatan hasil panen petani. Namun, efek dari semua itu lupa diperhitungkan. Dan, dampak yang diakibatkan setelah sekian puluh tahun penggunaan pupuk kimia dan pestisida itu baru dirasakan 10 tahun belakangan ini.
Bowo memberikan penjelasan panjang lebar mengenai dampak penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Untuk pupuk kimia, dia menyebut 3 contoh merek. “Kimia yang pertama kali dan sampai sekarang dicintai petani itu pupuk Urea,” tegasnya. Sementara bahan baku pupuk Urea adalah gas alam cair. Tidak mungkin diberikan kepada petani dalam bentuk cairan, sehingga dia harus diekstrak, harus dikristalkan. Salah satu zat pengikat agar dia menjadi kristal antara lain CACO3 (kalsium karbonat). Pada waktu dia sudah mengkristal dan masuk karung oleh petani dilempar ke sawah. Gas alam cair yang sudah berbentuk kristal tadi, atau istilah kimia N (nitrogen), itu dihisap tanaman. Tapi ada residu yang tertinggal, CACO3 balik mengikat tanah. Akibatnya, pori-pori tanah mulai mengeras, lalu menyempit. Micro organism, bakteri yang menguntungkan tanah tidak mampu bergerak secara leluasa karena kena pengikat tadi.
Selain Urea, petani juga menggunakan TSP, atau yang biasa disenut SP36, super pospat. “Kenapa disebut 36? Berarti ada yang 64 dong,” tanyanya membongkar. Yang 36 persen itu adalah pospat (P2O5). Fungsinya sama seperti Urea, untuk masa awal pertumbuhan tanaman. “Lah yang 64 persen apa? Batu cadas. Pergilah ke Padalarang, ke Tasik sana. Yang berwarna kehijau-hijauan itu P. Tapi tidak mungkin dipisah hanya P saja. Malah produk-produk palsu itu enggak sampai 36 persen. Kalau enggak percaya, ambil botol Aqua, isi air 3 perempatnya, sepertiganya masukkan SP36, kocok. Lah, itu kan tercampur, mengendap kan, airnya akan berubah berwarna kehijau-hijauan. Itulah P yang dibutuhkan tanaman. Terjadi pengendapan, itulah batu cadas. Diemin seminggu, potong itu botol Aqua, pasti keras kayak batu. 29 tahun dibuang ke tanahnya petani. Nah, pori-pori tanah yang tadi menyempit, bakteri yang menguntungkan pada tanah juga terhambat, diberi lagi batu cadas, pingsan kan,” urainya.
Terakhir, petani biasanya menggunakan KCL, bahan dasarnya dari tembaga. “Nenek moyang kita zaman dulu kalau masak nasi dandangnya tembaga, giginya enggak ada yang keropos. Nah, K (kalsium) bahan dasarnnya CU, dibutuhkan tanaman agar batangnya kuat, mampu berdiri kokoh, mampu menahan buah. Nah, apa sih yang menjadi residu? Florin. Florin itu disinfectan. Perusahaan air minum pakai disinfectan untuk membunuh bakteri air agar airnya steril. Nah, bakterinya yang pingsan tadi mati, dibunuh KCL. Akibat mati, yang hidup-hidup mati, maka tanahnya bau amis. Nah, itu rusak tanahnya. Kalau bau amis, maka tikus senang dengan yang amis-amis, maka sawahnya petani kena hama tikus,” paparnya.
Sementara untuk pestisida, Bowo mengingatkan pada kita bahwa sebenarnya alam ini sudah membentuk predator alami. Contohnya, kunang-kunang. Setelah diteliti, kunang-kunang ternyata hewan pemakan telur serangga yang menempel di daun-daun padi dibantu dengan capung. Namun serangga-serangga itu tak termakan semua, masih ada dalam ambang batas. Tapi karena masih ada kodok, serangganya dimakan kodok. Di tanah, masih banyak cacing dan belut. Ternyata, kedua hewan ini juga ikut menggemburkan tanah. Di badannya cacing dan belut mengandung unsur pupuk, ada haranya juga.
“Tadi kodok makan serangga, serangga telurnya dimakan kunang-kunang dan capung. Karena banyak kodok, banyak ular sawah. Ular sawah makan kodok. Karena banyak ular sawah, tikusnya enggak datang, takut sama ular. Sekarang mati semua mas, dibunuh pestisida. Akibatnya apa kalau tidak terjadi predator alami? Maka datang serangan enggak ada penangkalnya. Ditambah lagi, akhirnya apa? Enggak ada hama pun disemprot. Ini kan menyedihkan. Tanah kita rusak, petani yang mupuk dan nyemprot tadi sakit. Setelah panen N produknya, berasnya pun beracun. Muncullah cancer yang dulu enggak ada,” terangnya prihatin.
Potensi Pasar Mancanegara
Memang pasar beras organik milik Bowo saat ini masih di segmen lokal. Tapi, tak menutup kemungkinan ke depannya akan menembus pasar mancanegara. Sebab potensi ekspor begitu besar.
“Organik itu baru terserap pasar mancanegara 3-5 persen. Artinya, 95 persen menunggu. Ini satu peluang yang luar biasa,” ujar ayah Anissa, Dwimas R. Putra, dan Chairul N. Asmara ini.
Pintu ekspor bagi usahanya ini sebenarnya sudah terbuka sejak tahun 2000 lalu. Waktu itu, seorang pengusaha dari Taiwan melihat cairan tersebut. Dia pun minta 4 botol dan dibawa ke negaranya sana untuk diuji di laboratorium. Tidak sampai tiga hari, dia balik lagi ke Indonesia untuk berjumpa dengan sang penemunya. Intinya, dia tertarik dengan teknologi ini dan ingin membelinya, dalam sebulannya 2 container. Jika dinilai dengan rupiah, sebesar 2,4 milyar. Namun Bowo akhirnya mengurungkannya, sebab sang penasihat pribadinya tak membolehkan.
Dan tak lama ini, Bowo mengaku mendapatkan Letter of Intens (LOI) dari Bulgaria. “Mereka minta saya mensuplay per satu kali kiriman 12.500 ton. Katakanlah satu kali masa tanam. Apa yang saya hitung? Saya masih nanam 5000 hektar. Untuk terjadi kontinyuitas, paling tidak saya harus nanam 10.000 hektar,” ungkapnya.
Karena volume produksinya tak mencukupi, Bowo pun akhirnya meminta LOI itu direvisi. “Saya bilang produksi kami baru 25 persen dari yang Anda minta. Mudah-mudahan tahun depan kami bisa jawab,” jawabnya saat itu ke pihak Bulgaria.
Kembali Ke Alam
Apa yang dilakukan oleh Bowo dan timnya adalah upaya memperbaiki kerusakan tanah pertanian dengan menggunakan alat cairan penyubur tanah. Sekuat tenaga ia berusaha mengajak para petani untuk kembali ke pertanian organik, bertani kembali ke alam.
Sayangnya, sekarang ini orang tahunya organik itu pupuk kompos. Berapa kebutuhan sehektar dalam rangka merecovery tanah? Menurut penelitian IPB, UGM, untuk merecovery tanah kita yang sudah dirusak sekian tahun ini butuh kompos 20 ton per hektar. Masa pemulihannya pun cukup lama, lima sampai 7 tahun.
Jika mengikuti ketentuan ini, petani akan terkendala dengan apakah sekian banyak kompos yang dibutuhkan itu tersedia dan mudah diakses? Selain itu, tentu ongkosnya mahal. Untuk sepuluh ton saja sudah menghabiskan 7,5 juta per hektar, dari mulai mengumpulkan bahan bakunya, covectory, transportasi, pengolahan, packadge dan seterusnya. “Artinya kompos ini tidak bisa menjawab dalam rangka merecovery lahan nasional dalam waktu singkat karena volumenitasnya tinggi,” katanya.
Karena high cost, petani pun biasanya compare dengan harga pupuk kimia. “Kalau saya beli urea kan cuma sekian. Akhirnya deal, dealnya 2 ton. Programnya pemerintah saat ini Go Organic 2010 itu 1 hektar 2 ton. Apa akibatnya? Wong pakar tadi bilang butuhnya 20 ton. Lah, kalau nol-nya hilang satu, bagaimana hasil panen akan meningkat menggunakan kompos. Akhirnya panennya drop,” ceritanya.
Tak hanya soal kembali ke alam, namun hadirnya teknologi ini juga diharapkan mampu merangsang anak-anak muda saat ini untuk kembali bertani. “Mudah-mudahan dengan teknologi ini mau bertani lagi. Kenapa? Biaya murah, hasil meningkat, penyuburan tanah terjadi, N produksinya sehat, rakyatnya sehat,” harapnya.[]
Tulisan ini pernah dimuat di majalah IFashion edisi 007 Januari-Februari 2010