Menghadiri Pernikahan Padahal Tak Diundang: Thufaili!
Di belahan arab sana kebiasaan menghadiri pernikahan atau acara apapun yang ada jamuannya tanpa diundang disebut dengan istilah Thufaili. Kenapa bisa disebut Thufaili? Konon menurut sebuah cerita ada seseorang yang bernama Thufail dari kabilah bani Abdullah bin Ghatafan.
Suatu ketika Thufail ini menghadiri pernikahan atau walimah padahal ia sama sekali tak diundang oleh ahlul bait. Dan ternyata dia memang terbiasa seperti itu, menghadiri jamuan-jamuan tanpa diundang.
Dari sinilah akhirnya orang yang berperilaku seperti Thufail ini disebut dengan istilah Thufailul A’ras atau Thufaili.
Akhirnya istilah ini jadi viral di kalangan bangsa arab hingga digunakan pula oleh para ulama fikih untuk menyebut orang yang memiliki kebiasaan menghadiri pernikahan atau walimah atau jamuan-jamuan lain tanpa diundang.
Dalam kitab ensiklopedi fikih Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah persoalan Thufaili ini dibahas secara khusus dalam bab Tathafful. Para ulama pun memaknai sama, Thufaili adalah hadirnya seseorang dalam jamuan orang lain untuk ikut menikmati hidangannya tanpa diundang, tanpa ada izin, dan tanpa sepengetahuan tuan rumahnya. (Nihayatul Muhtaj, 6/377)
Thufaili ini sebenarnya adalah sebuah penyakit etika yang dapat menjangkiti siapapun, kapanpun, dan di manapun. Tak hanya di belahan Arab, di belahan bumi Indonesia bisa jadi tidak sedikit yang terjangkit jenis penyakit cacat etika ini.
Mayoritas ulama fikih dari mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan salah satu pendapat mazhab Hanafi menyatakan bahwa secara hukum syar’i perilaku menghadiri pernikahan atau jamuan apapun tanpa adanya undangan, tanpa sepengetahuan dan izin dari tuan rumah, hukumnya haram. Bahkan jika aktivitas ini diulang berkali-kali pelakunya bisa dicap sebagai orang fasik.
Ketetapan hukum ini disarikan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَمَنْ دَخَل عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَل سَارِقًا، وَخَرَجَ مُغِيرًا
“Barangsiapa diundang tidak memenuhi (undangan walimatul ‘Urs) maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menghadiri pernikahan atau walimah tanpa diundang maka ia masuk laksana pencuri dan keluar sebagai orang yang merampok.” (HR. Abu Dawud, salah satu perawinya dianggap majhul oleh Abu Dawud)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengumpamakan orang yang menghadiri pernikahan tanpa undangan ketika masuk dianggap seperti pencuri yang kehadirannya tak diharapkan oleh tuan rumah.
Sedangkan keluarnya seorang Thufaili dari pesta pernikahan atau walimah tanpa undangan, beliau umpamakan sebagai seorang perampok yang keluar setelah ‘kenyang’ menelan banyak makanan.
Tak sampai di sini konsekuensi menjadi seorang Thufaili. Dalam ranah hukum peradilan, seorang Thufaili yang dikenal berulang kali diketahui menghadiri pernikahan atau jamuan tanpa diundang, maka persaksiannya tidak bisa diterima.
Alasannya, pertama, sudah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menghadiri pernikahan dan jamuan semisalnya tanpa diundang adalah haram. Alasan kedua, dengan apa yang dilakukannya itu, berarti ia telah memakan makanan haram, meskipun bukan haram zat makananya, tapi haram cara mendapatkannya. Alasan ketiga, perilaku Thufaili adalah perilaku yang tidak baik, cacat etika, dan sama sekali tidak mengindahkan kehormatan dan wibawa. (Raudhatuth Thalibin, 11/232. Al-Mughni, 9/181)
Baca Juga: Adab Makan Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Begini Seharusnya Etika Menghadiri Pernikahan
Begitu pentingnya urusan etika dan akhlak dalam kehidupan, Islam hadir membawa setumpuk aturan hidup guna menyelamatkan manusia dari kehancuran moral dan spiritual. Karakter Thufailitermasuk salah satu dari daftar hitam akhlak kurang terpuji yang harus segera diobati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang shalih (baik).” (HR. Al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381) al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273)
Selayaknya kita sebagai Muslim selalu memerhatikan urusan adab dan etika dalam berperilaku. Menghadiri Pernikahan termasuk urusan halal-haram. Jika diundang, datang. Selama makanan yang dihidangkan dalam rangka mengumumkan pernikahan saudara kita adalah makanan halal, maka akan tetap pada kehalalannya dan Insya Allah akan mendatangkan berkah bagi jasad kita.
Jika ingin membawa kawan, kabarkan kepada pihak yang mengundang. Ini penting. Kita tidak tahu apakah ahlul baitridha jika kita membawa tambahan orang ketika menghadirinya.
Jika tak diundang, doakan kebaikan. Tak perlu memaksakan diri untuk tetap hadir. Meski itu teman dekat, atau rekan sejawat. Bisa jadi, tidak diundangnya kita tersimpan di dalamnya maslahat besar yang tak diketahui. Menjaga diri dari perbuatan tidak baik, su’udzan, dan lainnya harus tetap dikedepankan. Allah Maha Tahu atas berbagai hal yang tidak kita tahu. Wallahu a’lam. [M. Shodiq/dakwah.id]