WAJIB MENERIMA KEBENARAN DARI SIAPAPUN DATANGNYA
Banyak orang yang merasa berat hati untuk menerima Al-Haq, karena datangnya Al-Haq itu dari orang atau pihak yang tidak di sukai atau bahkan di benci dan di musuhi.
Banyak juga orang yang menolak kebenaran (Al-Haq), karena datangnya Al-Haq itu dari orang yang di anggap lebih rendah, tidak lebih pintar dari dirinya atau gurunya atau karena menganggap, kelompoknya paling benar sehingga tidak mau peduli kebenaran yang datang dari pihak lain. Sungguh sombong jika demikian halnya. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman yang sangat keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi. Ada seseorang yang bertanya, Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus ? Beliau menjawab, Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim no. 91).
Yang dimaksud orang sombong oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, orang yang tidak mau mendengarkan penjelasan, keterangan, perkata’an orang lain atau pihak lain dan menolaknya, mengingkarinya. Karena menurutnya, dirinya atau kelompoknya lebih pintar, lebih berilmu, lebih baik, lebih segala-galanya.
Akibat dari kesombongannya, maka orang yang terjangkiti sifat sombong, dadanya akan terasa sesak ketika Al-Haq di sampaikan atau di tunjukkan kepadanya dari pihak lain. Alih-alih menerima dengan lapang dada, malah sebaliknya mencari-cari dalih untuk membantah dan mematahkan keterangan yang di sampaikan kepadanya. Dan yang lebih buruk dari itu, malah merendahkan, menghina dan mencemo’ohnya.
• Wajib menerima kebenaran
Al-Haq (kebenaran), wajib kita terima yang datangnya dari siapapun.
– Muadz bin Jabal radhiallahu anhu berkata :
اِقْبَلُوا الْحَقَّ مِنْ كُلِّ مَنْ جَاءَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ كَافِراً – أَوْ قَالَ فَاجِراً.
“Terimalah kebenaran dari siapa saja yang membawanya, walaupun dia adalah orang kafir atau beliau berkata : Orang fasik.” (Riwayat Al-Baihaqi).
– Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata :
أَنْ تَخْضَعَ لِلْحَقِّ وَتَنْقَادَ لَهُ مِمَّنْ سَمِعْتَهُ وَلَوْ كَانَ أَجْهَلَ النَّاسِ لَزِمَكَ أَنْ تَقْبَلَهُ مِنْهُ.
“Yaitu dengan engkau tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa saja yang engkau dengar, walaupun dia adalah manusia yang paling bodoh maka kebenaran itu wajib engkau terima darinya.” (Jaami’ Bayaaninil ‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 226).
– Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata : “Maka terimalah kebenaran secara mutlak, baik kebenaran itu mendukungmu maupun kebenaran itu menentangmu.”
– Ibnu Taimiah rahimahullah berkata : “Dan Allah memerintahkan kita untuk berlaku adil dan lurus. Karenanya, jika ada orang yahudi atau nashrani, apalagi hanya orang syiah rafidhah-yang mengucapkan kebenaran, maka kita tidak boleh meninggalkannya atau menolaknya mentah-mentah. Akan tetapi yang kita tolak hanyalah yang mengandung kebatilan, bukannya yang mengandung kebenaran.” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiah: 2/342).
– Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata : “Terimalah kebenaran dari setiap orang yang mengucapkannya walaupun dia orang yang kamu benci. Dan tolaklah kebatilan dari siapa saja yang mengucapkannya walaupun dia orang yang kamu sayangi.” (Madarij As-Salikin: 3/522).
• Menerima kebenaran merupakan sifat seorang mukmin.
– Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا لَنَا لاَ نُؤْمِنُ بِاللّهِ وَمَا جَاءنَا مِنَ الْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَن يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الْقَوْمِ الصَّالِحِين
“Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh”. (QS. Al-Maidah: 84).
– Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمْ الْمُتَّقُونَ.
“Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS. Az-Zumar: 33).
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata menjelaskan ayat di atas, “Maka wajib atas setiap manusia untuk membenarkan (menerima) kebenaran yang diucapkan oleh orang lain, sebagaimana jika kebenaran itu diucapkan oleh dirinya sendiri. Dia tidak boleh mengimani makna ayat yang dia gunakan berdalil namun dia menolak makna ayat yang digunakan berdalil oleh lawannya. Dia tidak boleh menerima kebenaran hanya dari satu kelompok lalu dia menolak kebenaran dari kelompok lainnya.” (Dar`u At-Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql: 8/404).
– Allah Ta’ala berfirman :
فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.
“Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213).
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat di atas : “Maka siapa saja yang Allah Subhanahu berikan hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran dimanapun kebenaran itu berada dan bersama siapapun kebenaran itu berada, walaupun kebenaran itu bersama dengan orang yang dia benci dan dia musuhi. Dan untuk menolak kebatilan bersama siapapun kebatilan tersebut, walaupun kebatilan itu bersama dengan orang yang dia sayangi dan dia tolong, maka orang seperti inilah yang tergolong ke dalam orang-orang yang diberi hidayah menuju kebenaran dalam setiap masalah yang diperselisihkan. Inilah orang yang paling berilmu, paling benar jalannya, dan paling kuat ucapannya.” (Ash-Shawa’iq Al-Mursalah: 2/516).
– Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوأَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).
Diantara bentuk berbuat adil kepada musuh adalah menerima dan menyetujui kebenaran yang ada pada mereka.
As-Si’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya menafsirkan ayat di atas, “Sebagaimana kalian bersaksi menguatkan teman kalian maka kalian juga harus bersaksi melawan teman kalian (jika dia memang salah, pent). Dan sebagaimana kalian bersaksi melawan musuh kalian maka kalian juga harus bersaksi mendukungnya (jika dia memang benar, pent). Maka walaupun musuh itu adalah orang kafir atau penganut bid’ah maka tetap wajib berlaku adil kepadanya dan wajib menerima kebenaran yang mereka bawa. Kita terima kebenaran itu bukan karena dia yang mengucapkannya (akan tetapi karena ucapannya itu memang kebenaran, pent). Dan kebenaran tidak boleh ditolak hanya karena dia (musuh) yang mengucapkannya, karena perbuatan seperti ini adalah kezhaliman terhadap kebenaran.”
• Terimalah kebenaran walaupun datangnya dari orang kafir.
– Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Dua nenek Yahudi Madinah masuk menemuiku, keduanya mengatakan sesuatu kepadaku,
إِنَّ أَهْلَ الْقُبُوْرِ يُعَذَّبُونَ فِي قُبُوْرِهِمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang berada di dalam kubur di siksa di dalam kubur mereka.”
Aku mendustakan keduanya, aku tidak senang membenarkan keduanya. Lalu keduanya keluar. Nabi datang masuk menemuiku, maka aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dua nenek…”, aku menyebutkan kepada beliau.
فَقَالَ صَدَقَتَا إِنَّهُمْ يُعَذَّبُونَ عَذَابًا تَسْمَعُهُ الْبَهَائِمُ كُلُّهَا
Beliau bersabda : “Keduanya benar. Sesungguhnya mereka disiksa dengan siksa’an yang didengar oleh binatang-binatang semuanya.”
فَمَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ فِي صَلاَةٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْر
Kemudian tidaklah aku melihat beliau di dalam shalat setelah itu, kecuali beliau berlindung dari siksa kubur.” [HR.Bukhari no.6366, Muslim no.586].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan dan menerima perkata’an dua nenek Yahudi tentang adanya siksa kubur. Bahkan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berdo’a, berlindung dari siksa kubur di dalam shalatnya setelah itu.
– Dalam riwayat lain, seorang rahib yahudi yang berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Abu Al-Qasim, sesungguhnya kami mendapati di dalam Taurat bahwa Allah mengangkat langit-langit di atas satu jari,” sampai akhir hadits. Mendengar hal itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bertasbih dengan membaca, “Subhanallah, subhanallah,” seraya tertawa hingga nampak geraham beliau karena membenarkan ucapan sang rahib.” (Dhawabith fi Mu’amalah As-Sunni li Al-Bid’i, pertanya’an no. 6).
– Riwayat lainnya, seorang laki-laki Yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata,
إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ
“Sesungguhnya kamu menjadikan tandingan (bagi Allah). Sesungguhnya kamu menyekutukan (Allah). Kamu mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki’. Kamu juga mengatakan ‘Demi Ka’bah’.
فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
Maka Nabi memerintahkan kaum Muslimin, jika menghendaki sumpah untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’. Dan agar mereka mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki kemudian apa yang engkau kehendaki’. [HR.Nasa’I no.3773).
Ketika menjelaskan faedah-faedah dari hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari orang Yahudi tersebut, padahal yang nampak dari niat orang Yahudi itu adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Karena yang dia katakan memang benar. Kedua: Disyari’atkan kembali menuju kebenaran walaupun yang mengingatkan hal itu adalah bukan pengikut kebenaran. Ketiga: Sepantasnya ketika merubah sesuatu hendaknya merubahnya kepada sesuatu yang dekat dengannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’, dan beliau tidak mengatakan ‘Bersumpahlah dengan nama Allah azza wa jalla’. Dan beliau memerintahkan mereka agar mengatakan ‘Apa yang Allah azza wa jalla kehendaki, kemudian apa yang engkau kehendaki.’”
Setelah penjelasan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyampaikan suatu masalah dan jawabannya. Yaitu ketika ditanya, “Kenapa tidak ada yang mengingatkan (kesalahan) perbuatan ini kecuali seorang Yahudi?” Jawabannya adalah, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mendengarnya dan tidak mengetahuinya.” Jika ditanya lagi, “Allah Maha mengetahui, kenapa mendiamkan mereka?” maka dijawab, “Sesungguhnya itu adalah syirik asghar (kecil), bukan syirik akbar (besar). Hikmahnya adalah ujian bagi orang-orang Yahudi. Mereka mengkritik umat Islam atas kata tersebut, padahal mereka menyekutukan Allah azza wa jalla dengan syirik yang besar, namun mereka tidak melihat aib mereka.” (Al-Qaulul Mufid hal.522-523; Penerbit Abu Bakar ash Shiddiq, Mesir, Cet.1, Th.2007M/1428H; Tahqiq: Muhammad Sayyid ‘Abdur Rabbir Rasul).
• Kebenaran tidak boleh di tolak walaupun datangnya dari syetan sekalipun.
Dalam Shahih Bukhari disebutkan, Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata ;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mewakilkan padaku untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada seseorang yang datang dan menumpahkan makanan dan mengambilnya.
Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Lalu ia berkata, “Aku ini benar-benar dalam keada’an butuh. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.”
Abu Hurairah berkata, “Aku membiarkannya. Lantas di pagi hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku : “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam ?”
Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keada’an butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.”
Aku pun tahu bahwasanya ia akan kembali sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan. Aku pun mengawasinya, ternyata ia pun datang dan menumpahkan makanan, lalu ia mengambilnya. Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Lalu ia berkata, “Biarkanlah aku, aku ini benar-benar dalam keada’an butuh. Aku memiliki keluarga dan aku tidak akan kembali setelah itu.”
Abu Hurairah berkata, “Aku pun menaruh kasihan padanya, aku membiarkannya.
Lantas di pagi hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu ?”
Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keadaan butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya pergi.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi”
Pada hari ketiga, aku terus mengawasinya, ia pun datang dan menumpahkan makanan lalu mengambilnya. Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini sudah kali ketiga, engkau katakan tidak akan kembali namun ternyata masih kembali.
قَالَ دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا
Ia pun berkata, “Biarkan aku. Aku akan mengajari suatu kalimat yang akan bermanfa’at untukmu.”
قُلْتُ مَا هُو ؟
Abu Hurairah bertanya, “Apa itu ?”
قَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ
Ia pun menjawab, “Jika engkau hendak tidur di ranjangmu, bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum …‘ hingga engkau menyelesaikan ayat tersebut. Faedahnya, Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”
Abu Hurairah berkata, “Aku pun melepaskan dirinya dan ketika pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam ?”
Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri manfa’at padaku jika membacanya. Sehingga aku pun melepaskan dirinya.”
قَالَ « مَا هِىَ ؟ »
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat tersebut ?”
Abu Hurairah menjawab, “Ia mengatakan padaku, jika aku hendak pergi tidur di ranjang, hendaklah membaca ayat kursi hingga selesai yaitu baca’an ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia mengatakan padaku bahwa Allah akan senantiasa menjagaku dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari. Dan para sahabat lebih semangat dalam melakukan kebaikan.”
فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَة
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Adapun dia kala itu berkata benar, namun asalnya dia pendusta. Engkau tahu siapa yang berbicara denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah ?”
“Tidak”, jawab Abu Hurairah.
قَالَ « ذَاكَ شَيْطَانٌ »
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia adalah setan.”
(HR. Bukhari no. 2311).
Riwayat diatas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa kebenaran itu harus kita terima, walaupun yang menyampaikannya setan sekalipun. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan perkata’an setan, yang asalnya pendusta. Dan riwayat tersebut juga menjadi petunjuk, bahwa kita boleh mengambil ilmu dari siapapun bahkan setan sekalipun apabila sudah di ketahui kebenarannya.
(Di ringkas dari penjelasan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 6: 487-490, Syarh Shahih Al Bukhari).
• Beda antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran.
Menerima kebenaran dan mengambilnya, walau dari siapapun datangnya kebenaran itu, bukan berarti di bolehkannya mencari ilmu (ilmu agama), kepada sembarang orang.
Harus dibedakan antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran, dan antara menerima ilmu yang benar dengan menuntut ilmu yang benar.
Menerima dan mengambil ilmu yang benar, di bolehkan dari siapapun, baik dari orang kafir, ahli bid’ah bahkan dari setan sekalipun. Adapun mencari atau menuntut ilmu hanya di benarkan kepada para Ulama ahlus sunnah. Tidak kepada selainnya.
Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah pernah ditanya, “Apakah ucapan berikut ini benar ? Dan tolong ditambahkan penjelasan tentangnya, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan, amin. Ucapan yang dimaksud adalah: “Kebenaran diterima dari siapa saja yang mengucapkannya dan kebatilan ditolak dari siapa saja yang mengucapkannya. Karenanya jika seorang penganut bid’ah, bahkan walaupun itu setan mengucapkan ucapan yang benar, maka kebenaran ini diterima dan disetujui darinya. Hal ini sebagai pengamalan dari firman Allah Ta’ala :
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8).
Akan tetapi tidak boleh menuntut ilmu dan mencari kebenaran dari penganut bid’ah tersebut, sebagaimana yang sudah menjadi manhaj as-salaf ash-shaleh.
Akan tetapi kebenaran hanya dicari dari para ulama yang beramal dengan kebenaran tersebut, yaitu para ulama ahlussunnah, bukan selain mereka.”
Maka beliau menjawab : “Kaidah ini benar, insya Allah. Kebenaran diterima dari siapapun yang membawanya, namun tidak semua orang mengucapkan kebenaran itu menjadi imam (penuntun) dalam kebenaran . . ” (Dhawabith fi Mu’amalah As-Sunni li Al-Bid’i, pertanyaan no. 6).
• Boleh menukil perkata’an selain dari ahlus sunnah
Para ulama ahlussunnah, tidak segan-segan untuk menukil ucapan selain ahlussunnah di dalam tulisan atau ucapan mereka, jika ucapan tersebut memang mengandung kebenaran. Berikut diantara contohnya :
– Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasi rahimahullah mengumpulkan hal-hal yang baik dari kitab Ihya` Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali rahimahullah lalu menyusunnya menjadi kitab Minhaj Al-Qashidin. Dan para ulama menyatakan bahwa Al-Ghazali rahimahullah tidak pernah menulis karya apapun setelah dia bertaubat. Sementara status kitab Al-Ihya` ini saya rasa sudah cukup jelas di kalangan para penuntut ilmu, mengenai banyaknya kekeliruan dan kesalahan yang tersebut di dalamnya, dan kitab itu jelas ditulis oleh Al-Ghazali rahimahullah sebelum dia bertaubat. Maka amalan Ibnu Qudamah ini jelas menunjukkan bolehnya menukil kebenaran dari buku yang ditulis oleh selain ahlissunnah.
.
– Di dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Asy-Syaikh Al-Mubarakfuri, beliau mengutip ucapan dari kitab Husain Haikal, Sayyid Quthub, dan selainnya.
.
– Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah menukil ucapan Sayyid Quthb dan Umar At-Tilmisani dalam Manhaj Al-Anbiya` fi Ad-Da’wah ilalllah hal. 181-186, yang berisi anjuran keduanya kepada para politikus untuk memperhatikan akidah.
.
– Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan hafizhahullah di dalam kitab Al-Ath’imah beberapa kali menukil ucapan Sayyid Quthb dari tafsir Fii Zhilal Al-Qur`an.
.
• Menukil dari selain ahlussunnah bukanlah tazkiah (rekomendasi) terhadap mereka.
.
Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh hafizhahullah berkata, ”Dan hal ini termasuk manhaj yang bersifat umum dalam penegakkan hujjah dan penjelasan hujjah dalam semua bab-bab permasalahan agama. Yaitu bahwasanya tidaklah melazimkan seseorang yang menukil dari sebuah buku bahwa itu artinya dia mentazkiyahnya secara mutlak. Seseorang terkadang menukil darinya yang sesuai dengan kebenaran dalam rangka menyokong kebenaran, walaupun dia (penulis buku itu) menyelisihi kebenaran dalam masalah lainnya. Maka tidaklah tercela orang yang menukil dari buku yang mengandung kebenaran dan kebatilan, apabila yang dia nukil adalah bagian mengandung kebenaran. Lagipula, memperbanyak penukilan (sebuah kebenaran, pent.) dari orang-orang bersamaan dengan berbeda-bedanya madzhab dan pemikiran mereka, hal ini menunjukkan bahwa kebenaran (yang dinukil) itu bukanlah hal yang tersembunyi, namun kebenaran tersebut sudah banyak tersebar luas.”
.
(Diterjemah dari Masaa`il fi Al-Hajri wa Maa Yata’allaqu Bihi via: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=23982).
.
Menukil kebenaran dari selain ahlussunnah bukanlah bentuk dukungan dan rekomendasi terhadap mereka, akan tetapi ini merupakan penunaian hak dari kebenaran. Dimana hak kebenaran adalah dia harus diterima darimanapun datangnya.
.
• Boleh membaca dan mengambil manfa’at dari kitab ulama ahlus sunnah yang akhirnya menyimpang.
.
Asy-Syaikh Abdullah Mar’i di tanya tentang hukum membaca dan mengambil manfa’at dari kitab yang ditulis oleh ulama yang dulunya ahlussunnah lalu belakangan dia menyimpang dari ahlussunnah, sementara kitab tersebut ditulis ketika dia masih berada dalam madzhab ahlussunnah.
.
Maka beliau hafizhahullah menyatakan bolehnya dengan catatan tetap mengingatkan (jika dia mengajarkan buku itu) bahwa penulisnya sekarang bukan lagi ahlussunnah.
.
Maka ini juga menunjukkan kalau beliau membenarkan mengambil kebenaran yang ditulis oleh selain ahlussunnah.
.
• Diantara sifat yahudi adalah menolak Al-Haq yang sudah di ketahui kebenarannya.
.
Diantara sifat buruk orang-orang yahudi adalah, mengingkari kebenaran, tidak mau menerima, karena kebenaran itu datang bukan dari golongannya atau kelompoknya. Walaupun sebenarnya, kebenaran itu di akui dan di benarkan dalam hatinya.
.
Seorang Muslim tidak selayaknya menyerupai sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka mengetahui kebenaran, namun tidak mengikutinya, Allah azza wa jalla menyebutkan tentang orang-orang Yahudi Madinah yang enggan beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan setelah datang kepada mereka (orang-orang Yahudi) al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” [QS.al Baqarah/2:89].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Allah azza wa jalla menyifati orang-orang Yahudi bahwa mereka dahulu mengetahui kebenaran sebelum munculnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbicara dengan kebenaran dan mendakwahkannya. Namun, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada mereka, beliau berbicara dengan kebenaran. Karena beliau bukan dari kelompok yang mereka sukai, maka mereka pun tidak tunduk kepada beliau, dan mereka tidak menerima kebenaran kecuali dari kelompok mereka. Padahal, mereka tidak mengikuti perkara yang diwajibkan oleh keyakinan mereka.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.14; Syarah Syaikh al ‘Utsaimin; Penerbit.Dar Ibni Haitsam; Kairo; Takhrij:Fathi Shalih Taufiq).
Itulah di antara sebagian sifat buruk orang-orang yahudi. Mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali dari kelompok mereka.
Rupanya sifat buruk orang-orang yahudi tersebut menular kepada sebagian umat Islam, semenjak dahulu hingga sa’at ini. Ada sebagian umat Islam yang menolak dan mengingkari kebenaran, karena datangnya bukan dari ustadznya, syaikhnya, jama’ahnya, madzhabnya atau kelompoknya.
والله المستعان
Дδµ$ $ąŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί
https://agussantosa39.wordpress.com/2015/12/18/wajib-menerima-kebenaran-dari-siapapun-datangnya/