(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)
وَعَنْ عَائِشَةَ x أَنَّ ابْنَةَ اَلْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ n وَدَنَا مِنْهَا، قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ. قَالَ: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ، الْحَقِي بِأَهْلِكِ
Dari ‘Aisyah x: Saat Ibnatul Jaun hendak dipertemukan dengan Rasulullah n dan beliau n mendekatinya, ia (Ibnatul Jaun) berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Rasulullah n bersabda, “Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu!”
Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari (3/458), an-Nasai (2/98), Ibnu Majah (2050), Ibnul Jarud (738), ad-Daraquthni (437), dan al-Baihaqi (7/39, 234), seluruhnya dari jalur al-Auza’i. Ia berkata bahwa ia pernah bertanya kepada az-Zuhri, “Siapakah istri Rasulullah n yang pernah memohon perlindungan dari beliau?” Az-Zuhri menjawab, “Urwah menyampaikan kepadaku dari ‘Aisyah bahwasanya ketika Ibnatul Jaun hendak dipertemukan dengan Rasulullah n dan beliau n mendekatinya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari engkau.’ Rasulullah n pun bersabda, ‘Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu!’.”
Al-Bukhari t mengeluarkan riwayat dari Hamzah bin Abi Usaid, dari Abu Usaid, ia berkata, “Kami pernah keluar menemani Rasulullah n, sampai tiba di sebuah dinding kebun bernama asy-Syauth. Kami tiba dan duduk di antara dua dinding kebun.
Rasulullah n bersabda, ‘Duduklah di sini saja!’ Beliau pun masuk, dan seorang wanita dari keturunan Jaun telah didatangkan. Wanita itu ditempatkan di sebuah rumah yang terbuat dari pohon kurma, di rumah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahbil. Wanita tersebut disertai ibu pengasuhnya.
Ketika wanita itu bertemu Rasulullah n dan mendekat, Rasulullah n bersabda, ‘Serahkanlah dirimu untukku!’
Ia menjawab, ‘Apakah seorang ratu hendak menyerahkan dirinya kepada orang rendahan?’
Rasulullah n lalu bermaksud meletakkan tangan pada wanita tersebut untuk menenangkannya. Namun, ia justru berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’
Rasulullah n pun bersabda, ‘Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat yang memberikan perlindungan.’
Rasulullah n lalu keluar meninggalkannya. Rasulullah n bersabda kepada Abu Usaid, ‘Wahai Abu Usaid, berikan dua helai pakaian raziqiyah untuknya dan kembalikan dia kepada keluarganya!’.” (Irwa’ul Ghalil, al-Albani)
Siapakah Ibnatul Jaun?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang nama Ibnatul Jaun. Bahkan, perbedaan tersebut sangat panjang. Namun, kesimpulan yang diberikan oleh al-Imam ash-Shan’ani t cukup memuaskan. Beliau berkata (Subulus Salaam, “Kitab Talak”), “Manfaatnya kecil untuk memastikan namanya. Oleh karena itu, kita tidak perlu sibuk untuk menukilkan.”
Ibnu Sa’d mengeluarkan riwayat dari jalan Abdul Wahid bin ‘Aun, ia bercerita, “An-Nu’man bin Abil Jaun al-Kindi datang untuk menemui Rasulullah n di kota Madinah. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah n, berkenankah Anda jika aku nikahkan dengan wanita tercantik di kalangan Arab? Dahulu, wanita itu menjadi istri sepupunya sendiri, lalu suaminya meninggal. Ia pun sangat menginginkan Anda.’
Rasulullah n menjawab, ‘Ya.’
An-Nu’man berkata, ‘Kalau begitu, utuslah seseorang untuk menjemputnya.’ Rasulullah n kemudian mengutus Abu Usaid as-Sa’idi.
Abu Usaid bercerita, “Aku pun tinggal di sana selama tiga hari. Setelah itu, aku membawa wanita tersebut dengan menggunakan usungan tandu. Setibanya di Madinah, wanita itu aku turunkan di kampung Bani Sa’idah. Aku pun segera mengirim berita kepada Rasulullah n. Saat itu, Rasulullah n sedang berada di kampung Bani ‘Amr bin ‘Auf.”
Ibnu Abi ‘Aun menambahkan, “Peristiwa itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, tahun ketujuh.” (Subulus Salam, ash-Shan’ani)
Ibnu Abdil Barr t berkata, “Ulama telah menetapkan ijma’, wanita yang dinikahi Rasulullah n adalah al-Jauniyah (Ibnatul Jaun). Namun, mereka berbeda pendapat tentang sebab Rasulullah n menalaknya.
Qatadah t berkata, ‘Ketika Rasulullah n masuk menemuinya, beliau memanggilnya. Tetapi ia malah berkata, ‘Engkaulah yang kemari!’ Lalu, Rasulullah n menalaknya. Ada pula yang berpendapat bahwa ia ditalak karena memiliki bekas luka.’
Sebagian ulama mengatakan, ‘(Sebab ditalaknya) adalah karena wanita tersebut mengatakan, ‘Aku berlindung kepada Allah l darimu.’ Rasulullah n lalu bersabda, ‘Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Agung. Allah telah memberikan perlindungan kepadamu dariku’.’
Ia (Ibnu Abdil Barr) berkata, “Hal ini batil. Yang mengucapkan perkataan ini adalah seorang wanita dari Bani ‘Anbar (bukan Ibnatul Jaun). Wanita tersebut sangat cantik. Istri-istri Rasulullah n khawatir jika wanita itu mengalahkan mereka. Mereka pun berpesan kepadanya, sesungguhnya Rasulullah n sangat senang jika disampaikan kepada beliau, ‘Kami berlindung kepada Allah darimu.’ Wanita itu pun melakukan apa yang dipesankan. Lalu, Rasulullah n menalaknya.
Namun al-Hafizh Ibnu Hajar t membantah, “Saya tidak mengerti. Mengapa ia memberikan hukum tentang cerita tersebut sebagai cerita batil? Padahal, banyak riwayat yang menjelaskan dan menetapkannya, seperti pada hadits Aisyah dalam Shahih al-Bukhari.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar)
Makna Hadits
Ath-Thahawi t berkata, “Hadits ini merupakan dalil mendasar tentang penggunaan lafadz kinayah (kiasan) dalam talak, karena Rasulullah n mengucapkan, ‘Kembalilah kepada keluargamu!’ ketika menalak Ibnatul Jaun. Sementara itu, Ka’b bin Malik juga mengatakan hal yang sama kepada istrinya, ‘Kembalilah kepada keluargamu!’ pada saat Rasulullah n memerintahkan Ka’b untuk menjauhi istrinya. Akan tetapi, ucapan Ka’b tersebut tidak dihukumi sebagai talak. Dengan demikian, kisah Ka’b bin Malik menunjukkan bahwa pernyataan semacam ini membutuhkan niat. Barang siapa mengatakan kepada istrinya, ‘Kembalilah ke keluargamu!’ tidak dapat diputuskan melainkan dengan niat orang yang melafadzkan. Jika ia tidak meniatkan talak, berarti bukan talak. Ini adalah pendapat Malik, penduduk Kufah, dan asy-Syafi’i.” (Syarah al-Bukhari, Ibnu Baththal)
Hadits di atas merupakan dalil bahwa ucapan seorang suami kepada istrinya, “Kembalilah ke keluargamu!” termasuk talak, sebab tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah n mengucapkan kata-kata lain. Jadi, jika lafadz kinayah diniatkan sebagai talak, talak pun jatuh.
Bukti yang menunjukkan bahwa pernyataan, “Kembalilah kepada keluargamu!” termasuk lafadz kinayah adalah kisah Ka’b bin Malik yang terkenal (kisah Perang Tabuk). Saat itu, Ka’b bin Malik diperintahkan untuk menjauhi istrinya. Ka’b mengatakan, “Kembalilah kepada keluargamu! Tinggallah di sana bersama mereka!” Namun, Ka’b tidak berniat untuk menjatuhkan talak dengan lafadz ini. Oleh karena itu, terhadap istrinya pun tidak jatuh talaknya. Pendapat inilah yang dipilih oleh imam yang empat dan lainnya.
Adapun azh-Zhahiriyah berpendapat, ucapan seorang suami kepada istrinya, “Kembalilah kepada keluargamu!” tidak menyebabkan jatuh talak. Mereka beralasan, “Nabi Muhammad n belum mengadakan akad nikah dengan Ibnatul Jaun. Beliau hanyalah mengutus orang untuk melamar, karena adanya perbedaan riwayat dalam kisah. Yang menunjukkan Rasulullah n belum mengadakan akad nikah dengan Ibnatul Jaun adalah riwayat dalam Shahih al-Bukhari, beliau berkata, ‘Serahkanlah dirimu untukku.’ Lalu, Ibnatul Jaun berkata, ‘Apakah seorang ratu akan menyerahkan dirinya kepada orang rendahan?’ Permintaan Nabi n agar Ibnatul Jaun menyerahkan dirinya menunjukkan bahwa beliau belum mengadakan akad nikah dengannya.”
Hanya saja, pendapat azh-Zhahiriyah cukup jauh dari kebenaran berdasarkan beberapa alasan, antara lain:
1. Riwayat, “Rasulullah n hendak meletakkan tangan pada wanita tersebut.”
2. Riwayat, “Kemudian Rasulullah n masuk padanya.”
Dua hal di atas, tidaklah terjadi selain pada istri sendiri. Adapun sabda Nabi n, “Serahkanlah dirimu untukku!”, kata-kata ini diucapkan Nabi n hanyalah untuk menyenangkan dan menarik hatinya. Atau bisa juga dijawab, “Serahkanlah dirimu untukku!” adalah panggilan seorang suami kepada istrinya.
Diperkuat lagi dengan adanya riwayat, “Ia pun sangat menginginkan Anda.” Demikian juga riwayat yang menjelaskan kesepakatan dirinya dengan ayahnya tentang besarnya mahar. Hal-hal ini, meskipun tidak secara sharih (jelas) menunjukkan adanya akad nikah, namun kemungkinan inilah yang terkuat. (Subulus Salam, ash-Shan’ani)
Lafadz Talak
Lafadz talak ada dua:
1. Sharih (kata yang jelas dan dapat dimengerti)
Yakni lafadz-lafadz yang memang digunakan untuk menjatuhkan talak dan tidak mengandung kemungkinan makna selain talak. Yaitu, lafadz “thalaq” dan pecahan katanya. Misalnya, “Saya talak kamu.” Demikian pula kata “cerai”.
2. Kinayah (kiasan/sindiran)
Yaitu lafadz-lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lain. Misalnya, “Kamu saya lepas”, “Kamu bebas”, atau “Pergilah, kembalilah kepada keluargamu!”
Contoh lain lafadz kinayah dalam talak, “Kumpulkan pakaianmu, saya tidak lagi membutuhkanmu”, “Tidak ada tali pernikahan antara kita”, “Tidak ada lagi kesempatan untukmu”, “Pergilah, saya tidak lagi berhak”, “Jangan berhias lagi untuk diriku”, “Tidak ada lagi halal haram di antara kita”, atau “Menyingkirlah dariku!” (Syarah al-Bukhari, Ibnu Baththal)
Perbedaan talak dengan lafadz sharih dan lafadz kinayah adalah jika lafadz sharih diucapkan, terhitung sebagai talak meskipun ia tidak meniatkan talak. Adapun lafadz kinayah, tidak terhitung sebagai talak melainkan dengan meniatkan talak, sebab lafadz kinayah masih mengandung makna selain talak. Oleh karena itu, diharuskan adanya niat untuk menjatuhkan talak. Namun, ada tiga keadaan yang dikecualikan:
a. Jika ia mengucapkan lafadz kinayah saat terjadi pertengkaran dengan istrinya.
b. Jika ia mengucapkan lafadz kinayah saat marah.
c. Jika ia mengucapkan lafadz kinayah untuk menjawab permintaan talak istrinya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Pada tiga keadaan ini, talak telah jatuh meskipun dengan lafadz kinayah walaupun ia beralasan, ‘Saya tidak meniatkannya.’ Alasannya, ada qarinah (tanda) yang menunjukkan bahwa ia memang meniatkannya. Maka dari itu, ucapannya, ‘Saya tidak meniatkannya’ tidak dapat dibenarkan. Wallahu a’lam.” (al-Mulakhkhash hlm. 333—334, Taudhihul Ahkam 5/509)
Asy-Syaikh al-Utsaimin t berkata, “Akan tetapi, pendapat yang benar adalah lafadz kinayah tidak dihitung talak melainkan jika didasari niat menalak, walaupun pada tiga keadaan di atas. Sebab, mungkin saja seorang suami dalam keadaan marah berkata, ‘Keluarlah!’ atau ucapan semisalnya, dan dia sama sekali tidak meniatkan talak. Ia hanya ingin istrinya menyingkir dari hadapannya sampai reda amarahnya.
Bisa juga seorang istri berkata, ‘Talaklah aku! Talaklah aku!’ Lalu si suami menjawab, ‘Thaaliq,’ dan suami tidak meniatkan talak. Yang ia maksud dengan kata ‘thaaliq’ adalah lepas dari ikatan. Atau ia mengatakan, ‘Kamu saya talak, jika saya jatuhkan talak’ dengan menyebutkan syarat. Intinya, talak tidak jatuh melainkan jika disertai niat’.” (Syarhul Mumti’, Bab “Talak”)
Asy-Syaikh Muqbil t pernah ditanya tentang bentuk talak. Beliau t menjawab, “Talak dapat dilakukan dengan lafadz apa pun. Ia bisa mengatakan, ‘Kamu saya talak’ atau ‘Kembalilah kepada keluargamu!’, dan disertai niat, atau, ‘Kamu terputus,’ atau, lafadz-lafadz lain yang dapat dipahami sebagai talak, hanya saja membutuhkan niat. Jika lafadznya sharih, itu sudah cukup. Jika lafadznya tidak sharih, harus disertai niat. Rasulullah n berkata kepada seorang wanita, ‘Kembalilah kepada keluargamu!’ lalu memerintahkan seorang sahabat untuk memberikan hadiah untuknya.” (Fatawa al-Mar’ah Muslimah, hlm. 228)
Ibnul Qayyim t berkata, “Pembagian lafadz talak menjadi lafadz sharih dan kinayah, meskipun secara asal adalah pembagian yang benar, hanya saja kenyataannya berbeda tergantung kepada kebiasaan orang, waktu, dan tempat. Maka dari itu, setiap lafadz tidak menjadi hukum yang pasti. Mungkin saja, satu kata dinilai sebagai lafadz sharih menurut sebagian orang, tetapi menurut orang lain termasuk lafadz kinayah. Bisa jadi, pada waktu (masa) dan tempat tertentu sebuah kata dinilai sebagai lafadz sharih, namun menjadi lafadz kinayah pada waktu dan tempat lain. Kenyataan adalah saksinya.
Asy-Syaikh Ali bin Isa, qadhi (hakim)negeri Syaqra’, berkata, “Sesungguhnya, pada masa sekarang, lafadz ‘Tikhlaah’ termasuk lafadz sharih, menurut kebiasaan yang berlaku di kalangan kami.”
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Yang benar, lafadz-lafadz untuk menalak tidak terbatas pada kata-kata tertentu. Setiap lafadz yang menunjukkan makna talak dapat menjadi lafadz talak, sebagaimana hal ini berlaku pada muamalah lainnya. Wallahu a’lam.” (Taudhihul Ahkam, 5/510)
Faedah Lain
Dalam penjelasan hadits:
مَنِ اسْتَعَاذَ بِاللهِ فَأَعِيْذُوهُ
“Barang siapa memohon perlindungan kepada Allah, berikanlah perlindungan untuknya.” (HR. Abu Dawud [2/622], Ahmad [no. 2248])
Al-Albani t mengatakan, “Hadits ini sanadnya jayyid (bagus), insya Allah.” (ash-Shahihah, 1/453)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Maknanya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Engkau wajib untuk memberikan perlindungan untuknya karena ia telah memohon perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Oleh sebab itu, ketika Ibnatul Jaun berkata kepada Rasulullah n, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu’, Rasulullah n menjawab, ‘Sungguh, engkau telah meminta perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu!’.”
Akan tetapi, ada yang dikecualikan. Misalnya, seseorang yang diwajibkan untuk melakukan sesuatu lalu ia meminta perlindungan (agar tidak mengerjakannya). Yang seperti ini tidak boleh engkau beri perlindungan. Misalnya, engkau mengharuskan dia untuk menegakkan shalat berjamaah, lalu ia berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.”
Demikian pula halnya, jika engkau mengharuskan dia untuk berhenti dari berbuat haram, lalu ia meminta perlindungan kepada Allah l darimu. Engkau tidak boleh memenuhinya karena akan membantunya dalam hal dosa dan permusuhan. Di samping itu, Allah l tidak memberikan perlindungan kepada pelaku dosa. Seharusnya, pelaku dosa berhak mendapatkan hukuman, bukan dibantu dan dilindungi.
Demikian juga orang yang meminta perlindungan ke tempat yang dibenarkan secara syar’i untuk meminta perlindungan, meskipun ia tidak mengatakan, “Aku memohon perlindungan kepada Allah.” Engkau wajib memberikan perlindungan untuknya. Sebagaimana yang dikatakan ahlul ilmi, “Umpamanya, seseorang berbuat kejahatan lalu ia berlindung di tanah Haram, maka tidak dapat ditegakkan hukum hadd dan qishash terhadapnya di tanah Haram. Akan tetapi, ia ditekan: tidak boleh berjual beli dengannya atau muamalah upah-mengupah, sampai ia keluar. Berbeda halnya dengan orang yang melakukan pelanggaran terhadap kesucian tanah Haram dengan berbuat kejahatan di tanah Haram. Orang tersebut tidak mendapatkan perlindungan dari tanah Haram, karena ia telah melanggar kehormatan tanah Haram.” (al-Qaul al-Mufid, Ibnu Utsaimin 2/892)
Penutup
Al-Imam al-Bukhari t meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya. Beliau mengatakan, Utsman bin al-Haitsam telah menyampaikan hadits kepada kami, ‘Auf telah menyampaikan hadits kepada kami, dari al-Hasan, dari Abu Bakrah. Ia berkata, “Sungguh, pada hari-hari pertempuran Jamal, Allah l telah memberikan manfaat untuk diriku dengan sebuah sabda yang pernah aku dengar dari Rasulullah n. Padahal, sebelumnya hampir saja aku turut serta dalam pertempuran Jamal dan berperang bersama mereka.”
Abu Bakrah melanjutkan, “Ketika terdengar berita oleh Rasulullah n bahwa orang-orang Persia mengangkat putri Kisra sebagai raja, beliau bersabda, ‘Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat seorang perempuan sebagai penguasa’.”
Semoga hadits Ibnatul Jaun di atas serta penjelasan ringkas yang menyertainya, dapat bermanfaat suatu saat nanti.
Wallahu a’lam bish-shawab.