Senin, 20 Oktober 2014

Ibnu Hajar Asqolani

Ibnu Hajar Asqolani

Syihabuddin Ahmad bin Ali Muhammad bin Hajar al-Syafi’ al-Asqalani adalah nama lengkapnya. Kairo, 23 Sya’ban th 773 H adalah tempat kelahiran tokoh yang di negeri kita sangat terkenal dengan kitab Bulughul Marom itu. Kendatipun ia lahir dan tumbuh di Kairo namun gelar yang menempel pada dirinya adalah Asqalan, suatu daerah di Palestina. Menurut catatan sejarah nenek moyang maha guru ini pindah dari Asqolan ke Mesir pada tahun 573 H yaitu pada waktu kekuasaan Shalahuddin al-Ayyubi. Kepindahan atau lebih tepatnya eksodus warga Asqolan ini dikarenakan takut akan penyerbuan tentara salib. Lebih-lebih pemerintahan Asqalan pada waktu itu tidak mempunyai kekuatan yang memadai untuk menghadang serangan musuh yang nota bene sudah siap dengan peralatan yang jauh lebih canggih.
Qutbuddin –si kakek- menurunkan lima anak laki-laki, yang paling bungsu adalah Nuruddin Ali, ayah Ibnu Hajar ini yang lahir pada tahun 720 H. Ayah alim besar ini dibesarkan dalam lingkungan yang mencukupi, sehingga mempunyai banyak kesempatan untuk belajar dan menimba ilmu. Beliau mempunyai kecenderungan dalam fiqih, sastra dan syair. Dan unutk yang terakhir ini beliau mempunyai beberapa diwan (kumpulan syair). Di antara diwan tersebut, yang paling bagus ialah diwan al-haram, yaitu diwan untuk memuji Nabi dan Negeri Mekah. Bangga akan ayahnya Ibnu Hajar berkata: “Ayahku mempunyai akal yang cerdik, taat beragama, seorang pemuka kaum yang disegani, mempunyai akhlaq yang mulia, berkawan dengan orang-orang shalih dan sangat memuliakan mereka. Beliau hapal kitab “al-Hawi al-saghir”, mendapat ijazah untuk berfatwa, menguasai qiraat as-sab’ah dan hafal Alquran”.
Ayah Ibnu Hajar, karena kemampuannya dalam sastra bisa berhubungan erat , bersanding sejajar dengan pembesar-pembesar pemerintah, baik dalam urusan keilmuan atau materi, sebagaimana penyair Ibnu Nabatah dan Zakiyuddin al-Kharubi pemuka para saudagar seantero Mesir. Nuruddin Ali menikahi saudara perempuan al-Kharubi, sebagai istri pertama. Abul Mahasin Tsaghri mengatakan, “Nuruddin Ali termasuk orang yang sukses dalam berdagang, kemudian beliau menikah lagi dengan anak dari al-Zahtawi, keluarga yang kaya dan berpangkat. Dengan istri yang kedua ini dia dikaruniai dua anak, yang pertama perempuan dan yang kedua adalah guru kita Imam Ahmad bin Hajar.
Ayah Ibnu Hajar sangat mengharapkan dikaruniai anak laki-laki. Oleh karena itu dengan kelahiran Ibnu Hajar ini, dia sangat senang sekali. Hal ini sebetulnya telah diisyaratkan oleh seorang wali – Syekh Yahya al-Shonafiri yang masyhur dengan mukasyafat-nya (dengan izin Allah mengetahui apa yang akan terjadi)- bahwasanya beliau akan dikaruniai oleh Allah, seorang anak laki-laki. Karena sangat senangnya dengan Syekh ini, beliau berwasiat supaya dikafani dengan pakaian syekh tersebut. Namun demikian, agaknya hadirnya anak laki-laki dalam keluarga Nuruddin ini tidak bisa ia nikmati sampai si anak tumbuh besar dan menjadi ulma’ tingkat dunia. Belum juga si anak tumbuh remaja ia harus menghadap ilahi.
Sebelum meninggal, dia sempat memberikan nama panggilan pada anaknya “Abu al-Fadhl”. Ibnu Hajar ditinggal oleh kedua orang tuanya pada waktu kecil, sehingga beliau menjadi yatim piatu yang tiada ringan bebannya, kecuali dengan kasih-sayang saudara perempuannya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar “Dia adalah ibuku, setelah ibu kandungku”.
Sebetulnya bukan saudara perempuannya semata yang mengasuh, mengasah, mendidik Ibn Hajar sehingga menjadi orang besar. Ada juga nama al-Kharubi.
Ibnu Hajar dan Aktivits Keilmuan
Nama hajar atau batu diambil dari sebuah kisah yang memberi motivasi yang kuat untuk belajar. Beliau adalah seorang yang rajin ketika di madrasahnya (sekolah) tapi selalu tertinggal pelajaran yang di ajarkan guru-gurunya. Mudah lupa sehingga beliau tertingal dari murid-murid lain yang sudah jadi ulama besar. Suatu saat beliau patah semangat dan menerima takdirnnya sebagai orang yang tidak mampu belajar. Beliau pun meninggalkan sekolahnya itu dan berpamitan pada gurunya.
Dalam kegundahan perjalanan meninggalkan madrasahnya, beliau masuk ke dalam gua untuk berteduh dari guyuran hujan yang membasahinya. Ketika melihat tetesan air di gua itu yang menetes sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu, Beliau terkejut. Karena betapa kerasnya batu itu hanya dengan tetesan air yang terus menerus akhirnya terbentuk lubang juga. Kemudian beliau sadar bahwa kepalanya tidak sekeras batu. Karena itu pasti bisa menyerap pelajaran seandainya rajin dan sabar dalam belajar. Dengan penuh semangat, beliau pun kembali kemadrasah untuk belajar kembali.
Perubahanpun mulai terlihat. Beliau menjadi murid yang tercerdas dan mengalahkan teman- teman yang telah menjadi ulama besar. Dikalangan pesantren, nama beliau sudah tak asing lagi karena kitab-kitabnya yang sudah menjadi pembelajaran wajib diantaranya kitab kitab yang besar yaitu:
  • Fath al-Bari (kemenangan sang pencipta) yaitu syarah hadist syahih bukhari yang paling detail.
  • Ad-Durar al-Kaminah (kamus biografi tokoh abad ke-8)
  • Tahdzib al-Tahdzib
  • Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah (kamus biografi sahabat)
  • Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam
  • Taghliqut Ta’liq,
  • Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.
Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja. Tetapi, beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:
  1. Dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
  2. Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.
  3. Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah (jalur gaza sekarang). Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.
  4. Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu nafi’ (yang bermanfaat) dan amal shalih. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.
Demikian perjalanan singkat al Hafizh Ibnu hajar al ‘Asqalani. Semoga kita dapat mengambil manfaat, kemudian memotivasi kita untuk selalu menggali ilmu dan beramal shalih. Wallahu a’lam.
www. Drise-online.com