Selasa, 07 Mei 2019

Pahala Besar di Balik Memberi Makan Berbuka


   

Pahala Besar di Balik Memberi Makan Berbuka

Bulan Ramadhan benar-benar kesempatan terbaik untuk beramal. Bulan Ramadhan adalah kesempatan menuai pahala melimpah. Banyak amalan yang bisa dilakukan ketika itu agar menuai ganjaran yang luar biasa. Dengan memberi sesuap nasi, secangkir teh, secuil kurma atau snack yang menggiurkan, itu pun bisa menjadi ladang pahala. Maka sudah sepantasnya kesempatan tersebut tidak terlewatkan.

Inilah janji pahala yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”[1]

Al Munawi rahimahullah menjelaskan bahwa memberi makan buka puasa di sini boleh jadi dengan makan malam, atau dengan kurma. Jika tidak bisa dengan itu, maka bisa pula dengan seteguk air.[2]

Ath Thobari rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa yang menolong seorang mukmin dalam beramal kebaikan, maka orang yang menolong tersebut akan mendapatkan pahala semisal pelaku kebaikan tadi. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar bahwa orang yang mempersiapkan segala perlengkapan perang bagi orang yang ingin berperang, maka ia akan mendapatkan pahala berperang. Begitu pula orang yang memberi makan buka puasa atau memberi kekuatan melalui konsumsi makanan bagi orang yang berpuasa, maka ia pun akan mendapatkan pahala berpuasa.”[3]

Sungguh luar biasa pahala yang diiming-imingi.

Di antara keutamaan lainnya bagi orang yang memberi makan berbuka adalah keutamaan yang diraih dari do’a orang yang menyantap makanan berbuka. Jika orang yang menyantap makanan mendoakan si pemberi makanan, maka sungguh itu adalah do’a yang terkabulkan. Karena memang do’a orang yang berbuka puasa adalah do’a yang mustajab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.”[4] Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.[5]

Apalagi jika orang yang menyantap makanan tadi mendo’akan sebagaimana do’a yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam praktekkan, maka sungguh rizki yang kita keluarkan akan semakin barokah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى

Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku][6]

Tak lupa pula, ketika kita memberi makan berbuka, hendaklah memilih orang yang terbaik atau orang yang sholih. Carilah orang-orang yang sholih yang bisa mendo’akan kita ketika mereka berbuka. Karena ingatlah harta terbaik adalah di sisi orang yang sholih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada ‘Amru bin Al ‘Ash,

يَا عَمْرُو نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

Wahai Amru, sebaik-baik harta adalah harta di tangan hamba yang Shalih.”[7]

Dengan banyak berderma melalui memberi makan berbuka dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga.[8] Dari ‘Ali, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ »

Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.”[9]

Seorang yang semangat dalam kebaikan pun berujar, “Seandainya saya memiliki kelebihan rizki, di samping puasa, saya pun akan memberi makan berbuka. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut. Sungguh pahala melimpah seperti ini tidak akan saya sia-siakan. Mudah-mudahan Allah pun memudahkan hal ini.”

Lalu bagaimanakah dengan Anda?

 

Disusun di hari penuh berkah, Panggang-GK, 4 Sya’ban 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

[1] HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192, dari Zaid bin Kholid Al Juhani. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Faidul Qodhir, 6/243.

[3] Syarh Ibnu Baththol, 9/65.

[4] HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/194.

[6] HR. Muslim no. 2055.

[7] HR. Ahmad 4/197. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim.

[8] Lihat Lathoif Al Ma’arif, 298.

[9] HR. Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Sumber https://rumaysho.com/1147-pahala-besar-di-balik-memberi-makan-berbuka.html

Apakah Sekali Khilaf Merusak Istiqamah Ibadah Puluhan Tahun?

Apakah Sekali Khilaf Merusak Istiqamah Ibadah Puluhan Tahun?

Hafiz, NU Online | Ahad, 22 Juli 2018 13:00

Sering kali kita menganggap sebuah kesalahan, dosa, kekhilafan, kealpaan, atau kekosongan dari sebuah rutinitas sebagai pembatas atau titik akhir atas sebuah istiqamah kebaikan tertentu atau kontinuitas rutin ibadah kita selama ini. Dengan anggapan demikian, kita merasa bahwa kita tidak dapat meraih istiqamah.

Hal ini biasa diungkapkan dalam bahasa Indonesia dengan panas setahun dihapus hujan sehari, nila setitik rusak susu sebelanga, atau ungkapan serupa lainnya.

Sejatinya, kita tidak boleh keliru memang sebuah dosa, kekhilafan, kealpaan, atau kekosongan ibadah dan kebaikan di tengah rangkaian panjang ibadah rutin atau kebaikan yang selama ini kita kerjakan. Hal ini diingatkan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya:

إذا وقع منك ذنب فلا يكن سبباً ليأسك من حصول الاستقامة مع ربك فقد يكون ذلك آخر ذنب قدر عليك

Artinya, “Jika kau terjatuh pada sebuah dosa (khilaf dan alpa), maka jangan jadikan itu sebagai sebab bagimu berputus asa untuk meraih istiqamah bersama Tuhanmu karena mungkin saja itu adalah dosa terakhir yang ditakdirkan untukmu.”

Cara pandang atas sebuah dosa (khilaf dan alpa) di tengah rangkaian panjang ibadah rutin kita ini menentukan sikap kita terhadap dosa lainnya. Jangan sampai kita salah paham terhadap dosa tersebut dengan mengira bahwa kita sudah memasuki dunia hitam lalu sekalian saja untuk mengerjakan dosa lainnya.

Sikap putus asa ini yang sangat berbahaya karena dikhawatirkan dapat menjerumuskan seseorang lebih jauh ke dalam jurang dosa dan meninggalkan sama sekali ibadah atau kebaikan rutinnya selama ini sebagai disampaikan oleh Syekh As-Syarqawi berikut ini:

بأن تعتقد بسبب صدور الذنب أن حصول الاستقامة لك مستحيل فيحملك على تعاطى غيره من الذنوب وهذا غلط 

Artinya, “Kau meyakini bahwa karena munculnya sebuah dosa capaian istiqamah menjadi mustahil lalu membawamu untuk melakukan dosa-dosa lainnya. Ini merupakan sebuah kekeliruan,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012], juz I, halaman 106).

Syekh Ibnu Abbad mengatakan bahwa sebuah dosa (khilaf dan alpa) tidak dapat membatalkan istiqamah ibadah yang sudah kita amalkan selama ini. Yang membatalkan istiqamah peribadatan adalah dosa yang dilakukan secara kontinu atau al-ishrar.

الاستقامة على العبودية لا يناقضها فعل الذنب على سبيل الفلتة والهفوة إذا جرى القدر عليه بذلك وإنما يناقضها الإصرار

Artinya, “Istiqamah atas sebuah ibadah tidak dibatalkan oleh sebuah dosa dengan jalan tidak sengaja dan terperosok bila takdir menggariskan demikian. Istiqamah hanya dibatalkan oleh perbuatan dosa secara berkelanjutan,” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012], juz I, halaman 106).

Syekh Syarqawi menganjurkan agar mereka yang jatuh ke dalam sebuah dosa atau kekhilafan bertobat kepada Allah dan memohon ampunan-Nya serta kembali kepada-Nya untuk memelihara dirinya dari kesalahan yang sama.

فالواجب عليك أن تتوب إلى مولاك وترجع إليه ولا تيأس من رحمته

Artinya, “Yang harus kamu lakukan adalah bertobat dan kembali kepada Allah sebagai Pengulumu. Jangan sampai kamu berputus asa atas rahmat-Nya,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012], juz I, halaman 106).

Syekh Ibnu Athaillah ini mengajarkan kita bangkit dan tetap semangat dalam menjalankan ibadah. Jangan sampai kekhilafan sekali menghentikan ibadah yang sudah lama kita lazimkan dalam jangka cukup panjang.

Nasihat ini juga dapat kita pakai dalam kehidupan sehari-hari di bidang lainnya seperti tetap menjaga semangat belajar atau olahraga rutin yang sudah kita lakukan selama ini. Jangan sampai karena vakum beberapa waktu, lalu membuat kita enggan untuk memulai belajar atau kegiatan positif yang pernah kita lakukan dalam waktu yang sangat panjang. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

© 2016 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama

twitter pribadinya @KHMLuqman. 

Berikut enam prinsip yang dimaksud Kiai Luqman:

1. Shalat lebih utama dibanding surga

2. Doamu lebih utama dibanding kabul

3. Perjuangan lebih utama dibanding goal-mu

4. Cinta lebih utama dibanding hadiah-hadiah Allah untukmu

5. Taubat lebih utama dibanding ampunan

6. Jangan pernah mengatur Allah