Rabu, 28 November 2018

Keutamaan Shalat Jenazah


Keutamaan Shalat Jenazah

Akan mendapatkan pahala yang besar berdasarkan hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ  . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ  مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ

"Barangsiapa yang menyaksikan jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menjawab, "Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar." (HR. Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ. قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ

"Barangsiapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" "Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud", jawab beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 945)

Akan mendapatkan syafa'at bagi orang yang di shalatkan sebanyak 40 orang ahli tauhid sebagimana hadits Kuraib, ia berkata,

أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ. قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ

"Anak 'Abdullah bin 'Abbas di Qudaid atau di 'Usfan meninggal dunia. Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Wahai Kuraib (bekas budak Ibnu 'Abbas), lihat berapa banyak manusia yang menyolati jenazahnya." Kuraib berkata, "Aku keluar, ternyata orang-orang sudah berkumpul dan aku mengabarkan pada mereka pertanyaan Ibnu 'Abbas tadi. Lantas mereka menjawab, "Ada 40 orang". Kuraib berkata, "Baik kalau begitu." Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Keluarkan mayit tersebut. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas dishalatkan (shalat jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun melainkan Allah akan memperkenankan syafa'at (do'a) mereka untuknya." (HR. Muslim no. 948)

Dalam riwayat lain  dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ

"Tidaklah seorang mayit dishalatkan (dengan shalat jenazah) oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai 100 orang, lalu semuanya memberi syafa'at (mendoakan kebaikan untuknya), maka syafa'at (do'a mereka) akan diperkenankan." (HR. Muslim no. 947)

Di kabulkannya do'a sebagimana hadits Malik bin Hubairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ

"Tidaklah seorang muslim mati lalu dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan do'a mereka akan dikabulkan." (HR. Tirmidzi no. 1028 dan Abu Daud no. 3166. Imam Nawawi menyatakan dalam Al Majmu' 5/212 bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan jika sahabat yang mengatakan)

Itulah beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan shalat jenazah. Selengkapnya mengenai tata cara shalat jenazah akan disampaikan pada artikel berikutnya.

Hukum shalat Jenazah

Hukum shalat jenazah adalah fardu kifayah berdasarkan beberapa dalil, di antaranya:

  Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:

أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا

“Ada seorang laki-laki kulit hitam atau wanita kulit hitam yang menjadi tukang sapu di masjid telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya tentang keberadaan orang tersebut. Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda, “Kenapa kalian tidak memberi kabar kepadaku? Tunjukkanlah kuburannya padaku!” Beliau kemudian mendatangi kuburan orang itu kemudian menshalatinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Lihat hadits-hadits lainnya dalam Irwa`ul Ghalil, 3/183-186) 
 Dari Abu Qatadah radhiallahu anhu ia menceritakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلُّوْا عَلى صَاحِبِكُمْ، فَإِنَّ عَلَيْهِ دَيْنًا. قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُوَ عَلَيَّ. قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِالْوَفَاءِ؟ قَالَ: بِالْوَفاَءِ. فَصَلَّى عَلَيْهِ

Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menshalati ternyata beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalatilah teman kalian ini krn ia meninggal dgn menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda: “Janji ini akan disertai dgn penunaian?”. “Janji ini akan disertai dgn penunaian“ jawab Abu Qatadah. maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menshalatinya.” (HR. An-Nasa`i no. 1960 kitab Al-Jana`iz bab Ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dainun. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa`i).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Al-Bukhari no. 1337)

Orang orang yang tidak wajib di salatkan

Ada dua orang golongan yang dikecualikan dari hukum di atas. Kedua golongan tersebut tidak wajib di shalatkan, namun boleh juga (disyariatkan) untuk di shalatkan yaitu :

Anak kecil yang belum baligh

Sesungguhnya Nabi tidak menyalatkan putra beliau -Ibrahim- . ‘Aisyah berkata, “Ibrahim, putra Nabi meninggal dunia ketika berusia delapan belas bulan. Rasulullah tidak menyalatkannya.” (HR. Abu Dawud no. 3187, hadist hasan, lihat Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).

Manakala janin itu usianya belum genap empat bulan, maka tidak di shalatkan, karena belum di tiupkan ruh padanya, sehingga tidak di kategorikan sebagai mayit atau jenazah. (lihat Ahkamul Jana’iz hal 81).

  Mati syahid

Banyak para syuhada baik pada perang Uhud atau yang lainnya tidak di shalatkan oleh rasulullah. Namun di waktu lain, beliau juga menyalatkan sebagian para syuhada, di antaranya adalah paman beliau, Hamzah yang mati syahid di perang Uhud. Tentunya menyalatkannya itu lebih utama karena shalat jenazah itu merupakan doa untuk si mayit sekaligus sebagai tambahan ibadah bagi yang mengerjakannya.

Catatan: Dan yang di maksud syuhada di sini adalah orang orang gugur di pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat Allah ta'ala. karena di sana ada orang orang yang di sebut syuhada akan tetapi wajib di mandikan dan di shalatkan di antaranya di sebut dalam sebuah riwayat dari Jabir Bin ‘Atik bahwaRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Ada tujuh macam syuhada’ lagi selain dari syahid dalam perang sabil: orang yang mati karena penyakit sampar adalah syahid, orang yang tenggelam adalah syahid, orang yang kena kanker pada lambungnya adalah syahid, orang yang sakit kolera adalah syahid, orang yang mati terbakar adalah syahid, orang yang ditimpa runtuhan adalah syahid, dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.”(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih)

Adapun  golongan orang -  orang di bawah ini maka berlaku syariat shalat jenazah untuk mereka (fardhu kifayah) 

  Orang yang meninggal dunia karena menjalani hukuman pidana mati (had) seperti rajam atau qishash. (HR. Muslim no. 1696) Pelaku maksiat yang tenggelam dalam berbagai kemaksiatan.  Orang yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Seseorang yang di makamkan sebelum dishalatkan atau sudah dishalatkan oleh sebagian orang sedangkan sebagian yang lain belum menyalatkannya. (HR.Al – Bukhari no. 1247) Seseorang yang meninggal dunia di sebuah negeri dan tidak ada seorang pun yang menyalatkannya di depan jenazah. (Zadul Ma’ad 1/205-206)

Kedua golongan di atas Anak kecil yang belum baligh dan orang yang mati syahid, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hukumnya sunnah seperti tersebut dalam hadits Aisyah: “Didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun menshalatinya…”HR. An-Nasa`i no. 1947, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘alash Shibyan, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani  dalam Shahih An-Nasa`i.

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah: “Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabishallallahu ‘alaihi wasallam  berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  mendapatkan ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya. “Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut. “Bagian yang diberikan Nabishallallahu ‘alaihi wasallam untukmu,” jawab mereka. A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , seraya bertanya: “Harta apa ini?” “Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . “Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.” Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya. “Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.“Ya,“ jawab mereka yang ditanya. “Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu.” (HR. Abdurrazzaq no. 6651, An-Nasa`i no. 1953, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar no. 2818 dan selainnya)

Ibnul Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad t. Dan pendapat inilah yang paling men-cocoki ushul dan madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)

Catatan: Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud  radhiallahu ‘anhu secara marfu‘:

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama 40 hari juga. Setelah itu (ketika janin telah berusia 120 hari atau 4 bulan, –pent.) Allah mengutus seorang malaikat yang diperintah dengan empat kata, dikatakan kepada malaikat tersebut: “Tulislah amal dan rizkinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara. Kemudian ditiupkan ruh pada janin tersebut….”(HR. Al-Bukhari no. 3208, dan Muslim no. 6665)

Adapun bila janin itu gugur sebelum 4 bulan maka tidak dishalati, karena janin tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat (karena belum mempunyai ruh). (Al-Hawil Kabir, 3/31, Al-Muhalla 3/386-387, Nailul Authar 4/61)

Hukum shalat jenazah bagi wanita

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin  pernah di tanya: "Di Masjidil Haram diserukan untuk melaksanakan shalat jenazah, bolehkah wanita ikut melaksanakan shalat ini bersama laki-laki, baik jenazah yang hadir maupun ghaib (tidak hadir)?

Beliau menjawab: "Wanita seperti laki-laki, apabila datang jenazah, wanita menshalatkannya dan mendapatkan pahala seperti pahala laki-laki karena dalil-dalil dalam hal ini berlaku umum dan tidak ada pengecualian darinya. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa kaum mus-limin menshalatkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallambergantian, laki-laki, kemudian para wanita. Dan atas dasar inilah, maka hukumnya tidak apa-apa, bahkan hal tersebut termasuk perkara yang dituntut (dianjurkan). Apabila jenazah telah hadir dan kaum wanita telah ada di dalam masjid hendaklah mereka menshalatkan jenazah ini bersama laki-laki. (Fatwa-fatwa Lengkap Seputar Jenazah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)

Al-Imam An-Nawawi  berkata: “Apabila tidak ada yang menghadiri jenazah kecuali para wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mereka menshalati jenazah tersebut. Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya ketika itu gugurlah kewajiban (menshalati jenazah) dengan apa yang mereka lakukan. Dan mereka menshalati jenazah tersebut secara sendiri-sendiri. Namun tidak apa-apa bila mereka mengerjakan secara berjamaah (dengan sesama mereka).” (Al-Majmu’, 5/169).

Jika jenazah banyak

Jika terkumpul banyak jenazah baik laki-laki maupun wanita, maka jenazah-jenazah itu dishalatkan dengan satu kali shalat. Kemudian jenazah laki-laki –sekalipun masih kecil- diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan imam. Sedangkan jenazah wanita pada posisi paling dekat dengan kiblat. Hal ini berdasarkan banyak riwayat di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar (HR. an-Nasa`i 1/280 dan al-Baihaqi 4/33). Diperbolehkan juga untuk menyalatkan setiap jenazah dengan satu shalat sebagaimana hukum asalnya.

Posisi Berdiri Imam

Ketika jenazah diletakkan untuk dishalati, bila jenazahnya lelaki, imam berdiri di belakangnya pada posisi kepala. Adapun jika jenazahnya wanita maka imam berdiri pada posisi tengahnya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Samurah bin Jundab yang dikelu-arkan dalam Shahihain. Samurah berkata: “Aku pernah menjadi makmum di belakang Nabi n ketika menshalati seorang wanita bernama Ummu Ka’ab yang meninggal karena melahirkan. Nabishallallahu ‘alaihi wasallam  berdiri pada posisi tengah jenazah dan beliau bertakbir empat kali.”(Al-Hawil Kabir 3/50, Al-Majmu’ 5/183, Al-Muhalla 3/345, 382, Fathul Bari 3/257, Asy-Syarhul Mumti’ 2/524, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam 1/372).

Abu Ghalib Al-Khayyath  berkisah: “Aku pernah menyaksikan Anas bin Malik menshalati jenazah seorang lelaki, ia berdiri di bagian yang bersisian dengan kepala jenazah. Ketika jenazah tersebut telah diangkat, didatangkan jenazah seorang wanita dari Anshar, maka dikatakan kepada Anas: ‘Wahai Abu Hamzah (kunyah Anas), tolong shalatilah.’ Anas pun menshalatinya dan ia berdiri pada posisi tengah jenazah.

Di antara kami ketika itu ada Al-’Ala` bin Ziyad Al-’Adawi (seorang yang tsiqah dari kalangan tabi’in, termasuk ahli ibadah dan qurra` penduduk Bashrah). Ketika melihat perbedaan berdirinya Anas tersebut, ia berkata: ‘Wahai Abu Hamzah, apakah demikian Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam  berdiri sebagaimana engkau berdiri ketika menshalati jenazah laki-laki dan ketika menshalati jenazah wanita?’ Anas menjawab: ‘Iya’.”(Kelengkapan haditsnya bisa dilihat dalam riwayat Abu Dawud no. 3194, kitab Al-Jana`iz, bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit idza Shalla ‘alaihi).

Hukum menshalatkan jenazah di dalam masjid

Diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah di dalam masjid berdasarkan hadits hadits yng shahih, namun lebih utama di luar masjid, di sebuah tempat yang memang dipersiapkan untuk menyalatkan jenazah, berdasarkan pelaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata dalam al-Fath, “Sesungguhnya tanah lapang yang biasa digunakan untuk menyalatkan jenazah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terletak berdempetan dengan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdari arah timur.”

Tidak diperbolehkan menyalatkan jenazah di antara kubur-kubur

Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyalatkan jenazah di antara kubur-kubur.”(HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath 1/80/2)

Shalat Ghoib

Shalat Ghoib adalah menyolatkan jenazah yang tidak berada di tempat atau berada di negeri lain.
Mengenai disyariatkannya shalat ghoib terdapat perselisihan di antara para ulama.

Pendapat Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad mereka membolehkan menshalat ghaibkan mayat. Dalilnya adalah dishalatkannya Raja An Najasy oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal An Najasy berada di negeri Habasyah (sekarang Ethiopia) sedangkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah.

Pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah tidak membolehkan secara mutlak. Alasannya, karena shalat ghoib untuk An Najasy adalah khusus untuk beliau saja, tidak berlaku umum bagi yang lainnya.

sebagian ulama lainnya memerinci, yaitu boleh melakukan shalat ghoib, namun bagi orang yang mati di suatu tempat dan belum disholati. Kalau mayit tersebut sudah disholati, maka tidak perlu dilakukan shalat ghoib lagi karena kewajiban shalat ghoib telah gugur dengan shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin padanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan Fatawal ‘Aqidah wa Arkanil Islam.

Alasan mereka adalah karena tidaklah diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghoib kecuali pada An Najasiy saja. Dan An Najasiy mati di tengah-tengah orang musyrik sehingga tidak ada yang menyolatinya. Seandainya di tengah-tengah dia ada orang yang beriman tentu tidak ada shalat ghoib. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati An Najasiy di Madinah, sedangkan An Najasiy berada di Habasyah (Ethiopia). Alasan lain, ketika para pembesar dan pemimpin umat ini meninggal dunia di masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -padahal mereka berada di tempat yang jauh- tidak diketahui bahwa mereka disholati dengan shalat ghoib. waullahu 'alam pendapat terakhir ini yang lebih kuat.

Waktu waktu terlarang untuk menshalati jenazah

Di riwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu anhu ia berkata:

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ  يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Ada tiga waktu di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)

Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:

1. Ketika matahari terbit sampai tinggi

2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat

3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam

 Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu anhu) disebutkan dalam hadits berikut ini:

‘Amr bin ‘Abasah radhiallahu anhu mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:

صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)

Sifat shalat jenazah

Syarat sah shalat
1. Niat
2. Menghadap kiblat
3. Menutup aurat
4. Orang yang mengerjakan dalam keadaan suci
5. Menjauhi najis
6. Yang menshalatkan maupun yang dishalatkan harus beragama Islam

 7. Menghadiri jenazah tersebut apabila jenazah itu berada di dalam negerinya

 8. Orang yang menshalatkan adalah orang yang mukallaf

Rukun shalat
1. Berdiri di dalam shalat jenazah itu
2. Melakukan takbir yang empat
3. Membaca surat Al Fatihah
4. Mendoakan shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam
5. Mendoakan jenazah tersebut
6. Tertib
7. Salam

Sunnah-sunnah shalat
1. Mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir (Sebagian ulama menjelaskan bahwa takbir mengangkat tangan hanya pada takbiratul ihram saja, ada pun beberapa takbir berikutnya tidak mengangkat tangan - Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dalam Akhthoul Mushollin dan ini yang banyak dikuatkan para ulama lainnya, wallahu a'lam-abu Iram)
2. Membaca doa isti’adzah (ta’awwudz) sebelum membaca Al Fatihah 3. Mendoakan kebaikan bagi diri sendiri dan kaum muslimin
4. Tidak mengeraskan suara ketika membaca Al Fatihah
5. Berdiri sebentar setelah takbir yang keempat sebelum salam

6. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
7. Menoleh ke kanan ketika mengucapkan salam

Tata Cara Shalat Jenazah

Shalat jenazah memiliki tata cara yang berbeda dengan shalat yang lain, karena shalat ini dilaksanakan tanpa ruku’, tanpa sujud, tanpa duduk, dan tanpa tasyahhud (Al-Muhalla, 3/345). Berikut perinciannya:

Ø Menyusun shaf berjumlah tiga atau lebih asal ganjil.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Hubairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِلَّا أَوْجَبَ -وَفِيْ رِوَايَةٍ- إِلَّا غُفِرَ لَهُ

“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia kemudian (jenazahnya) dishalatkan oleh tiga shaf dari kaum muslimin melainkan pasti (dimasukkan surga) -dalam riwayat lain- akan diampuni dosanya.” (HR. Abu Dawud2/63, at-Tirmidzi 19/258, dan Ibnu Majah1/454)

Jaminan ini berlaku jika yang menyalatkan dan yang dishalatkan adalah orang yang tidak menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala (tidak berbuat syirik), sebagaimana telah dijelaskan pada edisi yang sebelumnya.

Hadits di atas diperkuat dengan hadits lain dari sahabat Abu Umamahradhiyallahu ‘anhu, beliau mengisahkan bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 7 sahabat menyalatkan jenazah, beliau mengaturnya menjadi 3 shaf dengan formasi 3, 2, 2. (HR. ath-Thabarani dalamal-Kabir 7785, lihat Ahkamul Jana`iz hal. 127)

Jika tidak ada yang bersama imam kecuali hanya satu makmum saja, maka ia tidak berdiri di samping imam sebagaimana dalam shalat-shalat yang lain, akan tetapi ia berdiri di belakang imam. (HR. al-Hakim 1/365, dari sahabat Abdullah bin Abi Thalhahradhiyallahu ‘anhu)Bertakbir 4 kali, demikian pendapat mayoritas shahabat, jumhur tabi‘in, dan madzhab fuqaha seluruhnya.Takbir pertama dengan mengangkat tangan, lalu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (sedekap) sebagaimana hal ini dilakukan pada shalat-shalat lain.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qaththan berkata: “Ulama bersepakat bahwa orang yang menshalati jenazah, ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya pada takbir yang awal.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/186)
Ibnu Hazm  menyatakan: “Adapun mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat jenazah, maka tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya, kecuali hanya pada awal takbir saja.” (Al-Muhalla, 3/351)

Asy-Syaikh Al-Albani  berkata: “Tidak didapatkan dalam As-Sunnah adanya dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan pada selain takbir yang pertama. Sehingga kita memandang meng-angkat tangan di selain takbir pertama tidaklah disyariatkan. Demikianlah pendapat madzhab Hanafiyyah dan selain mereka. Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaukani  dan lainnya dari kalangan muhaqqiq.” (Ahkamul Jana`iz , hal.148)

 Setelahnya, berta‘awwudz lalu membaca Al-Fatihah dan surah lain dari Al-Qur`an.

Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf berkata: “Aku pernah shalat jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas , ia membaca Al-Fatihah dan surah lain. Ia mengeraskan (menjahrkan) bacaannya hingga terdengar oleh kami. Ketika selesai shalat, aku memegang tangannya seraya bertanya tentang jahr tersebut. Beliau menjawab: “Hanyalah aku menjahrkan bacaanku agar kalian mengetahui bahwa (membaca Al-Fatihah dan surah dalam shalat jenazah) itu adalah sunnah dan haq (kebenaran)”.

Sebenarnya bacaan dalam shalat jenazah tidaklah dijahrkan namun dengan sirr (pelan), berdasarkan keterangan yang ada dalam hadits Abu Umamah bin  Sahl, ia berkata: “Yang sunnah dalam shalat jenazah, pada takbir pertama membaca Al-Fatihah dengan perlahan kemudian bertakbir tiga kali dan mengucapkan salam setelah takbir yang akhir.”

Ibnu Qudamahtberkata: “Bacaan (qira`ah) dan doa dalam shalat jenazah dibaca secara sirr. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ahlul ilmi. Adapun riwayat dari Ibnu ‘Abbas  di atas, maka kata Al-Imam Ahmad: ‘Hanyalah beliau melakukan hal itu (men-jahrkan bacaan) untuk mengajari mereka’.” (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah)

Al-Imam Asy-Syaukani  berkata: “Jumhur ulama berpendapat tidak disunnahkan menjahrkan bacaan dalam shalat jenazah.” (Nailul Authar 4/81)

Takbir kedua, lalu bershalawat untuk Nabi  sebagaimana lafadz shalawat dalam tasyahhud. (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah, Asy-Syarhul Mumti’, 2/526)

اَللَّهُمُّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبَرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

 “Ya Allah, berilah shalawat atas Nabi Muhammad dan atas keluarganya, sebagaimana Tuhan pernah memberi rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkah atas Nabi Muhammad dan para keluarganya, sebagaimana Tuhan pernah memberikan berkah kepada Nabi Ibrahim dan para keluarganya. DI seluruh alam ini Tuhanlah yang terpuji Yang Maha Mulia.”

Takbir ketiga, lalu berdoa secara khusus untuk si mayat secara pelan menurut pendapat jumhur ulama. (Al-Minhaj 7/34)

Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Apabila kalian menshalati mayat, khususkanlah doa untuknya.”Yakni doakanlah si mayat dengan ikhlas dan menghadirkan hati karena maksud dari shalat jenazah tersebut adalah untuk memintakan ampun dan syafaat bagi si mayat. Diharapkan permintaan tersebut akan dikabulkan dengan terkumpulnya keikhlasan dan doa dengan sepenuh hati.” (Catatan kaki Ahkamul Janaiz, hal. 156)

Dalam hal ini, mengucapkan doa yang pernah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama daripada mengamalkan yang selainnya. (Asy-Syarhul Mumti‘ 2/530, At-Ta‘liqat Ar Radhiyyah 1/444).
Di antara sekian doa yang pernah diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk jenazah adalah:

Hadits Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ مِنْ عَذَابِ النَّارِ

“Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, selamatkanlah dia, maafkanlah dia, muliakanlah tempatnya, luaskan dan lapangkanlah tempat masuknya, basuhlah dia dengan air dan es serta embun, bersihkanlah dia dari berbagai dosa dan kesalahan sebagaimana Engkau membersihkan pakaian putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), keluarga yang lebih baik, istri yang lebih baik, masukkanlah dia ke dalam surga dan lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab neraka.” (HR. Muslim 3/59-60, lihat maknanya dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram 1/568).

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِسْلَامِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِيْمَانِ، اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ، وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

“Ya Allah, berilah ampunan bagi orang yang masih hidup dan yang sudah mati di antara kami, orang yang hadir dan orang yang tidak hadir, yang kecil dan yang besar, yang laki-laki maupun yang wanita. Ya Allah, siapa saja yang Engkau hidupkan dari kami maka hidupkanlah di atas Islam dan siapa saja yang Engkau matikan dari kami maka matikanlah di atas keimanan. Ya Allah, janganlah engkau halangi pahalanya dari kami dan janganlah Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.” (HR. Ibnu Majah(1/456), al-Baihaqi (4/41) dan selainnya)

Jika jenazahnya adalah seorang anak kecil, maka disunnahkan untuk berdoa dengan doa berikut ini:

اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا سَلَفًا وَفَرَطًا وَأَجْرًا

“Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pendahulu dan pahala bagi kami.” (LihatNailul Authar 4/79)

Ø Pada takbir terakhir, disyariatkan berdoa sebelum mengucapkan salam

Dari  Abu Ya‘fur dari Abdullah bin Abi Aufa z ia berkata: “Aku menyaksikan Nabi (ketika shalat jenazah) beliau bertakbir empat kali, kemudian (setelah takbir keempat) beliau berdiri sesaat untuk berdoa.”
Imam Ahmad  berpendapat disunnahkan berdoa setelah takbir terakhir ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Masa`il Al-Imam Ahmad (153). Demikian pula pendapat dalam madzhab Asy-Syafi‘iyyah. (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)

Kemudian salam seperti salam dalam shalat lima waktu, dan yang sunnah diucapkan secara sirr (pelan), baik ia imam ataupun makmum. (Al-Hawil Kabir 3/55-57, Nailul Authar 4/82) Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu. Ia menyatakan, “Tiga hal yang dahulu selalu dikerjakan oleh Rasulullah namun ditinggalkan oleh orang-orang. Di antaranya adalah ucapan salam pada shalat jenazah seperti ucapan salam pada shalat.” (HR. al-Baihaqi 4/43 dengan sanad shahih, sebagaimana perkataan al-Imam an-Nawawi rahimahullah).

Sebuah hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhubahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdahulu mengucapkan dua salam dalam shalat. Hadits yang kedua ini menjelaskan makna dan maksud pada hadits pertama, yaitu bahwa lafazh “seperti salam pada shalat” bermakna salam sebanyak dua kali.

Diperbolehkan juga mencukupkan dengan salam yang pertama saja (satu salam ke sebelah kanan), hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalatkan jenazah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir sebanyak empat kali dan salam hanya sekali. (HR. ad-Daruquthni (191), al-Hakim (1/360) dan al-Baihaqi (4/43)

Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

 

MENGUMUMKAN KEMATIAN

447- وَعَنْ حُذَيْفَةَ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَنْهَى عَنِ اَلنَّعْيِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ

dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang dari Na’yu (mengumumkan kematian secara Jahiliyyah)(riwayat Ahmad dan atTirmidzi , serta dihasankan olehnya)<< dihasankan oleh Syaikh al-Albany >>

PENJELASAN:

Hadits no 447 ini memberikan pelajaran larangan mengumumkan kematian dengan cara-cara jahiliyyah, yaitu sekedar menyebar berita tentang kematian seseorang ke pintu-pintu rumah dan di pasar-pasar dalam konteks kesombongan menampakkan kedudukan tinggi orang yang meninggal, seperti menyatakan: telah celaka bangsa Arab dengan meninggalnya Fulaan.. tanpa ada maslahat yang diharapkan, seperti supaya lebih banyak yang ikut mensholatkan, mengantarkan jenazah, dsb.

 448- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – نَعَى اَلنَّجَاشِيَّ فِي اَلْيَوْمِ اَلَّذِي مَاتَ فِيهِ, وَخَرَجَ بِهِمْ مِنَ الْمُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ, وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian Najasyi pada hari kematiannya, dan keluar bersama para Sahabat ke Musholla (tanah lapang), mengatur shof dan bertakbir untuknya 4 kali (sholat Ghaib)(Muttafaqun alaih)

PENJELASAN:

Hadits yang ke-448 ini menunjukkan bolehnya mengumumkan kematian jika diharapkan adanya maslahat, seperti ikut menyelenggarakan jenazah, mensholatkan, dan semisalnya. Seperti yang dilakukan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian Najasyi (raja Habasyah) yang meninggal sebagai muslim di tengah-tengah orang kafir Nashrani di negerinya Habasyah.

Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini:

Disunnahkan untuk melakukan sholat ghaib terhadap saudara kita muslim yang meninggal di suatu tempat yang tidak ada seorangpun yang mensholatkan jenazahnya. Seperti keadaan Najasyi. Hal ini berlaku juga jika ada seorang muslim yang meninggal hilang karena tenggelam, hilang dimakan binatang buas, dan semisalnya sehingga tidak ada yang mensholatkan jenazahnya secara langsung. Pada saat itu, muslim lain yang mengetahui tentang kematiannya bisa melakukan sholat ghaib, yaitu sholat tanpa ada jenazah di hadapannya.Di masa Nabi, sholat jenazah lebih sering dilakukan tidak di masjid. Namun di musholla (tanah lapang).Takbir sholat ghaib atau jenazah adalah 4 kali.

KEUTAMAAN JENAZAH YANG DISHOLATKAN OLEH ORANG YANG BERTAUHID

449- وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا: سَمِعْتُ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: – مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ, فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا, لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا, إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang lelaki muslim meninggal, kemudian disholatkan jenazahnya oleh 40 laki-laki yang tidak mensekutukan Allahdengan suatu apapun kecuali Allah akan memberikan syafaat mereka kepadanya (riwayat Muslim)

PENJELASAN:

Hadits ini menunjukkan pentingnya berteman dengan orang-orang sholih yang senantiasa mentauhidkan Allah, tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun. Karena jika seseorang meninggal dan disholatkan oleh seseorang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan mengampuninya dengan sebab syafaat sholat dari orang yang mentauhidkan Allah tersebut. Dalam hadits ini disebutkan jumlah 40 orang, sedangkan dalam hadits lain disebutkan jumlah 100 orang dan sebagian riwayat menyatakan 3 shaf.

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

Tidaklah suatu jenazah disholatkan oleh kaum muslimin yang mencapai seratus orang seluruhnya memberi syafaat (dengan sholat) kepadanya, kecuali ia diampuni (dengan sebab syafaat sholat orang-orang tersebut)(H.R Muslim)

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا أَوْجَبَ

Tidaklah ada seorang muslim yang meninggal kemudian disholatkan oleh 3 shaf kaum muslimin kecuali wajib baginya (surga)(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Hakim disepakati adz-Dzahaby, dihasankan oleh anNawawy, disepakati oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)

Para Ulama’ menjelaskan bahwa keutamaan itu bisa didapatkan dengan jumlah 3 shaf, 40 orang, atau 100 orang. Tiga shaf adalah batasan minimal, semakin banyak jamaah, semakin baik (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy (7/17)). Berapapun jumlah minimal yang tercapai, syaratnya adalah orang yang mensholatkan tidak pernah menyekutukan Allah dengan suatu apapun.

Syarat Diterimanya Syafaat

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa orang yang mensholatkan jenazah bisa memberikan syafaat kepada mayit tersebut. Namun, syafaat bisa diterima dengan syarat-syarat yang dijelaskan oleh para Ulama’.

Syafaat bisa diterima dengan 3 syarat:

Allah meridhai sang pemberi syafaat

وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى

Dan betapa banyak para Malaikat di langit yang tidak bisa memberi syafaat kecuali setelah diizinkan Allah kepada yang dikehendaki dan diridlainya (Q.S anNajm:26)

Allah meridhai yang diberi syafaat

…وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى…

Dan mereka (para pemberi syafaat) tidak bisa memberi syafaat kecuali kepada yang diridhai (Allah)(Q.S al-Anbiyaa’:28)

Allah tidak ridha terhadap kekufuran, karena itu seorang yang kafir, musyrik, atau munafiq akbar tidak bisa diberi syafaat kecuali syafaat dari Nabi untuk pamannya Abu Thalib hanya bisa meringankan siksa di neraka.

Izin dari Allah bahwa syafaat tersebut bisa diberikan.

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

…Siapakah yang bisa memberi syafaat di sisiNya kecuali atas idzin dariNya…(Q.S alBaqoroh:255)

يَوْمَئِذٍ لَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلًا

“pada hari itu tidaklah bermanfaat syaat kecuali bagi yang diizinkan oleh ar-Rahman dan diridhai ucapannya (Q.S Thaha:109)

(Majmu’ Fataawa wa Rosaa-il Ibn Utsaimin 3/184)

MENSHOLATKAN SESEORANG YANG MATI SYAHID SELAIN JIHAD DI JALAN ALLAH

450- وَعَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – صَلَّيْتُ وَرَاءَ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا, فَقَامَ وَسْطَهَا – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

 

dari Samurah bin Jundab radhiyallahu anhu ia berkata: Aku sholat di belakang Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam yang menyolati wanita yang meninggal dalam keadaan nifas, Nabi sholat (pada posisi) tengah jenazah itu (muttafaqun alaih)

PENJELASAN:

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini:

Seorang yang mati syahid namun bukan karena berjihad di jalan Allah, seperti wanita yang meninggal dalam keadaan nifas, tetap diselenggarakan jenazahnya seperti jenazah lain pada umumnya: dimandikan, dikafani, dan disholatkan.Jika jenazahnya adalah wanita, posisi Imam yang mensholatkan adalah berada di tengah jenazah.

Jika jenazahnya laki-laki, maka posisi Imam sejajar kepala sebagaimana hadits riwayat atTirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Ghalib yang menyaksikan tata cara sholat jenazah yang dilakukan oleh Anas bin Malik.

Faidah:

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin menyatakan bahwa yang terdapat dalam hadits shohih adalah penjelasan bahwa posisi Imam untuk jenazah wanita berada di tengah. Tidak ada dalil yang mengharuskan apakah kepala jenazah di sebelah kanan atau kiri Imam, yang penting posisi Imam berada di tengah (asy-Syarh al-Mukhtashar ala Bulughil Maram li Ibn Utsaimin (4/47)

Beberapa keadaan mati syahid selain meninggal dalam rangka berjihad di jalan Allah dan meninggal karena melahirkan adalah: meninggal karena tenggelam (dalam air atau tertimbun tanah, dan semisalnya), terbakar, tertabrak, terkena sakit perut, penyakit dzatul janbi (bisul yang tumbuh di sekitar tenggorokan), penyakit paru-paru, wabah penyakit tha’un, membela diri, agama, atau keluarganya, wanita yang meninggal saat janin masih berada dalam kandungannya.

BOLEHNYA SHOLAT JENAZAH DI MASJID

451- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – وَاَللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِي اَلْمَسْجِدِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

dari Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata: Demi Allah, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah mensholatkan 2 putra wanita yang putih di masjid (riwayat Muslim)

PENJELASAN:

‘Wanita putih’ yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah Da’d bintu Jahdam bin ‘Amr. Ia memiliki 3 orang putra yang bernama Sahl, Suhail, dan Shofwan. Yang meninggal dalam hadits itu adalah Suhail dan Shofwan. Keduanya pernah ikut perang Badr (Kasyful Musykil min Hadiitsi as-Shahihain karya Ibnul Jauzi (1/1255).

Hadits ini menjadi dalil bolehnya sholat jenazah di masjid. Dengan catatan, perlu dijaga agar tidak sampai mengotori masjid.

Hadits ini juga merupakan dalil bahwa mayat seorang muslim adalah suci (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy (7/40)). Karena, jika tidak suci, maka tidak boleh disholatkan di masjid.

Tidak ada keutamaan khusus antara sholat jenazah di masjid dengan di luar masjid dalam hal tempat. Sholat jenazah di masjid hukumnya adalah sekedar boleh, bukan suatu hal yang mustahab (disukai) atau wajib.

Bahkan, sebagian besar para Sahabat sebelumnya menganggap bahwa mensholatkan jenazah di masjid adalah tidak boleh. Ketika Sa’d bin Abi Waqqash meninggal dunia, Aisyah berkata: Masukkan jenazahnya ke masjid agar aku juga bisa ikut mensholatkan. Para Sahabat mengingkari hal itu. Akhirnya kemudian Aisyah menyampaikan hadits ini bahwa dulu di masa hidup Nabi hal itu pernah dilakukan. Nabi pernah mensholatkan di masjid jenazah 2 orang putra wanita yang putih (H.R Muslim no 1617)

JUMLAH TAKBIR SHOLAT JENAZAH

452- وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ: – كَانَ زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا, وَإِنَّهُ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ خَمْسًا, فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُكَبِّرُهَا – رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالْأَرْبَعَةُ

 

dari Abdurrahman bin Abi Laila beliau berkata: Adalah Zaid bin Arqam radhiyallaahu anhu bertakbir terhadap jenazah-jenazah kami 4 kali , dan ia pernah bertakbir 5 kali terhadap satu jenazah, kemudian aku bertanya kepadanya. Ia mengatakan: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam (pernah) bertakbir demikian (riwayat Muslim dan Imam yang Empat)

453- وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – – أَنَّهُ كَبَّرَ عَلَى سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ سِتًّا, وَقَالَ: إِنَّهُ بَدْرِيٌّ – رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ. وَأَصْلُهُ فِي “اَلْبُخَارِيِّ

dari Ali radhiyallahu anhu bahwasanya ia bertakbir terhadap jenazah Sahl bin Hunaif sebanyak 6 kali dan berkata: sesungguhnya ia adalah Sahabat yang ikut perang Badr ( riwayat Said bin Manshur dan asalnya di riwayat alBukhari)<<dishahihkan oleh al-Burqany>>

PENJELASAN:

Hadits ke-452 dan 453 ini menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi pernah sholat jenazah dengan jumlah takbir 4 kali, 5 kali, dan 6 kali. Dalam beberapa riwayat lain, Nabi pernah mensholatkan Hamzah yang gugur pada perang Uhud dengan 9 kali takbir (riwayat atThohaawy dalam Syarh Ma’aani al-Atsar dari Abdullah bin az-Zubair, rujukan dari Shahih Fiqh as-Sunnah karya Abu Maalik Kamaal bin as-Sayyid Salim (1/654)).

Yang lebih utama adalah mengikuti pendapat jumhur dan perbuatan akhir Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yaitu 4 kali takbir, namun jika Imam melakukan jumlah takbir lebih dari itu seperti yang pernah dilakukan sebagian Sahabat Nabi, maka makmum mengikutinya. Al-Imam at-Thohawy berpendapat bahwa jumlah takbir lebih dari 4 itu khusus untuk jenazah orang ‘alim atau yang memiliki keutamaan dalam Islam.

454- وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا وَيَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ اَلْكِتَابِ فِي اَلتَّكْبِيرَةِ اَلْأُولَى – رَوَاهُ اَلشَّافِعِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ

dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bertakbir terhadap jenazah-jenazah kami 4 kali dan membaca alFatihah di takbir yang pertama (riwayat asySyafi’i dengan sanad yang dhaif).

PENJELASAN:

Hadits ini diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm juz 1 halaman 270 dan dinyatakan sanadnya lemah (dhaif) oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany – salah seorang Ulama’ bermadzhab asy-Syafi’i-. Sebab kelemahannya adalah karena perawi yang bernama Ibrahim bin Muhammad (bin Abi Yahya al-Aslamy) yang dinyatakan sebagai perawi pendusta oleh para Ulama’ di antaranya Abu Hatim, Yahya bin Ma’in, Ibnu Hibban. Dilemahkan pula oleh Malik, Waki’, Ibnul Mubarok, Ibnu ‘Uyainah, al-Qoththon, Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah. Bisyr bin al-Mufadhdhol menyatakan: saya bertanya kepada para Fuqoha’ Madinah, seluruhnya menyatakan bahwa dia pendusta (Tahdziibul Asmaa’ wallughoot karya anNawawy (1/142).

Ibrahim bin Muhammad ini adalah salah seorang guru al-Imam asy-Syafi’i. Kadang-kadang asy-Syafi’i menyembunyikan keadaannya dengan menyatakan: (haddatsanii man laa attahim) telah mengkhabarkan kepadaku orang yang tidak saya tuduh (berdusta)….adz-Dzahaby menyatakan bahwa hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya al-Imam asy-Syafi’i tidak menganggapnya tsiqah (terpercaya), namun beliau tidak menuduhnya sebagai pendusta (Siyaar A’lamin Nubalaa’ (8/451). Adz-Dzahaby menyatakan: tidak diragukan lagi kelemahannya (Siyaar A’lamin Nubalaa’ (8/454).

MEMBACA ALFATIHAH DALAM SHOLAT JENAZAH

455- وَعَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ: – صَلَّيْتُ خَلَفَ ابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى جَنَازَةٍ, فَقَرَأَ فَاتِحَةَ الكْتِابِ فَقَالَ: “لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ” – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari Thalhah bin Abdillah bin Auf radhiyallahu anhu ia berkata: Aku sholat di belakang Ibnu Abbas terhadap jenazah, kemudian ia membaca alFatihah dan ia berkata: agar kalian tahu bahwa ini adalah Sunnah (riwayat alBukhari)

PENJELASAN:

Hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkan membaca al-Fatihah dalam sholat jenazah. Hukumnya adalah wajib menurut pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan Ahmad, sesuai dengan keumuman hadits: Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca alFatihah (riwayat alBukhari dan Muslim). Dalam hadits ini Ibnu Abbas mengeraskan bacaan agar diketahui bahwa perbuatan membaca al-Fatihah adalah sunnah Nabi. Makna ‘Sunnah’ dalam hadits ini adalah tata cara yang dicontohkan oleh Nabi, bukan berarti ‘Sunnah’ yang jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak mengapa. Membaca alFatihah dalam sholat jenazah disyariatkan setelah takbiratul ihram dan membaca ta’awwudz dan basmalah.

Dalam riwayat an-Nasaai dinyatakan bahwa Ibnu Abbas selain membaca al-Fatihah juga membaca suatu surat dalam alQuran. Hal itu menunjukkan bahwa boleh membaca surat dalam sholat jenazah setelah membaca alFatihah.

Dalam sholat jenazah tidak disyariatkan membaca doa istiftah.

 

 



https://salafy.or.id/blog/2013/03/25/syarh-kitab-al-janaiz-min-bulughil-maram-bag-ke-6/

8 Keistimewaan Rasulullah Saat di Akhirat

8 Keistimewaan Rasulullah Saat di Akhirat

Muchlishon, NU Online | Jumat, 05 Oktober 2018 21:00

Rasulullah adalah orang yang istimewa. Ia nabi dan rasul terakhir Allah di muka bumi ini. Ajaran agama Islam yang dibawanya menjadi penyempurna atas ajaran Tauhid yang dibawa para nabi da rasul sebelumnya. Oleh sebab itu, Allah memberikan kekhususan atau keistimewaan kepada Rasulullah. Sesuatu yang hanya ada dan berlaku pada Rasulullah, tidak pada nabi, rasul atau pun manusia yang lainnya. 

Keistimewaan Rasulullah tidak hanya ketika beliau berada di dunia seperti menjadi rahmat bagi semesta alam, dihalalkan harta rampasan perang baginya dan pengikutnya, menjadi penutup para nabi, dan lainnya, namun juga saat di akhirat kelak. Merujuk kitab Syakhshiyatur Rasul, setidaknya ada delapan kekhususan atau keistimewaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah di akhirat kelak.

Pertama, orang yang pertama dibangkitkan. Di dalam Islam, dunia adalah ladang amal. Sementara akhirat adalah ladang panen. Jadi, umat manusia yang meninggal pasti akan dibangkitkan kembali di akhirat kelak untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya. Siapa yang dibangkitkan paling awal ternyata tidak tergantung siapa yang dulu meninggal. Berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah adalah orang yang pertama dibangkitkan di akhirat nanti.

“Aku adalah penghulu dari seluruh anak adam di hari kiamat. Aku orang pertama yang dibelah kuburnya,” kata Rasulullah.

Kedua, pemberi syafaat. Di hari kiamat nanti, manusia berbondong-bondong mendatangi para nabi dan rasul untuk meminta syafaatnya. Namun, nabi dan rasul yang didatangi tidak bisa memberikan syafaat. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah untuk meminta syafaatnya. Karena Rasulullah adalah satu-satunya orang diberi hak untuk memberikan syafaat, maka beliau memintakan ampun agar mereka terbebas dari siksa api neraka.

Ketiga, pembawa bendera Al-Hamdu. Dikisahkan bahwa pada saat hari kiamat nanti manusia ditempatkan di padang mahsyar. Mereka berkumpul di bawah bendera orang yang diikutinya dan dicintainya. Pada saat itu, Rasulullah membawa bendera Al-Hamdu (pujian). Sebuah bendera yang paling tinggi dan paling mulia. Pada nabi dan rasul pun berkumpul di bawah bendera Al-Hamdu ini.

Keempat, delegasi yang berbicara atas nama makhluk seluruhnya. Di akhirat, Rasulullah adalah pemimpin seluruh makhluk. Ia menjadi juru bicara seluruh makhluk di hadapan Allah swt. 

“Pada hari kiamat aku menjadi imam para nabi, khatib mereka dan pemilik syafaat mereka tanpa kesombongan,” ucap Rasulullah.

Kelima, orang pertama yang melewati jembatan neraka. Disebutkan bahwa nanti di akhirat ada jembatan (sirath) yang dibentangkan antara tepi neraka jahanam, Rasulullah adalah orang pertama yang berhasil melewati jembatan tersebut. Umatnya mengikutinya di belakangnya.

Keenam, orang yang pertama memasuki surga. Rasulullah adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu surga dan yang pertama kali memasukinya. Bahkan, di dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa malaikat tidak akan membukakan pintu surga kecuali Rasulullah yang mengetuk dan memasukinya untuk pertama kali. 

Ketujuh, orang yang memiliki derajat paling tinggi di surga. Allah swt. memberikan  Rasulullah derajat yang paling tinggi di surga kelak. Apapun yang diminta Rasulullah, pasti akan dikabulkan Allah. 

“Barang siapa yang memohon kepadaku ‘Al-Wasilah’ maka pasti mendapatkan syafaat dariku,” kata Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim.

Terakhir, pemilik telaga al-Kautsar. Rasulullah adalah satu-satunya orang yang diberikan telaga al-Kautsar oleh Allah. Bahkan nabi dan rasul lainnya pun tidak mendapatkannya. 

“Ketika aku berjalan di surga, tiba-tiba aku melihat sungai yang kedua sisinya bangunan dan permata lu’lu’ yang memiliki lubang. Aku (Rasulullah) bertanya: Wahai Jibril apa ini? Dia menjawab: Ini ada al-Kautsar yang dianugerahkan Tuhanmu kepadamu. Tanahnya atau wewangiannya dari minyak misk yang sangat wangi,” kata Rasulullah hadits riwayat Bukhari. (A Muchlishon Rochmat)

Baca Juga

Rasulullah Pun Memahami Bahasa Hewan

Sikap Rasulullah kepada Tetangga

Kisah Rasulullah dan Wanita Bertangan Panjang

Nabi Muhammad Lebih Memilih Mengaku sebagai Anak Yatim

Sikap Rasulullah Terhadap Mereka yang Menolak Islam

 

  

KONTAK

Nahdlatul Ulama
Jl. Kramat Raya 164, Jakarta 46133 - Indonesia, redaksi[at]nu.or.id

MEDIA PARTNER

© 2016 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama

Kematian Lebih Baik Bagi Orang Mukmin

Almanhaj – Media Salafiyyah Ahlus Sunnah

Kematian Lebih Baik Bagi Orang Mukmin

KEMATIAN LEBIH BAIK BAGI ORANG MUKMIN

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Ujian adalah suatu yang pasti menimpa orang Mukmin. Ujian bisa berbentuk perkara yang menyenangkan atau bisa juga berwujud sesuatu yang menyusahkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [al-Anbiyâ’/21: 35]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Kematian) ini akan menimpa semua jiwa makhluk. Sesungguhnya kematian ini merupakan minuman yang yang harus diminum (dirasakan), walaupun seorang manusia itu sudah hidup lama dan diberi umur (panjang) bertahun-tahun (pasti akan merasakan kematian-pen). Tetapi Allâh Azza wa Jalla menciptakan para hamba-Nya di dunia, memberikan kepada mereka perintah dan larangan, menguji mereka dengan kebaikan dan keburukan, dengan kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan kehinaan, kehidupan dan kematian, sebagai cobaan dari Allâh Azza wa Jalla untuk menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik perbuataannya ? Siapa yang akan tersesat atau selamat di tempat-tempat ujian?” [Taisîr Karîmir Rahmân, surat al-Anbiya’ ayat ke-35]

KEMATIAN ORANG TERSAYANG
Di antara bentuk ujian yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para hamba-Nya adalah dengan mewafatkan orang tersayang, baik itu orang tua, suami, istri, anak, saudara, atau lainnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ﴿١٥٥﴾الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ﴿١٥٦﴾أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. [al-Baqarah/2:155-157]

Semua itu harus dihadapi dengan kesabaran. Hati menerima, lisan mengucapkan ” Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn ” (Sesungguhnya kita ini milik Allâh Azza wa Jalla dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kita semua akan kembali menghadap pengadilan-Nya), dan anggota badan pun tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, seperti menjerit, menampar pipi, merobek baju dan semacamnya.

DUA PERKARA YANG DIBENCI MANUSIA
Manusia memiliki ilmu yang sangat terbatas, sehingga seringkali penilaianya terhadap sesuatu itu itu tidak sesuai dengan kenyaatan. Manusia terkadang menyukai suatu perkara, padahal perkara itu akan berpotensi untuk mencelakakannya. Demikian juga terkadang membenci suatu perkara, padahal sesuatu yang dibencinya itu baik dan bermanfaat baginya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [al-Baqarah/2: 216]

Oleh karena itu, ketika seseorang ditimpa ujian kematian orang yang dicintai, dia harus husnuzhan (berprasangka baik) kepada Allâh Azza wa Jalla dan berusaha menghadapi musibah ini dengan penuh kesabaran. Diantara cara meraih kesabaran ketika ditinggal mati oleh orang yang dicintai, dan orang yang mati tersebut insya Allâh adalah seorang Mukmin, adalah dengan meyakini bahwa kematiannya adalah merupakan kebaikan bagi dia sebagai seorang Mukmin. Sesungguhnya ada dua perkara yang dibenci oleh manusia, padahal dua perkara tersebut baik bagi seorang Mukmin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اثْنَتَانِ يَكْرَهُهُمَا ابْنُ آدَمَ الْمَوْتُ وَالْمَوْتُ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنَ الْفِتْنَةِ وَيَكْرَهُ قِلَّةَ الْمَالِ وَقِلَّةُ الْمَالِ أَقُلُّ لِلْحِسَابِ.

Dari Mahmud bin Labid bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua perkara yang dibenci anak Adam, (pertama) kematian, padahal kematian itu lebih baik bagi seorang mukmin daripada fitnah (kesesatan di dalam agama). (Kedua) dia membenci sedikit harta, padahal sedikit harta itu lebih menyedikitkan hisab (perhitungan amal). [HR. Ahmad, dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Albâni di dalam ash-Shahîhah, no. 813]

Hal ini juga sangat difahami oleh sebagian sahabat, oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

“يَا حَبَّذَا الْمَكْرُوهَانِ: الْمَوْتُ وَالْفَقْرُ، وَأَيْمُ اللَّهِ أَلا إِنَّ الْغِنَى وَالْفَقْرَ وَمَا أُبَالِي بِأَيِّهِمَا ابْتُلِيتُ، إِنْ كَانَ الْغِنَى إِنَّ فِيهِ لَلْعَطْفِ، وَإِنْ كَانَ الْفَقْرُ إِنَّ فِيهِ لِلصَّبْرِ

Alangkah bagusnya dua perkara yang dibenci (yaitu) kematian dan kefakiran. Demi Allâh, ketahuilah sesungguhnya kekayaan atau kemiskinan, aku tidak peduli dengan yang mana dari keduanya aku diuji. Jika aku diuji dengan kekayaan, maka sesungguhnya di dalam kekayaan itu untuk menolong. Jika aku diuji dengan kefakiran, maka sesungguhnya di dalam kefakiran itu untuk kesabaran. [HR. Thabarani; Ahmad di dalam Az-Zuhd; dll]

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu juga berkata :

وَاللَّهِ الَّذِي لا إِلَهَ غَيْرُهُ، مَا مِنْ نَفْسٍ حَيَّةٍ إِلا الْمَوْتُ خَيْرٌ لَهَا إِنْ كَانَ بَرًّا، إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: ” وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلْأَبْرَارِ” وَإِنْ كَانَ فَاجِرًا , إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: ” وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ ۚ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا”

Demi Allâh Azza wa Jalla Yang tidak ada ilah yang haq kecuali Dia. Tidak ada satu jiwapun yang mati kecuali kematian lebih baik darinya.

Jika dia seorang yang berbakti, maka sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya) “Dan apa yang di sisi Allâh adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti”. [Ali ‘Imran/198]

Jika dia seorang yang fajir (jahat), maka sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka”. [Ali ‘Imran/3: 178]. [Riwayat Thabarni, dll]

Ayat yang mulia ini (Ali ‘Imran/3: 178) menunjukkan adanya problem dan syubhat yang merasuki sebagian hati manusia, yaitu musuh-musuh kebenaran tidak mendapatkan siksa di dunia, diberi kesenangan secara lahiriyah dengan kekuatan, kekuasaan, harta benda, dan kedudukan ! Yang hal ini menimbulkan kesesatan di hati mereka dan orang-orang yang berada di sekitar mereka. Ini juga membuat orang-orang yang imannya lemah berburuk sangka kepada Allâh Azza wa Jalla , perasangka yang tidak benar, perasangka jahiliyah, yaitu menyangka Allâh Azza wa Jalla meridhai kebatilan dan keburukan. Mereka mengatakan bahwa jika Allah k tidak meridhainya, tentu Allâh Azza wa Jalla tidak akan membiarkannya membesar dan berkuasa.

Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, sesungguhnya ketika Allâh Azza wa Jalla tidak segera menyiksa mereka, ketika Allâh memberikan berbagai kesenangan di dunia, itu semua hanyalah tipu daya terhadap mereka, karena Allâh tidak menghendaki kebaikan bagi mereka.

KEMATIAN, ISTIRAHAT BAGI SEORANG MUKMIN
Dunia adalah ibarat penjara bagi seorang Mukmin. Ini artinya, jika seorang Mukmin meninggal dunia berarti dia terbebas dari penjara tersebut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ n : الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia itu penjara seorang mukmin dan sorga orang kafir”. [HR. Muslim, no. 2956]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan perkataan, “Maknanya bahwa semua orang Mukmin di dunia ini dipenjara atau dilarang dari syahwat-syahwat (perkara-perkara yang disukai) yang diharamkan dan dimakruhkan, dibebani dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan yang berat. Maka jika dia telah meninggal dunia, dia istirahat dari ini, dan dia kembali menuju perkara yang telah dijanjikan oleh Allâh Azza wa Jalla untuknya, berupa kenikmatan abadi dan istirahat yang bebas dari kekurangan. Sedangkan orang kafir, maka dia mendapatkan kenikmatan di dunia, dengan sedikitnya kenikmatan itu dan disusahkan dengan perkara-perkara yang menyusahkan. Jika dia mati, dia menuju siksaan abadi dan kecelakaan yang kekal”. [Syarh Nawawi pada Shahih Muslim, no. 2956]

Kematian seorang Mumin merupakan istirahat baginya, sebagaimana dinyatakan oleh imam Nawawi di atas, dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya sebagai berikut :

وعَنِ أَبِى قَتَادَةَ بْنِ رِبْعِىٍّ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَّ عَلَيْهِ بِجِنَازَةٍ فَقَالَ : مُسْتَرِيحٌ ، وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ قَالَ: الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلاَدُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

Dari Abu Qatadah bin Rib’i al-Anshâri, dia menceritakan bahwa ada jenazah yang (dipikul) melewati Rasûlullâh n , maka beliau bersabda, “Orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya”. Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (maksud) orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya?” Beliau menjawab, “Seorang hamba yang Mukmin beristirahat dari kepayahan dan gangguan dunia menuju rahmat Allâh. Sedangkan hamba yang fajir (jahat), maka banyak manusia, bumi, pepohonan, dan binatang, beristirahat darinya”. [HR. Bukhari dan Muslim]

Ibnut Tien rahimahullah berkata, “(Yang dimaksudkan seorang Mukmin dalam hadits di atas) kemungkinan adalah khusus orang yang bertaqwa, atau semua orang Mukmin. Adapun yang dimaksudkan seorang fajir (jahat) di dalam hadits di atas kemungkinan adalah orang yang kafir, atau termasuk orang yang bermaksiat.”

ad-Dawudi rahimahullah berkata, “Adapun istirahatnya manusia adalah karena kemungkaran yang dilakukan oleh orang fajir itu (telah berhenti juga-red). Jika manusia mengingkarinya, dia mengganggu mereka; namun jika mereka membiarkannya, maka mereka berdosa. Adapun istirahatnya kota (bilad) karena kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan oleh orang fajir itu (telah sirna juga-red). Karena hal itu menyebabkan tidak turun hujan, yang berakibat kebinasaan pertanian dan peternakan”.

Tetapi al-Baji rahimahullah mengkritik bagian awal dari perkataan ad-Dawudi, yaitu bahwa orang yang mendapatkan gangguannya, maka dia tidak berdosa dengan tidak mengingkarinya, jika dia telah mengingkari dengan hatinya. Atau dia mengingkari kemungkarannya dengan cara yang bisa menghindarkan dirinya dari gangguan si pelaku kejahatan. Dan kemungkinan yang dimaksudkan dengan istirahatnya manusia darinya adalah karena kezhalimannya yang menimpa manusia (telah terhenti). Sedangkan istirahatnya bumi darinya karena perbuatannya yang merampas bumi, menghalanginya dari hak bumi, dan dia mempergunakan bumi untuk perkara yang tidak selayaknya. Sedangkan istirahatnya binatang karena perkara yang seharusnya tidak boleh dilakukan, yaitu melelahkannya. Wallahu a’lam.” [Fathul Bari, 18/354]

Sedikit penjelasan ini semoga bisa menghibur orang yang tertimpa musibah kehilangan orang yang discintainya. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Read more https://almanhaj.or.id/4050-kematian-lebih-baik-bagi-orang-mukmin.html