Senin, 12 November 2018

Jamuan makan

Al-Allamah Abul Hasan al-Mirdawi al-Hanbali (wafat tahun 885 H) rahimahullah berkata:

الأطعمة التي يدعى إليها الناس عشرة. الأول: الوليمة وهي طعام العرس. الثاني: الحذاق وهو الطعام عند حذاق الصبي أي معرفته وتمييزه وإتقانه. الثالث: العذيرة والإعذار لطعام الختان. الرابع: الخرسة والخرس لطعام الولادة. الخامس: الوكيرة لدعوة البناء. السادس: النقيعة لقدوم الغائب. السابع: العقيقة وهي الذبح لأجل الولد على ما تقدم في أواخر باب الأضحية. الثامن المأدبة وهو كل دعوة لسبب كانت أو غيره. التاسع الوضيمة وهو طعام المأتم. العاشر التحفة وهو طعام القادم.

 “Jamuan makan yang mana manusia diundang untuk menghadirinya ada 10. Yaitu: Pertama: walimah, yaitu jamuan acara pernikahan. Kedua: hidzaq, yaitu jamuan ketika seorang anak telah mahir atau tamyiz. Ketiga: adzirah atau i’dzaryaitu jamuan makan untuk khitanan. Keempat: khursah atau khurs untuk jamuan kelahiran. Kelima: wakirah yaitu undangan jamuan setelah membangun (rumah). Keenam: naqi’ah yaitu jamuan untuk kedatangan dari safar. Ketujuh: aqiqah yaitu penyembelihan untuk anak menurut keterangan yang terdahulu dalam akhir Bab kurban. Kedelapan: ma’dubah yaitu setiap undangan jamuan dengan sebab atau tanpa sebab. Kesembilan: wadlimah yaitu jamuan untuk musibah. Kesepuluh: tuhfah yaitu jamuan untuk tamu yang datang.” (Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf: 8/233).

Sedangkan ulama lain dari kalangan Syafi’iyah menambahkan kata ‘walimah’pada acara-acara tersebut. Sehingga mereka menyatakan walimah urs, walimah khurs, walimah adzirah, walimah naqi’ah, walimah wakirah dan sebagainya. Lihat al-Hawi fi Fiqhisy Syafi’i lil Mawardi: 9/555.

Keutamaan Acara Jamuan Makan

Mengadakan acara jamuan makan termasuk dalam keutamaan ‘Memberikan makanan kepada orang lain’, apalagi jika yang diundang adalah kaum fakir miskin. Di sini terdapat beberapa hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Pertama: seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ»

“Islam manakah yang paling baik?” Beliau menjawab: “Kamu memberikan (atau menjamu pen) makanan dan menyebarkan salam kapada orang yang kamu kenal ataupun yang belum kamu kenal.” (HR. Al-Bukhari: 12, Muslim: 169, an-Nasai: 5000, Abu Dawud: 5194 dan Ibnu Majah: 3253 dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma).

https://tulisansulaifi.wordpress.com/2018/04/27/berbagai-macam-walimah-dan-pesta-makan/

Hukum  Walimah untuk Pernikahan dan Selainnya

Hukum  Walimah untuk Pernikahan dan Selainnya

Hukum menghadiri acara walimah atau jamuan pernikahan adalah wajib atau fardlu ain.

Dalil pertama: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَجِيبُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ إِذَا دُعِيتُمْ لَهَا

“Hadirilah undangan ini jika kalian diundang untuk menghadirinya!” (HR. Al-Bukhari: 4781, Muslim: 2581 dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat tahun 852 H) rahimahullah berkata:

(أجيبوا هذه الدعوة) وهذه اللام يحتمل أن تكون للعهد والمراد وليمة العرس

“Huruf “Al” dalam sabda beliau (di atas, pen) adalah untuk “al-Ahdu” (mengulang penyebutan, pen). Sehingga  yang dimaksud adalah walimah untuk pernikahan.” (Fathul Bari: 2/246).

Al-Imam Abul Hasan Ibnu Baththal al-Maliki (wafat tahun 449 H) rahimahullah menyatakan:

هذا الحديث حجة لمن أوجب إجابة الوليمة وغيرها فرضًا، وقد تقدم أن إجابة الدعوة فى غير العرس عند مالك والكوفيين مندوب إليها

“Hadits ini menjadi hujjah bagi orang-orang yang mewajibkan menghadiri undangan walimah (pesta pernikahan, pen) dan lainnya secara fardlu. Dan telah terdahulu keterangan bahwa menghadiri undangan selain pernikahan menurut Imam Malik dan ulama Kufah hanyalah anjuran saja (tidak sampai wajib, pen).” (Syarh Shahihil Bukhari li Ibni Bathal: 7/290).

Al-Allamah Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1031 H) rahimahullah juga menyatakan:

فالوليمة له سنة والإجابة إليها عند توفر الشروط واجبة أمّا غير العرس من الولائم العشرة المشهورة فإتيانها مندوب

“Mengadakah acara walimah untuk pernikahan adalah sunnah, sedangkan mendatanginya jika -persyaratan untuk mendatanginya terpenuhi- adalah wajib. Adapun jamuan makan selain pernikahan dari sepuluh macam acara jamuan makan yang terkenal, maka mendatanginya hanya dianjurkan (tidak diwajibkan, pen).” (At-Taisir Syarh al-Jami’ish Shaghir: 1/25).

Dalil kedua: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبْ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Sejelek-jelek acara jamuan makan adalah jamuan walimah (pernikahan, pen). Orang yang ingin menghadirinya (seperti fakir miskin, pen) dihalangi untuk hadir. Sedangkan orang yang tidak ingin menghadirinya (seperti orang kaya, pen) diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan ini, maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan rasul-Nya.” (HR. Muslim: 2586, Ibnu Majah: 1903, Ahmad: 7305 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).

Al-Allamah Abul Hasan as-Sindi al-Hanafi (wafat tahun 1138 H) rahimahullah berkata:

وَفِي قَوْله )وَمَنْ لَمْ يُجِبْ ( إِشَارَة إِلَى أَنَّ إِجَابَة الدَّعْوَة لِلْوَلِيمَةِ وَاجِبَة وَإِنْ كَانَتْ هِيَ شَرّ الطَّعَام مِنْ تَلِك الْجِهَة

“Di dalam sabda beliau “Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan ini”terdapat isyarat bahwa menghadiri undangan walimah pernikahan hukumnya wajib, walaupun acara walimah sendiri termasuk sejelek-jelek jamuan makan dari sisi itu.” (Hasyiyah as-Sindi ala Ibni Majah: 4/166).

Pertanyaan: Jika kaum muslimin diwajibkan menghadiri undangan walimah, maka apakah mempelai pengantin juga diwajibkan mengadakan walimah?

Jawaban: Secara zhahir dari teks hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam menunjukkan wajibnya mengadakan walimah. Beliau bersabda kepada Abdurrahman bin Auf radliyallahu anhu:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing!” (HR. Al-Bukhari: 1907, Muslim: 2556, at-Tirmidzi: 1014, Abu Dawud: 1804, an-Nasai: 3299 dan Ibnu Majah: 1897 dari Anas bin Malik radliyallahu anhu).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda pada pernikahan Ali dan Fathimah radliyallahu anhuma:

إِنَّهُ لَا بُدَّ لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيمَةٍ

“Sesungguhnya pada acara pernikahan ini harus ada walimahnya.” (HR. Ahmad: 21957 dari Buraidah radliyallahu anhu. Al-Hafizh menyatakan: “Sanadnya laa ba’sa bih.” Lihat Fathul Bari: 9/230. Al-Albani juga men-shahih-kannya dalam Shahihul Jami’: 2419).

Meskipun ada 2 hadits di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mengadakan acara walimah hanyalah sunnah muakkad saja, tidak sampai wajib.

Al-Imam al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:

وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ . وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : هِيَ وَاجِبَةٌ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ ، وَلِأَنَّ الْإِجَابَةَ إلَيْهَا وَاجِبَةٌ ؛ فَكَانَتْ وَاجِبَةً . وَلَنَا ، أَنَّهَا طَعَامٌ لَسُرُورٍ حَادِثٍ ؛ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْأَطْعِمَةِ ، وَالْخَبَرُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ ؛ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَاهُ ، وَكَوْنِهِ أَمَرَ بِشَاةِ وَلَا خِلَافَ فِي أَنَّهَا لَا تَجِبُ ، وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْمَعْنَى لَا أَصْلَ لَهُ ، ثُمَّ هُوَ بَاطِلٌ بِالسَّلَامِ ، لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَإِجَابَةُ الْمُسَلِّمِ وَاجِبَةٌ

“Dan mengadakan acara walimah itu tidaklah wajib menurut kebanyakan ulama’. Sebagian ulama madzhab Syafi’i menyatakan wajib, karena Nabi shallallahu alahi wasallam memerintahkan Abdurrahman bin Auf mengadakan walimah. Dan juga karena mendatangi undangan walimah itu hukumnya wajib, maka mengadakan acara walimah menjadi wajib. Sedangkan menurut kami, walimah merupakan jamuan makan karena rasa gembira, sehingga menyerupai acara jamuan lainnya (seperti naqi’ah, wakirah, dst, pen). Dan hadits di atas dipahami sunnah dengan dalil yang saya terangkan tadi, dan juga karena beliau memerintahkannya berwalimah dengan seekor kambing. Dan tidak diperselisihkan lagi bahwa acara ini tidak wajib. Dan apa yang mereka sebutkan dari makna hadits ini adalah tidak ada asalnya. Kemudian alasan ini juga batal dengan alasan salam. Menyebarkan salam tidaklah wajib sedangkan menjawab salam hukumnya wajib.” (Al-Mughni: 15/487).

Di antara perkara yang memalingkan hadits di atas dari wajib menjadi sekedar sunnah saja adalah:

Perkara pertama: hadits seseorang dari Nejd yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Islam. Thalhah bin Ubaidillah radliyallahu anhu berkata:

وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ

“Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan kepada lelaki itu tentang kewajiban zakat.” Lelaki tersebut bertanya: “Apa ada lagi kewajiban atasku untuk mengeluarkan harta selain zakat?” Beliau menjawab: “Tidak ada, kecuali kamu bersuka rela mengeluarkannya.” (HR. Al-Bukhari: 44, Muslim: 12, at-Tirmidzi: 561, an-Nasai: 454).

Dan kita tahu bahwa mengeluarkan harta untuk mengadakan walimah, menyembelih qurban adalah di luar harta zakat.

Perkara kedua: pendalilan atas tidak wajibnya mengadakan walimah dari ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata:

وأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر عبد الرحمن بن عوف أن يولم ولو بشاة ، ولم أعلمه أمر بذلك – أظنه قال – : أحدا غيره

“Dan sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abdurrahman bin Auf untuk mengadakan walimah meskipun dengan seekor kambing. Dan aku belum mengetahui beliau memerintahkan selain Abdurrahman bin Auf untuk mengadakan walimah.” (Atsar riwayat al-Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar: 4574 (12/57)).

Dan ini berbeda dengan mahar atau maskawin yang hukumnya wajib. Dalam banyak kejadian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para sahabat beliau untuk membayar mahar pernikahan mereka meskipun berupa cincin besi dan bahkan berupa hafalan al-Quran, tetapi hanya Abdurrahman bin Auf yang diperintahkan untuk mengadakan walimah.

Beliau bertanya kepada Abdurrahman:

مَا أَصْدَقْتَهَا قَالَ وَزْنَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Mahar apa yang kamu berikan kepadanya?” Ia menjawab: “Emas seberat biji manik-manik.” Beliau bersabda: “Adakan walimah meskipun dengan seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari: 1908, Muslim: 2556, an-Nasai: 3299, at-Tirmidzi: 1014, Abu Dawud: 1804, Ibnu Majah: 1897 dari Anas radliyallahu anhu).

Mahar yang dibayarkan oleh Abdurrahman bin Auf adalah emas sebesar biji manik-manik seberat 5 Dirham (5×3 gram= 15 gram emas, pen). Maka pantaslah ia diperintahkan untuk mengadakan walimah karena harga kambing adalah sekitar 4 gram emas.

Perkara ketiga: Lafazh ‘al-urs’ dalam hadits Buraidah menggunakan ‘Al Ta’rif’. Ini menunjukkan ‘al-Ahdu’. Sehingga yang dimaksud dengan hadits Buraidah adalah “Sesungguhnya pada acara pernikahan Ali dan Fathimah radliyallahu anhuma ini haruslah ada walimahnya”. Ini berbeda maksudnya jika lafazh ‘urs’ berbentuk nakirah sehingga lafazh hadits menjadi:

إِنَّهُ لَا بُدَّ لِعُرْس مِنْ وَلِيمَةٍ

Maka makna hadits akan menjadi ““Sesungguhnya pada suatu acara pernikahan haruslah ada walimahnya”. Sehingga pendapat jumhurlah yang lebih kuat. Wallahu a’lam.

Menghadiri Pernikahan Padahal Tak Diundang: Thufaili!


Menghadiri Pernikahan Padahal Tak Diundang: Thufaili!

 
Di belahan arab sana kebiasaan menghadiri pernikahan atau acara apapun yang ada jamuannya tanpa diundang disebut dengan istilah Thufaili. Kenapa bisa disebut Thufaili? Konon menurut sebuah cerita ada seseorang yang bernama Thufail dari kabilah bani Abdullah bin Ghatafan.

Suatu ketika Thufail ini menghadiri pernikahan atau walimah padahal ia sama sekali tak diundang oleh ahlul bait. Dan ternyata dia memang terbiasa seperti itu, menghadiri jamuan-jamuan tanpa diundang.

Dari sinilah akhirnya orang yang berperilaku seperti Thufail ini disebut dengan istilah Thufailul A’ras atau Thufaili.

Akhirnya istilah ini jadi viral di kalangan bangsa arab hingga digunakan pula oleh para ulama fikih untuk menyebut orang yang memiliki kebiasaan menghadiri pernikahan atau walimah atau jamuan-jamuan lain tanpa diundang.

Dalam kitab ensiklopedi fikih Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah persoalan Thufaili ini dibahas secara khusus dalam bab Tathafful. Para ulama pun memaknai sama, Thufaili adalah hadirnya seseorang dalam jamuan orang lain untuk ikut menikmati hidangannya tanpa diundang, tanpa ada izin, dan tanpa sepengetahuan tuan rumahnya. (Nihayatul Muhtaj, 6/377)

Thufaili ini sebenarnya adalah sebuah penyakit etika yang dapat menjangkiti siapapun, kapanpun, dan di manapun. Tak hanya di belahan Arab, di belahan bumi Indonesia bisa jadi tidak sedikit yang terjangkit jenis penyakit cacat etika ini.

Mayoritas ulama fikih dari mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan salah satu pendapat mazhab Hanafi menyatakan bahwa secara hukum syar’i perilaku menghadiri pernikahan atau jamuan apapun tanpa adanya undangan, tanpa sepengetahuan dan izin dari tuan rumah, hukumnya haram. Bahkan jika aktivitas ini diulang berkali-kali pelakunya bisa dicap sebagai orang fasik.

Ketetapan hukum ini disarikan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَمَنْ دَخَل عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَل سَارِقًا، وَخَرَجَ مُغِيرًا

“Barangsiapa diundang tidak memenuhi (undangan walimatul ‘Urs) maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menghadiri pernikahan atau walimah tanpa diundang maka ia masuk laksana pencuri dan keluar sebagai orang yang merampok.” (HR. Abu Dawud, salah satu perawinya dianggap majhul oleh Abu Dawud)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengumpamakan orang yang menghadiri pernikahan tanpa undangan ketika masuk dianggap seperti pencuri yang kehadirannya tak diharapkan oleh tuan rumah.

Sedangkan keluarnya seorang Thufaili dari pesta pernikahan atau walimah tanpa undangan, beliau umpamakan sebagai seorang perampok yang keluar setelah ‘kenyang’ menelan banyak makanan.

Tak sampai di sini konsekuensi menjadi seorang Thufaili. Dalam ranah hukum peradilan, seorang Thufaili yang dikenal berulang kali diketahui menghadiri pernikahan atau jamuan tanpa diundang, maka persaksiannya tidak bisa diterima.

Alasannya, pertama, sudah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menghadiri pernikahan dan jamuan semisalnya tanpa diundang adalah haram. Alasan kedua, dengan apa yang dilakukannya itu, berarti ia telah memakan makanan haram, meskipun bukan haram zat makananya, tapi haram cara mendapatkannya. Alasan ketiga, perilaku Thufaili adalah perilaku yang tidak baik, cacat etika, dan sama sekali tidak mengindahkan kehormatan dan wibawa. (Raudhatuth Thalibin, 11/232. Al-Mughni, 9/181)

Baca Juga: Adab Makan Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Begini Seharusnya Etika Menghadiri Pernikahan

Begitu pentingnya urusan etika dan akhlak dalam kehidupan, Islam hadir membawa setumpuk aturan hidup guna menyelamatkan manusia dari kehancuran moral dan spiritual. Karakter Thufailitermasuk salah satu dari daftar hitam akhlak kurang terpuji yang harus segera diobati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang shalih (baik).” (HR. Al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381) al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273)

Selayaknya kita sebagai Muslim selalu memerhatikan urusan adab dan etika dalam berperilaku. Menghadiri Pernikahan termasuk urusan halal-haram. Jika diundang, datang. Selama makanan yang dihidangkan dalam rangka mengumumkan pernikahan saudara kita adalah makanan halal, maka akan tetap pada kehalalannya dan Insya Allah akan mendatangkan berkah bagi jasad kita.

Jika ingin membawa kawan, kabarkan kepada pihak yang mengundang. Ini penting. Kita tidak tahu apakah ahlul baitridha jika kita membawa tambahan orang ketika menghadirinya.

Jika tak diundang, doakan kebaikan. Tak perlu memaksakan diri untuk tetap hadir. Meski itu teman dekat, atau rekan sejawat. Bisa jadi, tidak diundangnya kita tersimpan di dalamnya maslahat besar yang tak diketahui. Menjaga diri dari perbuatan tidak baik, su’udzan, dan lainnya harus tetap dikedepankan. Allah Maha Tahu atas berbagai hal yang tidak kita tahu. Wallahu a’lam[M. Shodiq/dakwah.id]

 

Imam Syafi’i menyatakan pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat?

 
Imam Syafi’i menyatakan pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat?

Imam Syafi’i menyatakan pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat?
(Kritikan terhadap ceramah seorang ustadz -semoga Allah menjaganya dalam kebaikan-)

Sudah merupakan hal biasa dalam dunia ‘ilmu saling memberi masukan dan kritikan, tentunya kritikan yang membangun dan disertai dengan dalil. Karena tidak ada seorangpun yang makshum kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka setiap orang siap untuk mengkritik dan siap untuk dikritik. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua para dai kepada jalan yang benar.

Sang ustadz berkata dalam ceramahnya :

((…Imam Syafi’i mengatakan amalan membaca quran tidak sampai pahalanya kepada si mayit

Dengar baik-baik ya :

وقال الشافعي والأصحاب : وإن ختموا القرآن فهو حسن

Imam Syaf’i dan Seandainya mereka bacakan sekhotam quran maka perbuatan itu baik

Seelok-eloknya kita bacakan sekhatam Quran hadiahkan pahala Qur’annya untuk almarhum, nenek datuk nenek adik segala macam

Yang ngomong siapa ?  imam Nawaw.i

Makanya kalau membaca fikih Syafii jangan dibaca menurut orang Hanbali, ini yang jadi masalah. Madzhab fikih syafii tapi yang menjelaskan orang hambali. Belajarlah madzhab, belajar madzhab tak pernah, tapi mengutip-ngutip madzhab rajin

Kalau mau baca fikih syafii, bacanya karya karya nawawi, karena imam nawawi meninggal 676 hijriyah dia yang merevisi semua… baca kitab al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaaj….

Beranikah mengatakan imam syafii wahabi?, mau menjebak saya? gak berhasil, kasihan deh lu….))

 

Komentar :

Permasalahan mengirim pahala kepada mayat adalah permasalahan khilafiyah yang kita harus berlapang dada, akan tetapi tetap berusaha mencari pendapat yang lebih kuat. Karenanya pembahasan kita kali ini bukan masalah mana pendapat yang lebih kuat, akan tetapi apakah sebenarnya pendapat al-Imam Asy-Syafi’i dalam permasalahan ini?

Yang membuat penulis tertarik untuk mengkritik karena sang ustadz mengesankan bahwa orang yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i berpendapat tidak sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat adalah orang yang tidak faham fikih Syafi’i yang tidak pernah baca kitab-kitab karya al-Imam An-Nawawi…

Apalagi dengan perkataan “Mau menjebak saya, gak berhasil, kasihan deh lu…”

Beliau (sang ustadz) menyatakan bahwa al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa mengirim pahala bacaan Al-Qur’an adalah sampai kepada mayat. Alasan beliau :

    Al-Imam An-Nawawi berkata : “Berkata asy-Syafi’i dan al-Ashaab (ulama madhzab syafi’iyah) : Jika mereka mengkhatamkan al-Qur’an maka baik”
    Yang lebih tahu tentang madzhab As-Syafi’i adalah imam An-Nawawi, makanya kalua mau belajar madzhab syafi’i bacalah buku-buku imam An-Nawawi

 

Kritikan :

PERTAMA : Pendapat al-Imam Asy-Syafi’i bahwa mengirim pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai adalah pendapat yang masyhur. Bahkan justru al-Imam An-Nawawi justru yang menukilkan hal tersebut, demikian juga dinukil oleh al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Apakah masih ada yang ragu bahwa kedua imam ini adalah para imam besar madzhab syafi’i?  .

Berikut pernyataan langsung Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al-Umm:

يَلْحَقُ الْمَيِّتَ من فِعْلِ غَيْرِهِ وَعَمَلِهِ ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى عنه وَمَالٌ يُتَصَدَّقُ بِهِ عنه أو يُقْضَى وَدُعَاءٌ فَأَمَّا ما سِوَى ذلك من صَلَاةٍ أو صِيَامٍ فَهُوَ لِفَاعِلِهِ دُونَ الْمَيِّتِ

“Perbuatan dan amalan orang lain akan sampai kepada mayat berupa tiga perkara, (1) haji yang dikerjakan atas nama sang mayat (2) harta yang disedekahkan atas namanya atau yang dibayarkan atasnya dan (3) doa. Adapun selain hal ini seperti sholat atau puasa maka untuk pelakunya bukan untuk mayat. (Al-Umm 4/120)

Dari pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i diatas sangatlah jelas jika beliau berpendapat bahwa tidak sampainya kiriman pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat.
Al-Ustadz menyuruh untuk membaca kitab-kitab karya al-Imam An-Nawawi diantaranya kitab Al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim karya al-Imam An-Nawawi, nah berikut ini dua nukilan dari kitab al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

وأما قراءة القرآن وجعل ثوابها للميت والصلاة عنه ونحوهما فمذهب الشافعي والجمهور أنها لا تلحق الميت

“Adapun membaca Al-Qur’an dan menjadikan pahalanya untuk mayat, sholat atas mayat dan juga yang semisal keduanya maka madzhab Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwasanya hal-hal tersebut tidak akan sampai kepada mayat” (Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 11/58).

Beliau menyatakan bahwa ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan mayoritas ulama !!!

Beliau juga berkata :

وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت … ودليل الشافعي وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للإنسان إلا ما سعى وقول النبي صلى الله عليه وسلم إذا مات بن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

“Adapun bacaan al-Qur’an, maka yang masyhur dari madzhab Syafi’i adalah pahala bacaannya tidak sampai kepada mayat. Dan sebagian ulama madzhab syafi’i berpendapat bahwa pahala bacaannya sampai kepada mayat….

Dan dalil Imam Asy-Safi’i dan para ulama yang sepakat dengannya adalah firman Allah (“Tidaklah manusia itu memperoleh, kecuali apa yg diusahakannya saja”) dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : (Jika telah meninggal anak Adam, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya) (Syarh shahih Muslim 1/90)

Lihatlah Al-Imam An-Nawawi menukilkan pendapat al-Imam Asy-Syafi’i, bahkan menjelaskan sisi pendalilan al-Imam Asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai ke mayat.

Al-Imam Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah –dalam tasirnya- juga berkata :

{وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} أي: كما لا يحمل عليه وزر غيره، كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه. ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة، رضي الله عنهم، ولو كان خيرا لسبقونا إليه، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء، فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما

Firman Allah “Tidaklah manusia itu memperoleh, KECUALI apa yg diusahakannya saja”. [QS. An-Najm:39], yaitu sebagaimana ia tidaklah memikul dosa orang lain, demikian juga ia tidak akan memperoleh pahala kecuali dari amalannya sendiri.

Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafii -rohimahulloh- dan ulama yang mengikuti pendapatnya menyimpulkan bahwa ‘amalan membaca’ tidak bisa sampai kepada mayit kiriman pahalanya, karena itu bukan termasuk amalan para mayit, bukan pula termasuk usaha para mayit.

Oleh karena itulah :

    Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- tidak mengajak umatnya kepada amalan itu,
    Beliau juga tidak menganjurkan umatnya untuk melakukannya.
    Bahkan beliau tidak mengarahkan umatnya kepada amalan itu, baik secara tegas, maupun secara isyarat
    Hal itu juga tidak pernah dinukil dari satupun sahabatNabi -rodhiallohu anhum-, seandainya amalan itu suatu kebaikan, tentunya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.
    Dan di dalam ranah ibadah taqarrub, itu hanya boleh diambil dari sumber nash-nash saja, dia tidak boleh diambil dari sumber qiyas (analogi) dan pendapat-pendapat manusia”. [Tafsir Ibnu Katsir: 7/465]

Maka sungguh setelah penukilan di atas apakah masih ada sebagian orang yang meragukan bahwa ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah?. Apakah Imam Nawawi dan Ibnu Katsir tidak tahu pendapat Imam Syai’ii?, bahkan Imam An-Nawawi dan Ibnu Katsir bukan hanya menjelaskan pendapat Imam Syafi’i, bahkan juga menjelaskan pendalilan Imam Syafi’i?.

 

KEDUA ; Kekeliruan sang ustadz dalam memahami nukilan imam Nawawi yang beliau nukil.

Al-Imam An-Nawawi berkata :

فِي حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَمْكُثَ عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ الدَّفْنِ سَاعَةً يَدْعُو لِلْمَيِّتِ وَيَسْتَغْفِرُ لَهُ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ قَالُوا وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ شئ مِنْ الْقُرْآنِ وَإِنْ خَتَمُوا الْقُرْآنَ كَانَ أَفْضَلَ

 “Pada hadits ‘Amr bin al-‘Aash radhiallahu ‘anhu disukai agar penziarah menetap di kuburan setelah mayat dikubur beberapa waktu untuk mendoakan sang mayat dan memohonkan ampunan baginya. Hal ini telah dinash (dinyatakan) oleh imam Asy-Syafi’i dan telah disepakati oleh para ulama syafi’iyyah. Mereka berkata, “Disukai untuk dibacakan al-Qur’an di sisi mayat, jika mereka sampai mengkhatamkan al-Qur’an maka lebih baik” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzzab 5/294)

Nukilan ini sering disalah pahami oleh sebagian orang, sehingga disangka bahwa kalau al-Imam Asy-Syafi’i menganjurkan membacakan al-Qur’an bagi mayat yang baru dikuburkan berarti kelazimannya al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa sampainya mengirim pahala ke mayat. Dan ini sebagaimana yang dipahami sang ustadz, karenanya beliau tatkala menterjemahkan pernyataan al-Imam An-Nawawi beliau langsung menimpali dengan perkataan beliau “Seelok-eloknya kita bacakan sekhatam Quran hadiahkan pahala Qur’annya untuk almarhum, nenek datuk nenek adik segala macam”

Namun sebenarnya tidak ada kelaziman kelaziman diantara keduanya. Dalil akan hal ini sbb :

Pertama : Pemahaman sang ustadz terhadap perkataan al-Imam Asy-Syafi’i bahwa imam Syafi’i berpendapat tentang sampainya pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayat justru jelas-jelas bertentangan dengan apa yang dipahami oleh An-Nawawi dan Ibnu Katsir -sebagaimana nukilan di atas-

Kedua : Penulis belum menemukan seorang ulama syafiyah yang memahami perkataan al-Imam Asy-Syafi’i di atas bahwa beliau berpendapat tentang sampainya mengirim pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat

Ketiga : Dalil yang dijadikan hujjah oleh As-Syafi’i bahwa dianjurkan untuk menetap sebentar setelah pemakaman dan juga untuk mendoakan, memohon istighfar, dan membaca al-Qur’an adalah perkataan ‘Amr bin al-‘Aash radhiallahu ‘anhu :

فَإِذَا دَفَنْتُمُونِي فَشُنُّوا عَلَيَّ التُّرَابَ شَنًّا، ثُمَّ أَقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ وَيُقْسَمُ لَحْمُهَا، حَتَّى أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ

“Jika kalian menguburkan aku maka taburkanlah tanah kepadaku dan tinggallah kalian di sekitar kuburku seukuran waktu untuk menyembelih onta dan membagi dagingnya, agar aku bisa merasa tentram ditemani kalian” (Shahih Muslim No. 192)

Dan perkataan ‘Amr bin al-‘Aash sama sekali tidak menunjukkan permasalahan mengirim pahala bacaan al-Qur’an sama sekali.

Keempat : Inilah yang dipahami oleh An-Nawawi dalam kitabnya Riyaadus Sholihin. Sehingga atsar ‘Amr bin al-‘Aaash ini dibawakan dalam bab yang beliau beri judul :

باب الدعاء للميت بعد دفنه والقعود عند قبره ساعة للدعاء لَهُ والاستغفار والقراءة

 “Bab berdoa untuk mayat setelah dikubur dan duduk di sisi kuburan beberapa saat untuk mendoakan mayat dan untuk memohon ampunan baginya dan membaca al-Qur’an”

Setelah itu imam An-Nawawi menukilkan perkataan al-Imam Asy-Syafi’i :

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: وَيُسْتَحَبُّ أنْ يُقْرَأ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإنْ خَتَمُوا القُرآنَ عِنْدَهُ كَانَ حَسَنَاً

“Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : Disukai untuk dibacakan di sisi mayat sesuatu dari al-Qur’an, kalau mereka mengkhatamkan al-Qur’an di sisinya maka itu baik”

Perhatikan perkataan Asy-Syafi’i “di sisi mayat”, jadi pembahasannya adalah mengenai yang dianjurkan setelah mayat dikuburkan, selain berdoa baginya, memohon ampunan baginya, dan membaca al-Qur’an di sisinya”.

Kelima : Permasalahan ini sebagaimana pendapat ulama syafi’iyah bahwasanya disunnahkan untuk membaca al-Qur’an -yaitu surat Yaasiin dan surat Ar-Ro’du- bagi orang yang akan meninggal/sakaratul maut. (Silahkan lihat penjelasan An-Nawawi di Roudotut Tolibin 2/97 dan Al-Majmuu’ 5/110). Dan tentu pembacaan al-Qur’an ini bukan untuk mengirimkan pahalanya ke orang yang akan meninggal, karena dia belum meninggal. Akan tetapi tujuannya akan keberkahan turun bagi orang yang akan meninggal tersebut agar mempermudah keluar ruhnya. Maka ini menjelaskan bahwa tidak ada kelaziman bahwa kalau dibacakan al-Qur’an berarti melazimkan mengirimkan pahala !!

Keenam : Bahkan sebagian kitab madzhab Asy-Syafi’iyah dengan tegas menjelaskan bahwa membaca al-Qur’an di kuburan pahalanya adalah untuk si pembaca dan bagi si mayat adalah keberkahan. Jadi bukan permasalahan kirim pahala, akan tetapi diharapkan berkah bacaan al-Qur’an mengenai si mayat.

An-Nawawi rahimahullah berkata :

وَسُئِلَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي الْمَقَابِرِ فَقَالَ: الثَّوَابُ لِلْقَارِئِ، وَيَكُونُ الْمَيِّتُ كَالْحَاضِرِ، تُرْجَى لَهُ الرَّحْمَةُ وَالْبَرَكَةُ

“Dan Al-Qodhi Abu At-Toyyib ditanya tentang membaca al-Qur’an di kuburan, maka ia berkata : “Pahalanya untuk yang membaca, dan mayat seperti yang hadir diharapkan baginya rahmat dan keberkahan” (Roudotut Tolibin 2/139)

Kamaluddin Abul Baqoo’ Asy-Syafi’i (wafat 808 H) berkata:

قال: (ويقرأ ويدعو)؛ لرجاء الإجابة. ويكون الميت كالحاضر ترجى له الرحمة والبركة. وأما ثواب القراءة .. فللقارئ.

قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: رأيت من أوصى بالقراءة عند القبر, وهو عندنا حسن, والرحمة تنزل عند ختم القرآن

(Dan ia membaca al-Qur’an dan berdoa) agar diterima. Jadi mayat seperti orang yang hadir, diharapkan untuk mendapatkan rahmat dan berkah. Dan adapaun pahala bacaan al-Qur’an adalah untuk yang membacanya.

Al-Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu berkata : “Aku melihat orang yang berwasiat untuknya di kuburannya. Dan ini menurut kami baik, dan rahmat turun tatkala khatam al-Qur’an” (An-Najmul Wahhaaj fi Syarhil Minhaaj 3/114)

Zakaria Al-Anshori berkata :

قَالَ النَّوَوِيُّ وَيُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ الزِّيَارَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ الْوُقُوفَ عِنْدَ قُبُورِ أَهْلِ الْخَيْرِ وَالْفَضْلِ (وَالْأَجْرُ لَهُ) أَيْ لِلْقَارِئِ (وَالْمَيِّتُ كَالْحَاضِرِ تُرْجَى لَهُ الرَّحْمَةُ) وَالْبَرَكَةُ

“An-Nawawi berkata : Dan dianjurkan untuk memperbanyak ziaroh dan memperbanyak berdiri di kuburan orang-orang yang baik dan mulia. Dan pahala untuknya yaitu (pahala baaan al-Qur’an-pen) untuk yang membaca. Dan mayat seperti orang yang hadir diharapkan baginya rahmat dan berkah” (Asna Al-Mathoolib 1/331)

 

Kesimpulan :

Sang ustadz salah faham dengan perkataan An-Nawawi sehingga menyimpulkan bahwa al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa mengirim pahalam bacaan Al-Qur’an sampai pada mayat. Padahal justru yang benar adalah sebaliknya.

Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan bagi beliau, dan tidak perlu menyimpulkan bahwa pihak lain tidak paham madzhab syafi’i dan tidak belajar kitab-kitab imam An-Nawawi rahimahullah. Semoga Allah memberikan kita semua petunjuk kepada jalan yang lurus.

 
Denpasar, 11-10-1438 H / 05-07-2017
Firada Andirja
www.firanda.com

 
© 2018 Firanda.com. All rights reserved. Support Yufid.com