Kamis, 06 Desember 2018

25 Nasihat Islami dari Al Qur’an dan Hadits

25 Nasihat Islami dari Al Qur’an dan Hadits

Al Qur’an dan Hadits adalah dua pedoman utama manusia dalam menjalani hidup di dunia untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Ketika mengalami masalah dan hambatan, mnusia seringkali butuh nasihat islami untuk lebih mengingat Allah SWT agar kembali sejuk hati dan pikirannya. Salah satu caranya adalah dengan menyimak kata-kata nasihat islami yang bersumber dari Qur’an dan Hadits. Berikut ini adalah kata-kata nasihat islami yang sekiranya mampu menyejukkan hati dan pikiran.

1. Dan tolong-menolonglah kalian dalam melaksanakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”. (Al-Mâidah : 2)

2. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. — (QS.2:216), 

3. Bagi tiap sesuatu terdapat ujian dan cobaan, dan ujian serta cobaan terhadap umatku ialah harta-benda. (HR. Tirmidzi)

4. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. — (QS.2:245), Al Quran

5. Takutlah kalian terhadap sikap kikir, karena sesungguhnya kikir itu telah membinasakan orang2 sebelum kalian.(HR Muslim)

6. Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya. (QS. Al-Tahrim: 8)

7. Kejujuran adalah ketentraman, dan kebohongan adalah kebimbangan. (HR.Tirmidzi)

8. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. — (QS.2:277), Al Quran

9. Tidak kecewa orang yang istikharah, tidak menyesal orang yang bermusyawarah & tidak akan melarat orang yang hemat.(HR.Thabrani)

10. Barangsiapa mengutamakan kecintaan Allah atas kecintaan manusia maka Allah akan melindunginya dari beban gangguan manusia. — (HR. Ad-Dailami), Hadist

11. Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan.(HR.Muslim)

12. “Barangsiapa yang mengucapkan : “Subhanallahil ‘Adhim wa bi-Hamdih”, ditanamkan untuknya sebatang pohon kurma di surga” (HR. Turmudhi)

13. Allah lebih mengetahui terhadap apa yang mereka lakukan sejak mereka diciptakan.(HR.Bukhari,Muslim)

14. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. — (QS.2:212), Al Quran

15. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. (Thaha:2)

16. Orangtua adalah pintu surga yang paling tengah, apabila kamu mau maka jangan sia-siakanlah pintu tersebut atau peliharalah.(HR.Tirmidzi)

17. Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri. — (HR. Bukhari), Hadist

18. Termasuk dari kesempurnaan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.(HR.Tirmidzi)

19. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. — (QS.16:18), Al Quran

20. Di antara akhlak seorang mukmin adalah baik dalam berbicara, tekun bila mendengarkan, berwajah ceria, dan menepati janji.(HR. Ad-Dailami)

21. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 153)

22. Sungguh sangat unik perkara orang mukmin, sesungguhnya semua perkaranya adalah baik. Jika ia mendapat kebahagiaan, ia bersyukur dan jika ia mendapat ujian ia bersabar, maka hal itu merupakan kebaikan baginya. (HR. Muslim)

23. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.(HR. Muslim)

24. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad) agar kalian diberikan rahmat.” (QS. Ali ‘Imran: 132)

25. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.(Az Zumar:10)

Demikianlah 25 kata-kata nasihat islamidari Al-Qur’an dan Hadits. Semoga dapat kembali mengingatkan kita kepada Allah SWT.

by Abi Ummi

Copyright © 2015 · AbiUmmi.com Komunitas Keluarga Islami Indonesia

BISAKAH KITA MENOLAK TAKDIR DENGAN DOA?




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ 

BISAKAH KITA MENOLAK TAKDIR DENGAN DOA?

 

Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Yang dapat menolak takdir hanyalah doa. Yang dapat menambah umur hanyalah amalan kebaikan.” [HR. Tirmidzi, no. 6 dalam Kitab Al-Qadr, Bab “Tidak Ada yang Menolak Takdir Kecuali Doa”)

 

Yang dimaksud doa bisa menolak takdir terdapat dua makna:

• Kalau seseorang tidak berdoa, maka takdirnya seperti itu saja.

• Kalau seseorang berdoa, takdir akan dijalani dengan mudah. Yang terjadi seakan-akan takdir yang jelek itu tertolak.

 

Yang dimaksud umur tidaklah bertambah melainkan dengan kebaikan terdapat dua makna:

• Kalau seseorang tidak melakukan kebaikan, maka umurnya pendek.

• Kalau seseorang melakukan kebaikan, umurnya bertambah, yaitu bertambah berkah.

 

Jika dilihat dari pengertian di atas berarti umur bertambah bisa bermakna hakiki. Atau ada yang mengatakan bahwa makin banyak amalan kebaikan, makin bertambah umur. Sebagaimana pula makin sering memanjatkan doa, musibah akan terus tertolak.

 

Artinya yang disebutkan di atas, berarti Allah memberkahi umur. Apa maksud Allah memberkahi umurnya? Ia cukup beramal saleh dalam waktu yang singkat, di mana dengan WAKTU SEPERTI ITU, yang lainnya tidak bisa melakukan amalan yang banyak. Maksud kedua di sini, bertambah umur berarti bertambah secara majaz.

 

Faidah penting yang bisa diambil:

• Dorongan untuk memerbanyak kebaikan serta bersegera melakukan kebaikan dan sebab-sebabnya.

• Amalan kebaikan menyebabkan umur bertambah, baik secara hakiki atau majazi.

• Doa punya kedudukan yang begitu mulia. Segala sesuatu yang telah Allah takdirkan pada hamba berupa hal yang dibenci, dapat tertolak dan dipalingkan dengan doa, asalkan seseorang ikhlas dan benar dalam niat.

 

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Arba’una Haditsan, Kullu Haditsin fii Khaslatain. Cetakan kedua, tahun 1421 H. Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan. Penerbit Dar Balansia.

 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://rumaysho.com/15647-menolak-takdir-dengan-doa.html

 

Copyright 2016 - 2018 Nasihat Sahabat | Silakan disebarkan, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin

HIDAYAH ITU DICARI, BUKAN DITUNGGU

           بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

HIDAYAH ITU DICARI, BUKAN DITUNGGU

 
#AkidahTauhid#

HIDAYAH ITU DICARI, BUKAN DITUNGGU

Kita layak terpukau dengan kisah-kisah orang-orang yang mendapatkan hidayah, lalu hidayah itu merubah drastis jalan hidupnya. Tapi kita juga pantas bertanya, mengapa tingkat kebaikan kita tidak setinggi mereka tersebut? Kita sudah lama memeluk agama Islam, tapi mengapa Islam kita masih biasa-biasa saja? Baik dalam hal ilmu, amal, maupun peran yang dapat kita lakukan untuk kemajuan Islam.

Kemampuan seseorang untuk melahirkan amal, bergantung seberapa  besar kadar hidayah yang bersemayam di hatinya. Baik Hidayah Irsyad atau petunjuk yang berupa pengetahuan terhadap kebenaran, juga Hidayah Taufik yang menjadikan kebutuhan manusia untuk mendapatkan hidayah.  Karenanya, manusia memerlukan hidayah untuk memeroleh setiap maslahat, baik Duniawi maupun Ukhrowi.

Inilah jawabannya, meskipun kita telah mendapatkan hidayah Islam, mengapa masih tetap diperintahkan memohon hidayah kepada Allah, paling minim, 17 kali dalam sehari semalam kita membaca di dalam sholat,

“Tunjukkilah kami jalan yang lurus,” (QS. Al-Fatihah 6)

Selain hidayah Islam, kita juga membutuhkan hidayah yang bersifat tafshili. Untuk menjalani Islam dengan benar, kita perlu hidayah ilmu. Kita perlu petunjuk, apa yang harus kita imani, bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, apa saja rincian kebaikan, sehingga kita bisa menjalankan, mana jenis kemaksiatan yang harus kita hindari. Ini semua butuh hidayah irsyad, memerlukan petunjuk ilmu.

Setelah mengetahui ilmunya, kita juga membutuhkan hidayah taufik, agar kita mampu menerapkan ilmu ke dalam amal, juga untuk istiqomah. Karena tidak sedikit orang yang telah mengetahui berbagai jenis amal saleh, namun tidak diberi kekuatan untuk menjalaninya. Meskipun ia orang yang kuat dan berotot, tanpa hidayah, ia tak mampu berbuat apa-apa. Ada pula yang sudah mengerti sederetan kemaksiatan dan segudang perkara yang haram, namun ia tak kuasa untuk melepaskan diri dari belengu syahwatnya. Kita membutuhkan hidayah untuk mengenali kebenaran, butuh pula hidayah untuk mampu berpegang di atasnya.

Mungkin tersisa dibenak kita, mengapa kita masih saja “Biasa”. Tidak tampak efek luar biasa, padahal kita juga berdoa kepada Allah, paling tidak 17 kali dalam sehari semalam. Allah tidak mungkin bakhil, tidak pula menyalahi janji-Nya atas hamba-Nya. Efek yang belum terasa, atau tidak begitu kuat pengaruhnya, boleh jadi karena kurangnya penghayatan kita terhadap doa yang kita panjatkan. Kita memohon kepadanya, namun tidak tau apa yang kita minta, atau tidak menyadari, permohonan apa yang kita panjatkan kepada-Nya. Allah tidak mengabulkan doa yang berangkat dari hati yang lalai.

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai” (HR Tirmizi, Al-Albani menyatakan, “hadis Hasan”).

Atau bisa jadi pula, karena ikhtiar kita untuk mendapatkan hidayah belum optimal. Selain doa yang menuntut hadirnya hati, juga terhindarnya kita dari faktor-faktor penghalang terkabulnya doa, mestinya kita iringi doa dengan ikhtiar. Hidayah irsyad  kita cari dengan banyak belajar, menelaah Alquran dan As-Sunnah, mengaji kitab-kitab yang ditulis para ulama, maupun menghadiri majelis-majelis ilmu. Adapun hidayah taufik hendaknya kita cari dengan bergaul bersama orang-orang saleh dan bermujahadah untuk menjalankan amal-amal penyubur iman.

Salah jika berpikir, bahwa mendapat hidayah berarti Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan malaikat yang akan menurunkan seseorang sesat, lalu masuk Islam, bertaubat, menuntunnya melakukan amal kebaikan setiap saat sepanjang hidupnya, tanpa ada usaha dari orang tersebut.

Hidayah adalah petunjuk yang secara halus menunjukkan dan mengantarkan kepada sesuatu yang dicari. Dan yang paling dicari manusia semestinya adalah keselamatan di dunia dan Akhirat. Untuk mendapatkannya, Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi bekal bagi setiap manusia dengan berbagai arahan, yang akan membawa menuju keselamatan. Namun Allah subhanahu wa ta’ala juga memberinya pilihan, sehingga ada yang mengikuti petunjuk lalu selamat, dan ada yang tidak mengacuhkannya, lalu celaka.

Imam Ibnul Qayyim dan Imam al Fairusz Abadi menjelaskan, Allah telah memberikan petunjuk secara halus kepada setiap manusia agar selamat hingga Hari Kiamat, bahkan sejak hari kelahirannya. Beliau menyebutkan:

Tahapan pertama adalah memberikan Al Hidayah Al Amah, yaitu hidayah yang bersifat umum yang diberikan kepada setiap manusia, bahkan setiap mahluknya. Yaitu petunjuk berupa instink, akal, kecerdasan dan pengetahuan dasar, agar makhluknya bisa mencari dan mendapatkan berbagai hal, yang memberinya maslahat. Hidayah inilah yang dimaksud dalam ayat,

“Musa berkata; ‘Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS.Thaha: 50)

Dengan bekal ini, manusia bisa menyerap, memahami dan melaksanakan berbagai arahan dan bimbingan yang diberikan kepadanya.

Tahapan kedua adalah Hidayatul Dilalah Wal Bayan atau Hidayatul Irsayad, yaitu petunjuk berupa arahan dan penjelasan yang akan mengantarkan manusia kepada keselamatan dunia dan Akhirat. Semua itu terangkum dalam risalah yang disampaikan melalui Nabi dan Rasul-Nya.  Allah berfirman:

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami.” (QS.21:73)

Risalah yang dibawa oleh Muhammad ﷺ adalah Hidayatul Bayan paripurna yang telah Allah berikan kepada manusia. Sifatnya hanya memberi penjelasan dan arahan, agar manusia bisa meraih keselamatan. Mengikuti atau tidak, Allah memberikan pilihan kepada setiap manusia berupa ikhtiar. Sehingga ada di antara mereka yang mengetahui, kemudian mengikuti dan terus melazimi hingga menjadi mukmin yang taat. Namun ada pula yang enggan bahkan menentang. Yang mengetahui, lalu mengikuti dan berusaha tetap berada di atas kebenaran, akan selamat. Sebaliknya, yang mengetahui lalu berpaling, akan binasa.

Kemudia, fase ketiga adalah Hidayatut Taufiq, yaitu petunjuk yang khusus diberikan kepada orang–orang yang dikehendaki Allah. Hidayah yang menuntun hati seseorang untuk beriman dan beramal sesuai dengan tuntunan-Nya. Cahaya yang menerangi hati dari gelapnya kesesatan dan membimbingnya menuju jalan kebaikan. Hidayah yang mutlak hanya dimiliki dan diberikan oleh Allah inilah yang melunakkan hati seseorang, hingga ia mau menjawab seruan dakwah. Dan hidayah ini pulalah yang menuntun mereka agar tetap berada di atas jalan yang lurus.

Hidayah ini adalah buah dari Hidayatul Irsyad. Seseorang tidak mungkin akan mendapat hidayah ini, jika belum mendapatkan Hidayatul Irsyad sebelumnya. Namun tidak semua orang yang sudah mendapat Hidayatul Irsyad pasti mendapatkan Hidayatut Taufiq.

Seperti sudah dipaparkan tadi, bahwa tugas dan kewenangan Nabi ﷺ, juga orang-orang yang menjadi pewaris para Nabi ﷺ hanyalah menjelaskan dan menyampaikan. Mereka tidak akan mampu membuat atau memaksa seseorang mengikuiti apa yang mereka dakwahkan, jika orang tersebut lebih memilih jalan kesesatan dan tidak diberi Hidayatut Taufiq oleh Allah. Allah berfirman:

”Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufiq) kepada orang yang engkau cintai. Akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. “ (QS. Al-Qashash:56).

Yang terakhir adalah hidayah di Akhirat. Petunjuk di Akhirat yang menuntun manusia menuju Jannah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, salah seorang dari mereka lebih tahu arah menuju rumah-Nya di Jannah, daripada arah menuju rumahnya di dunia.“

Keempat fase ini saling terkait secara berurutan. Tanpa adanya hidayah pertama, seseorang tidak akan bisa mendapatkan hidayah yang kedua berupa Irsyad, arahan dan bimbingan dari Rasulullah ﷺ. Sebab orang yang akalnya tidak sempurna (gila maupun idiot) tidak bisa menyerap dan menalar berbagai ilmu dan bimbingan dari siapapun. Kalaupun bisa, daya serapnya sangat minim, sehingga mereka justru di bebaskan dari semua taklif dan tanggung jawab.

Sedang hidayah yang ketiga, tidak mungkin bisa diraih sebelum seseorang mendapatkan hidayah yang pertama dan kedua. Taufiq dari Allah hanya akan turun kepada orang yang telah mendengar risalah dan kebenaran. Demikian pula hidayah yang keempat. Dan Allah Maha Mengetahui siapa yang benar-benar mencari dan berhak mendapatkan hidayah dari-Nya.

Hidayah Al amah kita semua sudah memilikinya. Adapun hidayah di Akhirat, bukan lain adalah buah dari yang kedua dan ketiga. Sehingga yang harus kita cari semasa hidup di dunia adalah Hidayatul Irsyad dan Hidayatut Taufiq. Ibnu Katsier menjelaskan hidayah kita pinta dalam surat Al Fatihah adalah dua hidayah tersebut.

Hidayatul Irsyad adalah ilmu syari yang sahih, di mana kita bisa mengetahui kebenaran (Ma’rifatul Haq). Sedang hidayatut Taufiq adalah kelapangan hati untuk mengamalkan dan selalu berada di atas kebenaran. Dua hal ini tidak akan kita dapatkan, jika Allah tidak menghendaki kita mendapatkannya. Sehingga yang harus kita lakukan adalah mencari dan memohon kepada Pemiliknya. Mencari berbagai hal yang bisa mendatangkan hidayah dan berusaha menghancurkan semua yang menghalangi kita dari hidayah.

Syaikh Abdurahman bin Abdullah as Sahim, dalam risalahnya menjelaskan, ada beberapa hal yang bisa mendatangkan hidayah:

Pertama: Bertauhid dan menjauhi syirik.Kedua: Menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.Ketiga: Inabah, bertaubat dan kembali kepada Allah.Keempat: I’tisham, berpegang teguh kepada Kitabullah.Kelima: Berdoa dan berusaha keras mencarinya.Keenam: Memperbanyak zikir.

Selain sebab-sebab yang bisa mendatangkan hidayah, ada juga beberapa hal yang akan menghalangi masuknya cahaya hidayah ke dalam hati, di antaranya:

Pertama: Minimnya pengetahuan dan penghargaan atas nikmat hidayah

Ada sekian banyak manusia yang tergiur dengan dunia dan menjadikannya satu-satunya hal yang paling diharapkannya. Sukses di matanyanya adalah capaian harta dan kedudukan di mata manusia. Kesuksesan yang bersifat Ukhrowi dinomorduakan, dan berpkir, bahwa hal seperti itu bisa dicari lagi di lain kesempatan.

Meski sudah mendapatkan lingkungan yang baik, kesempatan belajar agama yang benar, rezeki yang halal meski sedikit, ia tidak segan meninggalkannya demi meraih dunianya. Itu karena rendahnya penghargaan atas hidayah Allah berupa teman yang saleh, dan ilmu dien yang telah diberikan kepadanya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Mereka hanya mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia, sedang tentang (kehidupan) Akhirat mereka lalai. (QS. Ar Rum 7)

Kedua: Hasad dan kesombongan.Ketiga: JabatanKeempat: Syahwat dan harta, danKelima: Kebencian.

Seseorang yang membenci orang lain, si A misalnya, ketika si A mendapatkan hidayah berupa masuk Islam, taubat dari suatu maksiat, semangat belajar Islam atau yang lain, kebenciannya akan menghalanginya untuk mengikuti jejak orang yang dia benci itu. Kesombongan, gengsi dan kejengkelan tumbuh subur di atas lahan kebenciannya, dan menghalangi cahaya hidayah masuk menerangi hatinya. Allah berfirman, yang artinya:

”Sesungguhnya seorang hamba jika telah beriman kepada Alquran dan mendapat petunjuk darinya secara global, mau menerima perintah dan membenarkan berita dari Alquran, semua itu adalah awal mula dari hidayah-hidayah. Selanjutnya yang akan ia peroleh secara lebih detail. Karena hidayah itu tak memiliki titik akhir, seberapa pun seorang hamba mampu mencapainya. Allah berfirman:

”Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya. (QS.Maryam:76).”

Wallahua’lam.

 

(Abu Alfia,Tebar-Sunnah)

 

 

12 July 2017|
Copyright 2016 - 2018 Nasihat Sahabat | Silakan disebarkan, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin

KUNCI SUKSES MENGAIS REZEKI


KUNCI SUKSES MENGAIS REZEKI

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin bin Syamsuddin

Masalah rezeki merupakan salah satu perkara yang banyak menyita perhatian manusia, sehingga ada sebagian yang menjadi budak dunia. Bahkan lebih parah lagi, sejumlah besar umat Islam memandang bahwa berpegang dengan ajaran Islam akan menyempitkan peluang dalam mengais rezeki. Ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam, tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapat kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi, hendaknya menutup mata dari sebagian aturan Islam, terutama berkenaan dengan etika bisnis dan hukum halal haram. Padahal Sang Khalik mensyariatkan agamaNya bukan hanya sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam perkara akhirat saja, tetapi sekaligus menjadi pedoman sukses di dunia juga, seperti doa yang sering dipanjatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Wahai Rabb kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan jagalah kami dari siksa api neraka. [Al Baqarah:201]

Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah. Islam telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika cara sukses mengais rezeki, membukakan pintu kemakmuran dan keberkahan. Kegiatan usaha dalam kaca mata Islam memiliki kode etik dan aturan, jauh dari sifat tamak dan serakah, sehingga mampu membentuk sebuah usaha yang menjadi pondasi masyarakat madani.

PUJIAN KEPADA ORANG YANG MENCARI NAFKAH
Allah hanya menghalalkan usaha yang bersih dan mengharamkan usaha yang kotor. Seorang muslim tidak boleh menghalalkan segala cara dalam mengais rezeki, lantaran demi mengejar keuntungan semu yang memikat serta menggiurkan.

Harta yang bersih dan halal sangat berpengaruh positif pada gaya hidup dan perilaku manusia, bahkan menentukan diterimanya ibadah dan terkabulnya doa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya) : “Wahai, manusia! Sesungguhnya Allah Maha Bersih, tidak menerima kecuali yang bersih. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para utusanNya, maka Allah berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Al Mukminun : 51].

Dan Allah berfirman (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik, yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah”. [Al Baqarah : 172].

Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kisah seseorang yang sedang bepergian sangat jauh, berpakaian compang-camping, berambut kusut, mengangkat tangan ke atas langit tinggi-tinggi dan berdoa: “Ya, Rabbi! Ya, Rabbi!” sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan darah dagingnya tumbuh dari yang haram; maka bagaimana terkabul doanya?[1]

Berlomba secara sehat dalam mengais rezeki tidak tercela, asalkan dengan menempuh cara yang benar dan usaha yang halal. Bahkan beribadah sambil berusaha pun diperbolehkan, Allah berfirman (artinya) : “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang -orang yang sesat”. [Al Baqarah : 198].

Abu Umar Ibnu Abdul Bar berkata: “Setiap harta yang tidak menopang ibadah kepada Allah, dan dikonsumsi untuk kepentingan maksiat serta mendatangkan murka Allah, tidak dimanfaatkan untuk menunaikan hak Allah dan kewajiban agama, maka harta tersebut tercela. Adapun harta yang diperoleh lewat usaha yang benar sementara hak-hak harta ditunaikan secara sempurna, dibelanjakan di jalan kebaikan untuk meraih ridha Allah, maka harta tersebut sangat terpuji”. [2]

Allah berfirman (artinya) : “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. ” [Al A’raaf:10].

Ibnu Katsir berkata: “Allah mengingatkan kepada seluruh umat manusia tentang karuniaNya (yang) berupa kehidupan yang mapan di muka bumi, dilengkapi dengan gunung-gunung yang terpancang kokoh, sungai-sungai yang mengalir indah, dan tanah yang siap didirikan tempat tinggal dan rumah hunian, serta Allah menurunkan air hujan berasal dari awan. Dan Allah juga memudahkan kepada mereka untuk mengais rezeki dan membuka peluang maisyah (penghidupan) dengan berbagai macam usaha, bisnis dan niaga; namun sedikit sekali mereka yang mau bersyukur”.[3]

Allah berfirman. (artinya) : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” [Al Jumu’ah : 10].

Tentang makna firman Allah “maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” Imam Al Qurthubi menjelaskan : “Apabila kalian telah menunaikan shalat Jum’at, maka bertebaranlah kamu di muka bumi untuk berdagang, berusaha dan memenuhi berbagai kebutuhan hidupmu”. [4]

Nabi juga pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas: “Sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, (itu) lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan menjadi beban orang lain”.[5]

Dari Ayyub, bahwa Abu Qilabah berkata: “Dunia tidak akan merusakmu selagi kamu masih tetap bersyukur kepada Allah,” maka Ayyub berkata bahwa Abu Qilabah berkata kepadaku: “Wahai, Ayyub! Perhatikan urusan pasarmu dengan baik, karena hidup berkecukupan termasuk bagian dari sehat wal afiat”.[6]

Yusuf bin Asbath berkata, bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata kepadaku: “Aku meninggalkan harta kekayaan sepuluh ribu dirham yang nanti dihisab oleh Allah, lebih aku cintai daripada aku hidup meminta-minta dan menjadi beban orang lain.[7]

Beberapa atsar (riwayat) dari para ulama mulia di atas, menepis anggapan bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal tidaklah demikian. Abu Darda’ berkata: “Termasuk tanda kefahaman seseorang terhadap agamanya, adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya”.[8]

ISLAM MENCELA PEMALAS DAN PEMINTA-MINTA
Islam sangat mencela pemalas dan membatasi ruang gerak peminta-minta serta mengunci rapat semua bentuk ketergantungan hidup dengan orang lain. Sebaliknya, Al Qur’an sangat memuji orang yang bersabar dan menahan diri tidak meminta uluran tangan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup, karena tindakan tersebut akan menimbulkan berbagai macam keburukan dan kemunduran dalam kehidupan. Allah berfirman (artinya) : “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. [Al Baqarah : 273].

Imam Ibnul Jauzi berkata: “Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja, melainkan berada dalam dua keburukan. Pertama, menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal, sehingga hidupnya menjadi batu sandungan buat orang lain dan keluarganya berada dalam kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa, kecuali kepada orang yang hina dan gelandangan. Sebab, orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan. Boleh jadi seseorang tidak memiliki harta, tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan untuk berusaha”.[9]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jaminan surga bagi orang yang mampu memelihara diri tidak meminta-minta. Dari Tsauban, (ia) berkata bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَكَفَّلَ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ َفَقُلْتُ أَنَا فَكَانَ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا

“Barangsiapa yang bisa menjaminku untuk tidak meminta-minta suatu kebutuhan apapun kepada seseorang, maka aku akan menjamin dengan surga. Aku berkata: “Saya.” ِMaka ia selama hidupnya tidak pernah meminta-minta kepada seseorang suatu kebutuhan apapun”. [10]

Seorang muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, semangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri, tidak menjadi beban orang lain. Sebab, pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri, merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam. Ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian, kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun”. [11]

Agama Islam mengajak umatnya agar bersikap mandiri dalam hidup. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa agar kita berlindung dari sifat malas, lemah, tidak berdaya, pengecut, bakhil dan menjadi beban orang lain.

عَنْ أَنَس ابنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ الله يَقُوْلُ فِي دُعَائِهِ : اَلَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبُنِ وَالْبُخْلِ وَاْلَهَرَمِ وَالْقَسْوَةِ وَاْلغَفْلَةِ وَالْعَيْلَةِ وَالذِّلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ وَأُعُوْذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ وَالْفُسُوْقِ وَالشَّقَاقِ وَالنِّفَاقِ وَالسُّمْعَةِ وَالرِّيَاءِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الصَّمَمِ وَالْـبَكَمِ وَالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ وَسَيئِّ اْلَأسْقَامِ .

“Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah selalu membaca dalam doanya: “Ya, Allah! Aku berlindung diri kepadaMu dari tidak berdaya, malas, pengecut, bakhil, lanjut usia, kekerasan hidup, lalai, melarat, kehinaan, dan kerendahan. Aku berlindung kepadaMu dari kemiskinan, kekufuran, kefasikan, kesesatan, kemunafikan, sum’ah dan riya’. Dan aku berlindung kepadaMu dari penyakit tuli, bisu, penyakit kusta, penyakit kulit dan seluruh penyakit yang buruk”.[12]

Sikap malas, hidup yang hanya menjadi beban orang lain dan meminta-minta merupakan perbuatan yang sangat dibenci Islam. Oleh karena itu, seorang muslim harus rajin bekerja dan bersungguh-sungguh berusaha. Meninggalkan anak cucu dalam kondisi berkecukupan lebih baik dari pada mereka hidup terlunta-lunta menjadi beban orang lain, seperti disebutkan dalam firman Allah. (artinya) : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. [An Nisaa’:9].

Imam Al Baghawi berkata, bahwa yang dimaksud dengan “dzurriyatan dhiafan” adalah anak-anak yang masih kecil, yang dikhawatirkan tertimpa kefakiran.[13]

Ali bin Abu Thalhah berkata, bahwa Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Ayat di atas turun untuk seseorang saat menjelang ajalnya berwasiat yang merugikan ahli warisnya. Maka Allah menganjurkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut agar bertakwa kepada Allah dan mengarahkan kepada wasiat yang benar dan lurus. Dan hendaknya orang tersebut prihatin terhadap kondisi ahli warisnya, jangan sampai mereka terlantar dan menjadi beban orang lain sepeninggalnya”.[14]

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqas. Saad bertanya: “Wahai, Rasulullah! Saya orang yang banyak harta, sementara saya tidak punya ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Bolehkah saya berwasiat dengan dua pertiga hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan!” Sa’ad bertanya,”Dengan setengah hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan!” Sa’ad bertanya,”Dengan sepertiga hartaku?” Beliau bersabda,”Boleh dengan sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak,” Kemudian Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya, bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan, menjadi beban orang lain. Dan sungguh tidaklah kamu memberi nafkah, kecuali menjadi sedekah buatmu hingga satu suapan yang kamu berikan kepada isterimu.” [15]

Berusaha dengan sungguh-sungguh sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Bekerjalah terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika sesuatu terjadi pada kamu, maka jangan katakan “seandainya aku melakukan hal ini dan itu, pazti begini”. Namun katakan “Allah telah menetapkan dan apa yang telah Dia kehendaki, maka Dia kerjakan”. Karena, kata “seandainya” itu adalah peluang setan. [HR Muslim]

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

“Seandainya ada seseorang di antara kalian mencari seonggok kayu bakar lalu dipanggul (ke pasar untuk dijual), lebih baik daripada meminta kepada seseorang, terkadang diberi dan terkadang tidak”.[16]

Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai ahli qira’ah. Berlombalah dalam kebaikan, dan carilah karunia dan rezeki Allah, dan janganlah kalian menjadi beban hidup orang lain”.[17]

Said bin Musayyib berkata: “Barangsiapa berdiam di masjid dan meninggalkan pekerjaan, lalu menerima pemberian yang datang kepadanya, maka (ia) termasuk mengharap sesuatu dengan cara meminta-minta”.[18]

Abu Qasim Al Khatli bertanya kepada Imam Ahmad: “Apa pendapat anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid, lalu berkata ‘aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang’?” Maka beliau menjawab: “Orang tersebut bodoh terhadap ilmu. Apakah (ia) tidak mendengarkan sabda Rasulullah : “Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad)’ “[19]

Sahl bin Abdullah At Tustari berkata,”Barangsiapa yang merusak tawakkal, berarti telah merusak pilar keimanan. Dan barangsiapa yang merusak pekerjaan, berarti telah membuat kerusakan dalam Sunnah.”[20]

BEKERJA DALAM PANDANGAN ULAMA SALAF
Ada sebagian orang menyangka, bahwa sikap tawakkal menafikan berbagai macam bentuk usaha dan ikhtiar. Padahal, hukum bekerja terkadang wajib, sunah, mubah, makruh ataupun haram, tergantung pada hakikat dan tujuan pekerjaan tersebut.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah manusia yang paling bertawakkal, namun Beliau tetap bekerja; baik dengan pergi ke medan perang maupun berniaga di pasar untuk mencari nafkah, hingga orang-orang kafir berkomentar sebagaimana firman Allah (artinya): Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia”. [Al Furqan : 7].[21]

Usaha yang menentukan tegaknya pondasi kehidupan manusia, hukumnya fardhu ‘ain. Sedangkan usaha yang menentukan kehidupan secara kolektif, hukumnya fardhu kifayah. Sehingga, seluruh bentuk aktifitas untuk mendirikan perusahaan dan perindustrian yang menjadi penopang sendi ekonomi umat secara kolektif, hukumnya fardhu kifayah.[22]

Usaha dalam Islam dibatasi dengan dua perkara; ikhlas dan ittiba’ (mengikuti Rasulullah). Maka usaha yang dilakukan oleh seorang muslim hanya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan dilakukan secara benar sesuai dengan Sunnah Rasulullah. Oleh sebab itu, kebenaran sebuah usaha tentu saja dilihat dari kesesuaian usaha tersebut dengan syariat. Allah tidak akan memberikan pahala pada satu amalan, kecuali ditujukan untuk mengharap ridhaNya.

Sikap zuhud dan tawakal kepada Allah tidak berkonotasi sebuah aksi pengangguran dan penyandaran nasib hidup kepada orang lain. Sebab, segala bentuk ketergantungan kepada selain Allah bisa merusak aqidah dan akhlak, serta merupakan kebiasaan yang tercela. Tidak ada satu dalil pun yang mengajak umat manusia meninggalkan usaha mencari rezeki dan ikhtiar dengan alasan zuhud dan tawakkal.

Allah tidak melarang hambaNya untuk berusaha, bahkan Allah mencintai segala bentuk usaha asal sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Tidak ada alasan untuk mencela jalur-jalur usaha yang halal, tetapi yang tercela adalah usaha yang haram, atau melalaikan ibadah kepada Allah sebagaimana firman Allah (artinya): “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah”. [An Nur :37].

Imam Ibnul Jauzi berkata,”Sebagian orang salah dalam memahami tawakkal. Mereka menyangka, malas bekerja dan berpangku tangan sebagai bentuk tawakkal. Padahal, tawakkal merupakan perbuatan hati yang tidak menafikan gerakan tubuh untuk berusaha. Jika seorang yang rajin bekerja dianggap tidak bertawakkal, maka para nabi termasuk orang-orang yang tidak bertawakkal. Sementara Nabi Adam bertani, Nabi Nuh dan Zakaria bertukang, Nabi Sulaiman pembuat anyaman dari daun kurma, Nabi Daud pembuat baju perang, Nabi Musa, Syuaib dan Nabi Muhammad penggembala kambing.” [23]

SIKAP SEIMBANG DALAM MENCARI NAFKAH DAN MENUNTUT ILMU
Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk beribadah. Sementara itu, ibadah tidak akan terealisasi kecuali dengan badan yang sehat. Dan badan sehat diperoleh dari makan yang cukup. Maka Allah menjadikan makanan sebagai pelengkap ibadah.[24]

Abu Hamid Al Ghazali berkata,”Semua hamba Allah dituntut bertemu dengan Rabb-nya dengan membawa pahala. Dan tidak mungkin semua itu tercapai, kecuali dengan ilmu dan amal. Adapun dua pilar dasar, yaitu ilmu dan amal, tidak mungkin terwujud kecuali dengan badan sehat. Dan makanan sebagai sarana utama meraih badan sehat; maka Allah berfirman.(artinya) : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[Al Mukminun:51].[25]

Ilmu dan amal, dalam pandangan Ahli Sunnah merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Bila dua pilar tersebut telah mengakar dalam pribadi seorang muslim, maka akan terpancarlah hidayah dan ketakwaan sebagai pondasi dasar dan bekal utama meretas usaha dan profesi, sehingga Allah menjadikan ketakwaan sebagai ladang keberkahan dan pintu kesuksesan dalam berbagai bentuk usaha. Menjadi kunci penyelesaian bagi seluruh problem kehidupan, sebagaimana firman Allah

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangka”. [Ath Thalaq : 2-3].

Di dalam tafsirnya, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkanNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya jalan keluar dari seluruh problem kehidupan dan memberi rezki dari arah yang tidak di sangka-sangka. Yakni, dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan ambillah yang baik dalam mencari rezeki (ambil yang halal dan tinggalkan yang haram)”. [HR Al Hakim].

Seorang muslim yang bertakwa sangat dituntut untuk berlaku seimbang dalam mencari ilmu dan mencari nafkah. Jika kekuatan ilmu dan kekuatan harta bersinergi secara baik, maka akan melahirkan sebuah kekuatan dahsyat dan pengaruh yang positif dalam proses dakwah dan kebangkitan umat. Dengan begitu, segala kemunduran dan kehinaan yang menimpa umat mampu teratasi.

Menurut pandangan Ahli Sunnah wal Jama’ah, tidak ada dikotomi antara mencari ilmu dengan mencari nafkah, bahkan keduanya harus saling mendukung. Oleh sebab itu, tidak benar bila berkembang wacana bahwa orang yang mencari ilmu tidak perlu memikirkan urusan maisyah (mata pencaharian/pekerjaan), dan sebaliknya, orang yang mencari nafkah tidak perlu mengganggu profesinya dengan menuntut ilmu agar tidak merusak kariernya. Hal itu sebuah paradigma yang keliru dan anggapan yang menyesatkan, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. (artinya) : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [Al Qashash:77].

Ayat yang mulia di atas memiliki makna, pergunakanlah harta kekayaanmu dan kenikmatanmu yang melimpah, yang telah diberikan kepadamu sebagai pemberian dan karunia Allah untuk menunaikan ketaatan dan kebaikan yang bisa mendekatkan dirimu kepadaNya. Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia, baik berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan hubungan biologis, karena Rabb-mu memiliki hak atasmu dan dirimu memiliki hak atasmu. Keluargamu mempunyai hak atasmu, dan kekuatan tubuhmu juga memiliki hak atasmu. Maka, berikanlah masing-masing hak sesuai dengan porsinya.[27]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim dalam Kitab Zakat; At Tirmizdi, Ad Darimi dan Ahmad dalam Musnad-nya.
[2]. Jami’ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdul Bar, Juz 2, hlm. 26.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hlm. 282.
[4]. Tafsir Al Qurthubi, Juz 9, hlm. 71. Dan lihat Tafsir Al Baghawi, Juz 8, hlm. 123.
[5]. HR Bukhari (2742), Muslim (1628), Tirmidzi (2116), Nasai dan Ibnu Majah.
[6]. Diriwayatkan Abu Nuaim dalam Al Hilyah (2/286) dan Abu Hamid Al Ghazali dalam Ihya’ (2/62).
[7]. Jami’ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdil Barr, Juz 2, hlm. 33.
[8]. Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 223; Ibnu Abi Syaibah (34606) dan Al Baihaqi dalam Asy Syuab (2/365).
[9]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 303.
[10]. HR Abu Daud. Imam Nawawi berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang sahih.
[11]. HR Bukhari, Muslim, dan Nasai dalam Sunan-nya.
[12]. HR Al Hakim dalam Mustadrak, dan beliau berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat Imam Bukhari dan Muslim (1944) ,dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (1019)”.
[13]. Tafsir Maalimut Tanzil, Al Baghawi, Juz 2, hlm. 170. Lihat juga tafsir Al Qurthubi, Juz 4, hlm. 35.
[14]. Tafsir Ath Thabari, Juz 4, hlm. 181.
[15]. HR Bukhari (2742), Muslim (1628), At Tirmidzi (2116), An Nasai dan Ibnu Majah.
[16]. Muttafaqun ‘alaih.
[17]. Jami’ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdul Bar, Juz 2, hlm. 35.
[18]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 300.
[19]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 302.
[20]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[21]. Tahdzib Syarah Thahawiyah, hlm. 301.
[22]. Mala Yasa’ut Tajir Jahluhu, Prof. Dr. Abdullah Muslih. hlm. 78.
[23]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[24]. Ahkamul Ath’imah Fisyariatil Islamiyah, Dr. Abdullah bin Muhammad Ath Thuraiqi, hlm. 30.
[25]. Lihat Ihya Ulumuddin, Juz 2/3 dengan tahqiq Al Allamah Zainuddin Al Iraqi.
[26]. Tafsir Ibnu Katsir (4/400).
[27]. Lihat Tafsir Ath Thabari (20/71), Tafsir Al Baghawi (6 / 221) dan Tafsir Ibnu Katsir (5 / 129).

Read more https://almanhaj.or.id/2770-kunci-sukses-mengais-rezeki.html