Selasa, 26 Februari 2019

ADAB TENTANG NIAT

ADAB TENTANG NIAT

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan Allah Azza wa Jalla sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla karena nifak dan riyâ’nya.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan shalat yang menggugurkan dosa-dosa karena dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu untuk seluruh waktu. [HR. Muslim, no. 228]

Sebaliknya, beliau juga memperingatkan umat dari melakukan shalat karena riya’, karena hal ini akan menggugurkan amal, sebagaimana hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Dari Abu Sa’îd, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami ketika kami sedang membicarakan Al-Masîhud Dajjâl. Kemudian beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kamu sesuatu yang menurutku lebih aku takutkan terhadap kamu daripada terhadap Al-Masîhud Dajjâl?” Maka kami menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi. Yaitu seseorang melakukan shalat, lalu dia membaguskan shalatnya karena dia melihat pandangan orang lain”. [Hadits Hasan Riwayat Ibnu Mâjah, no; 4204]

Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan niat di dalam seluruh amalan. Oleh karena itu banyak sekali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini di dalam hadits-hadits beliau. Antara lain, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. [HR. Bukhâri, no. 1; Muslim, no. 1907; dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu]

Sesungguhnya suatu perbuatan akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla akan melihat hati manusia, apakah ia ikhlas; dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. [HR. Muslim, no. 2564]

Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [al-Bayyinah/98:5]

NIAT DALAM KEBAIKAN
Di antara rahmat dan anugerah Allah Azza wa Jalla adalah bahwa Dia menulis kebaikan hamba-Nya hanya karena keinginan untuk berbuat kebaikan, sedangkan keinginan berbuat keburukan belum ditulis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini di dalam hadits sebagai berikut:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis satu keburukan saja.[HR. Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131]

NIAT DALAM KEBURUKAN
Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Allah Azza wa Jalla . Namun, jika keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi; berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakrah) bertanya: ”Wahai Rasulullah, si pembunuh (kami memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu”. [HR. Bukhâri, no. 31, 7083; Muslim, no. 2888; dari Abu Bakrah]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai pencuri. [HR. Ibnu Mâjah, no. 2410; Syaikh al-Albâni berkata: “Hasan Shahîh”]

PAHALA DAN SIKSA KARENA NIAT
Kedudukan niat yang sangat penting juga dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat, seseorang sudah mendapatkan pahala atau siksa. Hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dari Abu Kabsyah al-Anmâri Radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Rabbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[1]

Syaikh Salim al-Hilâli hafizhahullâh berkata menjelaskan di antara fiqih dari hadits ini: “Seseorang itu akan diberi pahala atau dihukum karena keinginan yang tetap/kuat (di dalam hatinya-pen) walaupun dia tidak mampu melaksanakannya. Karena walaupun dia tidak mampu melakukannya, namun dia mampu mengharapkan dan menginginkan”.[2]

NIAT BAIK TIDAK MERUBAH KEMAKSIATAN MENJADI KETAATAN
Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang Muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah Azza wa Jalla . Demikian juga seorang muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik.

Karena semata-mata niat yang baik tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti seseorang bershadaqah dengan uang curian atau korupsi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ

Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan diterima shadaqah dari (hasil) ghulul (khianat). [HR. Muslim, no. 224]

Jadi, walaupun suatu amalan itu merupakan kebaikan secara lahiriyah, dan dilakukan dengan niat yang baik, seperti shalat atau shadaqah, namun jika tidak memenuhi syarat-syarat di dalam agama, maka niat yang baik itu tidak dapat merubahnya sebagai amalan ketaatan.

Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu pernah mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbir 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini -yang aku lihat kamu lakukan-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbîr, tahlîl, dan tasbîh dengannya. Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Ini lah para sahabat Nabi kamu masih banyak. Ini lah pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah Azza wa Jalla yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”. Mereka berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla , wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan kepada kami:

أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ

“Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân itu tidak melewati tenggorokan mereka”.

Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka itu adalah dari kamu”. Kemudian beliau meninggalkan mereka.[3]

Marilah kita perhatikan jawaban beliau di atas: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Yaitu banyak orang menghendaki kebaikan, memiliki niat yang baik, namun karena tidak melewati jalan yang harus dilalui, maka dia tidak mendapatkan apa yang dia niatkan.

Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan.

Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas di dalam seluruh amalan, lahir dan batin. Demikian juga amalan itu harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga Allah Azza wa Jalla selalu memberikan pertolongan kepada kita untuk meraih keridhaan-Nya. Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

RUJUKAN:
1. Shahîh Bukhâri
2. Shahîh Muslim
3. Kitab-kitab Sunan
4. Minhâjul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim al-Hilâli
6. Ilmu Ushûl Bida’, karya Syaikh ‘Ali al-Halâbi
7. Dan lain-lain

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits Shahîh Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Mâjah, no: 4228; dan lainnya. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni di dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah, no: 3406. Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253
[2]. Bahjatun Nâzhirin Syarah Riyadhus Shâlihin 1/608, syarah hadits no: 557
[3]. Hadits Shahîh Riwayat Dârimi di dalam Sunan, juz 1, hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasîth, hlm. 198-199. Lihat: Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushul Bida’, hlm. 92

Read more https://almanhaj.or.id/3431-adab-tentang-niat.html

syarat diterimanaya amal ibadah,


QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima :

الشَّرِيْعَةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى أَصْلَيْنِ : الإِخْلاَصُ لِلْمَعْبُوْدِ وَالْمُتَابَعَةُ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Syari’at Berdiri Di Atas Dua Hal, Yaitu Ikhlas Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam

Dua hal tersebut merupakan syarat diterimanaya amal ibadah, baik berupa amalan lahiriyah, seperti perkataan dan perbuatan anggota badan; dan juga amalan bathiniyah, seperti amalan hati.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. [al-Bayyinah/98 : 5].

Kata الدِّينَ dalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, bahwa makna الدِّينَ adalah rukun Islam yang lima, rukun iman yang enam, dan ihsan, yang merupakan inti amalan hati.[1]

Oleh karena itu, semua perkara tersebut harus dikerjakan dengan ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dalam rangka mengharapkan wajah-Nya, ridha-Nya, dan pahala dari-Nya.

Selain itu, amalan tersebut harus dilaksanakan dengan landasan hukum dari Al-Qur`ân dan Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59 : 7].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengumpulkan eksistensi kedua syarat diterimanya amal ibadah tersebut dalam firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan. [an-Nisâ`/4 : 125].

Dalam ayat tersebut, pengertian أَسْلَمَ وَجْهَهُ adalah mengikhlaskan amalan-amalan yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan yang dimaksud dengan وَهُوَ مُحْسِنٌ , adalah ia berbuat ihsan dengan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam amal-amal ibadah yang ia kerjakan tersebut.

Sehingga amalan yang diterima, yaitu amalan yang terkumpul di dalamnya dua sifat tersebut. Apabila salah satu atau kedua sifat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak dan masuk dalam kategori amalan yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25 : 23].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika membedakan antara amalan orang-orang yang ikhlas dengan amalan orang-orang yang riya`:

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2:265].

Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ketika menjelaskan tentang hijrah yang termasuk amalan utama:

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.[2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin unjuk keberanian, berperang karena fanatisme kesukuan, dan karena bertujuan untuk mendapatkan ghanimah, siapakah di antara mereka yang berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ

Barang siapa yang berperang supaya kalimat Allah adalah yang tertinggi, maka dia lah yang berperang di jalan Allah. [3]

Oleh karena itu, barang siapa yang jihadnya secara lisan maupun perbuatan diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menolong kebenaran maka ia adalah seorang yang ikhlas dalam jihadnya. Dan barang siapa yang meniatkan selain hal itu, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang ia niatkan sedangkan amalannya tidaklah diterima.

Dan pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman ketika menjelaskan tentang amalan yang dilaksanakan tanpa meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [al-Kahfi/18 : 103-104].

Oleh karena itu, amalan shalih yang dikerjakan seseorang karena riya`, maka amalan tersebut batil, karena tidak ada keikhlasan di dalamnya. Dan amalan yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala namun amalan tersebut tidak ada landasan hukumnya secara syar’i, maka amalan tersebut batil pula, karena tidak disertai mutâba’ah. Demikian pula, keyakinan-keyakinan yang tidak ada landasannya dalam Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti keyakinan ahlul bid’ah yang menyelisihi apa yang dilandasi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, semuanya itu masuk dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap perbuatan dilaksanakan dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. [4]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami, maka ia tertolak. [5]

Hadits pertama tersebut menjadi timbangan amalan dari sisi batinnya, dan hadits kedua menjadi timbangan amalan dari sisi lahirnya.

Mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata merupakan perkara yang telah disinggung nash-nash Al-Qur`ân dan Sunnah yang memerintahkannya, menjelaskan keutamaannya, dan batilnya suatu amalan jika tidak disertai dengannya. Adapun niat untuk mengerjakan amalan itu sendiri, maka meskipun hal itu harus ada dalam setiap amalan, akan tetapi hal tersebut dipastikan keberadaannya dalam setiap amalan yang dikerjakan oleh orang yang memiliki akal dan kesadaran. Karena niat dalam makna tersebut merupakan suatu keinginan untuk mengerjakan suatu perbuatan, dan setiap orang yang berakal pasti meniatkan amalan yang ia kerjakan tersebut.

Sebagaimana kaidah ini masuk dalam permasalahan ibadah, maka masuk pula dalam permasalahan muamalah. Maka setiap muamalah baik berupa jual beli, ijarah (sewa-meyewa), syirkah (persekutuan dagang), atau selainnya yang terdapat larangannya dalam syari’at, maka muamalah tersebut batil dan haram dilaksanakan, meskipun pelaku muamalah tersebut saling ridha. Dikarenakan keridhaan dalam masalah ini disyaratkan setelah terpenuhinya keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya

Oleh karena itu, praktek-praktek muamalah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, seperti melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain dalam pemberian, wasiat, dan warisan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris.[6]

Demikian pula, dalam permasalahan wakaf, syarat yang diberikan oleh orang yang mewakafkan haruslah tidak menyelisihi syari’at. Jika ternyata menyelisihi syari’at maka syarat tersebut tidaklah dianggap. Dalam hal ini, yang menjadi timbangan dalam penentuan syarat tersebut secara umum adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ , إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum muslimin di atas syarat-syarat yang mereka tentukan, kecuali jika syarat tersebut mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.[7]

Berkaitan dengan masalah pernikahan, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, bentuk-bentuk nikah yang dihalalkan dan yang diharamkan, masalah talaq, ruju’, dan seluruh hal yang berkaitan dengannya, haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syar’i, jika tidak demikian maka hal tersebut tertolak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4 : 59].

Demikian pula tentang permasalahan sumpah. Seseorang tidak boleh bersumpah dengan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala , atau nama-nama-Nya, atau sifat-sifat-Nya, karena hal tersebut tidak sesuai dengan tuntunan syari’at. Dan dalam permasalahan nadzar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ , وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اللهَ فَلاَ يَعْصِهِ

Barang siapa yang bernadzar untuk melaksanaakan ketaatan kepada Allah maka hendaklah ia menunaikan nadzarnya, dan barang siapa yang bernadzar untuk berbuat maksiat kepada Allah maka janganlah ia menunaikan nadzarnya.[8]

Bahkan masalah fiqih dari awal sampai akhir tidak terlepas dari kaidah ini. Karena sesungguhnya, hukum-hukum syar’i diambil dari empat landasan, yaitu: Al-Kitâb, as-Sunnah, yang keduanya menjadi pokok dalil syar’i; kemudian Ijma’ yang disandarkan pada keduanya, dan Qiyas berdasarkan istimbat dari keduanya.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhâri dalam kitab al-Iman, Bab: Su`alu Jibril an-Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (no. 50), Muslim dalam kitab al-Iman, Bab: Bayanul-Iman (no. 9).
[2]. HR al-Bukhâri dalam kitab Bad’il Wahyi (no. 1), Muslim dalam al-Imârah, Bab: Qaulihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal a’mâlu bin-niyyah” (no. 1907).
[3]. HR Bukhâri dalam kitab al-‘Ilm, Bab: Man Sa`ala wa Huwa Qaim (no. 123). Muslim dalam kitab al-Imârah, Bab: Man Qatala li Takuna Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya (no. 1904).
[4]. HR Bukhâri dalam kitab Bad’il Wahyi (no. 1), Muslim dalam kitab al-Imârah, Bab: Qaulihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal a’mâlu bin-niyyah” (no. 1907).
[5]. HR Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah, Bab: Naqdhil-Ahkamil-Bathilah, no. 1718.
[6]. HR Ahmad (5/267), Abu Dawud dalam kitab al-Washaya, Bab: Mâ Ja`a fil-Washiyyati lil-Warits (no. 2870), Tirmidzi dalam kitab al-Washaya, Bab: Lâ Washiyyata li Waritsin (no. 2121).
[7]. HR Tirmidzi, no. 1370.
[8]. HR Bukhari dalam kitab al-Aiman wan-Nudzur, Bab: an-Nadzr fith-Tha’ah, no. 6696.

« 

Read more https://almanhaj.or.id/2504-kaidah-ke-5-syariat-berdiri-diatas-dua-hal-yaitu-ikhlas-dan-meneladani-rasul.htmlKaidah Ke. 5 : Syari’at Berdiri Diatas Dua Hal, Yaitu Ikhlas Dan Meneladani Rasul

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima :

الشَّرِيْعَةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى أَصْلَيْنِ : الإِخْلاَصُ لِلْمَعْبُوْدِ وَالْمُتَابَعَةُ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Syari’at Berdiri Di Atas Dua Hal, Yaitu Ikhlas Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam

Dua hal tersebut merupakan syarat diterimanaya amal ibadah, baik berupa amalan lahiriyah, seperti perkataan dan perbuatan anggota badan; dan juga amalan bathiniyah, seperti amalan hati.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. [al-Bayyinah/98 : 5].

Kata الدِّينَ dalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, bahwa makna الدِّينَ adalah rukun Islam yang lima, rukun iman yang enam, dan ihsan, yang merupakan inti amalan hati.[1]

Oleh karena itu, semua perkara tersebut harus dikerjakan dengan ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dalam rangka mengharapkan wajah-Nya, ridha-Nya, dan pahala dari-Nya.

Selain itu, amalan tersebut harus dilaksanakan dengan landasan hukum dari Al-Qur`ân dan Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59 : 7].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengumpulkan eksistensi kedua syarat diterimanya amal ibadah tersebut dalam firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan. [an-Nisâ`/4 : 125].

Dalam ayat tersebut, pengertian أَسْلَمَ وَجْهَهُ adalah mengikhlaskan amalan-amalan yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan yang dimaksud dengan وَهُوَ مُحْسِنٌ , adalah ia berbuat ihsan dengan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam amal-amal ibadah yang ia kerjakan tersebut.

Sehingga amalan yang diterima, yaitu amalan yang terkumpul di dalamnya dua sifat tersebut. Apabila salah satu atau kedua sifat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak dan masuk dalam kategori amalan yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25 : 23].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika membedakan antara amalan orang-orang yang ikhlas dengan amalan orang-orang yang riya`:

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2:265].

Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ketika menjelaskan tentang hijrah yang termasuk amalan utama:

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.[2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin unjuk keberanian, berperang karena fanatisme kesukuan, dan karena bertujuan untuk mendapatkan ghanimah, siapakah di antara mereka yang berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ

Barang siapa yang berperang supaya kalimat Allah adalah yang tertinggi, maka dia lah yang berperang di jalan Allah. [3]

Oleh karena itu, barang siapa yang jihadnya secara lisan maupun perbuatan diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menolong kebenaran maka ia adalah seorang yang ikhlas dalam jihadnya. Dan barang siapa yang meniatkan selain hal itu, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang ia niatkan sedangkan amalannya tidaklah diterima.

Dan pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman ketika menjelaskan tentang amalan yang dilaksanakan tanpa meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [al-Kahfi/18 : 103-104].

Oleh karena itu, amalan shalih yang dikerjakan seseorang karena riya`, maka amalan tersebut batil, karena tidak ada keikhlasan di dalamnya. Dan amalan yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala namun amalan tersebut tidak ada landasan hukumnya secara syar’i, maka amalan tersebut batil pula, karena tidak disertai mutâba’ah. Demikian pula, keyakinan-keyakinan yang tidak ada landasannya dalam Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti keyakinan ahlul bid’ah yang menyelisihi apa yang dilandasi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, semuanya itu masuk dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap perbuatan dilaksanakan dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. [4]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami, maka ia tertolak. [5]

Hadits pertama tersebut menjadi timbangan amalan dari sisi batinnya, dan hadits kedua menjadi timbangan amalan dari sisi lahirnya.

Mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata merupakan perkara yang telah disinggung nash-nash Al-Qur`ân dan Sunnah yang memerintahkannya, menjelaskan keutamaannya, dan batilnya suatu amalan jika tidak disertai dengannya. Adapun niat untuk mengerjakan amalan itu sendiri, maka meskipun hal itu harus ada dalam setiap amalan, akan tetapi hal tersebut dipastikan keberadaannya dalam setiap amalan yang dikerjakan oleh orang yang memiliki akal dan kesadaran. Karena niat dalam makna tersebut merupakan suatu keinginan untuk mengerjakan suatu perbuatan, dan setiap orang yang berakal pasti meniatkan amalan yang ia kerjakan tersebut.

Sebagaimana kaidah ini masuk dalam permasalahan ibadah, maka masuk pula dalam permasalahan muamalah. Maka setiap muamalah baik berupa jual beli, ijarah (sewa-meyewa), syirkah (persekutuan dagang), atau selainnya yang terdapat larangannya dalam syari’at, maka muamalah tersebut batil dan haram dilaksanakan, meskipun pelaku muamalah tersebut saling ridha. Dikarenakan keridhaan dalam masalah ini disyaratkan setelah terpenuhinya keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya

Oleh karena itu, praktek-praktek muamalah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, seperti melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain dalam pemberian, wasiat, dan warisan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris.[6]

Demikian pula, dalam permasalahan wakaf, syarat yang diberikan oleh orang yang mewakafkan haruslah tidak menyelisihi syari’at. Jika ternyata menyelisihi syari’at maka syarat tersebut tidaklah dianggap. Dalam hal ini, yang menjadi timbangan dalam penentuan syarat tersebut secara umum adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ , إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum muslimin di atas syarat-syarat yang mereka tentukan, kecuali jika syarat tersebut mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.[7]

Berkaitan dengan masalah pernikahan, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, bentuk-bentuk nikah yang dihalalkan dan yang diharamkan, masalah talaq, ruju’, dan seluruh hal yang berkaitan dengannya, haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syar’i, jika tidak demikian maka hal tersebut tertolak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4 : 59].

Demikian pula tentang permasalahan sumpah. Seseorang tidak boleh bersumpah dengan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala , atau nama-nama-Nya, atau sifat-sifat-Nya, karena hal tersebut tidak sesuai dengan tuntunan syari’at. Dan dalam permasalahan nadzar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ , وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اللهَ فَلاَ يَعْصِهِ

Barang siapa yang bernadzar untuk melaksanaakan ketaatan kepada Allah maka hendaklah ia menunaikan nadzarnya, dan barang siapa yang bernadzar untuk berbuat maksiat kepada Allah maka janganlah ia menunaikan nadzarnya.[8]

Bahkan masalah fiqih dari awal sampai akhir tidak terlepas dari kaidah ini. Karena sesungguhnya, hukum-hukum syar’i diambil dari empat landasan, yaitu: Al-Kitâb, as-Sunnah, yang keduanya menjadi pokok dalil syar’i; kemudian Ijma’ yang disandarkan pada keduanya, dan Qiyas berdasarkan istimbat dari keduanya.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhâri dalam kitab al-Iman, Bab: Su`alu Jibril an-Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (no. 50), Muslim dalam kitab al-Iman, Bab: Bayanul-Iman (no. 9).
[2]. HR al-Bukhâri dalam kitab Bad’il Wahyi (no. 1), Muslim dalam al-Imârah, Bab: Qaulihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal a’mâlu bin-niyyah” (no. 1907).
[3]. HR Bukhâri dalam kitab al-‘Ilm, Bab: Man Sa`ala wa Huwa Qaim (no. 123). Muslim dalam kitab al-Imârah, Bab: Man Qatala li Takuna Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya (no. 1904).
[4]. HR Bukhâri dalam kitab Bad’il Wahyi (no. 1), Muslim dalam kitab al-Imârah, Bab: Qaulihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal a’mâlu bin-niyyah” (no. 1907).
[5]. HR Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah, Bab: Naqdhil-Ahkamil-Bathilah, no. 1718.
[6]. HR Ahmad (5/267), Abu Dawud dalam kitab al-Washaya, Bab: Mâ Ja`a fil-Washiyyati lil-Warits (no. 2870), Tirmidzi dalam kitab al-Washaya, Bab: Lâ Washiyyata li Waritsin (no. 2121).
[7]. HR Tirmidzi, no. 1370.
[8]. HR Bukhari dalam kitab al-Aiman wan-Nudzur, Bab: an-Nadzr fith-Tha’ah, no. 6696.