Jumat, 02 Juni 2023

Ustadz Anwar, Lc Pengajian Rutin jumat pagi 2.6.2023 masjid at taqwa purwosari kudus

Sekitar Materi HADIS KE-16 -ARBAIN: JANGAN MARAH!
Ustadz Anwar, Lc
Pengajian Rutin jumat 2.6.2023 pagi masjid at taqwa purwosari kudus
Perkiraan waktu baca: 4 menit

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبيِّ ﷺ : أَوْصِنِيْ، قَال : لاَ تَغْضَبْ، فَرَدَّدَ مِرَاراً. قَالَ : لاَ تَغْضَبْ. رواه البخاري

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang berkata kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, ”Berilah aku nasihat!” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jangan marah!” Dia pun mengulanginya beberapa kali, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jangan marah!” (HR. Al Bukhari)

Sangat jelas bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam mewanti-wanti seorang muslim agar tidak marah. Namun marah seperti apa yang dimaksud oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam? Apakah mungkin bagi seseorang untuk tidak marah? Jika yang dimaksud dengan marah adalah perasaan marah yang muncul di dalam hati maka itu tidak mungkin. Kemarahan itu adalah naluri yang dimiliki setiap anak Adam.[1] Olehnya tidak mungkin nabi melarang munculnya perasaan marah pada diri seseorang. Hal ini dikuatkan dengan sabda beliau dalam hadis lain yang berbunyi, “Orang yang tangguh itu bukanlah orang yang senantiasa menang dalam pergulatan. Orang yang tangguh itu ialah orang yang mampu menahan dirinya saat dia marah.”[2]

Jadi, larangan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang dimaksud pada hadis ini adalah larangan untuk tidak membiarkan diri tersulut oleh kemarahan. Maksudnya ialah seorang muslim hendaknya menghindari sebab-sebab yang dapat menjadikannya marah seperti menghindari perdebatan kusir, sikap saling menghina, berprasangka buruk, berkumpul dengan orang-orang yang tidak memiliki adab, dan sebagainya. Makna lain dari larangan beliau adalah jangan melampiaskan amarah yang muncul entah dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.[3]

Dalam Al-Qura’n, Allah memuji hamba-hambaNya yang mampu menahan amarahnya dan menyifati mereka sebagai orang-orang bertakwa. Allah berfirman,

وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ١٣٣ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ

Artinya:  “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali ‘Imran/3: 133-134)

Menahan amarah bukan berarti memendamnya hingga menjadi kebencian atau dendam kesumat yang dibawa mati. Yang dimaksud adalah menahan amarah yang muncul dan tidak menampakkan dan melampiaskannya. Bahkan sebisa mungkin menangkan amarah tersebut hingga bermuara pada sikap memaafkan orang yang telah berbuat salah.

Imam Bukhari menyebutkan penafsiran Ibnu Abbās terhadap ayat 96 dari surat Al-Mukminun. Ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut,

اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ السَّيِّئَةَ

Artinya: “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan (cara) yang lebih baik.” (QS. Al-Mu’minun/23: 96)

Ibnu ‘Abbās berkata, “Bersabar saat marah. Memaafkan saat ada kekeliruan (dari orang lain). Apabila mereka melakukan itu maka Allah akan menjaga/memaksumkan mereka dan menundukkan musuh-musuh mereka.”[4]
Jika upaya menahan amarah dari dalam diri sendiri belum cukup kuat untuk menahannya maka hendaknya seorang muslim melakukan hal-hal berikut:

*1. Mengucapkan Ta’awwudz*
Sulaiman bin Shurad bercerita, “Aku sedang duduk bersana Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan ada dua orang yang saling mencaci. Salah satunya berwajah memerah dan urat lehernya menegang. Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh aku mengetahui satu kalimat yang bila diucapkan akan hilang apa yang sedang dialaminya. Seandainya dia mengatakan ‘a’uudzu billahi minasy syaithaan’ (aku berlindung kepada Allah dari setan).’ Lalu orang-orang mengatakan kepada orang itu, ‘Sesungguhnya Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Berlindungkah kepada Allah dari setan.’ Orang itu berkata, ‘Apakah aku sudah gila?’” Dengan mengucapkan ta’awwudz seseorang dapat terhindar dari pelampiasan gejolak amarahnya. Namun ini perlu latihan disertai dengan penghayatan terhadap makna ta’awwudz tersebut. Lihatlah orang yang disebutkan dalam hadis Sulaiman bin Shurad tadi. Ia bahkan menimpali anjuran sang rasul dengan kemarahan. Ini karena ia kehilangan penghayatan terhadap makna kalimat ta’awwudz dan tidak meyakininya. Bahkan ia menimpali, “Apa kau pikir aku sudah gila?” Imam al-Nawawi berkata, “Ini adalah ucapan orang yang tidak mengerti agama Allah ta’ala. Tidak terdidik dengan cahaya syariat yang mulia. Dia berpikir bahwa ta’awwudz hanya untuk orang gila dan dia tidak tahu bahwa amarah itu berasal dari setan… Kemungkinan orang ini dari kalangan orang munafik atau dari orang-orang Arab Badui yang kasar. Wallahualam. Kemungkinan lainnya orang ini telah teramat dipenuhi oleh amarah sehingga tidak mampu bersikap objektif.”[5]

*2. Mengubah Posisi*
Saat seseorang marah dalam keadaan berdiri hendaknya dia duduk. Jika duduk hendaknya bersandar. Jika bersandar hendaknya berbaring. Intinya semakin dekat dia dengan keadaan tawaduk maka itu lebih baik dan lebih menyusahkan dirinya apabila dia ingin melampiaskan amarahnya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi disebutkan, “Ingat! Marah itu bara api di hati manusia. Apa kalian tidak melihat merahnya mata orang marah dan uratnya membengkak? Barang siapa yang merasakan sesuatu dari amarah itu, hendaklah menempel ke tanah.”[6] Dalam hadis lain disebutkan, “Jika salah seorang di antara kalian marah sementara dia sedang berdiri, maka hendaklah dia duduk. Jika kemarahan itu reda (itulah yang diharapkan), jika tidak maka hendaklah dia berbaring.”[7]

*3.Berwudu*
Abu Wa`il Shan’ani Muradi dia berkata, “Kami pernah duduk bersama ‘Urwah bin Muhammad, tiba-tiba dihadapkanlah seorang laki-laki kepadanya. Laki-laki itu kemudian berbicara padanya dengan ungkapan yang membuat ‘Urwah marah. Maka ketika Urwah akan melampiaskan amarahnya, dia pun berdiri dan kembali kepada kami dalam keadaan telah berwudu. Kemudian dia berkata, ‘Bapakku telah menceritakan dari kakekku, Athiyah (salah seorang sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam), dia berkata, ‘Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya kemarahan itu datangnya dari setan dan setan tercipta dari api, sedangkan api hanya dapat dipadamkan oleh air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah hendaklah dia berwudu.’’”[8]

*4. Diam*
Jika seseorang membiarkan dirinya terus bicara saat dia marah, dia akan kehilangan kontrol terhadap ucapan yang keluar dari lisannya. Jika akal tertutupi oleh asap dari bara api kemarahan maka sumpah serapah, teriakan, caci maki kemungkinan besar tidak terelakkan. Oleh sebab itu, jurus terbaik yang dapat dilakukan saat itu adalah diam. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Bila engkau marah maka diamlah! Bila engkau marah maka diamlah! Bila engkau marah maka diamlah!”[9]
Dalam hadis ini terdapat pelajaran lain yaitu semangat para sahabat dalam mencari ilmu agama dan apa saja yang bermanfaat bagi akhirat.

Selain itu, hadis ini juga menunjukkan bahwa nasihat tidakx mesti panjang. Nasihat yang baik adalah nasihat yang tepat sasaran, memenuhi kebutuhan sang penerima nasihat tersebut. *Wallahualam*.

Fadhal dan Rahmat kemurahan Allah tidak terbatasi oleh kesalehan

Rahmat dan kemurahan Allah tidak terbatasi oleh kesalehan. Rahmat dan kemurahan Allah begitu luas. Rahmat dan kemurahan Allah tidak juga terikat pada hukum sebab akibat. Rahmat dan kemurahan Allah dapat mengalir kepada siapa saja yang dikehendaki.


فكن على كرم الرحمن معتمدا * لا تستند لا إلى علم ولا عمل  
ففضل ربك لا تمنعه معصية * ولا يضاف إلى الأغراض والعلل

Artinya, “Jadilah kamu orang yang pada kemurahan Zat yang maha Rahman bersandar *tidak bertopang baik pada ilmu maupun amal//karunia Tuhanmu tidak tercegah oleh maksiat* tidak juga disandarkan pada tujuan (keuntungan) maupun sebab,” (Syekh Ali bin Abdullah bin Ahmad Baras, Syifa’us Saqam wa Fathu Khaza’inil Kalim fi Ma’nal Hikam, [Beirut, Darul Hawi: 2018 M/1439 H], halaman 117).
Kebanyakan orang berpikir bahwa rahmat dan kemurahan Allah diberikan hanya kepada orang-orang yang saleh belaka. Dengan keliru berpikir seperti ini, banyak orang mengejar kesalehan lahiriah karena menganggap kesalehan sebagai sebab atas rahmat Allah. Orang seperti ini akan ngedrop pesimis dan anjlok harapannya kepada Allah ketika ia terjebak dalam sebuah dosa yang sudah menjadi takdirnya. Tetapi sebaliknya, orang yang mengandalkan amal ibadahnya untuk mengharap rahmat dan kemurahan Allah akan merasa tinggi hati dan istimewa ketika melakukan suatu amal ibadah.

 
من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل

Artinya, “Salah satu tanda seseorang bersandar pada amal adalah kurang harapannya kepada Allah ketika suatu saat ia terperosok dalam sebuah dosa,” (Ibnu Athaillah, Al-Hikam). Adapun orang yang bersandar kepada Allah, bukan kepada ilmu atau amalnya tidak akan merasa tinggi hati ketika melakukan amal ibadah dan tidak merasa pesimis ketika terperosok dalam sebuah dosa. Sebenarnya apa yang disebutkan Syekh Ibnu Athaillah itu hanya salah satu tanda seseorang bergantung pada amalnya. Tetapi itu sudah merupakan satu tanda atau petunjuk yang memadai. Salah satu ciri pembeda dari orang yang bersandar kepada Allah, bukan kepada ilmu dan amalnya adalah ia tidak merasa dirinya istimewa ketika suatu malam ia bertahajud. Sementara orang lain tertidur nyenyak. (Syekh Ali Baras, 2018 M/1439 H: 113). Mereka yang bersandar kepada Allah lebih menyaksikan keesaan perbuatan Allah dalam menggerakkan hamba-Nya. Dengan demikian, mereka tidak merasa ujub ketika beribadah dan tidak berputus asa dari rahmat dan kemurahan Allah ketika ditakdirkan berbuat suatu kekhilafan. Namun demikian, keluasaan rahmat-Nya bukan alasan untuk bermalas-malasan atau bahkan berhenti dalam beramal. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan) 

Ulasan bloger: umar bin khotob ga pernah minta jadi pembela nabi muhammad saw  tapi fadhal dan rahmatnya Allah ga ada yg nyangka kita hanya objek hanya Allah subjeknya wallahu a'alam


Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/keluasan-rahmat-dan-kemurahan-allah-dalam-khazanah-tasawuf-vmP3r