Jumat, 23 Februari 2018

Sebab Alloh mendazab seseorang atau suatu kaum

Sebab Alloh mendazab atau mengampuni seseorang atau suatu kaum

اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ  يُعَذِّبُ مَنْ يَّشَآءُ وَيَغْفِرُ لِمَنْ يَّشَآءُ   ۗ  وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
a lam ta'lam annalloha lahuu mulkus-samaawaati wal-ardh, yu'azzibu may yasyaaa`u wa yaghfiru limay yasyaaa`, wallohu 'alaa kulli syai`ing qodiir

"Tidakkah kamu tahu bahwa Allah memiliki seluruh kerajaan langit dan bumi, Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki dan mengampuni siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 40)

1. -Mereka berlomba lomba dlm kekufuran, senang dengar berita bohong, suka mengubah ayat ayat Alloh

يٰۤـاَيُّهَا الرَّسُوْلُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْكُفْرِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوْۤا اٰمَنَّا بِاَ فْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ  ۛ  وَمِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا  ۛ  سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ سَمّٰعُوْنَ لِقَوْمٍ اٰخَرِيْنَ ۙ  لَمْ يَأْتُوْكَ ۗ  يُحَرِّفُوْنَ الْـكَلِمَ مِنْۢ بَعْدِ مَوَاضِعِهٖ ۚ  يَقُوْلُوْنَ اِنْ اُوْتِيْتُمْ هٰذَا فَخُذُوْهُ وَاِنْ لَّمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوْا   ۗ  وَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ فِتْنَـتَهٗ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهٗ مِنَ اللّٰهِ شَيْـئًـا ۗ  اُولٰٓئِكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللّٰهُ اَنْ يُّطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ  ۗ  لَهُمْ فِيْ الدُّنْيَا خِزْيٌ  ۖ  وَّلَهُمْ فِيْ الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

"Wahai Rasul (Muhammad)! Janganlah engkau disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang (munafik) yang mengatakan dengan mulut mereka, Kami telah beriman, padahal hati mereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, Jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah) terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah. Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 41)

2. Senang mendengar berita bohong dan banyak makan makanan yg haram

سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَ كّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِ ۗ  فَاِنْ جَآءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْ  ۚ  وَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـئًـا   ۗ  وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ  ۗ  اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
"Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 42)

3. Mengangkat hakim padahal bukan orang berima

وَكَيْفَ يُحَكِّمُوْنَكَ وَعِنْدَهُمُ التَّوْرٰٮةُ فِيْهَا حُكْمُ اللّٰهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ  ۗ  وَمَاۤ اُولٰٓئِكَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ

"Dan bagaimana mereka akan mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, nanti mereka berpaling (dari putusanmu) setelah itu? Sungguh, mereka bukan orang-orang yang beriman."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 43)

4. Para ulama dan pendeta-pendeta diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Tapi mereka takut kepada manusia,  dan  menjual ayat-ayat-Alloh dengan harga murah. Dan mereka sebenarnya orang-orang kafir."

اِنَّاۤ اَنْزَلْنَا التَّوْرٰٮةَ فِيْهَا هُدًى وَّنُوْرٌ   ۚ  يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا وَ الرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَآءَ   ۚ  فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا   ۗ  وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰٓئِكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
"Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 44)

5. Tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَاۤ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ ۙ  وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ ۙ  وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌ ۗ  فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ   ۗ  وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

"Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 45)

* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com

Simpul-Simpul’ ISLAM


Sungguh, simpul-simpul Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali satu simpul terlepas, orang-orang bergantung pada simpul berikutnya. Yang pertama terlepas adalah al-hukm (pemerintahan/hukum) dan yang terakhir adalah shalat (HR Ahmad).

Imam Ahmad (164-241 H) menukil hadis di atas berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Abdul Aziz bin Ismail bin Ubaidillah, dari Sulaiman bin Habib, dari Abu Umamah al-Bahili, dari Rasulullah saw.

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban (w. 354) dalam Shahîh Ibn Hibbân, al-Hakim (321-405 H) dalam Al-Mustadrak, al-Baihaqi (384-458) dalam Su‘ab al-îmân, ath-Thabrani (260-360 H) dalam Musnad asy-Syamiyîn dan Mu’jam al-Kabîr, Muhammad bin Nushr bin al-Hajaj al-Muruzi (202-294 H) dalam Taqdîr Qadr ash-Shalâh, dan yang lainnya. Semuanya bersandar kepada sanad Ahmad di atas.

Para perawi riwayat tersebut adalah para perawi sahih. Memang, menurut sebagian ulama hadis seperti Abu Mushir Walid bin Muslim (w. 195 H) perawi hadis ini termasuk mudallis atau melakukan tadlîs, yaitu menyembunyikan kecacatan yang ada dalam sanad dan menampakkan kebaikan pada lahiriahnya. Namun di sisi lain, banyak juga pujian terhadapnya, di antaranya ia digelari dengan al-hâfizh, ‘âlim asy-syâm. Ia juga dikenal luas keilmuannya, tawaduk dan kuat hapalannya. Muhammad bin Saad Abu al-Hasan al-‘Ajali al-Kufi (182-261) dan yang lain menilainya tsiqah. Abu Hatim menilainya “shâlih al-hadîts”. Ibn Hajar dalam Muqadimah Fath al-Bârî menyatakan, “Walid bin Muslim ad-Dimasyqi dikenal luas dan disepakati ke-tsiqah-annya. Ulama hadis hanya mencelanya karena banyak melakukan tadlîs dan tasywiyah…”

Menurut Dr. Mahmud ath-Thahan dalam Taysîr Mushthalah al-Hadîts, sikap yang sahih atas riwayat seorang mudallis adalah: “Jika ia menyatakan secara jelas bahwa ia mendengar (hadis tersebut) maka riwayatnya diterima, yakni jika ia berkata, “Sami’tu (Aku telah mendengar),” atau yang semisalnya, maka hadisnya diterima.” Dalam riwayat di atas secara jelas Walid berkata, “Hadatsanâ (Telah menceritakan kepada kami). Dengan demikian, hadis di atas dapat diterima. Karena itu, kita mendapati Ibn Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Haitsami dalam Majma‘ az-Zawâ’id, al-Minawi dalam Faydh al-Qadîr dan lainnya menilai hadis di atas sahih.

Makna Hadis

Dalam Lisân al-‘Arab, ‘urâ adalah jamak dari ‘urwah. Kata ‘urwah memiliki beberapa arti di antaranya: pegangan di sisi timba, cangkir atau teko; al-wutsqâ (perjanjian); akar tumbuhan yang tersisa di tanah dan tetap tumbuh; semak belukar; harta yang berharga; sesuatu yang dijadikan pegangan dan sebagainya.

Al-Minawi menyatakan, ‘urâ al-Islâm, ‘urâ jamak dari ‘urwah, asalnya adalah sesuatu yang menjadi pegangan di sisi timba, cangkir dan semisalnya. Lalu dipinjam (dengan gaya majaz isti‘ârah) dan digunakan untuk menyebut perkara agama berupa cabang-cabang Islam yang dijadikan pegangan dan tempat untuk bergantung.

Hadis ini menyatakan bahwa al-hukm (pemerintahan dan al-qadhâ’), sama seperti shalat, adalah bagian dari urâ al-Islam. Artinya, pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Islam seperti halnya shalat. Karena itu, hadis ini menggugurkan pendapat orang bahwa pemerintahan adalah urusan dunia dan bukan bagian dari Islam. Justru sebaliknya, hadis di atas menyatakan bahwa al-hukm (pemerintahan/al-qadhâ’) adalah salah satu simpul Islam. Karena itu pula, memisahkan pemerintahan dari Islam sama artinya dengan membuang salah satu simpul Islam.

Dalam hadis ini Rasul saw. mengabarkan bahwa ‘ura al-Islâm itu akan diurai satu-persatu. Ungkapan dalam bentuk pasif, yunqadhanna menunjukkan bahwa terurai atau rusaknya ‘ura al-Islâm itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diurai/dirusak atau bahkan dihancurkan oleh musuh Islam atau oleh orang Islam sendiri yang terpedaya dan atau diperalat oleh mereka.

Menurut Abu al-Biqa’, ‘urwat[an] ‘urwat[an] dibaca nashab sebagai hal (keterangan) yang menunjukkan proses berurutan. Artinya, setelah ‘urwah pertama terurai diikuti yang kedua dan seterusnya hingga ‘urwah yang terakhir. Yang pertama terurai adalah al-hukm (pemerintahan dan al-qadhâ’) dan yang terakhir adalah shalat. Ini menunjukkan bahwa al-hukm menjadi fokus sasaran pertama. Jika al-hukm berhasil dirusak maka itu menjadi pembuka bagi rusaknya simpul Islam yang lain, sampai yang terakhir, yakni shalat. Al-Hukm itu menjadi penghalang rusaknya simpul Islam lainnya. Jika al-hukm tetap ada dan baik maka ‘urwah lainnya juga bisa akan tetap ada dan baik. Artinya, pemerintahan menjadi pelindung bagi simpul-simpul Islam. Di sinilah, Rasul saw. menggambarkan dalam hadis lain bahwa imam (penguasa/pemerintahan Islam) adalah junnah (perisai) yang melindungi Islam dan kaum Muslim.

Sebagian dari apa yang digambarkan Rasul saw. dalam hadis ini dapat kita lihat jelas saat ini. Ketika pemerintahan Islam terakhir, yakni Khilafah Turki Utsmani berhasil diruntuhkan oleh Barat melalui anteknya Musthafa Kamal la‘natullâh ‘alayh, Islam hilang dari ruang publik pengaturan masyarakat. Lalu hal itu segera diikuti dengan rusaknya simpul-simpul Islam yang lain. Hingga sekarang, Islam hanya tersisa pada sektor privat; hanya tersimpan di dada pribadi-pribadi Muslim serta tercermin pada ritual ibadah dan unsur akhlak semata seperti saat ini.

Dalam kondisi seperti ini, ‘urâ al-Islâm yang tersisa adalah ‘urwah shalat. Tentu ‘urwah shalat ini harus dijaga dan dipertahankan. Namun, upaya itu harus disertai dengan upaya untuk memperbaiki dan mewujudkan ‘urwah yang lainnya dan terutama ‘urwah al-hukm. Al-Hukm akan melindungi urwah-urwah Islam. Karena itu, upaya untuk mewujudkan kembali ‘urwah al-hukm, yakni pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum Allah, merupakan upaya strategis untuk memperbaiki dan mewujudkan kembali ‘urâ al-Islâm secara keseluruhan. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].

Menerima hukum islam

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ  حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْۤ اَنْفُسِهِمْ  حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 65)

Apakah hukum jahiliyah

اَفَحُكْمَ  الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ  وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)