FIQIH

 

Sabtu, 10 Desember 2011

Fiqih Shalat Gerhana 


I. Muqadimah
Kusuful Qamar (Gerhana Bulan) dan Khusufusy Syams (Gerhana Matahari) adalah dua tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala yang dikehendakiNya terjadi dalam kehidupan dunia. Keduanya tidak terkait dengan mitos dan khurafat tertentu. Keduanya –dan hal apa pun yang terjadi pada benda-benda langit- adalah terjadi sesuai dengan iradah dan qudrahNya atas mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (5) وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ (6) وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8)
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan Kedua-duanya tunduk kepada nya dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. (QS. Ar Rahman: 5-8)
Islam telah memberikan bimbingan bagi umatnya tentang apa yang mesti mereka perbuat jika datang peristiwa gerhana. Peristiwa ini bukan sekedar menjadi pengalaman alamiah semata, dan sekedar untuk bersenang-senang melihat gerhana, tetapi dikembalikan kepada upaya dan sarana pengabdian kepada yang menciptakan terjadinya gerhana.
II. Ta’rif (Definisi)
Apakah yang dimaksud dengan Kusuful Qamar dan Khusufusy Syams?
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وجمهور أهل اللغة وغيرهم على أن الخسوف والكسوف يكون لذهاب ضوئهما كله و يكون لذهاب بعضه
Menurut mayoritas ahli bahasa dan selain mereka, bahwa khusuf dan kusuf itu terjadi karena hilangnya cahaya keduanya (matahari dan bulan) secara keseluruhan, dan karena juga hilangnya sebagiannya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
III. Masyru’nya Shalat Gerhana
Kesunahan shalat gerhana telah menjadi kesepakatan dari masa ke masa, sebab begitu banyak riwayat yang menyebutkannya, baik untuk dilakukan oleh kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah.
Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
اتفق العلماء على أن صلاة الكسوف سنة مؤكدة في حق الرجال والنساء، وأن الافضل أن تصلى في جماعة وإن كانت الجماعة ليست شرطا فيها
Para ulama telah sepakat, bahwasanya shalat gerhana adalah sunah muakadah (sunah yang ditekankan) bagi kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah, hanya saja berjamaah itu bukan syarat sahnya shalat gerhana. (Fiqhus Sunnah, 1/213)
Imam An Nawawi Rahimahullah juga menjelaskan:
وأجمع العلماء على أنها سنة ومذهب مالك والشافعي وأحمد وجمهور العلماء أنه يسن فعلها جماعة وقال العراقيون فرادى
Ulama telah ijma’ bahwa shalat gerhana adalah sunah, dan madzhab Malik, Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama bahwa shalat tersebut disunahkan dilakukan dengan cara berjamaah. Sedangkan ‘Iraqiyin (para ulama Iraq, yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, pen) berpendapat dilakukan sendiri saja. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Artinya, tidak mengapa dilakukan sendiri, namun menghidupkan sunah –yakni berjamaah- adalah lebih utama, sebab begitulah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabatnya, dan ini menjadi pegangan umumnya fuqaha.
IV. Dalil Pensyariatannya
Di sini akan di sebutkan satu saja dari sekian banyak dan model penceritaan shalat gerhana, yakni dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Sesungguhnya (gerhana) matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044, 1046, Muslim No. 901)
Inilah cara Islam, yakni berdoa, berdzikir (takbir), shalat, dan bersedekah, bukan mengaitkannya dengan mitos, tahayul, dan khurafat tertentu. Sabda nabi ini, sekaligus mengoreksi keyakinan sebagian manusia pada zaman itu yang mengaitkan terjadinya gerhana dengan wafatnya anak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Ibrahim.
V. Waktu Pelaksanaannya
Waktunya adalah sejak awal gerhana sampai keadaan kembali seperti sedia kala.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ووقتها من حين الكسوف إلى التجلي
Waktunya adalah dari sejak gerhana sampai kembali tampak (sinarnya). (Fiqhus Sunnah, 1/215)
Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
تصلى هذه الصلاة وقت حدوث الكسوف والخسوف
Dilaksanakannya shalat ini adalah pada waktu terjadinya gerhana (Al Kusuf dan Al Khusuf). (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/552)
Sehingga, shalat gerhana belum boleh dilaksanakan jika belum mulai gerhana, dan sebaliknya jika sudah nampak terang atau sinar lagi secara sempurna, selesailah waktu dibolehkannya pelaksanaan shalat gerhana.
Bolehkah dilakukan pada waktu-waktu terlarang shalat? Yaitu setelah shalat subuh sampai saat awal terbit matahari, ketika matahari tegak di atas sampai tergelincirnya, lalu setelah shalat ashar sampai saat pas matahari terbenam.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, Jumhur (mayoritas) mengatakan tidak boleh yakni makruh, inilah pandangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, kalangan Hanabilah mengatakan berdoa dan berdzikir saja, tanpa shalat, sebab larangan itu berlaku umum untuk jenis shalat sunah apa pun. Ada pun kalangan syafi’iyah membolehkannya. (Ibid, 2/553-554)
Yang lebih kuat – Wallahu A’lam- adalah yang menyatakan boleh. Dalilnya adalah:
- Keumuman dalil:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044, Muslim No. 901)
Maka, hadits ini berlaku secara mutlak (umum) bahwa shalat gerhana dilakukan kapan saja, sebab itu adalah konsekuensi dari perkataan “Jika kalian menyaksikannya.” Jadi, kapan saja menyaksikan gerhana, shalatlah . ...
- Larangan shalat pada waktu-waktu terlarang itu hanya berlaku bagi shalat-shalat yang dilakukan tanpa sebab (istilahnya shalat muthlaq). Ada pun jika dilakukan karena adanya sebab khusus, maka dibolehkan. Hal ini terlihat jelas ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkan seorang sahabatnya yang mengqadha shalat sunah fajar dilakukan setelah shalat subuh. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengqadha shalat sunah ba’diyah zhuhur di waktu setelah ashar. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan seseorang untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid ketika beliau sedang khutbah, padahal itu adalah waktu yang terlarang melakukan aktifitas apa pun kecuali mendengarkan khutbah, ternyata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru memerintahkan sahabat itu, dengan mengatakan qum farka’ rak’atain (Bangunlah dan shalatlah dua rakaat). Para sahabat juga pernah shalat jenazah pada waktu setelah ashar, sehingga menurut Imam An Nawawi dan Imam Abul Hasan Al Mawardi kebolehan shalat jenazah pada waktu terlarang adalah ijma’ , karena saat itu para sahabat tidak ada yang mengingkarinya. Begitu pula shalat gerhana di waktu-waktu terlarang ini, dia termasuk shalat yang memiliki sebab (yakni peristiwa gerhana), bukan termasuk shalat muthlaq. Sehingga tetap dibolehkan walau dilakukan saat waktu terlarang shalat.
VI. Tata Cara Pelaksanaannya
Tata cara pelaksanaan shalat gerhana telah dijelaskan secara rinci dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَكَبَّرَ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقَامَ وَلَمْ يَسْجُدْ وَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِثْلَ ذَلِكَ فَاسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ
Terjadi gerhana matahari pada saat hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau keluar menuju masjid lalu dia berbaris bersama manusia di belakangnya, lalu Beliau bertakbir, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca surat dengan panjang (lama), lalu beliau bertakbir dan ruku dengan ruku yang lama, lalu bangun dan berkata: sami’allahu liman hamidah, lalu Beliau berdiri lagi tanpa sujud, lalu Beliau membaca lagi dengan panjang yang hampir mendekati panjangnya bacaan yang pertama, lalu Beliau takbir, lalu ruku dengan ruku yang lama yang hampir mendekati lamanya ruku yang pertama, lalu mengucapkan: sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu, kemudian Beliau sujud. Kemudian dia berkata: pada rakaat terakhir dilakukan seperti itu juga maka sempurnalah empat kali ruku pada empat kali sujud. Lalu, matahari terbit sebelum Beliau pulang. (HR. Bukhari No. 1046, Muslim No. 901, 1, 3)
Dalam hadits ini bisa dipahami:
- Shalat gerhana dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam masjid
- Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah
- Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat
- Rakaat pertama dua kali ruku, Rakaat kedua juga dua kali ruku, total empat kali ruku
- Tertibnya: takbiratul ihram, membaca Al Fatihah, membaca surat yang panjang, lalu ruku yang lama, bangun lagi, membaca Al Fatihah, membaca surat yang panjangnya hampir sama dengan yang pertama, lalu ruku’ yang lamanya hampir sama dengan ruku sebelumnya, setelah itu sujud seperti shalat biasa (lengkap dengan duduk di antara dua sujudnya), lalu bangun lagi dan melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama, hingga salam.
Tambahan:
- Ada pun dalam riwayat lain, diceritakan bahwa sujudnya juga panjang. (HR. Bukhari No. 3203)
- Dianjurkan imam mengucapkan Ash Shalatu Jami’ah, boleh juga orang lain, untuk mengumpulkan manusia agar berkumpul di masjid, sebagaimana riwayat berikut:
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diserukan bahwa sesungguhnya shalat ini berjamaah (Ash Shalatu Jaami’ah). (HR. Bukhari 1045, menurut lafaz Imam Muslim No. 910, 20: nudiya bish shalati jaami’ah – diserukan dengan kalimat: Ash Shalatu Jaami’ah.)
Oleh karenanya, Syaikh Sayyid Sabiq berkata:
وينادى لها: (الصلاة جامعة)
Dan diserukan untuk shalat gerhana: Ash Shalatu Jaami’ah! (Fiqhus Sunnah, 1/213)
Demikian ini adalah tata cara shalat menurut jumhur ulama.

Apakah Ada Cara Lain?
Dalam pandangan Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, tatacara shalat gerhana adalah dua rakaat biasa dengan sekali ruku, sebagaimana shalat hari raya atau shalat Jumat.
Imam An Nawawi menyebutkan:
وقال الكوفيون هما ركعتان كسائر النوافل عملا بظاهر حديث جابر بن سمرة وأبي بكرة أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى ركعتين
Berkata Kufiyyin (Para ulama Kufah), shalat gerhana adalah dua rakaat sebagaimana shalat nafilah lainnya, berdasarkan zahir hadits Jabir bin Samurah dan Abu Bakrah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Dalilnya adalah bahwa:
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فإذا رأيتم ذلك فصلوا كأحدث صلاة صليتموها من المكتوبة
Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan. (HR. Ahmad No. 20607, dari Qabishah, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1870, dari An Nu’man bin Basyir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6128, Al Bazzar No. 1371, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 957, dalam Al Awsath No. 2805)
2. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
الشمس انخسفت فصلى نبي الله صلى الله عليه وسلم ركعتين ركعتين
Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua rakaat. (HR. An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 1872, Al Bazzar No. 3294)
Namun dua hadits ini dipermasalahkan para ulama. Kita bahas satu persatu.
Hadits pertama, yang berbunyi: “Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan.”
- Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 20607, dengan sanad: Berkata kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, berkata kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Qabishah, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
- Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1870, dengan sanad: Telah mengabarkan kami Muhammad bin Basyar, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahhab, dia berkata: Khalid dari Abu Qilabah dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebutkan hadits diatas)
- Dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6128, dengan sanad: Telah mengabarkan kami Abul Hasan Ali bin Muhammad Al Muqri’ Al Mihrajani, dengannya dia mengabarkan kepada Al Hasan bin Muhammad bin Ishaq, berkata kepada kami Yusuf bin Ya’qub Al Qadhi, berkata kepada kami Muhammad bin Abi Bakr, berkata kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, dari Khalid, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
- Dikeluarkan oleh Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 1371, dengan sanad: bercerita kepada kami Nashr bin Ali, bercerita kepada kami Ziyad bin Abdullah, Yazid bin Abi Ziyad, Abdurrahman bin Abi Laila, dari Bilal, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
- Imam Al Bazzar juga mengeluarkan pada No. 3294, dengan sanad: bercerita kepada kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan kami Muadz bin Hisyam, katanya: ayahku mengabarkan kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
- Imam Ath Thabarani mengelurkan dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 2805, sanadnya: bercerita kepada kami Ibrahim, bercerita kepada kami Ruh bin Abdul Mu’min Al Bashri, bercerita kepada kami Muadz bin Hisyam, katanya: ayahku berkata kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
- Imam Ath Thabarani juga mengelurkan dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 957, sanadnya: bercerita kepada kami ’Abdan bin Ahmad, bercerita kapeada kami Muawiyah bin ‘Imran Al Jarmi, bercerita kepada kami Anis bin Siwar Al Jarmi, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Hilal bin Amru, bahwa Qabishah Al Hilali berkata kepadanya: (disebutkan hadits di atas)
Validitas hadits ini diperselisihkan para imam, sebab umumnya jalur hadits ini melalui Abu Qilabah (nama aslinya adalah Abdullah bin Zaid Al Jarmi), Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
كان كثير الإرسال، ولم يصرِّح هنا بسماعه من قبيصة بن مخارق
Dia banyak memursalkan hadits, dan pada hadits ini tidak ada kejelasan bahwa dia mendengar hadits tersebut dari Qabishah bin Mukhaariq. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 20607. Beliau pun mengatakan: isnaduhu dhaif - isnadnya dhaif)
Imam Al Baihaqi juga mengisyaratkan kedhaifan riwayat ini, katanya:
هذا مرسل أبو قلابة لم يسمعه من النعمان بن بشير إنما رواه عن رجل عن النعمان
Hadits ini mursal, Abu Qilabah belum pernah mendengarnya dari An Nu’man bin Basyir, sesungguhnya dia cuma mendengar dari seorang laki-laki, dari An Nu’man. (Lihat As Sunan Al Kubra No. 6128)
Imam Yahya bin Al Qaththan juga menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat, yakni inqitha’ (terputus sanadnya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/215)
Imam Al Haitsami mengomentari:
رواه البزار والطبراني في الأوسط والكبير وعبد الرحمن بن أبي ليلى لم يدرك بلالا وبقية رجاله ثقات
Diriwayatkan oleh Al Bazzar, Ath Thabarani dalam Al Awsath, dan Al Kabir, dan Abdurrahman bin Abi Laila belum pernah berjumpa dengan Bilal, namun para perawi lainnya terpercaya. (Majma’ Az Zawaid, 2/446)
Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan:
قَالَ أَبِي: قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: أَبُو قِلَابَةَ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ مُرْسَلٌ، قَالَ أبي: قد أدرك أبي قِلَابَةَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ، وَلَا أَعْلَمُ أَسَمِعَ مِنْهُ، أَوْ لَا
Berkata Ayahku (Imam Abu Hatim): Berkata Yahya bin Ma’in: Abu Qilabah dari An Nu’man adalah mursal. Berkata ayahku: Abu Qilabah telah berjumpa dengan An Nu’man bin Basyir, tapi aku tidak tahu apakah dia mendengar darinya atau tidak. (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 2/228)
Jadi, permasalahan yang ada pada hadits ini adalah semua jalurnya terputus sanadnya baik Abu Qilabah kepada An Nu’man bin Basyir, atau Abu Qilabah kepada Qabishah, atau Abdurrahman bin Abi Laila kepada Bilal, walau periwat lainnya adalah orang-orang terpercaya, sehingga dilemahkan oleh sebagian imam ahli hadits seperti yang kami sebutkan di atas.
Sedangkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menilai bahwa hadits ini mudhtharib (guncang), sehingga pendapat tentang tata cara shalat gerhana seperti shalat biasa adalah keliru. Beliau mengatakan:
قلت : هذا المذهب غير صحيح لأن الحديث ليس بصحيح فإنه مضطرب كما يأتي ومخالف للأحاديث الصحيحة الواردة في الباب
Aku berkata: madzhab ini tidak benar, karena hadits tersebut tidak shahih, karena dia hadits mudhtharib sebagaimana penjelasan nanti, dan bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih yang ada pada masalah ini. (Tamamul Minnah, Hal. 262)
Namun, sebagian imam menshahihkan hadits ini. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar. (At Talkhish Al Habir, 2/215)
Imam An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih, walaupun Imam Al Baihaqi mengatakan adanya rawi yang gugur (tidak disebut) antara Abu Qilabah dan Qabishah, yaitu Hilal bin Amru, tidaklah menodai keshahihannya, sebab Hilal bin Amru adalah tsiqah. Imam Al Hakim telah menshahihkannya. (Imam An Nawawi, Khulashah Al Ahkam, 2/863)
Demikian hadits pertama.
Hadits kedua, yang berbunyi: Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua rakaat.
- Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487, dengan sanad: mengabarkan kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan kami Muadz (dia adalah Ibnu Hisyam), ayahku bercerita kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari Qabishah Al Hilali, bahwasanya: (lalu disebutkan hadits di atas)
Hadits ini sama dengan sebelumnya yakni kemursalan Abu Qilabah terhadap Qabishah Al Hilali. Sehingga Syaikh Al Albani mendhaifkannya. (Lihat Dhaif ul Jami’ No. 1474, Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1487)
Jadi, setelah diketahui bahwa keshahihan hadits ini tidak pasti, bahkan kecenderungan adalah dhaif, maka tata cara shalat gerhana yang shahih adalah sebagaimana pendapat jumhur ulama, dengan masing-masing rakaat dua kali ruku’, sebab hal itu diriwayatkan oleh hadits-hadits yang lebih shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari para sahabat nabi yang lebih banyak dan lebih utama.
Oleh karenanya, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وحجة الجمهور حديث عائشة من رواية عروة وعمرة وحديث جابر وبن عباس وبن عمرو بن العاص أنها ركعتان في كل ركعة ركوعان وسجدتان قال بن عبدالبر وهذا أصح ما في هذا الباب
Alasan jumhur adalah hadits ‘Aisyah dari riwayat, ‘Urwah, ‘Umrah, jabir, Ibnu Abbas, Ibnu Amr bin Al ‘Ash, bahwa shalat tersebut adalah dua kali ruku pada setiap rakaat, dan juga dua kali sujud. Ibnu Abdil Bar berkata: Ini adalah yang paling shahih tentang masalah ini. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:
السنة الصحيحة الصريحة المحكمة في صلاة الكسوف تكرار الركوع في كل ركعة، لحديث عائشة وابن عباس وجابر وأبي بن كعب وعبد الله بن عمرو بن العاص وأبي موسى الاشعري.
كلهم روى عن النبي صلى الله عليه وسلم تكرار الركوع في الركعة الواحدة، والذين رووا تكرار الركوع أكثر عددا وأجل وأخص برسول الله صلى الله عليه وسلم من الذين لم يذكروه
Sunah yang shahih dan jelas, yang bisa dijadikan hukum tentang shalat kusuf adalah yang menunjukkan diulangnya ruku pada setiap rakaat, yang ditunjukkan oleh hadits ‘Asiyah, Ibnu ‘Abbas, jabir, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, dan Abu Musa Al Asy’ari.
Semuanya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ruku diulang dalam satu rakaat, orang-orang yang meriwayatkan berulangnya ruku lebih banyak jumlahnya, lebih berwibawa, lebih istimewa hubungannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibanding orang-orang yang tidak menyebutkan hal demikian. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/214. Lihat Raudhah An Nadiyah, 1/157)
Wallahu A’lam
VII. Khutbah
Imam tiga madzhab mengatakan bahwa tidak ada khutbah dalam masalah gerhana ini. Baik sebelum atau sesudah shalat. Apalagi bagi yang mengatakan bahwa shalat gerhana itu dilakukan secara munfarid (sendiri). Hal itu merupakan konsekuensi logis dari pendapat mereka bahwa shalat gerhana dilakukan secara sendiri, sebab mana mungkin ada khutbah jika shalatnya sendiri.
Tertulis dalam berbagai kitab para ulama:
قَال أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ : لاَ خُطْبَةَ لِصَلاَةِ الْكُسُوفِ ، وَذَلِكَ لِخَبَرِ : فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ ، وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا أَمَرَهُمْ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - بِالصَّلاَةِ ، وَالدُّعَاءِ ، وَالتَّكْبِيرِ ، وَالصَّدَقَةِ ، وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِخُطْبَةٍ ، وَلَوْ كَانَتِ الْخُطْبَةُ مَشْرُوعَةً فِيهَا لأَمَرَهُمْ بِهَا ؛ وَلأِ نَّهَا صَلاَةٌ يَفْعَلُهَا الْمُنْفَرِدُ فِي بَيْتِهِ ؛ فَلَمْ يُشْرَعْ لَهَا خُطْبَةٌ
Berkata Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad: tidak ada khutbah pada shalat gerhana, alasannya adalah karena hadits: Jika kalian melihat hal itu (gerhana) maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka dengan shalat, doa, takbir, dan bersedekah, tidak memerintahkan mereka berkhutbah. Seandainya khutbah itu disyariatkan, tentunya mereka akan diperintahkan melakukannya, dan juga disebabkan bahwa shalatnya dilakukan sendiri dirumah, maka khutbah tentunya tidak disyariatkan. (Bada’i Ash Shana’i, 1/282, Mawahib Al Jalil, 2/202, Hasyiah Ad Dasuqi, 1/302, Al Mughni, 2/425, Tabyinul Haqaiq, 1/229)
Sementara Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya mengatakan bahwa khutbah pada shalat gerhana itu disyariatkan. Dilakukan setelah shalat dengan dua kali khutbah, diqiyaskan dengan shalat Id. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/52, Asnal Mathalib, 1/286)
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang menceritakan tatacara shalat gerhana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kata ‘Aisyah:
....ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“ ... kemudian Beliau berbalik badan dan matahari mulai terang, lalu dia berkhutbah di hadapan manusia, beliau memuji Allah dengan berbagai pujian, kemudian bersabda: Sesungguhnya (gerhana) matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah.” (HR. Bukhari No. 1044)
Hadits ini tegas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan khutbah setelah shalat gerhana, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya dimulai dengan puji-pujian.
Maka, yang shahih adalah –wallahu a’lam- bahwa khutbah gerhana adalah sunah. Seandai pun nabi hanya melakukan sekali dalam hidupnya, itu tidaklah menghilangkan kesunahannya. Hanya saja tidak ada keterangan khutbah itu adalah dua kali khutbah sebagaimana shalat Id. Tidak dalam hadits, dan tidak pula dalam astar para salaf. Dengan kata lain, aturan dalam khutbah setelah shalat gerhana tidak se-rigid (kaku) khutbah Jumat dan Id (Hari Raya). Ada pun pendapat kalangan Syafi’iyah hanya berasal dari qiyas saja.
Ada ulasan yang bagus dan patut dijadikan renungan dari Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah sebagai berikut:
ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة واتفاق مثل ذلك في خطبته صلى الله تعالى عليه وآله وسلم لا يدل على أنه مقصود متحتم وشرط لازم ولا يشك منصف أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة عليه صلى الله تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد أن يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا وأولاه, ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده ولو قال قائل أن من قام في محفل من المحافل خطيبا ليس له باعث على ذلك إلا أن يصدر منه الحمد والصلاة لما كان هذا مقبولا بل كل طبع سليم يمجه ويرده, إذا تقرر هذا عرفت أن الوعظ في خطبة الجمعة هو الذي يساق إليه الحديث فإذا فعله الخطيب فقد فعل الأمر المشروع إلا أنه إذا قدم الثناء على الله وعلى رسوله أو استطرد في وعظه القوارع القرآنية كان أتم وأحسن.
Kemudian ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yaitu memberikan kabar gembira dan menakut-nakuti manusia. Inilah hakikat yang menjadi jiwa sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi disyariatkan. Adapun yang disyaratkan berupa membaca Alhamdulillah, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, membaca ayat Al Quran, maka semuanya itu adalah perkara di luar tujuan umum disyariatkannya khutbah. Telah disepakati bahwa hal-hal seperti ini (membaca hamdalah, shalawat, dan membaca ayat, pen) dalam khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah menunjukkan bahwa hal itu menjadi syarat yang wajib dilakukan. Tidak ragu lagi bagi orang yang objektif (munshif), bahwa tujuan utama dari khutbah adalah nasihatnya, bukan apa yang dibaca sebelumnya baik itu Alhamdulillah dan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah menjadi tradisi orang Arab yang terus menerus, bahwa jika salah seorang di antara mereka berdiri untuk pidato mereka akan memuji Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan memang betapa baik dan utama hal itu. Tetapi itu bukanlah tujuannya, tujuannya adalah apa yang diuraikan setelahnya. Jika ada yang mengatakan bahwa tujuan orang berpidato dalam sebuah acara adalah hanya mengutarakan Alhamdulillah dan Shalawat, maka hal ini tidak bisa diterima, dan setiap yang berpikiran sehat akan menolaknya.
Jadi, jika telah dipahami bahwa jika orang sudah menyampaikan nasihat dalam khutbah Jumat, dan itu sudah dilakukan oleh khatib, maka dia telah cukup disebut telah menjalankan perintah. Hanya saja jika dia mendahuluinya dengan membaca puji-pujian kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta mengaitkan pembahasannya dengan membaca ayat-ayat Al Quran, maka itu lebih sempurna dan lebih baik. (Imam Shiddiq Hasan Khan, Ar Raudhah An Nadiyah, 1/137)
Demikian menurut Imam Shiddiq Hasan Khan. Sebenarnya di dalam sunah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka khutbah dengan bacaan berikut:
أَنْ الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
{ اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا }
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ }
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا }
(Bacaan pembuka khutbah ini, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi No. 1105, Imam Abu Daud No. 2118, Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1360, Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5528, Imam Ath Thabarani Al Mu’jam Al Kabir No. 10079, Ahmad No. 4115)
Hadits ini dikatakan hasan oleh Imam At Tirmidzi. (Sunan At Tirmidzi No. 1105), dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 4115), Syaikh Al Albani juga menshahihkan hadits ini. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2118)
Kalimat pembuka ini dipakai ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam khutbah haji wada’, oleh karenanya dikenal dengan Khutbatul Hajjah. Tetapi, pembukaan seperti ini juga dianjurkan pada khutbah-khutbah lainnya, termasuk khutbah gerhana.
Imam Al Baihaqi menceritakan sebagai berikut:
قال شعبة قلت لأبي إسحاق هذه في خطبة النكاح أو في غيرها قال في كل حاجة
Berkata Syu’bah: Aku bertanya kepada Abu Ishaq, apakah bacaan ini pada khutbah nikah atau selainnya? Beliau menjawab: “Pada setiap hajat (kebutuhan).” (Lihat As Sunan Al Kubra No. 13604)
Ada pun tentang penutup khutbah, di dalam sunah pun ada petunjuknya, yaitu sebuah doa ampunan yang singkat untuk khathib dan pendengarnya.
عن ابن عمر ، رضي الله عنهما قال : إن النبي صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة قام على رجليه قائما ، وخطب فحمد الله تعالى وأثنى عليه وخطب خطبة ، ذكرها ثم قال : « أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم »
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Fathul Makkah berdiri di atas kedua kakinya, dan dia berkhutbah, lalu memuji Allah Ta’ala, dan menyampaikan khutbahnya, kemudian berkata: Aquulu qauliy hadza wa astaghfirullahu liy wa lakum – aku ucapkan perkataanku ini dan aku memohonkan ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian. (HR. Al Fakihani dalam Al Akhbar Al Makkah No. 1731)
Ucapan ini juga diriwayatkan banyak imam dengan kisah yang berbeda-beda, seperti oleh Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah, Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Imam Ad Darimi dalam Sunannya, Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, dan lainnya.
VIII. Adakah amalan khusus selain shalat?
Seperti yang telah diketahui, kita diperintahkan untuk berdoa, shalat, bertakbir dan bersedekah. Dari empat amalan ini hanya shalat yang memiliki keterangan khusus dan mendetail.
Ada pun doa, tidak ada keterangan doa khusus gerhana; baik sebelum, ketika, dan sesudahnya; baik diawal khutbah, ketika, dan di akhirnya, dan sesudah gerhananya. Maka, kapan saja berdoa selama masih keadaan gerhana, dengan doa apa pun untuk kebaikan dunia, akhirat, pribadi, dan umat, adalah boleh, karena termasuk keumuman perintah untuk berdoa.
Begitu pula bertakbir, tidak ada keterangan khusus bentuk takbir apa yang diucapkan. Oleh karenanya, takbir apa pun secara umum yang bermakna membesarkan dan mengagungkan nama Allah Ta’ala tidaklah mengapa.
Tidak ada pula keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah tentang kadar dan jenis sedekah yang mesti dikeluarkan ketika gerhana. Maka, ini diserahkan atas kerelaan masing-masing.
Wallahu A’lam
Senin, 09 April 2012

AQIQAH

AQIQAH Menurut Empat Madzhab


Senin, 09 April 2012


Definisi (تعريف) Aqiqah
Aqiqah (Arab: ‘aqiqah [akar kata ‘aqqa = عق] = membelah dan memotong). Menurut istilah syar’i (yang berdasarkan syara') adalah binatang yang disembelih sebagai qurban atas anak yang baru lahir.
Aqiqah dalam istilah agama adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allâh سبحانه و تعالى dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian ulama’ disebut dengan nasikah = نسك atau dzabîhah = ذبح (sembelihan).
 Hukum Aqiqah menurut 4 Madzhab
 


Hanafi

Mâliki

Syâfi’î

Hanbali


Mubah

Sunnah

Sunnah Muakkad

Imam Al Laits mengatakan: Wajib
Dasar yang dipakai oleh kalangan Syâfi’îyyah dan Hanbali bahwa Aqiqah adalah sunnah muakkadah adalah hadits Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُمَاطُ عَنْهُ الْأَذَى وَيُسَمَّى
Dari Qatadah, dari Hasan, dari Samurah berkata bahwa Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya. (Binatang) itu disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dan pada hari itu juga kotoran dibersihkan darinya” (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, hasan shahih).
 Adapun Dawud Adh Dhahiri dan mereka yang sependapat dengannya menyatakan bahwa aqiqah adalah wajib. (Al Muhalla: V/ 178). Dalil mereka adalah sabda Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ ، وَيُحْلَقُ ، وَيُسَمَّى
“Setiap anak itu digadaikan kepada aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur dan diberi nama.” (HR. Ahmad, V/807 no. 12,17,18, Ibnu Majah, no. 3165, At Tirmidzi IV/101, An Nasa’i, V/166, dan Abu Daud, III/106).
 
Hewan Aqiqah
Hewan yang disembelih untuk aqiqah, terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha’ sebagai berikut :
وَالْعَقِيقَةُ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَيُعَقُّ عَنْ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ بِشَاةٍ مِثْلَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ سَنِّ الْأُضْحِيَّةِ وَصِفَتِهَا وَلَا يُحْسَبُ فِي السَّبْعَةِ الْأَيَّامِ الْيَوْمُ الَّذِي وُلِدَ فِيهِ .
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa hewan yang boleh dipakai untuk aqiqah adalah  kambing (شاة)  sebagaimana sifat hewan yang bisa disembelih untuk qurban.
 *Imam Malik lebih suka memilih domba (da’n).
Jumlah hewan untuk Aqiqah
Yang lebih utama adalah menyembelih dua ekor kambing yang berdekatan umurnya bagi bayi laki-laki dan seekor kambing bagi bayi perempuan.
لِخَبَرِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا : { أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَعُقَّ عَنْ الْغُلَامِ بِشَاتَيْنِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ بِشَاةٍ } .
Dari Aisyah رضي الله عنها, Kami diperintahkan oleh Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk meng-aqiqah-i anak laki-laki dua ekor kambing yang berdekatan umurnya dan untuk anak perempuan satu ekor kambing”
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena adanya pertentangan antara hadits-hadits mengenai aqiqah dan kias sebagai berikut :
عن أنس بن مالك ، قال : « عق (1) ر رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ بِكَبْشٍ كَبْشٍ
__________
(1) العَقِيقة : الذبيحةُ التي تُذْبح عن الموْلود. وأصْل العَق : الشَّقُّ والقَطْع. وقيل للذبيحة عَقيقَة، لأنَّها يُشَق حَلْقُها.
 Dari Anas bin Malik رضي الله عنه:“Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyembelih (aqiqah) untuk Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, masing-masing satu kambing” (HR. Ibnu Abbas رضي الله عنهما).
Ini juga menurut Wahbah al Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.
 
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنِ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَيْنِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةً
Dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan bahwa aqiqah anak laki-laki adalah dua kambing dan anak perempuan adalah satu kambing.” (HR. Abu Dawud).
·       Imam Malik, berpendapat cukup satu ekor kambing, baik untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan.
·    Imam Syâfi’î, Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi, Abu Dawud, dan Ahmad, berpendapat untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing dan untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing.
Namun demikian, kalau orang tua memiliki harta yang cukup lebih baik menyembelihkan aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Sebagaimana hadits:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنِ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَيْنِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةً
Dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata : “Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan bahwa aqiqah anak laki-laki adalah dua kambing dan anak perempuan adalah satu kambing.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi ). Hadits hasan shahih.
Jadi, kalau tidak mampu tidak usah memaksakan diri dengan cara mencicil atau berhutang. Tapi, cukuplah dengan satu ekor kambing. Bahkan, kalaupun tidak bisa melakukan aqiqah juga tidak apa-apa; karena ia hukumnya sunnah atau sunnah muakkad.
Aqiqah anak kembar juga berlaku untuk masing-masing anak. Jika anak tersebut laki-laki-laki maka, aqiqahnya untuk masing-masing dua ekor. Adapun jika perempuan, maka untuk masing-masing satu ekor. Lalu, jika anak kembar tadi terdiri dari laki-laki dan wanita berarti untuk anak laki-laki dua ekor, sementara untuk anak perempuan satu ekor. Demikian pendapat jumhur ulama.
Orang yang sudah baligh belum diaqiqahi oleh orang tuanya menurut sejumlah ulama tidak perlu melakukan aqiqah, meskipun menurut kalangan Syâfi’î ia tetap bisa melakukan aqiqah dengan biaya yang berasal dari dirinya sendiri. Karena itu, bagi yang sudah baligh--apalagi muallaf--ibadah aqiqah bisa diganti dengan ibadah yang lain, seperti berqurban, memperbanyak sedekah, dan terutama melakukan sejumlah ajaran agama yang hukumnya wajib bagi seorang muslim. Allâh tidak membebani hamba di luar kemampuannya.
Hukum meng-aqiqah-i diri sendiri
Memang ada hadits yang menyatakan demikian :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ الْبَعْثَةِ
“Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meng-aqiqah-i dirinya sendiri setelah diutus”.
Tetapi Imam Baihaqi menyatakan bahwa hadits ini adalah munkar (riwayat orang yang dla’if yang bertentangan dengan orang yang dla’if pula). (Sunan Baihaqi : Ii/157, no. hadits : 19750). Bahkan Imam Nawawi menyatakan bahwa hadits ini adalah bathil (Subulus Salam, VI : 329)
Maka hukumnya sebagai berikut:
Pertama : bahwa Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengaqiqahi dirinya ketika beliau di angkat menjadi Nabi dan Rasul.
حدثنا عبد الله بن المثنى بن أنس ، عن ثمامة بن أنس ، عن أنس : « أن النبي صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةَ » وما حدثنا الحسين بن نصر ، قال : حدثنا الهيثم بن جميل ، قال : حدثنا عبد الله بن المثنى بن أنس بن مالك ، قال : حدثني رجل ، من آل أنس بن مالك عن أنس بن مالك ، ثم ذكر مثله . قال أبو جعفر فكان فيما روينا من هذا توكيد وجوبها ، ثم نظرنا هل روي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ما يخالف ذلك أم لا ؟ : مشكل الآثار للطحاوي
Dari Anas bahwa Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ men-aqiqah-i dirinya pada saat diangkat sebagai Nabi. Namun riwayat hadits tersebut sangat lemah, imam Nawawi mengomentari riwayat hadits itu sebagai hadits yang mardud/tertolak, artinya tidak bisa dijadikan sandaran atau sumber hukum. Sebagaimana dalam Kitab Musykil Al atsar –imam Thahawi 
Dengan demikian, jika seseorang belum di aqiqahi sampai ia dewasa, maka tidak perlu untuk mengaqiqahinya, karena memang dalam dhahir lafadz hadits di atas, adalah setiap anak berstatus tergadaikan sampai ia disembelihkan kambing pada hari ke tujuh.
Kedua : mengaqiqahi diri sendiri setelah seseorang dewasa tidak ada anjurannya, sedangkan qurban, merupakan sunnah yang ditekankan.
Dalam madzhab Hanbali dan Mâliki yang menjelaskan bahwa aqiqah itu tidak dibatasi dengan waktu. Tetapi mereka menjelaskan bahwa perintah aqiqah itu ditujukan kepada bapak, bukan kepada anak. Jadi anak tidak boleh melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri. (Al Fiqhul Islami wa adillatuhu, karya Syeikh Wahbah Az Zuhaili  IV/286)
Kualitas Hewan untuk Aqiqah
Hewan untuk Aqiqah di-qiyas-kan dengan penyembelihan hewan al-hadyu (qurban).  
Tentang umur dan sifat hewan aqiqah, para fuqaha sepakat, sama dengan umur dan kondisi hewan qurban, yakni harus bersih dari cacat:
·         Tidak boleh hewan yang matanya buta atau cacat
·         Tidak boleh hewan yang sakit
·         Tidak boleh hewan yang lidahnya terpotong seluruhnya
·         Tidak boleh hewan yang hidungnya terpotong
·         Tidak boleh hewan yang salah satu telinganya terpotong
·         Tidak boleh hewan yang pincang
·         Tidak boleh hewan yang terpotong puting susunya atau sudah kering
·         Tidak boleh hewan yang terpotong ekornya
·         Tidak boleh hewan yang memakan kotoran (al Jallalâh)
Menurut  Jumhur (mayoritas) Ulama’, bahwa hewan yang memenuhi syarat untuk disembelih untuk qurban adalah hewan yang sudah mengalami copot salah satu giginya (tsaniyyah). Yang dimaksud dengan gigi adalah salah satu gigi dari keempat gigi depannya, yaitu dua di bawah dan dua di atas. Boleh jantan atau betina meski diutamakan yang jantan karena bisa menjaga populasi.
Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaannya dilakukan pada hari ke tujuh (ini yang lebih utama menurut para ulama’), keempat belas, dua puluh satu atau pada hari-hari yang lainnya yang memungkinkan.
- Waktu yang paling utama: hari ketujuh kelahiran anak. Hal ini berdasarkan hadits Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بن أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"كُلُّ غُلامٍ رَهْنٌ بِعَقِيقَتِهِ، يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، ويُلَطَّخُ رَأْسُهُ , وَيُسَمَّى". المعجم الكبير- الطبراني
Dari Said bin Abi Arubah, dari Qatadah, dari Hasan, dari Samurah berkata bahwa Rasulullâh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: “Setiap yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan dicukur rambutnya serta diberi nama.” (Mu’jam Kabir at Thabrani juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan)
- Waktu yang dibolehkan: hari keempat belas dan kedua puluh satu. Hal ini berdasarkan riwayat Aisyah رضي الله عنها yang menjadi pegangan madzhab Hanbali dan sebagian Mâliki. Menurut madzhab Syâfi’î, ia bisa dilakukan sampai dewasa, meskipun dianjurkan untuk tidak sampai mencapai usia dewasa. Karena itu, pelaksanaan aqiqah serta pemberian nama anak hendaknya dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, dan seterusnya.
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ(الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ )حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُذْبَحَ عَنْ الْغُلَامِ الْعَقِيقَةُ يَوْمَ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ يَوْمَ السَّابِعِ فَيَوْمَ الرَّابِعَ عَشَرَ فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ عُقَّ عَنْهُ يَوْمَ حَادٍ وَعِشْرِينَ وَقَالُوا لَا يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ مِنْ الشَّاةِ إِلَّا مَا يُجْزِئُ فِي الْأُضْحِيَّةِ
 Abu Isa berakata mengenai hadits :
(الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُyang shahih yang baik untuk diamalkan di kalangan ahli ilmu : " jika seseorang pada hari ketujuh setelah kelahiran anaknya dia tidak ada biaya untuk membuat aqiqah, maka  ia bisa melakukannya pda hari ke empat belas, jika tidak bisa ia bisa melakukannya pada hari ke duapuluh satu. Dan kambing Aqiqah-nya adalah seperti untuk qurban."
 Sebagian fuqaha malah membolehkan penyembelihan dilaksanakan pada pekan kedua atau pekan ketiga dari kelahiran anak. Tetapi bagi fuqaha yang membolehkan aqiqah untuk orang dewasa, maka penyembelihan itu tentunya boleh dilakukan pada usia dewasa.
حَدِيثُ سَمُرَةَ ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ ، وَيُسَمَّى فِيهِ ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ } . وَأَمَّا كَوْنُهُ فِي أَرْبَعَ عَشْرَةَ ، ثُمَّ فِي أَحَدٍ وَعِشْرِينَ ، فَالْحُجَّةُ فِيهِ قَوْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَذَا تَقْدِيرٌ ، الظَّاهِرُ أَنَّهَا لَا تَقُولُهُ إلَّا تَوْقِيفًا . وَإِنْ ذَبَحَ قَبْلَ ذَلِكَ أَوْ بَعْدَهُ ، أَجْزَأَهُ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ يَحْصُلُ . المغني - قديم
 Dalam hal ini tentu saja kita harus lebih mendahulukan sunnah dan riwayat yang benar. Kalaupun waktu-waktu yang dianjurkan telah lewat, Anda bisa tetap melaksanakannya sebagaimana pandangan madzhab Syâfi’î. Namun, hal itu bukan berdasarkan kepercayaan yang menyimpang. Tetapi, dengan niat yang ikhlas dan tulus karena Allâh  taala dan mengikuti ajaran Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.


Cara menghitung ke 7
Kalau pelaksanaan aqiqah dilakukan pada hari ketujuh, bagaimana cara penghitungan harinya?
Jumhur berpendapat bahwa saat kelahiran dimulai dari pagi hari sehingga kalau anak lahir pada waktu malam, malam tersebut tidak dihitung dan baru dihitung dari pagi harinya.
Menurut Madzhab Mâliki bahwa: ”hari kelahiran bayi dihitung dari waktu fajar, kalau bayi lahir sebelum atau bersamaan dengan fajar, maka sudah dihitung sebagai hari pertama. Tetapi jika lahir sesudah fajar, maka dihitung mulai fajar berikutnya.

باب موته قبل سابعه ، ومتى يسمى ، وما يصنع به (1) 7978 - عبد الرزاق عن ابن جريج قال : بلغني عن الحسن أنه قال : إن مات قبل سابعه فلا عقيقة عليه. (مصنف عبد الرزاق)
Menurut madzhab Syâfi’î, kalau anak itu meninggal dunia sebelum hari ketujuh, dianjurkan untuk di-aqiqahi sama seperti aqiqah untuk yang hidup. Namun, menurut al-Hasan al-Bashri dan Malik tidak perlu diaqiqahi.
 Menurut sebagian ulama (terutama kalangan Syâfi’î) boleh saja mengaqiqahi anak yang sudah berusia 2 atau 4 tahun, bahkan meskipun sudah baligh. Menurut sebagian ulama lainnya tidak perlu.
 Hukum Daging Aqiqah
Hukum daging aqiqah serta bagian-bagian lainnya sama dengan hukum daging qurban dalam hal makan, sedekah, dan larangan menjualbelikannya.
Kata Imam Malik: وَلَا يُبَاعُ مِنْ لَحْمِهَا شَيْءٌ (tidak boleh dijual dagingnya…)
 Daging aqiqah juga bisa diberikan kepada orang non-muslim. Apalagi jika hal itu dimaksudkan untuk menarik simpatinya dan dalam rangka dakwah.
Dalilnya :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberi makan orang miskin, anak yatim, dan tawanan, dengan perasaan senang.” (Q.S. al-Insan (76):8). 
Menurut Ibn Qudâmah, tawanan pada saat itu adalah orang-orang kafir.
 قال أبو عمر على هذا جمهور الفقهاء أنه يجتنب في العقيقة من العيوب ما يجتنب في الأضحية ويؤكل منها ويتصدق ويهدى إلى الجيران
Dan juga keterangan dari Abu Umar:
Aqiqah dan qurban boleh di-shadaqahkan kepada tetangga dan boleh dimakan oleh keluarga yang aqiqah.
 Menurut: Imam Syâfi’î dan Mâliki. dan jangan sampai tersentuh darahnya (binatang aqiqahnya) kepada si bayi (وَلَا يُمَسُّ الصَّبِيُّ بِشَيْءٍ مِنْ دَمِهَا).
 Memberi Nama yang baik
أم كرز الكعبية قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول عن الغلام شاتان متكافئتان وعن الجارية شاة تذبح يوم سابعه أي سابع المولود ويحلق فيه رأس ذكر ويتصدق بوزنه ورقا ويسمى فيه ويسن تحسين الإسم ويحرم بنحو عبد الكعبة وعبد النبي وعبد المسيح ويكره بنحو حرب ويسار وأحب الأسماء عبد الله وعبد الرحمن فإن فات الذبح يوم السابع ففي أربعة عشر فإن فات ففي إحدى وعشرين من ولادته. الروض المربع على مختصر المقنع -المؤلف : منصور بن يونس بن صلاح البهوتي
Dari Ummi Kurz Al-Ka’biyyah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullâh saw bersabda: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang berdekatan umurnya dan untuk anak perempuan satu ekor kambing dan dipotong pada hari ketujuh, dipotong rambutnya kemudian ditimbang dengan perak dan dishadaqahkan dan sunnah diberi nama yang baik dan haram diberi nama seperti Abdul Ka'bah, Abdun Nabi, Abdul Masih. Sunnah diberi nama Abdullâh, Abdurrahman, dan dipotong binatang aqiqah-nya pada hari ke tujuh, bila tidak ya hari ke-empat belas bila tidak ya hari ke duapuluh satu dari hari kelahirannya” (Manshur al Buhty menjelaskan hadits dari Musnad  Ahmad 6/422 dan At-Tirmidzi 1516)
 Aqiqah itu menyembelih hewan dan membagikan sebagiannya kepada orang-orang dalam bentuk sudah matang.


Dalam pelaksanaan aqiqah sebaiknya dilakukan sendiri oleh orang tua bayi. Kalau ingin menitipkannya kepada orang lain, kita harus yakin bahwa hal tersebut dilakukan sesuai dengan tuntutan syari’ah. Jangan sampai kita menitipkan sejumlah uang kepada suatu lembaga atau perorangan, kemudian uang tersebut dibagikan langsung sebagai pengganti daging. Praktek yang demikian tentunya tidak sesuai dengan tuntunan sunnah yang mensyaratkan adanya penyembelihan hewan dalam pelaksanaan aqiqah.

 Aqiqah bersamaan dengan Qurban?
Menurut kalangan Hanbali, jika waktu penyembelihan aqiqah berbarengan dengan waktu penyembelihan qurban, maka satu sembelihan cukup untuk qurban dan aqiqah sekaligus. Sama halnya dengan jika ied bertepatan dengan hari jumat, maka mandi sunnah untuk shalât ied dan shalât jumat cukup satu kali.
Menurut kalangan Syâfi’î dan Mâliki, satu sembelihan tidak bisa untuk aqiqah dan qurban sekaligus. Sebab, masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Aqiqah disembelih untuk anaknya yang baru lahir, sementara qurban disembelih untuk dirinya sendiri.
 عَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى . رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ
Dari Samurah رضي الله عنه bahwa Rasululla صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ber-sabda: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama." Riwayat imam yang lima dan dishahihkan Tirmidzi.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ.  رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَه
Dari 'Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. Hadits shahih riwayat Tirmidzi.
(Dept Data&IT)