Senin, 07 Mei 2018

Makalah tentang TAQWA

Menu

Arif Saputra

berbagi ilmu dan pengetahuan

Advertisements

Report this ad

Makalah tentang TAQWA

Pendahuluan

           Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Bahwa atas  segala izinnya makalah ini dapat terselesaikan. Dan tak lupa pula salawat serta dalam semoga tercurahkan atas junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW serta keluarganya.

Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas cawu 2 dari Dosen Mom Wiwi Alawiyah Bogor  EduCARE.

Kepada para pembaca kiranya dapat memanfaatkan makalah ini dengan sebaik-baiknya sehingga akan lebih melengkapi  dan menambah pengetahuan para pembaca dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tegur sapa yang ikhlas dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini lebih berdaya guna dalam pemanfaatannya Amien.

Penyusun

Definisi Taqwa

Taqwa adalah kumpulan semua kebaikan yang hakikatnya merupakan tindakan seseorang untuk melindungi dirinya dari hukuman Allah dengan ketundukan total kepada-Nya. Asal-usul taqwa adalah menjaga dari kemusyrikan, dosa dari kejahatan dan hal-hal yang meragukan (syubhat).

Seruan Allah pada surat Ali Imran ayat 102 yang berbunyi, “Bertaqwalah kamu sekalian dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam keadaan muslim”, bermakna bahwa Allah harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.

Taqwa adalah bentuk peribadatan kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya dan jika kita tidak melihat-Nya maka ketahuilah bahwa Dia melihat kita. Taqwa adalah tidak terus menerus melakukan maksiat dan tidak terpedaya dengan ketaatan. Taqwa kepada Allah adalah jika dalam pandangan Allah seseorang selalu berada dalam keadaan tidak melakukan apa yang dilarang-Nya, dan Dia melihatnya selalu.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa “ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib”. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan

Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah

Ciri Manusia Taqwa

Seseorang akan disebut bertaqwa jika memiliki beberapa ciri. Dia seorang yang melakukan rukun Iman dan Islam, menepati janji, jujur kepada Allah, dirinya dan manusia dan menjaga amanah. Dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Manusia taqwa adalah sosok yang tidak pernah menyakiti dan tidak zhalim pada sesama, berlaku adil di waktu marah dan ridha, bertaubat dan selalu beristighfar kepada Allah. Manusia taqwa adalah manusia yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sabar dalam kesempitan dan penderitaan, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, tidak peduli pada celaan orang-orang yang suka mencela, menjauhi syubhat, mampu meredam hawa nafsu yang menggelincirkan dari shiratal mustaqim. Itulah diantara ciri-ciri sosok manusia taqwa itu.

Agar seseorang bisa mencapai taqwa diperlukan saran-sarana. Dia harus merasa selalu berada dalam pengawasan Allah, memperbanyak dzikir, memiliki rasa takut dan harap kepada Allah. Komitmen pada agama Allah. Meneladani perilaku para salafus saleh, memperdalam dan memperluas ilmu pengetahuannya sebab hanya orang berilmulah yang akan senantiasa takut kepada Allah (QS. Fathir: 28). Agar seseorang bertaqwa dia harus selalu berteman dengan orang-orang yang baik, menjauhi pergaulan yang tidak sehat dan kotor. Sahabat yang baik laksana penjual minyak wangi dimanapun kita dekat maka akan terasa wanginya dan teman jahat laksana tukang besi, jika membakar pasti kita kena kotoran abunya (HR. Bukhari).

Membaca Al-Qur`an dengan penuh perenungan dan mengambil ‘ibrah juga merupakan sarana yang tak kalah pentingnya untuk mendaki tangga-tangga menuju puncak taqwa. Instrospeksi, menghayati keagungan Allah, berdoa dengan khusyu’ adalah sarana lain yang bisa mengantarkan kita ke gerbang taqwa. Pakaian dan makanan kita yang halal dan thayyib serta membunuh angan yang jahat juga sarana yang demikian dahsyat yang akan membawa kita menuju singgasana taqwa.

Adapun cirri-ciri lain orang bertaqwa (yaitu) Orang-orang yang berinfaq (karena Allah SWT), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mereka yang pemaaf terhadap (kesalahan) manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Taqwa memiliki tiga tingkatan. Ketika seseorang melepaskan diri dari kekafiran dan mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah, dia disebut orang yang taqwa. Didalam pengertian ini semua orang beriman tergolong taqwa meskipun mereka masih terlibat beberapa dosa. Jika seseorang menjauhi segala hal yang tidak disukai Allah SWT dan RasulNya (SAW), ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi. Yang terakhir, orang yang setiap saat selalu berupaya menggapai cinta Allah SWT, ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi lagi.

Allah SWT menjelaskan dalam Surat Ali’Imran Ayat 102:

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim (beragama Islam).

Allah SWT telah menjabarkan berbagai ciri-ciri orang yang benar-benar taqwa. Mereka menafkahkan rizkinya di jalan Allah SWT dalam keadaan lapang maupun sempit. Dengan kata lain, jika mereka memiliki uang seribu dollar diinfaqkannya paling tidak satu dollar, dan jika hanya memiliki seribu sen mereka infaqkan satu sen. Menafkahkan rizki di jalan Allah SWT adalah jalan-hidup mereka. Allah SWT (atas kehendakNya) menjauhkan mereka dari kesulitan (bala’) kehidupan lantaran kebajikan yang mereka perbuat ini. Lebih dari itu, seseorang yang suka menolong orang lain tidak akan mengambil atau memakan harta orang lain, malahan ia lebih suka berbuat kebaikan bagi sesamanya. ‘Aisyah RA sekali waktu pernah menginfaqkan sebutir anggur karena pada waktu itu ia tidak memiliki apa-apa lagi. Beberapa muhsinin (orang yang selalu berbuat baik) menginfaqkan sebutir bawang. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“ Selamatkanlah dirimu dari api nereka dengan berinfaq, meskipun hanya dengan sebutir kurma. (Bukhari & Muslim)

 

Pentingnya Takwa

 

Ia Merupakan wasiat dan Perintah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam.

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dalam sabdanya juga banyak mewasiatkan ketakwaan kepada para shahabat dan umatnya. Di antara sabda beliau adalah sebagai berikut : Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiallaahu anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda dalam khutbah haji wada’, “Bertakwalah kepada Allah Tuhanmu, shalatlah lima waktu, berpuasalah pada bulanmu, bayarlah zakat hartamu, taatilah pemimpinmu,maka kamu akan masuk surga Tuhanmu.” (HR. At-Tirmidzi dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 1/190)

Wasiat Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam kepada Muadz bin Jabal, dan juga tentunya untuk umatnya yang lain : “Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, timpalilah keburukan dengan kebaikan niscaya akan dapat menghapusnya dan pergauli-lah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi No. 1987, ia berkata hasan shahih, Ahmad dalam Musnad-nya 5/153 dan al-Hakim, beliau men-shahihkannya dan Imam adz-Dzahabi menyetujuinya, 1/54).

Dari Irbadl bin Sariyah Radhiallaahu anhu yang sudah sangat masyhur, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam memberikan wasiat : “Aku wasiatkan kepada kalian semua untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat. (HR.Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah).
Dari Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu , bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sering mengucapkan, “Ya Allah aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri dan kecukupan.”(HR Muslim)

Ia Merupakan Sebab Terbesar untuk Masuk Surga

Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ditanya tentang penyebab yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga, maka beliau menjawab, “bertaqwa kepada Allah dan akhlak yang baik (taqwallah wa husnul khuluq)”.Dan ketika ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menjeru-muskan orang ke dalam neraka beliau menjawab, ”Mulut dan Kemaluan.” (HR. at-Tirmidzi, ia berkata, “hadits shahih gharib, dan dihasankan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 2/194)

  

Ia Adalah Pakaian Terindah

Manusia tidak akan lepas dari kebutuhan terhadap pakaian, sedangkan ketakwaan adalah pakaian yang lebih penting daripada pakaian atau baju yang melekat di badan. Karena pakaian takwa tidak akan pernah rusak dan binasa. Ia akan selalu menyertai seorang hamba sampai kapan pun. Dia adalah keindahan hati dan ruh. Sedang pakaian badan tujuan utamanya adalah untuk menutupi aurat tubuh atau mungkin untuk perhiasan manusia. Jika dalam kondisi terpaksa pakaian badan ini terbuka, maka tak ada bahaya yang begitu berarti, namun kalau pakaian takwa yang terlepas, maka yang akan didapat adalah kehinaan.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik.” (QS.4 :26)

Pakaian takwa ini senantiasa dibutuhkan orang setiap waktu. Tanpa pakaian ini, seseorang tidak punya arti, kemuliaan dan keberuntungan.

Ia Lebih Penting daripada Makanan dan Minuman

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. 2:197)

Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berkata, “Sesungguhnya termasuk kemuliaan seseorang adalah membawa bekal yang memadai dalam safar.” (Tafsir al-Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir 1/224 dan Taisirul Karimir Rahman, as-Sa’di hal 74).

Allah Subhannahu wa Ta’ala memerintahkan untuk berbekal di dalam bepergian karena dengan berbekal, seseorang tidak mungkin meminta-minta kepada orang lain yang berarti ia telah menjaga serta menghormati harta mereka. Dengan berbekal, seseorang juga dapat menolong orang lain, yang sama-sama sedang bepergian.

Ketika Allah memerintahkan untuk berbekal dalam bepergian, maka Dia juga menyuruh untuk membawa bekal yang hakiki yaitu bekal menuju akhirat dengan membawa ketakwaan untuk menuju ke sana. Ia adalah bekal yang berkesinambungan manfaatnya, baik ketika di dunia mau pun kelak di akhirat. Ketakwaan merupakan bekal menuju kampung abadi di surga kelak, dia akan mengantarkan seseorang menuju kenikmatan yang sempurna dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Maka barangsiapa yang tidak mau membawa bekal ketakwaan, ia akan terputus dan akan menjadi mangsa berbagai macam perbuatan jahat dan buruk. Dan terhalanglah ia untuk sampai ke Surga-Nya yang abadi, wal ‘iyadzu billah.

 

 

Buah Taqwa

Manusia dengan ciri dan karakterisrik di atas akan memetik buah ranum dan manisnya taqwa. Bukan hanya individual sifatnya namun masyarakat juga akan menikmatinya.Manusia taqwa akan memiliki firasat yang tajam, mata hati yang peka dan sensitif sehingga dengan mudah mampu membedakan mana yang hak dan mana pula yang batil.
(QS. Al-Anfaal : 29). Mata hati manusia taqwa adalah mata hati yang bersih yang tidak terkotori dosa-dosa dan maksiat, karenanya akan gampang baginya untuk masuk surga yang memiliki luas seluas langit dan bumi yang Allah peruntukkan untuk orang-orang yang bertaqwa (QS. Ali Imran: 133 dan Al-Baqarah: 211).

Taqwa yang terhimpun dalam individu-individu ini akan melahirkan keamanan dalam masyarakat. Masyarakat akan merasa tenteram dengan kehadiran mereka. Sebaliknya pupusnya taqwa akan menimbulkan sisi negatif yang demikian parah dan melelahkan. Umat ini akan lemah dan selalu dilemahkan, akan menyebar penyakit moral dan penyakit hati. Kezhaliman akan merajalela, adzab akan banyak menimpa. Masyarakat akan terampas rasa aman dan kenikmatan hidupnya. Masyarakat akan terenggut keadilannya, masyarakat akan hilang hak-haknya.

Semakin taqwa seseorang -baik dalam tataran individu, sosial, politik, budaya, ekonomi- maka akan lahir pula keamanan dan ketenteraman, akan semakin marak keadilan, akan semakin menyebar kedamaian. Taqwa akan melahirkan individu dan masyarakat yang memiliki kepekaaan Ilahi yang memantulkan sifat-sifat Rabbani dan insani pada dirinya.

Hakikat Taqwa

Taqwa lahir sebagai konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muroqobatullah:merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya, dan selalu berharap limpahan karunia dan maghrifah-Nya.

Atau sebagaimana didefinisikan oleh para ulama. Taqwa adalah hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangan-Nya dan tidak kehilangan kamu dalam perintah-perintahnya.

Jalan Mecapai Sifat Taqwa

Disini kita cukup membahas faktor-faktor terpenting yang bisa menumbuh suburkan takwa. Mengokohkannya dalam hati dan jiwa seorang muknin dan menyatukannua dengan perasaan.

A.Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)

Kalimah ini diambil dari firman Allah Yang MahaTinggi

”Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji..”(an-Nahl[16]:91)

     Cara Mu’ahadah

Hendaklah seorang mukmin berkhalwat (menyendiri) antara dia dan Allah untuk mengintrospek diri seraya mengatakan pada dirinya. ”Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri membaca.

”Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan.”

(al-Fatihah[1]:5)

B.Muroqobah (Merasakan Kesertaan Allah)

Landasan muroqobah dapat Anda temukan dalam surat asy-Syuura, yaitu dalam firman Allah,

”yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badannya diantara orang-orang yagn sujud”. (asy-syu’raa [26]: 218-219). Maknanya adalah sebagaimana diisyaratkan oleh Al- Qur’an dan hadits, ialah: merasakan keagungan Allah Azza wa jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai.

Cara muroqobah

Sebelum memulai suatu pekerjaan dan di saat mengerjakannya, hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya… Apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk kepentingan peribadi dan mencari popularitas, ataukah karena dorongan ridha Allah dan menghendaki pahala-Nya?

C. Muhasabah (Introspeksi Diri)

Dasar muhasabah adalah firman Allah:

”Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (al-Hasyr [59]: 18). Makna muhasabah sebagaiman diisyaratkan oleh ayat ini, ialah, hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan…apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan ridha Allah? Atau apakah amalnya dirembesi sifat riya? Apakah dia sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?…

D. Mu’aqobah (Pemberian Sanksi)

Sanksi yang kita maksudkan adalah apabila seorang mukmin menemukan kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya. Bahkan sepatutunya dia memberikan sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mudah sebagaimana memberikan sanksi atas istri dan anak-anaknya…hal ini merupakan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar, di samping merupakan dorongan untuk lebih bertakwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.

E.Mujahadddah (Optimalisasi)

Dasar mujahadah adalah firman Allah dalam surat al-Ankabut.

’Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.(al- Ankabut [29]:69). Makna mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah:  Apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini harus tegas,serius,dan penuh semangat sehigga pada akhirtya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.

Kesimpulan

Taqwa adalah kumpulan semua kebaikan yang hakikatnya merupakan tindakan seseorang untuk melindungi dirinya dari hukuman Allah dengan ketundukan total kepada-Nya. Asal-usul taqwa adalah menjaga dari kemusyrikan, dosa dari kejahatan dan hal-hal yang meragukan (syubhat).

Seseorang akan disebut bertaqwa jika memiliki beberapa ciri. Dia seorang yang melakukan rukun Iman dan Islam, menepati janji, jujur kepada Allah, dirinya dan manusia dan menjaga amanah.

manisnya taqwa bukan hanya individual sifatnya namun masyarakat juga akan menikmatinya.

Adapun 4 cara menuju sifat taqwa adalah:

Mu’ahadah (mengingat aperjanjian)Muroqobah (Merasakan kesertaan allah)Muhasabah (Intropeksi Diri)Mu’aqobh (Pemberian Sanksi)

Advertisements

Report this ad

Share this:

TwitterFacebook2

Related

Bahan makalah mengenai kearsipan

Makalah tentang GHAZWUL FIKRIIn "pelajaran"

CONTOH SURAT REKOMEKNDASIIn "pelajaran"

August 16, 2011Leave a reply

Advertisements

Report this ad

« PreviousNext »

Advertisements

Report this ad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment 

Name*

Email*

Website

 Notify me of new comments via email.

Advertisements

Report this ad

Advertisements

Report this ad

View Full Site

Blog at WordPress.com.

Follow


https://aaput.wordpress.com/2011/08/16/makalah-tentang-taqwa/