Rabu, 27 Februari 2019

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 238-239

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 238-239

untungsugiyarto

4 tahun yang lalu

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (QS. Al-Baqarah: 238) Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 239)

Allah Ta’ala memerintahkan untuk memelihara semua shalat pada waktunya masing-masing, memelihara ketentuannya dan kamu mengerjakan-nya tepat pada waktunya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Ibnu Masud, ia menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Lalu kutanyakan lagi: ‘Kemudianapa lagi? Beliau menjawab: ‘Jihad di jalan Allah.’ ‘Kemudian apa lagi?’ tanyaku lebih lanjut. Beliau menjawab: ‘Berbuat baik kepada ibu bapak.’” Ibnu Masud mengatakan: “Semua itu disampaikan oleh Rasulullah saw. kepadaku. Dan seandainya aku menambahkan pertanyaan, niscaya beliau akan menambah pula jawabannya.”

Allah swt. memberi kekhususan dengan memberikan penekanan pada shalat wustha. Para ulama, baik Salaf maupun Khalaf berbeda pendapat, tentang apa yang dimaksud dengan shalat wustha di sini.

Ada yang mengatakan bahwa shalat wustha itu adalah shalat Shubuh. Pendapat ini disebut oleh Imam Malik dalam bukunya al-Muwattha’, dari Ali, dari Ibnu Abbas. Hasyim, Ibnu `Ullayah, Ghundar, Ibnu Abi Adi, AbdulWahab, Syarik, dan ulama lainnya, dari Auf al-A’rabi, dari Abu Raja’ al-Atharidi, ia berkata, aku pernah mengerjakan shalat shubuh di belakang Ibnu Abbas, di dalamnya ia membaca qunut dengan mengangkat kedua tangannya, kemudian mengucapkan: “Inilah shalat wustha yang kita diperintahkan untuk mengerjakannya dengan khusyu’ (qunut).” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jabir.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah shalat shubuh di masjid Bashrah, lalu ia membaca qunut sebelum ruku’. Dan ia mengatakan; “Inilah shalat wustha yang, disebutkan Allah dalam kitab-Nya: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha. berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”)

Masih menurut Ibnu Jarir, dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan, “Shalat wustha adalah shalat Shubuh.” Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abu Aliyah, Ubaid bin Umair, Atha’ al-Khurasani, Mujahid, Jabir bin Zaid, Ikrimah, dan Rabi’ bin Anas. Dan itu pula yang ditetapkan Imam Syafi’i rahimahullahu berdasarkan pada firman Allah Ta’ala: wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”) Menurutnya, qunut itu dibaca pada shalat Subuh.

Ada juga yang mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat Dhuhur. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Zaid bin Tsabit, ia menceritakan, Rasulullah saw. pernah mengerjakan shalat dhuhur pada tengah hari setelah matahari tergelincir. Beliau belum pernah mengerjakan suatu shalat yang lebih menekankan kepada para sahabatnya dari shalat tersebut, lalu turunlah ayat: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa quumuu lillaaHi qaanitiin.

Dan Zaid bin Tsabit ra. mengatakan: “(Karena) sesungguhnya sebelum shalat Zhuhur itu ada dua shalat (yaitu shalat isya dan shubuh) dan sesudahnya pun ada dua shalat (yaitu ashar dan maghrib).”

Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Dawud dalam bukunya Sunana Abi Dawud, dari Syu’bah. Yang demikian itu juga menjadi pendapat Urwah bin Zubair, Abdullah bin Syidad bin al-Haad, dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah rahimahullahu.

Menurut pendapat lain bahwa shalat wustha itu adalah shalat Ashar. At-Tirmidzi dan Baghawi rahimahullahu mengatakan, itu adalah pendapat terbanyak dari ulama kalangan sahabat. Al-Qadhi al-Mawardi mengatakan, hal tersebut merupakan pendapat mayoritas tabi’in, sedangkan al-Hafizh Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan: “Ini merupakan pendapat mayoritas ahlul atsar dan madzhab Ahmad bin Hanbal.” Lebih lanjut al-Qadhial-Mawardi dan asy-Syafi’i mengatakan, Ibnu Mundzir mengemukakan: “Dan itulah yang shahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dan menjadi pilihan Ibnu Habib al-Maliki rahimahullahu.”

Beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali, ia berkata, Rasulullah pernah bersabda pada peristiwa Ahzab: “Mereka (orang-orang kafir) telah menyibukkan kami dari shalat wustha, yaitu shalat Ashar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api.” Kemudian beliau mengerjakannya di antara Maghrib dan Isya’.

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan beberapa penulis kitab al-Musnad, as-Sunan dan ash-Shahih. Hal itu diperkuat dengan perintah untuk memelihara shalat tersebut.

Dan dalil lainnya ialah sabda Rasulullah dalam hadits shahih riwayat az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka seakan-akan ia telah dirampas keluarga dan hartanya.”

Masih dalam hadits shahih dari Buraidah bin al-Hashib, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Segerakanlah shalat Ashar pada hari yang penuh mendung, karena barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah semua amalnya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Nadrah al-Ghifari, ia menceritakan, Rasulullah pernah mengerjakan shalat Ashar bersama kami di salah satu lembah yang bernama al-Hamish, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya shalat ini pernah ditawarkan kepada orang-orang sebelum kalian, namun mereka menyia-nyiakannya. Ketahuilah, barangsiapa mengerjakannya, maka akan dilipatgandakan pahalanya dua kali lipat. Dan ketahuilah, tidak ada shalat setelahnya hingga kalian melihat saksi (Matahari tenggelam, alam mulai gelap.)”

Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan an-Nasa’i. Sedangkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Abu Yunus, seorang budak Aisyah, ia menceritakan, Aisyah pernah menyuruhku menulis sebuah mushaf, ia menuturkan: “Jika sudah sampai pada ayat: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha”) maka beritahu aku.” Ketika sampai pada ayat tersebut, aku pun memberitahunya, lalu beliau mendiktekan kepadaku: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa shalaatil ‘ashri wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha, yaitu shalat Ashar dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu’.”) Aisyah menuturkan, aku mendengarnya dari Rasulullah saw.

Hal senada juga diriwayatkan Imam Muslim, dari Yahya bin Yahya, dari Malik.

Diriwayatkan juga oleh Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Amr bin Rafi’, ia menceritakan: “Aku pernah menulis sebuah mushaf untuk Hafshah, isteri Nabi, lalu Hafshah berkata: ‘Jika sudah sampai pada ayat ini: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha”) maka beritahukanlah aku.” Ketika sampai ayat tersebut, aku pun memberitahukannya, lalu Hafshah mendiktekan kepadaku: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa shalaatil ‘ashri wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha, yaitu shalat Ashar dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu’.”)

Menurut orang yang menentang pendapat ini adalah bahwa beliau meng-athafkan (menghubungkan/menggabungkan) shalat Ashar pada shalat Wustha dengan “wawu ‘athaf” (huruf “wawu” yang berfungsi menggabungkan kata kalimat), yang menunjukan adanya perbedaan (antara ma’tuf dan ma’tuf ‘alaiHi) Hal ini menunjukan bahwa shalat Wustha bukanlah shalat Ashar. Sanggahan untuk pendapat mereka ini dapat dijawab melalui beberapa sisi.

Pertama, jika hal itu diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadits Ali berkedudukan lebih shahih dan lebih jelas darinya. Karena kemungkinan huruf “wawu” (dan) dalam ayat tersebut berkedudukan sebagaii “wawu zaidah” (wawu tambahan), seperti firman Allah yang artinya: “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-An’aam: 55). Dan juga firman-Nya yang artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan di bumi. Dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (QS. Al-An’ aam: 75).

Atau huruf “wawu” (dan) pada ayat itu berkedudukan untuk menghubungkan dan bukan dzat. Misalnya adalah finnan Allah swt. berikut ini: “Tetapi ia adalah Rasulullah saw. dan penutup para nabi.” (Al-Ahzaab: 40). Juga firman-Nya yang lain: “Sucikanlah nama Rabbmu yang Mahatinggi, yang menciptakan dan yang menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) serta memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan.” (QS. Al-A’la: 1-4).

Dan ayat-ayat yang serupa dan jumlahnya cukup banyak. Seorang penyair berujar:

Kepada raja yang agung, anak orang yang berkuasa.
Harimau dalam barisan perang, bila perang berkobar.

Sibawaih tokoh dalam Ilmu Nahwu, membolehkan ucapan seseorang: marartu bi akhiika wa maa hibika (“Aku berjumpa dengan saudaramu yang juga temanmu.”)
Dengan demikian, teman yang dimaksudkan di sini adalah saudara itu sendiri. Wallahu a’lam.

As-Sunnah telah menetapkan bahwa shalat wustha adalah shalat Ashar. Maka jelaslah pengertian itu kembali kepadanya.

Firman Allah swt. yang selanjutnya: wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”) Yakni dengan merendahkan diri dan tenang di hadapan-Nya. Yang demikian itu mengharuskan tidak berbicara dalam shalat, karena bertentangan dengan kekhusyu’an. Oleh karena itu’, tatkala tidak menjawab salam Ibnu Mas’ud, karena beliau sedang menjalankan shalat, beliau memberikan alasan dengan bersabda: “Sesungguhnya dalam shalat itu benar-benar terdapat kesibukan.” (Muttafaqun alaih).

Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Mu’awiyah bin Hakam al-Sulami ketika ia berbicara dalam shalat: “Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak diperbolehkan sedikit pun dari pembicaraan manusia. Shalat itu adalah tasbih, takbir, dan dzikir kepada Allah.”

Firman Allah Ta’ala selanjutnya: fa in khiftum fa rijaalan au rukbaanan fa idzaa amintum fadzkurullaaHa kamaa ‘allamakum maa lam takuunuu ta’lamuun (“Jika kamu dalam keadaan takut [bahaya], maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah [shalatlah] sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”)

Ketika Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa memelihara semua shalat dan menjalankan ketentuan-ketentuannya serta memberikan penekanan padanya, Dia menyebutkan keadaan di mana seseorang tidak dapat mengerjakan shalat secara benar dan sempurna, yaitu dalam keadaan perang dan pertempuran sengit. Dia berfirman: fa in khiftum fa rijaalan au rukbaanan (“Jika kalian dalam keadaan takut [bahaya], maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”) Artinya, kerjakan shalat dalam keadaan bagaimanapun juga, dalam keadaan berjalan maupun naik kendaraan, baik menghadap kiblat maupun membelakanginya. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai shalat khauf, maka ia menggambarkannya dan kemudian berkata: “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, mereka mengerjakan shalat sambil berjalan kaki atau menaiki kendaraan, dengan menghadap kiblat ataupun tidak.”

Nafi’ mengatakan, aku tidak mengetahui Ibnu Umar menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi saw. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Bukhari, dan lafadz di atas adalah dari Imam Muslim.

Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan hal yang sama atau yang mendekati hal itu, dari Ibnu Umar, dari Nabi saw.

Sedangkan menurut riwayat Imam Muslim, dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, maka shalatlah dalam keadaan menaiki kendaraan atau berdiri dengan menggunakan isyarat.”

Dan dalam hadits Abdullah bin Unais al Juhani, disebutkan, ketika ia diutus oleh Rasulullah untuk membunuh Khalid bin Sufyan, pada saat itu ia menghadap ke Arafah. Ketika ia sedang menghadap ke Arafah, datang waktu shalat Ashar. Ia mengatakan, “Aku khawatir kehabisan waktu Ashar, maka aku pun shalat dengan menggunakan isyarat.” Secara lengkap, hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan isnad jayyid.

Hal ini merupakan keringanan dari Allah, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya dan Dia lepaskan semua beban dan belenggu dari diri mereka.

Mengenai apa yang telah dinashkan, Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat khauf itu kadangkala dikerjakan dengan satu rakaat saja, jika antara dua pasukan sedang bertempur sengit. Dalam keadaan seperti itulah berlaku hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir, dari Abu Awanah al-Wadhah bin Abdullah al-Yasykuri. Imam Muslim, Nasa’i, dan Ayub bin A’idz menambahkan, keduanya dari Bakir bin al-Akhnas al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Allah Ta’ala mewajibkan shalat melalui ucapan Nabi kalian dalam keadaan normal empat raka’at, dalam perjalanan (musafir) dua rakaat, dan dalam keadaan takut (khauf) satu rakaat.”

Dalam bab “Ash-Shalatu ‘inda munahadhatil hushun wa liqa’il aduww. “(Shalat pada saat menyerbu benteng dan bertemu musuh) Imam al-Bukhari me-riwayatkan, al-Auza’i mengatakan, “Jika pertempuran sudah mulai dan mereka tidak sanggup mengerjakan shalat, maka mereka mengerjakannya dengan menggunakan isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-senditi. Dan jika mereka tidak mampu menggunakan isyarat, mereka mengakhirkan shala tsehingga pertempuran berakhir dan keadaan tenang. Setelah itu mereka baru mengerjakan shalat dua rakaat. Dan jika mereka tetap tidak mampu melakukan hal itu, maka mereka akan mengerjakan satu rakaat dan dua sujud. Dan jika tidak mampu juga, karena takbir saja tidak cukup bagi mereka, maka mereka mengakhirkannya, sampai keadaan aman.”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Makhul. Anas bin Malik mengatakan: “Aku pernah mengikuti penyerangan benteng Tustar pada saat sinar fajar muncul, dan api pertempuran semakin sengit, sedang mereka tidak dapat mengerjakan shalat, dan kami pun tidak mengerjakan shalat kecuali setelah siang hari. Kemudian kami segera mengerjakannya, saat itu kami bersama Abu Musa, lalu diberikan kemenangan kepada kami.” Lebih lanjut Anas bin Malik mengatakan: “Dunia dan isinya tidak menggembirakanku lebih dari shalat ketika itu.”

Demikian lafazh Imam al-Bukhari. Kemudian hal itu diperkuat dengan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. mengakhirkan shalat Ashar sampai matahari tenggelam pada peristiwa Khandaq karena alasan perang. Juga dengan sabda Rasulullah yang disampaikan setelah itu kepada para sahabatnya ketika mereka dipersiapkan untuk berangkat ke Bani Quraidzah: “Janganlah ada seorang pun dari kalian yang mengerjakan shalat Ashar, kecuali setelah sampai di Bani Quraidzah.” (Muttafaqun `alaih).

Di antara mereka ada yang mendapati waktu shalat Ashar di jalan, lalu mereka mengerjakan shalat dan berkata: “Rasulullah tidak menginginkan dari kita melainkan agar mempercepat perjalanan.” Dan di antara mereka ada juga yang mendapati waktu shalat itu di tengah jalan tetapi mereka tidak mengerjakan shalat Ashar sampai matahari terbenam di Bani Quraidzah. Namun demikian, Rasulullah tidak menyalahkan salah satu dari dua kelompok tersebut. Dan ini menunjukkan jatuhnya pilihan al-Bukhari pada pendapat ini.

Sedangkan jumhur ulama berbeda pendapat dengannya, dan mereka mengemukakan alasannya bahwa shalat khauf seperti yang disifatkan al-Qur’an dalam Surat an-Nisaa’ dan juga oleh beberapa hadits itu disyari’atkan setelah terjadinya perang Khandaq. Hal ini secara jelas telah disebutkan dalam hadits Abu Said dan lainnya. Sedangkan Makhul, al-Auza’i, dan al-Bukhari menjawab bahwa disyariatkannya shalat khauf tersebut setelah itu tidak menafikan bahwa cara seperti itu boleh. Karena hal itu merupakan keadaan khusus dan jarang terjadi, maka hal itu dibolehkan, seperti yang kami katakan. Berdasarkan apa yang dilakukan oleh para sahabat pada zaman Umar bin Khaththab ra. pada waktu pembebasan kota Tustar. Dan hal itu sangat terkenal dan tidak dipungkiri. Wallahu aalam.

Dan firman Allah: fa idzaa amintum fadzkurullaaHa (“Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah.”) Artinya kerjakanlah shalat kalian sebagaimana telah diperintahkan kepada kalian, sempurnakanlah ruku’, sujud, berdiri, duduk dan khusyu’nya. Kamaa ‘allamakum maa lam takuunuu ta’lamuun (“Sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”) Maksudnya, sebagaimana Dia telah menganugerahkan nikmat kepada kalian, menunjukkan kalian kepada keimanan dan mengajarkan kepada kalian hal-hal yang bermanfaat bagi kalian di dunia maupun di akhirat. Maka sambutlah dengan rasa syukur dan dzikir kepada-Nya. sebagaimana firman-Nya setelah penyebutan shalat khauf yang artinya:

“Kemudian jika kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. ” (QS. An-Nisaa’: 103).

Hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat khauf dan sifat-sifatnya akan dikemukakan selanjutnya dalam pembahasan Surat an-Nisaa’ pada penafsiran firman Allah “Dan jika kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabat kamu, lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (QS. An-Nisaa’ 102).

&

Kategori: Tafsir Al-Qur'an

Tag: 238239al-baqarahAl-qur'analbaqarahayatibnu katsirsurahsurattafsirtafsir alqurantafsir ibnu katsir

Tinggalkan sebuah Komentar

alqur'anmulia

Kembali ke atas